Merasa sakit karena perlakukan yang tak menyenangkan adalah hal yang bisa acap kali datang dalam perjalanan hidup. Hanya kadarnya beda-beda. Kalau kadarnya tinggi pakai banget, sakitnya bisa sampai ke hati dan menggelayut di diri. Nah kalau sakit itu adalah hal yang acap kali, kan gak mungkin juga mau kita biarkan banyak beban menggelayut di diri di sepanjang sisa hidup. Berat, booo !!!
Dari pengalamanku, memaafkan itu tak selalu menjadi kebutuhan orang yang sudah menyakiti kita, karena bisa jadi mereka gak sadar kalau mereka sudah menyakiti kita. Kok bisa? Ya bisa, karena bisa saja cara pandang, nilai yang kita pegang berbeda dengan cara pandang dan nilai yang dia anut. Kan latar belakang, pengalaman bisa mempengaruhi cara pandang dan nilai yang dianut setiap manusia. Jadi menurut aku, yang butuh memaafkan itu adalah orang yang disakiti, agar rasa sakit yang menggelayut di diri bisa lepas. Agar kita bisa melangkah lebih ringan di hari ini dan hari-hari mendatang.
Tapi memaafkan kan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalo mudah, hadiahnya payung cantik. 😀 Tapi kalau bisa, insya Allah hadiahnya ketentraman hati, dan hari- hari yang lebih cerah setelahnya.
Kita sering mendengar ucapan FORGIVEN BUT NOT FORGOTTEN, dimaafkan tapi tak dilupakan. Ya, kita sering mengatakan kita memaafkan seseorang atas perbuatan yang menyakiti kita, tapi rasa sakit itu tetap tinggal di hati, mengendalikan cara pandang, cara pikit kita.
Gimana caranya bisa melupakan, kalau efek perbuatan orang tersebut besar terhadap hidup kita? Apa lagi kita juga sering dengar orang bilang, agar kita memaafkan, melupakan yang buruk-buruk, dan tetap mengingat yang baik-baik. Entah lah. Menurut aku setiap pribadi dengan keunikannya akan punya cara sendiri untuk memaafkan, juga melupakan. . Termasuk diriku.
Setelah terluka oleh sesosok manusia, aku berusaha melanjutkan hidupku. Meninggalkan semua di masa lalu. Namun dalam satu priode yang cukup panjang, ada dan ada saja orang-orang yang menghubungiku, mencari tahu, mencari kebenaran. Dan ketika data yang menunjukkan kebenaran itu aku berikan, orang-orang itu justru memposisikan diriku sebagai orang yang perlu mengakui keberadaan mereka. Duuhhh, capek dan menyakitkan. Seperti masuk dalam gulungan ombak, bulak balik terbanting-banting karena hal yang sama. Kondisi ini membuat hati ini berkali-kali terluka, sehingga sulit untuk memaafkan dengan sepenuh hati.
Beberapa bulan yang lalu, kantor memfasilitasi pegawai yang ingin berkonsultasi dengan sebuah konsultan HRD untuk mengetahui potensi diri sekaligus kekurangan yang perlu diperbaiki untuk pencapaian-pencapaian yang lebih baik. Aku dan juga beberapa teman mengambil kesempatan untuk berkonsultasi itu. Tapi di awal pertemuan, aku menyampaikan kepada psikolog dari konsultan HRD itu, kalau aku ingin diberi juga masukan untuk hal-hal personal, yang aku rasa membebani bathinku beberapa tahun terakhir.
Setelah mengikuti sederet test dan wawancara, psikolog yang bersikap seperti teman itu bilang dari analisa terhadap hasil test dan wawancara ada sesuatu yang mengganjal di diriku, sesuatu dari masa lalu, dan itu terlihat dari hasil test dan wawancara yang telah aku ikuti. Psikolog lalu tanya, apakah aku masih menyimpan sesuatu dari masa lalu. Aku lalu cerita kalau aku belum membersihkan laptopku dari surat-surat elektronik yang berisi data-data yang pernah dikirim berbagai pihak, aku menyimpan dengan tujuan berjaga-jaga. Psikolog itu lalu bilang, “Kamu tahu enggak kalo otak manusia itu seperti magnet, akan menarik hal-hal yang terkait dengan apa yang ada di pikiran? Tanpa kamu sadari data-data yang kamu simpan untuk berjaga-jaga itu membuat otakmu mengirimkan sinyal keberadaan data-data tersebut. Lalu Penguasa Semesta mengirim orang-orang yang membutuhkannya ke hadapanmu.” Ucapan itu mengingatkan ku pada The Secret karangan Rhonda Byrne yang kubaca beberapa tahun yang lalu.
Psikolog menyarankan diriku untuk membuang semua yang terkait dengan orang yang menyakitiku, semua tanpa terkecuali. Agar otakku tak lagi mengirim sinyal adanya keterkaitan, bahwa aku tak punya data tentang orang itu. Agar Penguasa Semesta tak lagi mengirimkan padaku orang yang butuh pertolongan yang terkait dengan urusan yang satu itu.
Aku lalu melakukan apa yang disarankan psikolog. Aku membersihkan semua tanpa sisa. Alhamdulillah setelahnya semua jadi lebih baik. Tak ada lagi yang mendadak menghubungi diriku untuk urusan yang satu itu lagi. Dan semoga tak ada lagi.
Dari apa yang pernah aku alami, aku mengerti bahwa untuk memaafkan harus sepaket dengan melupakan. Melupakan yang buruk, dan juga yang baik. Meninggalkan semuanya, tanpa terkecuali, di belakang.***