3rd Day : Matsumoto

Saat menyusun ittenerary, diriku berharap bisa melihat kota-kota yang punya tinggalan budaya, salah satunya adalah istana. Dari hasil baca-baca dan surfing di internet, aku mendapatkan informasi salah satu istana tertua di Jepang yang masih ada adalah istana yang berada di Kota Matsumoto, Nagano Perfecture. Kota ini berada sekitar 219 km barat laut Tokyo.

Karena pada hari keempat kami akan ke Kota Takayama yang merupakan base untuk mengunjungi Shirakawa-Go, yang tiketnya sudah kami beli sebelum keberangkatan, maka kami membuat rute perjalanan hari ketiga ke Matsumoto dan dilanjutkan dengan ke Takayama di hari keempat. Namun karena salah seorang teman melihat informasi ada suatu tempat yang must visit di Kota Toyama, maka diputuskan perjalanan hari ketiga adalah Tokyo – Matsumoto – Toyama (ningap di sini). Lalu dilanjutkan hari keempat perjalanan Toyama – Takayama – Shirakawa-Go – Takayama.

So, here the strory our journey to Matsumoto..

  1. Perjalanan ke Matsumoto
Limited Express Train

Hari Sabtu pagi tanggal 8 Februari 2020, pagi-pagi kami sudah keluar dari tempat menginap di kawasan Yotsuya, di Tokyo. Perjalanan dimulai dengan mengantarkan koper-koper besar ke agen Takkyubin di Seven Eleven yang tak jauh dari Yotsuya Station. Kami melanjutkan perjalanan dengan membawa koper ukuran kabin, ransel dan sling bag saja.

Dari Yotsuya Station kami menuju Shinjuku Station untuk menaiki Limited Express Train menuju Matsumoto, dengan menggunakan JR Pass. Ini pengalaman pertama naik kereta untuk jarak yang relatif jauh, sekitar 3 jam, dan karena belum pengalaman, kami langsung naik saja ke kereta. Padahal JR Pass yang kami beli, bila ingin naik ke kereta harus reserve tempat duduk dulu di loket JR Station tempat keberangkatan. So, jadilah kami diperkenankan duduk di tempat duduk yang kosong, dan harus pindah ke tempat duduk lain, bila penumpang pemesan tempat duduk naik di station berikutnya. Tanda kursi yang kosong, lampu di sebelah nomor tempat duduk yang terdapat di dinding samping, akan berwarna merah. Bila pada station berikutnya, ada penumpang yang akan naik dan sudah reserve tempat duduk tersebut, maka lampu berubah warna menjadi hijau. Penumpang tanpa kursi yang numpang duduk di nomor tersebut, silahkan pindah ke kursi lain. Bila tak ada kursi yang kosong, silahkan berdiri di ujung gerbong penumpang. 😀 😀 😀 Lelah…? Pasti. Tapi terobati dengan pemandangan indah di sepanjang perjalanan, termasuk pemandangan Gunung Fuji di sisi kiri kereta di awal perjalanan.

Locker at Matsumoto Station

2. Suitcase Handling

Kami sampai di Matsumoto Station sekitar jam 12.00 waktu setempat. Kami langsung mencari locker dan menitipkan koper-koper kami di sana. Loker di Matsumoto Station berada di lantai dasar, di seberang Starbucks, satu ruangan dengan waiting room. Harga sewa locker tergantung besar ruang locker yang akan digunakan. Untuk menggunakan locker tersebut, kita harus menggunakan coin Yen 100. Bila tak punya, kita bisa menukar di toko-toko di seberang locker, mereka bersedia membantu tanpa kita harus belanja di toko tersebut. Cara menggunakan locker, terdapat di pintu-pintu locker dalam dua bahasa, Bahasa Jepang dan Bahasa Inggris. Jadi tak perlu khawatir.

3. Matsumoto City

Dari Stasiun Matsumoto kami berjalan kaki mengikuti arahan Maps Go, ke arah Istana Matsumoto. Jarak tempuh sekitar 1,4 kilometer. Jauh….? Lumayan, tapi pemandangan di sepanjang jalan sungguh cantik.. Di kiri kanan berdiri toko-toko dengan kaca-kaca besar yang memajang aneka barang cantik dan tertata apik.. Sungai yang melintasi kota ini bersih, dan dilintasi jembatan-jembatan yang juga cantik. Kota ini benar-benar ramah untuk pejalan kaki, bahkan di beberapa bagian ruas ajalan tersedia bangku-bangku yang nyaman untuk pejalan kaki beristirahat sejenak.

Matsumoto City

Ada yang unik di Kota Matsumoto. Di beberapa sudut jalan terdapat pancuran kecil, Daimyocho Otemon Ido Well, yang airnya bersumber dari mata air pegunungan (spring). Airnya bersih dan layak minum. Para pejalan kaki bisa singgah, mengambil air dari pancuran dengan centong yang disediakan, dan langsung meminumnya. Apa rasa airnya? Gak ada rasa apa-apa, tawar tapi sejuk dan segar…

Daimyocho Otemon Ido Well

4. Matsumoto Castle

Matsumoto Castle Ticket Box, Gate and Park

Setelah jalan kaki sekitar 20 menit, kami melihat Istana Matsumoto yang megah. Kawasan istana ini dikelilingi oleh parit besar yang memisahkannya dari kawasan lain di Kota Matsumoto. Parit tersebut berisikan ikan-ikan koi dengan ukuran yang relatif besar. Untuk masuk ke istana dan kawasannya, setiap pengunjung harus membeli tiket seharga Yen 700 untuk pengunjung dewasa. Harga tiket termasuk biaya guide dan peminjaman sandal.

Guide yang bertugas di kawasan istana tersebut adalah para senior citizen Kota Matsumoto yang mempunyai kemampuan berbahasa asing dan menyediakan waktu beberapa hari dalam seminggu untuk menjadi guide sebagai wujud kecintaannya kepada kota ini. Koordinator guide yang berdiri di sekitar tiket box menanyakan asal kami, dan ketika kami menyebutkan Indnesia, salah seorang di antara mereka langsung mengajukan diri dengan penih semangat. ternyata guide tersebut mempunyai kedekatan rasa dengan Indonesia. Almarhum ayahnya pernah bertugas ke Indonesia pada masa penjajahan Jepang, dan beliau kerap bercerita tentang beberapa kota di Indonesia yang pernah dikunjungi kepada anak-anaknya.

Setelah membeli ticket, untuk masuk ke kawasan istana pengnjung harus melewati gerbang besar, yang di sisi dalam sebelah kirinya terdapat patung penjaga berbaju zirah penuh warna. Di halaman juga ada beberapa orang-orang yang menggunakan baju tradisional, lengkap dengan kipas dan senjata, yang bisa diajak foto bersama dengan aneka gaya. Jasa yang mereka berikan merupakan bagian dari service yang sudah termasuk harga tiket.

Untuk masuk ke dalam istana, setiap pengunjung harus menggunakan sandal khusus, sandal yang biasa digunakan penduduk jepang saat di rumah. Bahagian atasnya berbahan rajut. Sepertinya untuk menjaga kelestarian lantai-lantai istana yang terbuat dari kayu, sandal tersebut juga untuk melindungi kaki pengunjung dari rasa dingin, dan licinnya anak tangga yang di beberapa bahagian sangat curam.

Apa istimewanya Istana Matsumoto sehingga diriku merasa perlu dibela-belain mengunjunginya…?

@ Matsumoto Castle

Istana Matsumoto yang termasuk Japan National Heritage dibangun pada tahun 1594. Salah satu dari sedikit istana peninggalan sebelum Zaman Edo yang masih tersisa. Istana dengan tampak luar berwarna hitam, kerap disebut sebagai Istana Gagak, mempunyai menara utama yang terdiri dari 6 lantai.

Bagian dalam Matsumoto Castel dan pemandangan dari lantai 4

Meski dari luar terlihat besar, ternyata menara utama istana ini relatif kecil, dengan tangga-tangga yang sangat curam menghubungkan lantai demi lantai. Seluruh bangunan menara utama ini terbuat dari kayu, dengan tiang-tiang penyangga berbentuk balok. Lantai dasar benteng terdiri dari panggung berketinggian sekitar 30 cm, dengan lorong-lorong di sekitarnya. Lorong-lorong ini berfungsi sebagai “Musha Bashiri” alias warrior running passage, lorong tempat para prajurit berlari-lari sambila membawa pedang. Bekas goresan pedang terlihat pada kayu-kayu yang ada di lantai tersebut.

Setiap lantai di menara utama, kecuali lantai 3, mempunyai dinding-dinding berjendela, yang digunakan sebagai tempat senjata untuk melawan musuh. Ada 2 bentuk jendela di menara utama, yaitu Yazama dan Teppozama. Yazama adalah jendela berbentuk persegi pajang, yang digunakan untuk menembakkan anak-anak panah kepada musuh yang menyerbu. Adapun Teppozama adalah jendela berbentuk bujur sangkar, yang digunakan untuk menembakkan peluru dari senapan. Seiring dengan diperkenalkannya senjata api dari Eropa, pada awalnya hanya jendela Yazama yang digunakan. Namun dengan diperkenalkannya senjata api, maka kedua jenis jendela tersebut digunakan secara berkombinasi. .

Apa fungsi lantai 3 yang sama sekali tidak mempunyai jendela? Lantai 3 yang merupakan “attic” atau ruang bawah atap lantai 2, digunakan sebagai tempat menyimpan perbekalan makanan, bubuk mesiu dan perbekalan senjata. Ketidakadaan jendela di lantai 3 menyebabkan menara utama di istana Matsumoto dari luat terlihat sebagai bangunan 5 lantai. Oleh karenanya, lantai 3 disebut sebagai hidden floor, lantai tersembunyi.

Moon Viewing Wing

Pada lantai teratas atau lantai 6, terdapat Moon-Viewing Wing, alias sayap atau balkon untuk memnadang bulan. Romantisnya bangsawan kerajaan Jepang tempo dulu ya… Balkon ini menghadap ke arah utara, timur dan selatan. Ruangan ini dibangun berdasarkan arahan Naomasa Matsudaira, cucu dari Tokugawa Ieyasu, Shogun pertama dari periode Tokugawa. Saat ini tinggal 2 istana saja yang masih memiliki Moon-Viewing Wing, yaitu istanam Matsumoto dan istana di Kota Okayama , Okayama Perfeture.

Apa yang dipamerkan di dalam menara utama istana Matsumoto? Beberapa koleksi senjata api dan baju zirah. Meski tak banyak koleksi yang dipamerkan, tapi pemandangan dari jendela-jendela yang ada di menara utama istana ini luar biasa indah. Namun ada pembatasan waktu untuk setiap pengunjung atau rombongan pengunjung. Bahkan pengunjung tidak diperkenankan berlama-lama di satu bahagian. Hal ini diterapkan untuk menjaga agar setiap lantai tidak mengalami beban berlebih pada saat yang sama.

Nawate Dori

5. Nawate Dori

Selesai melihat bahagian dalam menara utama Istana Matsumoto, kami menlanjutkan berjalan kaki. Tujuannya ke Nakamachi Dori, sebuah shopping strret untuk wisatawan, yang berjarak sekitar 600 meter Istana Matsumoto. .Tapi di tengah perjalanan kami menemukan Nawate Dori, sebuah jalan yang panjangnya sekitar 100 meter saja, namun di kiri kanannya banyak toko-toko kecil yang menjual berbagai produk yang lucu-lucu, berbentuk kodok. Nawate Dori ditandai dengan patung kodok bergaya ala ninja di salah satu dudut di pangkal jalan.

Klo aku bilang siyy.. Nawate Dori itu Keroppi District.. Hehehehe.. Buat teman-teman remaja putri di tahun 1980-an dan senang dengan berbagai produk dengan merk Sanrio, teman-teman pasti kenal dengan character Hello Kitty, Littlre Twin Star, My Melody, Tuxedo Sam, dan si kodok ijo Keroppi.

Selain menjual aneka produk berbentuk kodok, di Nawate Dori juga menjual kaus kaki, totte bag, payung yang cantik-cantik, juga aneka jajanan khas Jepang. Tapi soal jajanan di Jepang, harus hati-hati memang, karena tak banyak outlet yang menjual makanan bersertifikasi halal.

Di samping Nawate Dori juga terdapat Yohashira Shrine tempat beribadah umat Shinto, dengan gerbang yang tinggi menghadap ke sungai yang berada di balik salah satu deretan toko-toko kecil di Nawate Dori. Di shrine ini juga banyak merpati, yang segera beterbangan ketika genta yang ada di salah satu pojok shrine diayun.

Dari Nawate Dori, kami membatalkan rencana untuk melanjutkan perjalanan ke Nakamavhi Dori, karena tubuh rasanya sudah lelah, belum makan siang dan, harus mengejar kereta untuk melanjutkan perjalanan ke Toyama. Jadi kami langsung kembali ke Matsumoto Station, dengan berjalan kaki sepanjang 900 meter.

6. Kulineran di Matsumoto

Soba dan kedai modern

Tak mudah menemukan makanan halal di Matsumoto. Apa lagi di siang menjelang sore, saat resto2 pada tutup untuk rehat siang. Beberapa teman memilih untuk membeli roti, sementara buat aku dan kak Vivi rasanya roti tidak cukup. Kami butuh makan berat dan hangat. Udah capek jalan seharian… Mana udara dingin pula.. 😀 😀 😀

Di samping Matsumoto Station kami menemukan Soba Ogiso Mill Matsumoto Ekimae, kedai yang menjual soba, makanan khas Jepang. Soba adalah mie yang terbuat dari biji soba, atau gandum kuda (Latin : Fagopyrum esculentum). Soba dihidangkan dengan kuah miso, dengan pilihan miso dingin, atau miso panas. Miso di Jepang tidak sama dengan miso di tempat kita. Miso di Jepang adalah sup yang dibuat dengan menggunakan dashi, kaldu khas Jepang. Di kedai Soba Ogio, pilihan protein untuk menyantap soba adalah ayam, udang atau kerang, no beef. Ini yang membuat diriku merasa aman untuk masuk ke kedai ini. Selain itu di kedai ini juga tersedia kakiage (gorengan sayur iris pakai tepung) dan ubi jalar goreng untuk teman menyantap soba.

So, sore itu semangkok soba panas dengan sepotong kakiage (sayur), pkus segelas ocha panas adalah pilihan ternikmat di udara yang 2 derjaat celcius.. Alhamdulillah..

Meski tak besar, kedai Soba Ogiso Mill Matsumoto Ekimae adalah kedai yang modern. Di kedai ini pembeli melakukan pemesanan di mesin seperti ATM, lengkap dengan pembayaran yang akan direspon mesin dengan mengeluarkan selembar receipt dan uang kembalian, jika ada. Pelayan hanya berada di balik counter, mengolah dan memberikan makanan sesuai yang dipesan pembeli di mesin. Mereka tidak menerima pesanan, tidak juga menerima uang. Jadi kesalahan pesan sepenuhnya tanggung jawab pemesan. Tak juga ada kesalahan pembayaran, karena tidak ada kasir di sini. Tempat menikmati makanan di sini, hanya meja kayu yang menempel di dinding toko, dan kursinya berupa bangku-bangku kayu. Jumlah tempat duduk di kedai ini juga terbatas. Setelah selesai makan, pembeli yang makan di tempat menyerahkan kembali baki yang berisi piring dan gelasbekas makan kepada pelayang yang berdiri di balik counter. Minimalis, tapi keren, menurut diriku.

Selesai makan siang yang sangat telat, kami mengambil koper di locker, lalu melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, ke Kota Toyama. ***

Pasar Merah di Siak

Ini lanjutan dari tulisanku beberapa bulan yang lalu tentang perjalanan ke Kota Siak Sri Indrapura, kota kecil di tepian Sungai Jantan atau Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia.  Kota ini merupakan ibukota Kabupaten Siak, salah satu kabupaten penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia beberapa dekade ini (Baca : Berkapal ke Siak).

Kunjungan pada pertengahan Februari 2017  bukan kunjungan pertama bagi diriku.  Entah kunjungan yang keberapa diriku tak ingat.  😀 (Baca : Ke Siak Sri Indrapura (Lagi…..!!!)Having Lunch di Siak,  dan Muter2 di Siak).  Lalu apa istimewanya kunjungan kali ini? Kunjungan kali ini, yang diriku lakukan bersama Wati, teman kuliahku di Kampus Rakyat, bertujuan untuk menikmati perayaan Cap Go Mei di   Siak, di pasar yang merupakan Chinatown alias Pecinan Siak.  Kenapa di Siak?  Karena Wati yang senang motret ingin hunting foto di daerah Pecinan yang justru belum banyak diliput, gak kayak di Singkawang, yang sudah jadi mainstream bagi para pecinta fotografi.

Pasar Merah - Klenteng Hock Siu Kong

Upper Left :  Tandu Sang Dewa, Upper Rght : Tatung, Bottom : The Gate of Hock Siu Kong with Sungai Jantan as view

Pecinan di Kota Siak Sri Indrapura berada di Jalan Sultan Ismail, di tepi sungai.  Berdampingan dengan komplek istana peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura.  Lokasi Pecinan ini berhadapa-hadapan dengan bangunan benteng peninggalan Belanda, yang berada di seberang sungai.   Di Pecinan ini terdapat Klenteng Hock Siu Kong, yang berdiri sejak tahun 1898.  Klenteng yang menjadi pusat aktivitas ibadah dan budaya masyarakat Cina di Siak.

Bagaimana bisa Pecinan mempunyai lokasi yang begitu strategis? Menurut salah seorang pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Siak, yang secara tak sengaja bertemu di salah satu kedai kopi di Siak, Kawasan Pasar Siak merupakan wilayah yang diberikan Sultan  Siak kepada pedagang yang datang dari Negeri Cina.  Pedagang yang sengaja diundang Sultan untuk menetap di Siak untuk mengajarkan rakyatnya bagaimana cara berdagang.  Selain untuk memudahkan masyarakat mendapatkan berbagai kebutuhan yang perlu didatangkan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri.  Sebagai bentuk apresiasi, sekaligus untuk memudahkan memantau pendatang dari Negeri Cina, Sultan memberikan lahan di tepi sungai bagi mereka.  Sultan yang berwawasan luas, dan menghargai keragaman.

Pasar Merah - Pecinan

Deretan Rumah Toko Berwarna Merah, dan keranjang khas Chinesse

Beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka meningkatkan pariwisata daerah, Pemerintah Kabupaten Siak semakin berupaya  mengangkat warisan budaya (heritage) kerajaan Siak Sri Indrapura  menjadi daya tarik wisata, termasuk juga kawasan Pecinan.   Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Siak adalah menata kawasan Pecinan, sekaligus membangun turap di tepi sungai untuk tempat masyarakat menikmati indahnya tepian sungai.    Pemerintah juga  memfasilitasi para pemilik rumah toko di kawasan pecinan  untuk mencat bangunan mereka dengan warna merah, dan  kombinasi hijau dan kuning sebagi penambah cantik.

Pasar Merah - Turap Siak

Kawasan Turap Tepian Sungai Jantan

Kawasan yang berwarna merah memang sungguh memikat mata, dan luar biasa menarik untuk difoto.  Kecantikan kawasan ini semakin menawan saat senja dan malam tiba, ketika lampion-lampion menyala.  Lampion-lampion yang bergantungan di langit-langit  emperan toko dan pada tali-tali yang dibentang di atas jalan raya.

Pasar Merah - Lampion

The Lampions

Selain menikmati kecantikan kawasan Pecinan yang merah, apa lagi yang bisa dinikmati  di sini? Kuliner, pastinya.  Kuliner khas Chinesse, berupa mie, kwetiau dan bihun, yang bercampur cita rasa Melayu dan Sumatera Barat  banyak dihidangkan di kedai-kedai kopi, yang merupakan budaya di hampir seluruh wilayah Pesisir Timur Sumatera.  Untuk makan berat, kita bisa menikmati aneka masakan dengan bahan ikan sungai dan udang galah.  Menurut pejabat yang sempat ngobrol dengan diriku itu, tak ada kedai kopi di Siak yang menjual makanan tak halal.  Tapi mengingat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan wajibnya mengkonsumsi makanan halal,  selain membina peningkatan kualitas dan keragaman kuliner khas daerah,  kiranya Pemerintah juga perlu memfasilitasi kedai-kedai kopi di kawasan Pecinan untuk mendapatkan sertifikat halal dari instansi yang berkompeten untuk menerbitkannya.

Oh ya, apa lagi yang aku temukan saat mutar-mutar dari pagi sampai malam di kawasan Pecinan di Siak saat perayaan Cap Go Mei?  Ya, keragaman agama dan budaya yang saling menghargai.  Arak-arakan barongsai yang sejak pagi mengelilingi Pecinan, berkunjung ke rumah-rumah toko untuk mengusir roh jahat, mengundang roh baik, mengirim doa-doa, meyalakan petasan,  diistirahatkan saat azan berkumandang di Masjid Raya Syahbuddin Siak yang berada di kawasan Pecinan.   Arak-arakan dilanjutkan setelah adzan dan waktu sholat dzuhur usai.  Kehidupan bertoleransi yang indah.

Pasar Merah - Masjid Raya Syahbuddin 1

Masjid Raya Syahbuddin, dengan lampion-lampion di latar depan

Mari berkunjung ke Siak, teman-teman.  Mari menikmati keagungan warisan budaya Kerajaan Siak serta keragaman yang telah hadir di negeri ini sejak berabad yang lalu..***

Kampoeng Sasirangan

Seperti kita tahu Indonesia adalah surga di Khatulistiwa.  Penuh keragaman, bukan hanya flora dan fauna, tapi juga suku dan budaya. Teknologi sebagai salah satu unsur kebudayaan suatu etnis, antara lain tercermin dari kain tradisional.

Di Indonesia, umumnya kain tradisional merupakan hasil tenun, hasil mbatik,  dan hasil ikat  celup (tie dye).

wp-image-574674184jpg.jpgDi daerah luar Pulau Jawa, umumnya kain tradisional adalah hasil tenun, misalnya ulos hasil karya halak Batak, tenun Silungkang karya urang Minang, tenun Siak karya anak Melayu, songket Palembang karya Wong Kito  Galoh,  Tapis dari Lampung, sarung Samarinda karya perantau Bugis yang tinggal di Samarinda, juga tenun karya etnis Sasak dari Lombok.  Tekniknya berupa menyusun helai demi helai benang menjadi lembaran-lenbaran kain, dengan berbagai motif dan hiasnya, dengan bantuan alat tenun bukan mesin.

Mbatik adalah teknik menghias kain, dengan menggunakan canting dan malam,  bukan membuat kain.  Canting alat untuk menorehkan malam atau lilin pada kain, untuk membentuk garis dan pola-pola yang ingin ditampilkan, untuk kemudian dicelup dalam larutan pewarna.

Mbatik sebenarnya budaya Jawa, namun seiring dengan ditetapkannya batik sebagai World Heritage, dan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Internasional, penggunaan batik menjadi booming.  Memakai batik menjadi trend, bahkan menjadi pakaian kerja di berbagai perusahaan dan instansi pemerintah.  Lalu hampir semua daerah di Indonesia, meski tidak punya budaya mbatik, membuat batik dengan motif khas daerah.  Karena bukan bahagian dari budaya, tidak mudah membangun sentra batik di luar Jawa.  Oleh karenanya, banyak daerah di luar Pulau Jawa yang ingin membuat batik dengan motif khas daerah  melakukan pembuatan di sentra-sentra produksi Batik, seperti Pekalongan.

Teknik menghias kain yang lain lagi adalah tie dye, ikat celup.  Daerah di Indonesia yang terkenal dengan kriya tie dye adalah Palembang dengan kain Jumputan, dan Kalimantan Selatan dengan kain Sasirangan.

kampoeng-sasirangan1

Kampoeng Sasirangan – Sasirangan

Pada perjalanan ke Banjarmasin tanggal 13 – 15  Desember 2016 yang lalu, diriku sempat berkunjung ke kawasan di tepian sungai Martapura yang menjadi sentra produksi sasirangan, yang bernama Kampoeng Sasirangan.  Lokasinya di Jalan Simpang Sungai  Mesa Kabel, gak jauh dari  jembatan di Jalan Pahlawan Perintis Kemerdekaan yang melintasi Sungai Martapura.

Di daerah ini, kain-kain sasirangan di jual di rumah-rumah penduduk. Rumah-rumah papan khas tepian.  Seandainya ditata dengan lebih baik, kawasan ini akan bisa menjadi tujuan wisata, karena sentra produksi sasirangan bisa menjadi daya tarik.  Aku jadi ngebayangin betapa asyiknya bila setelah atau sebelum keluar masuk rumah-rumah yang menjual sasirangan, pengunjung bisa duduk-duduk di tepian sungai menikmati kuliner khas banjar yang terkenal nyaman (Bahasa Banjar : nyaman = enak).

Umumnya yang menjual kain sasirangan di daerah ini membuat sendiri barang dagangannya.  Jadi antara satu pedagang dengan pedagang yang lain warna, desain tie dye -nya tidak sama.  Bahkan pada penjual atau pembuat yang sama, belum tentu ada sasirangan yang persis sama.  Mengapa bisa begitu ? Karena meski ada pola yang disiapkan, sasirangan yang merupakan handmade bisa berbeda akibat kekuatan ikatan, lama perendaman dan berbagai faktor lain yang berpengaruh dalam proses pembuatan.

Penjual sasirangan yang daku datangi di tempat situ memberi nama tokonya Rose Sasirangan.  Penjualnya ramah dan baik hati.  Bahkan dia menunjukkan bagaimana cara membuat sasirangan.

kampoeng-sasirangan

Cara membuat sasirangan

Jadi untuk membuat sasirangan, pengrajin mengambar pola-pola yang ingin dibuat di kain berwarna putih.  Lalu pengrajin menjahitkan benang pada garis-garis yang sudah digambar di kain,   Lalu benang-benang itu ditarik, sehingga membentuk puntalan-puntalan kain.  Puntalan-puntalan tersebut lalu dililit pakai karet gelang sampai tertutup rapat, sehingga tidak terkena cairan pewarna saat dicelup.

Saat melihat-lihat sasirangan yang dijual di Rose Sasirangan, duhhh rasanya mabok.. Kain-kain dan kerudung yang dijual cantik-cantik banget.  Bingung mana yang mau dibawa pulang.  😀 Berapaan harganya?  Lupa berapa persisnya.  Klo gak salah yang bahannya sutra sekitar Rp.250.000,-, yang bahannya katun sekitar Rp.150.000,-an.  Kalau kerudung, harganya sekitar Rp.50.000,-an.

Btw, sasirangan yang aku beli di Kampoeng Sasirangan itu bukan sasirangan pertamaku.  Sasirangan pertamaku pemberian dari kak Sartidja, oleh-oleh beliau saat mudik ke kampung leluhurnya di Kalimantan Selatan beberapa tahun yang lalu..

Buat teman-teman yang berkunjung ke Banjarmasin, jangan cuma nyari permata yaaa.  Cari juga sasirangan, salah satu kekayaan budaya bangsa kita. Beli yang banyak. Kirim ke aku satu. 😀  Wajib beli yaa, karena  kalau bukan kita, siapa lagi yang mengapresiasi dan mencintai karya anak bangsa, dan juga budaya negeri kita.  ***

Kuliner Sipirok

Akhir pekan tanggal 13 – 15 Januari 2017, diriku ke Sipirok, lagi. Padahal  tanggal 29 Desember 2016 sampai dengan 02 Januari 2017 yang lalu diriku juga ke Sipirok buat libur akhir tahun dengan keluarga.  Ngapain bulak balik ke Sipirok?  😀  Kalau dipikir capek, memang sihh pergi yang pertama belum hilang capeknya.  Tapi kali ini aku pergi menemani kakakku  Lintje buat ziarah ke Sibadoar.  Lagian, kalau urusan pulang ke Sipirok kayaknya rasa capek gak ada.  Hihihihi. Padahal pinggang berdenyut-denyut nihhh !!

Oh ya, buat teman-teman ketahui, Sipirok itu adalah nama kecamatan, yang terdiri dari  6 kelurahan dan 34 desa.  Kalau diriku dan keluarga pulang ke Sipirok, itu artinya kami pulang ke rumah peninggalan ompung kami dari pihak Papa, yang berlokasi di Pasar Sipirok, kelurahan yang menjadi pusat Kecamatan Sipirok.  Di Pasar Sipirok tersebut berada kantor Kecamatan Sipirok, kantor Polsek Sipirok, kantor Koramil Sipirok, kantor Kejaksaan Sipirok, sekolah dari tingkat SD, SMP, SMA dan SMK, juga pasar serta pusat aktivitas ekonomi masyarakat di Kecamatan Sipirok.  Kampung leluhurku dari pihak  Papa yang bermarga Siregar adalah Desa Sibadoar, 3 km ke arah Timur Laut dari Pasar Sipirok.  Sedangkan kampung asal leluhur Mama yang bermarga Harahap adalah Desa Hanopan, 16 km ke arah Timur Laut dari Pasar Sipirok.   Jadi jangan bingung dengan istilah Sipirok, dan Pasar Sipirok ya teman-teman.

Oleh-oleh dari perjalanan kali ini, diriku ingin cerita tentang kuliner Sipirok. Topik tentang Kuliner Sipirok dengan scope yang lebih kecil, Panganan Khas Sipirok, pernah diriku bahas sebelumnya, namun tulisan kali ini scopenya lebih luas, tidak cuma tentang kue-kuean, tapi juga tentang makanan, lauk pauk dan sayuran.

Kita mulai dari kue-kuean dulu yaaa.

penjual-kue-sipirok

Panggelong Apri hasibuan dan Pedagang kue di Pasar

Dulu saat saya masih bocah cilik, kue-kue di daerah Pasar Sipirok hanya dijual pada hari Kamis, hari pasar di  Pasar Sipirok.  Poken Kamis, demikian masyarakat menyebutnya.

Poken Kamis adalah pasar terbesar, teramai di Kecamatan Sipirok.  Para pedagang dan pembeli dari berbagai kelurahan dan desa di Sipirok tumplek blek di sini, bikin macet sampai sekitar jam 2 siang.  Hari lain tetap ada pasar di Pasar Sipirok, tapi hanya sekedar  menyediakan kebutuhan harian penduduk di sekitar Pasar Sipirok.  Pasar yang agak ramai berlangsung secara bergilir tiap hari di  kelurahan atau desa di Kecamatan Sipirok.  Misalnya pada hari rabu, pasar yang disebut Poken Arba (Pasar Rabu dalam bahasa Batak Angkola) berlangsung di Desa Arse, sebuah desa yang berjarak 14 km di Timur Laut Pasar Sipirok.  Desa yang gak jauh dari Hanopan, kampung leluhurku dari pihak Mama.

Tapi sekarang tiap hari ada yang menjual kue-kue tradisional khas Sipirok.  Ada yang menjual di pasar, dan juga ada di dua warung atau toko kecil  di jalan lintas Padang Sidempuan – Tarutung.  Pedagang petama, Panggelong Apri Hasibuan, di jalan Tarutung No. 52 Banjar Toba, Sipirok.  Pedagang yang kedua (maaf gak sempat motret warung dan mencatat namanya), lokasinya sekitar 1 km dari Panggelong Hasibuan, dekat masjid Sipirok Godang.

Kue apa saja yang bisa ditemuin di Sipirok?  Sesuai dengan hasil bumi Sipirok, beras, ketan,  dan gula aren atau gula bargot kata orang Sipirok, maka kue-kue khas Sipirok berbahan baku betas atau ketan dengan gula aren ditambah variasi pisang dan kelapa parut atau santan. Apa aja kuenya?

panggelong

Panggelong

Panggelong,  terbuat dari adonan tepung ketan/pulut yang dicampur dengan gula aren, lalu digoremg, lalu dicelup ke cairan gula aren.

golang-golang

Golang-golang

Golang-golang, terbuat dari adonan tepung ketan dengan gula aren, dibuat seperti gelang-gelang kecil, digoreng.

paniaram

Paniaram

Paniaram, campuran tepung beras dan gula aren dipanggang seperti serabi.  Tapi lebih padat, lebih alot.. 😀

Lapet (lepat) beras, adonan tepung beras dengan gula aren dan santan, dibungkus dengan daun pisang, dikukus.  Adonan yang sama ada juga dimasukkan ke dalam bambu yang telas dilapis dengan daun pisang, lalu dibakar, namanya lemang daun.

lapet-pisang

Lapet Pisang

Lapet (lepat) pisang, adonan tepung beras dengan gula pasir dan santan, dikasi irisan pisang, dibungkus dengan daun pisang, lalu dikukus.

itak

Itak pohul pohul

Itak Pohol-pohul.  Ini adalah kue khas orang Batak sekali.  Biasa dihidangkan di acara-acara adat, seperti menyambut bayi yang baru lahir, acara masuk rumah baru, juga  acara penghiburan setelah meninggalnya anggota keluarga.  Itak terbuat dari tepung beras yang dikukus sebentar, lalu dicampur dengan irisan gula aren dan kelapa parut, dibentuk dengan cara digenggam kuat-kuat sehingga berbentuk kepalan tangan, lalu dikukus.

Kembang loyang manis/asin.  Kembang loyang adalah adonan tepung beras.  Untuk yang manis dicampur dengan gula pasir dan wijen.  Selanjutnya cetakan berbentu kembang yang diberi tangkai dicelupkan ke adonan tersebut, sehingga adonan menempel, kemudian cetakan tersebut dimasukkan ke penggorengan yang sudah berisi minyak panas.  Adonan yang masak akan lepas dari cetakan dan membentuk kue yang berbentuk kembang.  Untuk yang rasanya asin, adonan tepung beras ditambahkan dengan bumbu-bumbu daun jeruk, daun seledri, ketumbar atau merica, daun jeruk, juga udang halus, seperti membuat adonan bakwan.

Kue angka 8 sangat khas Sipirok, kayaknya gak ada di tempat lain.  Kue ini terbuat dari campuran tepung beras dan tepung ketan juga gula pasir.  Adonan lalu dibuat panjang-panjang dibentuk seperti angka 8, kemudia digoreng.  Setelah dingin, kue dibalur dengan bubuk gula putih, seperti donat.

Selain kue-kue yang sudah disebut di atas, yang selalu ada dalam panganan di Sipirok adalah lomang (lemang) dan wajik, yang keduanya terbuat dari  ketan. Lemang dibuat dari ketan dikasi santan yang dimasukkan ke bambu dilapisi daun pisang,  kemudian dipanggang di atas bara.  Sedangkan wajik dibuat dari ketan yang ditanak dengan gula aren dan santan.   Setelah masak dicetak di nampan yang diaLas dengan daun pisang atau plastik agar tidak lengket.

Sekarang kita bicara tentang makanan utama..

ikan-mas

Ikan mas goreng dan gulai ikan mas

Sesuai dengan lokasi yang jauh dari laut,  alam Sipirok yang pegunungan, membuat sungai-sungainya curam berbatu-batu dan  berair deras sehingga tak banyak ikan.  Ikan hanya ada di tempat-tempat tertentu, di lubuk-lubuk.  Sumber protein masyarakat di Sipirok adalah daging kerbau (Bubalus bubalis)  dan ikan mas (Cyprinus Carpio sp.)  hasil peliharaan di kolam.   Kolam ikan di Sipirok biasanya bukan kolam air deras, tetapi sawah yang yang secara periodikal dialihfungsikan sebagai kolam.  Untuk menghasilkan ikan dengan ukuran yang layak untuk dimakan, dibutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari setahun.  Lama yaakkkk...  Btw, orang Batak kayaknya gak doyan ikan gurame ya?  Entah lahh.  Tapi memang untuk acara-acara adat di masyarakat Batak, ikan yang digunakan ya ikan mas.  Biasanya diarsik.  Hmmm… enak banget… Kata orang-orang sangkin enaknya, mertua lewat gak keliatan.   Ya, enggak keliatan laahh, wong saat nikah sama anaknya mertua udah gak ada.  😀 😀

olahan-kerbau

Sup tulang kerbau dan daging panggang

Untuk daging, enggak tahu kenapa di Sipirok adanya daging kerbau. Termasuk untuk dipotong pada acara-acara adat.   Yang dipelihara orang-orang juga kerbau.  Untuk penyediaan daging kerbau di Pasar Sipirok, biasanya dilakukan oleh keluarga Pardede, yang sudah jadi Partiga-tiga Juhut di Sipirok dari generasi ke generasi.  Tiga itu artinya pasar, partiga-tiga artinya pedagang, juhut artinya daging.  Partiga-tiga Juhut artinya pedagang daging.

Kerbau diolah menjadi masakan apa di Sipirok? Karena udara yang dingin, di Sipirok tulang dan daging kerbau biasanya dijadikan sup.  Aihhh jadi ingat saat-saat pulang kampung ketika masih kecil.  Sup adalah menu yang wajib hadir di meja makan di rumah Opung.  Sup daging dengan kentang dan wortel mengepul-ngepul.  Nikmat banget  !!  Nah di salah satu rumah makan yang terkenal dan sangat representatif di Sipirok, Rumah makan Siang malam, daging kerbau dipanggang, lalu dimasak asam pedas pekat dengan irisan bawang dan tomat yang banyak. Enaknya, gila !!!  Bikin nagih. Sedangkan tulang kerbau dibikin sup, bahkan sumsum yang di bagian engsel, bisa dinikmati dengan menggunakan sedotan.  Tapi menu yang satu ini saya gak makan.  Takut kolesterol !

gulai-daun-ubi-tumbuk

Gulai Daun Ubi Tumbuk

Bagaimana dengan menu sayurnya? Yang selalu hadir di meja makan di rumah-rumah di Sipirok adalah sayur bolgang alias sayur rebus, yang terdiri dari berbagai macam sayur.  Daun singkong, rimbang, terong ijo dan lain-lain dicampur jadi satu.  Rasanya enak, karena sayur-sayur tersebut biasanya baru dipetik.  Bahkan dulu di rumah Ompung, ketika akan masak,  baru sayur dipetik di kebun  milik Ompung di daerah Pasar Malam, yang gak jauh dari rumah.

Selain sayur bolgang, menu sayur yang menjadi trade mark orang Batak adalah Gulai Daun Ubi Tumbuk.  Gulai ini dibuat dari daun ubi muda alias bagian pucuk, ditambah dengan rimbang, honje atau kecombrang (Etlingera elatior) ditumbuk sampai setengah halus di alu yang terbuat dari kayu.  Kalau almarhum Mama bahkan menambahkan daun pepaya muda pada campuran tersebut.  Untuk meningkatkan  daya tahan tubuh, menurut beliau.  Setelah setengah hancur, campuran sayur tersebut dimasak dengan santan dan ditambahkan dengan ikan salai atau ikan asap.  Jangan tanya rasanya.  Juaaarrrraaaaa  !!!!

Kok jadi bikin pengen pulang kampung lagi yaaa ?? Padahal badan masih belum hilang pegalnya.  😀  ***

Lok Baintan, The Genuine Floating Market

Di minggu ketiga Desember 2016, tepatnya tanggal 13 – 15, diriku mendapat kesempatan berkunjung ke Kota Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Kami berangkat ke Banjarmasin tanggal 13 sore jam 15an WIB, sampai di Banjarmasin jam 22.30 WITA.  Kenapa milih penerbangan sore?  Karena dari hasil surfing di internet, tiket pesawat Pekanbaru – Banjarmasi pp yang total waktu perjalanan relatif singkat, menggunakan  maskapai terbaik di Indonesia,  dan harga tiket yang masuk rentang budget tersedia, ada di sore hari.  Tiket untuk jalur yang sama, penerbangan pagi,  harganya hampir dua kali lipat.  Dari waktu yang tersedia, kami memutuskan untuk menyelesaikan tugas pada tanggal 14, lalu pada tanggal 15, sebelum pulang dengan pesawat sore kami menyempatkan untuk ke Lok Baintan.
Teman-teman pernah dengar frasa Lok Baintan?

Kalo kita tanya mbah Google, dalam 0,36 detik, ada 38.800 web yang memuat frasa Lok Baintan. What a populat phrase !!

lok-baintan

Lok Baintan

Lok Baintan adalah nama daerah yang dilalui oleh Sungai Martapura, di Kalimantan Selatan. Sungai Martapura dengar lebar sekitar 100 – 200 meter berhilir di Sungai Barito, sungai terlebar di Indonesia.  Di daerah ini sungai adalah sarana transportasi, jalan raya. Banyak rumah masyarakat menghadap sungai, juga warung dan toko-toko lokal.  Sungai adalah pusat aktivitas masyarakat. Sungai juga menjadi tempat bertemu masyarakat dan melakukan jual beli. Mereka melakukannya dari atas perahu yang menjadi kendaraan mereka. Mereka membentuk pasar yang mobile di sungai, pasar terapung.  Kalau teman-teman ingat tayangan RCTI sejak tahun 1990an yang menunjukkan ada pasar terapung, yaaa itulah Lok Baintan…

Info dari supir mobil rental yang mengantar kami selama di Banjarmasin, ada dua pasar terapung di kota ini. Pasar Terapung Lok Baintan dan Pasar Terapung Siring. Pasar Terapung Siring berlangsung di Sungai Martapura di ruas pusat kota Banjarmasin. Pasar ini hanya ada pada akhir pekan, dan di tepian lokasi pasar terapung ini ada menara pandang tempat pengunjung bisa menikmati pemandangan pasar dari atas.  Adapun Pasar Terapung Lok Baintan berlangsung setiap hari, karena memang merupakan aktivitas masyarakat. Their nature. Itu lah sebabnya diriku menyebut Lok Baintan sebagai The Genuime Floating  Market. Pasar Terapung yg asli…!!!

Dua Floating Market yang pernah saya kunjungi sebelumnya adalah Damnoen Saduak, berlokasi 95 km barat daya Kota Bangkok di Thailand, atau sekitar 1.5 jam perjalanan dengan mobil dari Kota Bangkok, dan Lembang Floating Maket yang berlokasi 17 km di itara Bandung, atau 1 jam 10 menit dengan mengendarai mobil.

Lembang Floating Market jelas an artificial one. Dibuat di sebuah situ, yang masyarakat di sekitarnya tidak punya budaya berperahu, apa lagi melakukan transaksi jual beli di atas air.  Sehingga di Lembang Floating Market yang sesungguhnya adalah pusat jajan yang dibuat sedemian rupa, dimana sebagian pedagangnya jualan di perahu yang di parkir di pinggir situ, pembelinya di daratan. 😃  Buat diriku, Floating Market-nya siyy gak terlalu menarik, tapi tempe mendoan dan combro yang dijual di situ, reseuuuppp. 👍

damnoen-saduak1

Damnoen Saduak Floating Market

Damoen Saduak Floating Market, sepertinya juga agak-agak artifisial. Kenapa? Karena sungainya hanya kanal-kanal yang berbentuk grid.  Lebar kanal hanya sekitar 2 meter.   Kalo lagi ramai, bisa macet karena penumpukan arus. Bahkan perahunya sampai berdempet-dempetan.  Barang yang dijual di sini sepenuhnya souvenier buat para turis, buah-buahan dan kuliner.  Penjual ada yang di atas perahu, ada yang di toko-toko kecil yang berderet -deret rapi di tepi kanal. Bahkan di tepi kanal juga ada eye catcher, seorang lelaki muda duduk berkalung ular besar berwarna kuning.  Sereeeemmmm!

Menurut pikiranku, Pasar Terapung Damnoen Sadduak  memang dibuat sebagai daya tarik wisata yang memanfaatkan potensi lokal,  kanal-kanal yang merupakan “jalan raya” serta masyarakat yang memang terbiasa berperahu untuk mobilitas mereka. Pengunjung bisa naik perahu yang didayung secara manual, dengan biaya klo gak salah ingat 150 Thailand Bath per orang, atau setara dengan Rp.56.120,-

Oh ya, selain lelaki berkalung ular, heboh karena traffic jump di kanal-kanal, yang diriku ingat dari Damnoen Sadduak adalah es kopyor yg enak banget, dihidangkan dalam batok kelapa muda,  dijual di salah satu los di tepian. 👍

Kembali ke Lok Baintan…

klotok

Klotok

Untuk sampai ke Lok Baintan  butuh usaha, karena jaraknya 16 km  atau waktu tempuh 45 menit ke arah hulu,  menggunakan klotok, sejenis perahu beratap rendah, kapasitas 8 orang.  Perahu ini menggunakan mesin untuk bergerak, bunyi mesinnya tok klotok klotok.  😀

Dan katena pasar terapung Lok Banutan berlangsung setelah subuh sampai sekitar jam 8 pagi, untuk bisa melihat pasar terapung Lok Baintan, pengunjung harus berangkat dari tepian di Banjarmasin setelah subuh.  Artinya berangkat dari hotel sebelum subuh.  Jam 4.00 pagi. Maling juga kalah..😀

Kebetulan pak Tezar, pemilik mobil yang kami sewa punya kenalan pemilik klotok yang biasa membawa pengunjung  pasar terapung. Beliau memberikan nomor telepon pak Adriani pemilik klotok yang bersandar di depan Warung Soto pak Amat di bawah jembatan di tengah kota Banjarmasin dan telpon pak Hajun pemilik klotok yang bersandar di depan Masjid Sultan Suriansyah.  Kami memilih untuk memesan klotok pak Adriani, karena paling mudah diakses dari hotel tempat kami menginap, jaraknya hanya 6.5 km atau waktu tempuh 16 menit.  Sedangkan ke dermaga masjid Suriansyah jaraknya 10 km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.  Berapa harga sewa kelotok?  Menurut info pak supir sekitar  Rp.350.000,- Rp.450.000,- per round trip, alias pulang pergi.  Tapi dengan pak Adriani, kami dikasi harga Ro.250.000,- pulang pergi. Oh ya, kalau teman-teman mau pergi, mesan klotok harus satu hari sebelumnya.  Jangan nyari klotok subuh-subuh di tepian, belum tentu ada.

Jadilah tanggal 15 Desember pagi sebelum subuh, kami sudah bergerak ke warung soto pak Amat di pinggir  Sungai Martapura. Sebelum naik ke klotok pak Adriani, sholat subuh dilakukan di mushala tak jauh dari warung soto.

Klotok milik pak Adriani, sebagaimana klotok-klotok lain yang mundar mandir di Sungai Martapura, adalah perahu beratap rendah, yang untuk masuk kita harus merunduk, dan untuk bergerak di dalamnya kita harus berjalan dengan.menggunakan lutut. 😓  Hanya pada dua bagian perahu  kita berdiri tegak, di haluan dan buritan.  Secara berada dalam ruang beratap rendah selalu menghadirkan rasa terkungkung bagi diriku, aku memilih duduk di buritan klotok, menikmati angin menyapa diri, sambil mengamati fenomena tepian yang samar-samar di subuh hari.

lok-baintan2

@ Lok Baintan Floating Market

Setelah perjalanan selama hampir 45 menit, dan matahari mulai naik di timur, kami melintas di bawah sebuah cable bridge. Dari situ kami mulai melihat  satu per satu perahu hadir.  Hampir semua perahu dikendarai oleh satu orang, dan itu perempuan.

Melihat kedatangan klotok yang kami tumpangi, para pedagang berperahu datang menghampiri, menawarkan dagangan-dagangan mereka. Apa yang mereka tawarkan?

Bermacam-macam barang dagangan.  Ada sayuran hijau, ada singkong, petai dan jengkol.  Ada buah-buahan lokal, yang beberapa tak pernah diriku lihat sebelumnya, seperti  buah mentega (bentuknya bulat dengan warna kulit agak merah jambu, rasanya so creamy),  buah yang warnanya merah seperti buah renda, tapi isinya seperti manggis, manis.  Ada juga buah seperti mangga yang banyak dijual di parapat, berserat, rasanya manis.  Ada jeruk yang besar, seperti jeruk bali.

lok-baintan1

Pedagang @ Lok Baintan

Apa lagi yang dijual? Berbagai macam makanan dan wadai alias kue-kue khas Banjar, seperti pais (lepat pisang dan kelapa parut),  pundut (semacam lontong yang dimakan dengan sambal udang halus), bingka, dan entah apa lagi. Bahkan ada pedagang yang menjual gorengan dengan membawa kompor lengkap dengan tabung gas warna ijo di perahunya.  Pokoknya bikin panik pengunjung yang tukang makan seperti diriku, karena gak tau mana yang mau dibeli dan dimakan. Semua bikin ngiler!! 😂😂😂

Oh ya, bagi pengunjung yang berbelanja cukup banyak dan butuh wadah buat bawa belanjaan pulang, para pedagang berperahu menyediakan keranjang anyaman yang dihargai Rp.5.000,- per buah untuk ukuran kecil dan Rp.10.000,- per buah untuk ukuran besar.  Kalau di Tapanuli keranjang seperti yang dijual di Pasar terapung Lok Baintan ini disebut hadangan. Biasanya dipakai buat bawa beras ke acara-acara adat, seperti acara duka cita dan pesta pernikahan.

wp-image-859196616jpg.jpg
Diriku membeli sebuah keranjang ukuran besar untuk membawa buah-buahan yang unik dan gak ada di Pekanbaru sebagai oleh-oleh. Alhamdulillah keranjangnya cukup kuat ditenteng 2 kali  naik turun pesawat, karena transit.  Meski saat duduk di ruang tunggu bandara sempat dengar orang-orang duduk di sekitar diriku bertanya siapa yang bawa buah apa, yang baunya semilir-semilir tercium wangi..  😊

Oh ya, di Pasar Terapung Lok Baintan para pedagang menawari pengunjung untuk naik perahu, merasakan berkeliling, ikut berjualan di perahu.  Agar bisa difoto oleh travelmate kita. Iya, yang moto teman kita, atau bisa juga dengan bantuan tongsis, karena di sini belum ada penyedia jasa motret di atas perahu. 😃  Berapa yang harus dibayar untuk ikut berperahu?   “Terserah ibu saja” jawab pengendara perahu saat ditanya. Tapi dari pengamatan di lapangan, rata-rata pemgunjung membayar Rp.25.000,- per orang. Untuk berapa lama? Gak ada aturan resmi. Umumnya 10 – 30 menit.

Setelah menikmati suasana pasar terapung sekitar 2.5 jam, naik perahu, belanja buah-buahan dan berbagai makanan, pak Adrini pengemudi klotok yang kami tumpangi menguatkan tenaga klotoknya, bergerak ke arah kami tadi datang. Ya, saatnya untuk pulang.

Selama perjalanan pulang, diriku tetap berdiri di buritan kapal, menyandar ke pingguran atap klotok.   Menikmati suara riak air, hembusan angin dan pemandangan pemukiman di sepanjang tepian.  Sungguh semuanya memberikan kesejukan bagi bathin ini yang selalu rindu dengan hal-hal yang natural, alami.

Sebagai catatan, saat kami ke Lok Baintan, meski tidak di hari libur, cukup banyak pemgunjung. Ada sekitar 10 klotok.  Ada turis dari Inggris yang  ngobrol dengan ku saat klotok kami sempat berdampingan, dan dari bahasa yang terdengar juga ada turis Malaysia.  Artinya, Pasar Terapung Lok Baintan  ini meski secara akses butuh perjuangan untuk dicapai, tapi peminatnya banyak. Bagi diriku  justru lokasinya yang remote, ada sensasi menyusuri sungai dengan klotok jadi nilai tambah, mungkin begitu juga  bagi para wisatawan lain.

So, bagi daerah yang daya tarik wisatanya berada di lokasi yang cukup remote, selagi ada kendaraan yang nyaman yang bisa digunakan oleh para wisatawan, perjalanannya juga punya daya tarik tersendiri, tetaplah bersemangat untuk mengembangkannya. Karena keterbatasan justru bisa menjadi tantangan yang menarik bagi para traveller.. ***

#lokbaintan #martapura #banjarmasin #kalimantanselatan #southborneo #floatingmarket #pasarterapung

Penang Trip, 1st Day

Setelah melakukan berbagai persiapan di sela-sela kesibukan kerja…  Akhirnya tanggal 6 Februari 2016 Perjalanan ke Penang pun dimulai…  Ceritanya dimulai dari keberangkatan dari Medan aja yaa…  Gak usah dari Pekanbaru, kepanjangan… 😀

Menurut schedule, Air Asia QZ106 yang aku, Papa dan adikku Ivo tumpangi akan berangkat jam 07.30. WIB, berarti kami sudah harus di bandara jam 05.00-an WIB.  Secara bandara Kualanamu lumayan jauh dari rumah kami di daerah Medan Baru, kami memutuskan untuk ke bandara dengan  Railink, kereta api yang khusus melayani rute Stasiun Merdeka Medan – Bandara Kualanamu pp.  Kasihan kan ponakanku Aldy kalau terkantuk-kantuk di jalan karena harus mengantar kami sebelum subuh…  Terlalu beresiko..  Kalau mau hemat sihh mendingan naik Damri, sebenarnya…  Ongkos Damri dari Carre Four Medan Fair Plaza, yang dekat rumah, ke Kualanamu, kalo gak salah Rp.20.000,- per orang.  Kalau naik kereta api railink, ongkosnya Rp.100.000,- per orang.  Tapi karena berangkatnya subuh, dan ingin lebih safe, kami  memilih naik railink.  Trip yang pertama, jam 04.00 WIB..  Jam berapa dari rumah? Jam 03.15 WIB…  Ayam berkokok aja kalah… 😀

Kami sampai di Kualanamu jam 04.40 WIB.  Karena sudah melakukan online check-in tanggal 5 Februari sebelum tidur, di counter check-in, kami tinggal ambil boarding pass.   Prosedurnya tetap sama, nunjukin kode booking dan nyerahin passpor.  Enaknya zaman sekarang, kita gak perlu nge-print tiket.  Cukup nunjukin kode booking.. Tapi klo di Luar Negeri, paket data kita gak aktif, lupa pula nge-save softcopy tiket, cuma punya kode booking, bisa deg-degan juga… 😀

AA QZ106 berangkat sedikit terlambat…, sekitar 20 menit-an.. Setelah terbang sekitar 45 menit, kami mendarat di Bandara Internasional Bayan Lepas..  Bandaranya rapi…, dan menjelang pintu keluar tersedia rak-rak berisi brosur-brosur tentang obyek wisata, juga kalender wisata Penang.. Kita bisa ambil for free… 😀

KOMTAR

KOMTAR, Kompleks Tun Abdul Razak

Dari bandara, kami memutuskan untuk memulai petualangan dengan naik bus  ke Kompleks Tun Abdul Razak (KOMTAR), pusat pertokoan modern di kawasan Georgetown, ibukota negara bahagian Pulau Penang.  Di KOMTAR ini juga terdapat terminal bus yang menghubungkan berbagai daerah di Pulau Penang.  Bus yang kami naiki, bus 102 jurusan Airport – KOMTAR – Teluk Bahang.  Berapa ongkosnya…? RM 3.4 per orang atau sekitar Rp.11.250,-.  Untuk jarak berapa km? Gak tau, tapi dengan bus yang lumayan cepat, waktu tempuh Airport – KOMTAR sekitar 45 menit..

Dari KOMTAR agar tak terlalu lelah nyari-nyari alamat Me.n.U.Cafe & Lodge, penginapan yang sudah dipesan melalui agoda.com,  kami memutuskan untuk naik taxi.  Untuk ke penginapan yang berlokasi di Steward Lane (Lebuh Steward) Nomor 34 Georgetown itu, Taxi minta RM 12, minimum payment..

Ternyata supir yang kami temui di antrian taxi di KOMTAR itu harus usaha extra untuk bisa mengantarkan kami ke Me.n.U.Cafe & Lodge , karena ada pengaturan baru arah jalan.  Lorong-lorong diatur jadi lorong sahala, alias jalan searah…  Padahal Lebuh Steward itu berada persis di belakang kuil Kuan Yin,  kuil Budha yang menghadap ke jalan Kapitan Keling, salah satu jalan utama di Georgetown.

George Town & 1st Houseshop

Buku George Town World Heritage. The Story of The Chinese in Nineteenth-Century Penang, dan rumah toko lama di Lebuh Steward

Belakangan saya tahu dari buku “George Town World Heritage Site, The Story of The Chinese in Nineteenth-century Penang “ yang ditulis Mark Thompson dan Karl Steinberg, kalau Kuil Kuan Yin, Lebuh Steward dan Lebuh Muntri merupakan salah satu alur awal Peranakan di Geortown.  Bahkan di lebuh Steward terdapat houseshop alias ruko pertama di Georgetown.  Saat ini ruko-ruko dimaksud berfungsi sebagai warung yang menjual barang harian dan minuman, termasuk minuman beralkohol… Hiks…

Setelah sampai di penginapan, kami bertiga langsung istirahat dulu.. Membayar waktu tidur  malam sebelumnya yang terpotong karena harus berangkat sebelum subuh… 😀

Kami bangun sekitar jam 12.00-an WIB, alias jam 13.00-an waktu Penang.., ketika perut mulai menyanyikan lagu keroncongan, minta diisi..  Sebelum keluar dari penginapan, kami menanyakan pada petugas penginapan dimana kami bisa menemukan resto yang menjual makanan halal.. Jawabnya si penjaga hotel yang orang Thailand, di sekitar hotel tidak ada, karena ini kawasan Chinese.. Hikksss..   Dari depan penginapan, kami berjalan ke arah timur,  ke  Jalan Kapitan Keling..

Seven Terraces

Seven Terraces dan bangunan cantik di depannya

Sekitar 30 meter dari depan penginapan, kami menemukan Seven Terraces..  Sebuah bangunan berupa 7 buah rumah toko  yang menyambung..  Bangunan yang didirikan di awal abad 20 ini mempunyai 7 teras yang menyambung dengan  keramik  yang cantik.  Bangunan ini difungsikan sebagai hotel..

Di tepi jalan, tak jauh dari seberang Kuil Kuan Yin,  kami bertanya pada seorang bapak yang sedang duduk-duduk sambil ngopi dengan teman-temannya yang berdarah India.  Beliau mengarahkan kami untuk bergerak ke arah selatan sekitar 50 meter, ke Lebuh Chulia, lalu menyusuri jalan tersebut ke arah timur.  Di ruas tersebut, menurut beliau ada beberapa resto India muslim… Beliau benar, di ruas jalan tersebut ada beberapa restoran India.., karena memang daerah itu adalah Little India-nya Penang..

Kami langsung berhenti di resto yang pertama kami temui.. Di pojokan Lebuh Chulia.. Masakan apa yang dijual….? Masakan India, pasti.. Ada nasi Briyani (asyyyiikkkk….!!), ada juga nasi putih dengan berbagai lauk yang diolah dengan bumbu khas India..  Buat diriku yang senang masakan Timur Tengah, rasanya seperti mendapat durian runtuh… 😀 Minuman yang ku pilih, es limau… Perasan jeruk limau, alias jeruk kesturi, dicampur air putih dan dikassi es batu.. Segerrrr…  Sementara Papa dan Ivo memilih teh tarik…, yang menurut Papa enak banget…

Wonderfood

Wonderfood, Museum yang memamerkan replika masakan-masakan khas Pinang dalam ukuran raksasa..

Setelah duduk sejenak  kelar makan siang yang nikmat…, kami melanjutkan petualangan dengan berjalan kaki menyusuri Lebuh Chulia ke arah timur.., sampai di perempatan Beach Road alias Lebuh Pantai..  Di jalan Lebuh Pantai yang lebar, kami belok ke arah utara..   Kami mencari Penang Peranakan Mension, karena menurut buku Inside Guide South East Asia, museum tersebut berada di sekitar daerah tersebut..   Namun sebelum menemukan Penang Peranakan Mansion yang dicari,  di sisi timur jalan tersebut kami justru melihat sebuah bangunan yang ditata cantik dan menarik..  Kami lalu menyebrang untuk melihat.. ternyata itu adalah Wonderfood, sebuah museum yang memamerkan berbagai replika makanan dengan ukuran yang besar…  Karena prioritas utama kami adalah museum-museum heritage, kami meletakkan museum ini sebagai tempat yang akan kami kunjungi pada hari terakhir, kalau masih ada waktu…  😀

Wisma Kastam

Wisma Kastam, gedung cantik dengan clock tower

Kami lalu melanjutkan petualangan menyusuri Lebuh Pantai, di sisi timur jalan..  Di sebuah jalan di sisi timur, kami melihat sebuah clock tower di atas sebuah bangunan.. Kami pikir itu Penang Clock Tower, yang merupakan salah satu must see, sehingga kami belok ke timur, ke arah Lebuh Pengakalan Weld – outer ring roadnya Georgetown..  Ternyata bukan.. Itu clock tower dari,  sebuah bangunan tua, yang saat ini digunakan untuk Wisma Kastam..  Kami sempat menyusuri Jalan Pengkalan Weld sepanjang satu block.., sampai akhirnya kami bertemu seorang penduduk lokal, dan menunjukkan arah ke Lebuh Gereja, atau Church Street, lokasi Penang mansion..   Dua block ke barat, lalu satu block lagi ke utara dari tempat kami bertemu dengan pemberi informasi tersebut..  Biar gak bingung, teman-teman bisa lihat Peta Georgetown di sini…

Gerbang Rumah Baba Nyonya

Rumah Baba Nyonya

Setelah berjalan ke sekitar 10 menit, kami sampai ke Lebuh Gereja..  Di sisi utara jalan, kami menemukan sebuah ruko yang di dindingnya tertulis Penang Heritage Trust (PHT), ternyata itu kantor NGO yang bergerak untuk mempromosikan koservasi warisan budaya dan menyelamatkan gedung-gedung bersejarah yang ada di Pulau Penang.

Di seberang kantor PHT, terdapat bangunan besar… Saat kami dekati, dari pintu yang terbuka di balik pagar, terlihat kalau di dalam bangunan itu adalah tempat sembahyang pribadi, milik sebuah keluarga..  Tapi pagarnya tidak terbuka…  Diujung pagar, terdapat pintu gerbang yang terbuka lebar.., ternyata itu adalah pintu masuk ke halaman depan Penang Peranakan Mansion, alias rumah Baba dan Nyonya..  Mansion tersebut tidak menghadap jalan yang berada di sisi utara gedung, melainkan menghadapa ke arah barat, ke halaman samping, yang saat ini berfungsi sebagai lapangan parkir. Di sisi dalam gerbang, terdapat patung perunggu seukuran manusia dengan raut wajah dan pakaian ala Eropa..

Brosur Peranakan Mansion

Untuk bisa menikmati keindahan rumah peninggalan Baba dan Nyonya yang berlokasi di 29 Church Street (Lebuh Gereja), 10200 Penang ini, setiap pengunjung harus membayar tiket masuk RM.20 atau Rp.66.200,- di nilai tukar Malaysia Ringgit Rp.3.310,- .  Untuk anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun, harga tiket masuk RM.10, sedangkan untuk pengunjung senior, di atas usia 70 tahun (kalau gak salah ingat), harganya tiket RM.17.  Sehingga untuk bertiga, kami membayar tiket RM.57 atau Rp.188.670,-  Harga yang menurut diriku sangat worthy.  Setelah membeli tiket, kita tidak diberi lembaran karcis, melainkan sepotong sticker bberwarna biru dengan tulisan “Penang Peranakan mansion” yang harus ditempel di baju selama berkunjung.. Setelah selesai, kalau mau tetap dipakai, juga boleh… 😀

Guide Peranakan Mansion

dengan guide Peranakan Mansion

Penjualan tiket dilakukan di dalam rumah, di sisi selatan ruang pertama yang kita temui begitu kita melalui pintu utama…   Oh ya, selama berkunjung di Peranakan Mansion, kita ditemani oleh guide yang disediakan pengelola museum..   Free of charge..  Bahasa Inggris dan Melayu guide-nya bagus, dan dia juga  sangat menguasai tentang apa-apa yang ditampilkan di museum ini…

Siapa sih sebenarnya Baba dan Nyonya, pendiri dan pemilik rumah ini…?

Baba adalah Chung Keng Quee, seorang milioner philantropis, alias penderma di zamannya.  Beliau  migran Cina yang datang ke Pulau Penang di usia 20 tahunan atas permintaan ibunya, untuk menyusul ayah dan saudara lelakinya yang sudah lebih dahulu merantau ke Malaysia dan tak pernah ada kabarnya..  Lelaki yang lahir tahun 1821 kemudian bergabung dengan ayah dan saudaranya melakukan bisnis timah dan tembakau di daerah Perak, Malaysia.

Pada tahun 1877 Chung Keng Quee ditunjuk menjadi Kapitan Cina oleh Pemerintah Britih yang berkuasa di Malaysia saat itu. Sebagai seorang philantropis, Keng Quee mendirikan dan membiayai operasional berbagai tempat ibadah, mendrikan sekolah-sekolah.  Lelaki yang meninggal pada tahun 1901 ini mempunyai 4 orang t’sais – istri sah (termasuk istri pertama yang ditinggal di Cina untuk merawat ibunya), 1 orang  t’sip – istri tak resmi (yang memberinya satu anak perempuan), 10 anak laki-laki dan 5 anak perempuan.  Kerajaan bisnis beliau dilanjutkan oleh anak keempat beliau, Chung Thye Phin.

Apa yang bisa kita lihat saat berkunjung ke rumah cantik yang diberi nama Hye Kee Chan oleh pemiliknya ini….?

Rumah Baba dan Nyonya  sepenuhnya menunjukkan Peranakan style, perpaduan budaya Cina, British dan lokal.   Rumah  ini terdiri dari  rumah utama  2 lantai, temple atau tempat sembahyang keluarga yang bisa diakses dari rumah utama melalui lorong khusus, dapur, dan ruang-ruang yang dimanfaatkan menjadi museum perhiasan dan museum embroidery alias sulaman, koleksi anggota keluarga Baba dan Nyonya..

Interior Lantai 1 Rumah Baba dan Nyonya

Top left : center courtyard; Topt rigth : tangga cantik di sisi timur; Below left : British Dining Room; Below right : Chinese dining room;

Begitu kita melewati pintu masuk rumah utama , kita bisa melihat bahwa  susunan ruang-ruang di rumah ini simetris, dengan  courtyard di tengah-tengah rumah..  Interior bangunan ni diisi dengan berbagai barang, termasuk kolom-kolom besi berukir cantik buatan Walter Macfarlane & Co dari Glasgow.  Kaya banget ya…. tahun 1800-an aja barang-barangnya udah diimpor dari Scotland..

Di sisi  selatan lantai 1 rumah utama terdapat dua dining room dan 1 living room untuk  tamu-tamu Baba dan Nyonya.  Dining room yang berhadapan langsung dengan central coutyard adalah dining room buat keluarga dan relasi-relasi lokal. Di dinding kiri dan kanan meja makan terdapat kaca-kaca besar, yang membuat tuan rumah yang duduk di kepala meja bisa melihat seluruh aktivitas di ruang tersebut..  Di sisi timur ruang makan besar ini, terdapat ruang makan yang lebih kecil.  Ruang makan  yang tertutup dan diisi dengan interior bernuansa Eropa ini diperuntukkan untuk menjamu para relasi berdarah Eropa.

Bed rooms Peranakan Mansion

Top left : love chair; Top middle : meja rias Nyonya; Top right : Baba & Nyonya’s bed room; Below left ; kamar anggota keluarga yang sudah menikah; Below middle : koleksi boneka Eropa milik putri Baba & Nyonya; Below right : Bed room dan koleksi pakaian putri-putri baba & Nyonya

Di belakang Chinese dining room, dibatasi dengan partisi kayu yang cantik, terdapat tangga kayu berukir untuk naik ke lantai 2. Tangga yang digunakan untuk pengunjung saat ini, karena tangga cantik di sisi timur rumah ditutup untuk umum.  di lantai 2 terdapat 4 kamar.. Kamar di sisi barat laut merupakan kamar untuk Baba dan Nyonya, kamar di timur laut untuk anggota keluarga yang menikah.  Kamar di sisi tenggara dan barat daya adalah kamar untuk anak-anak perempuan.. Semua kamar bernuansa merah, warna khas Chinese.

Antara kamar-kamar tersebut dihubungkan dengan ruang duduk bagi keluarga, serta selasar-selasar.   Di ruang di bahagian barat lantai 2 terdapat kursi yang bentuknya unik..   Terdiri dari 2 kursi ysng bersatu, dengan posisi yang berlawanan.. Yang duduk di kursi itu, posisinya akan berhadapan.. Konon, kursi adalah tempat  Baba dan Nyonya bercengkrama..

Koleksi Kristal dan Perlengkapan Makan Nyonya

Koleksi peralatan makan milik Nyonya

Apa lagi yang bisa dilihat di lantai 2 rumah utama? Koleksi kristal dan peralatan makan Nyonya..   Peralatan makan, sebahagian bermotif Phoenix dan Peony, motif khas China, yang diimpor dari Tung Chih pada periode 1862 – 1874 dan dari Kuang Hsu pada periode 1875 – 1908.  Koleksi yang sangat indah..  Oh ya, Baba dan Nyonya juga punya perlengkapan makan dari perak.. Peralatan makan dari perak ini akan membaut makanan yang dihidangkan berubah warna, bila makanan tersebut mengandung racun.

Setelah mengitari seluruh bagian rumah induk dan  beristirahat sejenak di koridor terbuka di sisi selatan rumah (koridor yang menghubungkan rumah utama dengan bahagian-bahagian lain), kami melanjutkan kunjungan ke Temple keluarga, yang berada di timur rumah utama, melalui  lorong kecil..

Bat Temple

Bat Temple @ Rumah Baba dan Nyonya

Temple keluarga Baba yang menghadap ke utara, juga mempunyai central courtyard.  Temple ini dinamakan Bat Temple, karena memang menjadi rumah bagi kelelawar di plafond di sisi utara temple.  Temple ini bertiang dan berpintu kayu yang  dihias dengan ukiran-ukiran yang cantik dan sangat detil..  Berbeda dengan rumah yang didominasi warna merah, temple ini didominasi warna coklat tua dan sedikit warna cyan..  Temple ini merupakan tempat untuk menghormati roh para leluhur keluarga Baba yang telah mendahului..

Dari Bat Temple, kami melanjutkan kunjungan ke dapur keluarga Baba, yang berada di barat daya mansion, tepatnya di belakang kantor museum.  Untuk sampai ke dapur ini, pengunjung harus melalui sebuah lorong di sisi barat bangunan Strait Jewelary Museum..

Dapur Nyonya

Dapur Nyonya

Dapur Nyoya berukuran sangat besar.. Fungsinya dapur tersebut bukan hanya tempat memasak, tapi juga berfungsi sebagai ruang makan sehari-hari, tempat menyimpan peralatan makan keluarga, bahkan apotik keluarga..  Hebatnya, koleksi barang-barang di dapur tersebut masih sangat lengkap…

Dari Dapur Nyonya, kami melanjutkan perjalanan ke bangunan di sisi barat rumah utama, di selatan dapur.  Bangunan ini terdiri dari 4 ruangan.  Dua ruangan memanjang,  yang satu  dijadikan  Strait Jewelary Museum,  satunya menjadi Embroidery Museum.  Dua ruangan lagi adalah lobby, dan ruang yang menjadi akses keluar dari Strait Jewelary Museum, sekaligus tempat menjual souvenir.

Strait Jewelary Museum

Koleksi Strait Jewelary Museum

Strait Jewelary Museum memamerkan koleksi lukisan, peralatan untuk menginang (makan sirih), koleksi souveniers dan perhiasan-perhiasan koleksi  anggota keluarga Baba dan Nyonya.  Barang-barang tersebut menunjukkan betapa mewahnya kehidupan keluarga Baba dan Nyonya, terutama para  perempuannya.  Perhiasan dan koleksi souvenier mereka terbuat dari logam mulia dan batu permata yang sangat indah.. Perhiasan tersebut mencerminkan budaya Peranakan.., karena ada sunting, yang merupakan hiasan perempuan Melayu, ada perhiasan perempuan khas Cina, dan ada juga perhiasan ala Eropa.. Mengingat koleksi museum ini sangat-sangat berharga, pengelola meuseum ini membuat sistem pengamanan yang ketat, termasuk penjaga keamanan yang ramah, namun dilengkapi senjata api.

Embroidery Museum

Koleksi Busana Keluarga Baba dan Nyonya

Apa yang dipamerkan di Embroidery Museum…? Baju-baju, tas, sepatu dan sandal, serta perlengkapan kamar tidur dan hiasan dinding yang penuh sulaman cantik, yang menunjukkan betapa makmurnya keluarga Baba dan Nyonya.  Semua begitu cantik, bahkan pantas untuk digunakan pada masa kini.

Oh ya…, seluruh bahagian Peranakan mansion ini mempunyai lantai yang terbuat dari tegel yang sangat cantik.., khas kolonial.. Diriku sampai gak bisa menahan diri untuk “melantai’ agar bisa dipotret di situ…

Kami mengakhiri kunjungan di Pinang Peranakan Mansion dengan hati senang.. Sungguh, mengunjungi Peranakan Mansion dan menikmati koleksi-koleksi yang dipamerkan di situ, merupakan aktivitas  memanjakan mata, hati dan pikiran..  Memberikan wawasan tentang kehidupan para perintis  di Pulau Penang..  Tentang mereka yang tetap membawa budaya yang diwarisi dari leluhur, menerima budaya tempat mereka menetap, juga menyerap budaya yang dibawa para relasi mereka, membaurkannya menjadi sebuah budaya yang luar biasa indahnya.., budaya Peranakan..

Penang Peranakan Mansion Souvenier

Oh ya, apa souveniers yang bisa dibeli di sini…? Duplikat perhiasan.., daaaannn…, buku Penang  Peranakan Mansion.. Berapa harganya, RM.85 atau Rp.281.350,-  Harga yang menurutku sangat pantas untuk sebuah buku yang cantik dan berisi…

Kami lalu melanjutkan perjalanan, tetap berjalan kaki.. Sebelum sampai ke hotel kami sempat singgah ke sebuah toko buku yang cantik di sebiah pojok di Jalan Kapitan Keling, di seberang Kuil Kuan Yin..

Setelah beristirahat, setelah magrib, kami menutup hari pertama perjalanan di Penang dengan makan malam di tepi pantai di kawasan Geurney.  Kawasan modern Pulau Penang,  di luar Georgetown..***

Museum Sumpah Pemuda

Teman-teman  Warga Negara Indonesia,  yang mejalani pendidikan di Indonesia, tahu donk tentang Sumpah Pemuda….?  Keterlaluan, kalau gak tahu…  Hehehehe…  Secara cerita tentang sumpah yang satu ini disampaikan ke kita melalui pelajaran Sejarah dan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) berkali-kali selama 12 tahun mengikuti pendidikan Dasar sampai Menengah… 😀  Masih ada gak siyy pelajaran ini sekarang…?

Ceritanya pada tanggal 11 Mei 2015 sampai dengan 10 Juni 2015, diriku mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Pemerintah Daerah tempatku bekerja, bersama Lembaga Penyelidikan dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Indonesia (LPEM – FEB UI).  Pelatihan dilaksanakan di gedungLPEM FEB UI di Kampus UI Salemba.  Akomodasi kami disediakan di hotel Ibis Kramat Raya…  Jadi selama sebulan Kramat dan Salemba menjadi wilayah beredar diriku dan teman-teman.. 😀

Museum Bag DepanSekitar hari kedua pelatihan, salah satu narasumber, klo gak salah namanya Pak Budi, nanya dimana kami diinapkan.  Saat kami jawab  kami diinapkan di Hotel Ibis Kramat, beliau bilang, “Yang di sebelah Museum Sumpah Pemuda, ya?” Upppssss….  Ternyata, Museum Sumpah Pemuda itu hanya beda satu kavling dari tempat kami menginap.. Bahkan atapnya menjadi pemandanganku saat melihat ke luar jendela kamarku, kamar 612..

So…, pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2015, yang kebetulan hari libur, aku memutuskan untuk berkunjung ke tetangga tersebut…  Tapi apa daya, karena hari libur, Museum ditutup…  sad  Dan aku baru bisa kembali ke Museum tersebut hari Sabtu, tanggal 06 Juni 2015, di hari-hari terakhir di Jakarta…

Museum Sumpah Pemuda dari kamar ku nampak terdiri dari satu bangunan yang cukup besar, dan satu bangunan tambahan di bagian belakang dan sebuah taman alias ruang terbuka di depannya…

Apa yang dipamerkan di Museum Sumpah Pemuda…?

Ruang UtamaDi teras museum terdapat beberapa patung setengah badan dari tokoh-tokoh Sumpah Pemuda, antara lain Prof. M. Yamin dan Dr. Leimena…  Dari catatan di dinding sisi utara teras museum terdapat keterangan bahwa Gedung Ex-Indonesisch Club-Gebouw ini dipugar pada 5 April – 20 Mei 1973 oleh Pemda DKI.  Menurut bincang=bincang dengan petugas museum tersebut, pada saat ini museum itu dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Bangunan induk museum ini terdiri dari 2 ruangan di sayap selatan, 3 ruangan di sayap utara, dan dua ruang besar di tengah..  Pintu masuk museum membawa kita masuk ke ruang tengah.. Yang di dalamnya ada patung-patung yang mengambarkan aktivitas para pemuda penggagas Sumpah Pemuda..

Dari ruang tengah ini kita bisa bergerak ke ruang selatan, di situ ada deskripsi tentang Jong Java, Jong Sumatera dan lain-lain. Ada juga patung pemuda yang lagi mendengar radio, media komunikasi yang menebarkan semangat persatuan saat itu..

Museum Bag Dalam

Di ruang belakang di bagian tengah ada patung-patung yang menggambarkan pemimpin sidang pemuda, juga ada patung WR Supratman yang memainkan biola.. Di dinding-dinding di ruangan tersebut terdapat salinan undangan kerapan pemuda, undangan hasil rapat pemuda, serta notasi dan teks lagu Indonesia Raya..

Sumpah Pemuda

Di ruangan-ruangan di bagian utara rumah, terdapat ruang yang bercerita tentang WR Supratman, juga terdapat biola milik beliau, serta deskripsi biola beliau…

WR Supratman1

Di ruang terdepan di sisi utara terdapat display dari tulisan-tulisan para pemuda pencetus Sumpah Pemuda.. Tulisan-tulisan yang seharusnya disosialisasikan saat ini untuk menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, semangat untuk membangun bangsa dan negeri kita, yang hanya bisa dilakukan salah satunya dengan menghentikan perilaku korup yang telah begitu merajalela, dan nyaris mendarah daging…

Tanah Air

Tulisan KH. Dewantoro

Api Sumpah Pemuda

Apa yang terdapat di bangunan tambahan gedung ini…? Selain kantor, terdapat juga ruang tentang sejarah kepanduan di Indonesia…, kepanduan yang merupakan salah satu wadah untuk membangun rasa cinta tanah air bagi para pemuda..  Sedangkan di ruang terbuka, selain terdapat Monumen Sumpah Pemuda yang berupa sebuah tangan kanan yang terkepal, juga terdapat dinding direlief berupa diorama Proklamasi..

Museum Kepanduan

Oh ya…   Berapa harga tiket masuk ke museum ini…?  Mahal kah…   Tidak…, hanya Rp.2.000,- (Dua Ribu Rupiah), saja.  Rasanya tidak mahal untuk masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, terutama para pelajar dan mahasiswa..  Pada saat kunjungan diriku yang kedua, aku bahkan bertemu dengan rombongan pelajar salah satu SMA di Jakarta yang sedang touring mengunjungi museum-museum sejarah yang berada di sekitar Jakarta Pusat..  Menurut diriku, itu proses belajar yang keren…  Karena insya Allah akan lebih bisa dihayati, dirasakan, dibanding bila mereka hanya mengetahui dari buku-buku pelajaran sejarah..

Buat teman-teman yang akan berkunjung ke Jakarta, apa lagi akan membawa anak-anak berlibur ke Jakarta, mari berkunjung ke museum Sumpah Pemuda..  Agar tidak datang pada saat museum sedang tutup, silahkan lihat info museumnya di sini… ***

#CintakuNegeriku #CintaMuseum #WonderfulIndonesia #PesonaIndonesia

Ulos Angkola

Pulang kampung ke Sipirok dalam beberapa tahun terakhir selalu membuat hati dan pikiranku tergelitik… “Mau tau tentang apa lagi, yaa…?”

Yuupppp…  Besar di Pekanbaru, berada di lingkungan yang berasal dari berbagai suku,  lalu sekolah ke Bogor, dan sempat tinggal di 2 kota lain, bergaul dengan teman-teman dari berbagai daerah, membuat diriku di usia belia dan awal dewasa gak terlalu mau tahu tentang kampungku.. Tapi kemudian kesadaran bahwa budaya yang dimiliki leluhurku sungguh kekayaan yang tak ternilai, yang seharusnya aku kenal, aku pelajari, menggoda hati…  Makanya, bila ada kesempatan pulang kampung  aku berusaha melihat tinggalan budaya yang ada di kampungku..

Setelah mengunjungi ito Ardiyunus Siregar pengrajin Tuku dan Bulang  yang tinggal di desa Padang Bujur Sipirok, yang saya kenal melalui group orang-orang Sipirok di Facebook, kali ini saya berkenalan dan mengunjungi ito Advent Ritonga, seorang pengrajin ulos yang well-known.  Ito Advent Ritonga, yang formalnya hanya tamat Sekolah Dasar tapi sangat cerdas dan penuh bakat, menetap di Silangge, sebuah kampung yang berada sekitar 1 km dari jalan raya menuju Sipirok, kalau kita datang dari arah Medan.  Atau kalau dari rumah Ompungku sekitar 5 km-an.

Ulos 1

Ulos Angkola

Salah satu tulisan di dunia maya tentang Advent Ritonga bisa teman-teman lihat di sini

Aku sendiri sebelumnya enggak tahu dengan beliau dan nama besarnya.. Maklum kurang gaul.. Hahaha.. Tapi adikku Ivo, yang pernah menyusuri berbagai sentra kerajinan di Sumatera Utara, menyarankan aku mengunjungi pertenunan beliau kalau mau liat pengrajin Ulos.

By the way, anyway, busway…, teman-teman udah pada tahu kan apa itu ULOS…?

Ulos itu artinya secara harfiah kain, atau selimut..    Tapi biasanya pengertiannya dalam konteks adat..  Sedangkan untuk kain (bahan baju, sarung, kain panjang), kata yang dipakai adalah abit.  Ada juga yang menyebut ulos dengan istilah abit godang atau kain kebesaran, buka kegedean, lho.

Karena etnis Batak terdiri dari berbagai varian yang mempunyai budaya juga berbeda-beda…, maka ulosnya juga berbeda-beda, baik dari warna mau pun corak..  Sipirok, sebagai wilayah yang dihuni oleh masyarakat Batak Angkola, maka ulos di Sipirok adalah Ulos Angkola..  Ulos yang menggunakan lebih banyak warna..

Hari Jum’at 03. April 2015 kemaren, sore hari, dengan diantar kak Mega, anak Namboru (kakak Papa) yang menetap di Sipirok, diriku pergi ke Silangge, ke rumah ito Advent Ritonga, pengrajin Ulos itu..

Pertenunan Silangge

Pertenunan Silangge

Begitu sampai di rumah ito Advent Ritonga, mataku melihat di samping rumah beliau terdapat sebuah bangunan kayu, tempat bertenun, yang di atas pintunya terdapat tulisan yang mengatakan kalau pertenunan ini merupakan binaan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk pencelupan benang.  Tak sempat berbengong-ria, aku dan kak Mega langsung disuruh masuk ke ruang tamu rumah yang sekaligus berfungsi sebagai showroom sederhana..

Kak Mega langsung memperkenalkan diriku pada beliau, dan memberi tahu maksud kedatangan ku ke situ. Dan, ito Advent bilang, “Hu tanda do amangmu.  Ro do hami tu horja inatta na baru on”.  Artinya, “saya kenal dengan bapakmu, dan kami hadir saat acara adat pemakaman ibumu baru-baru ini”.  Hmmmmm.  Ini Sipirok, banyak orang yang saling kenal. Jadi hati-hati melangkah dan bicara.  Lebih hati-hati dari yang biasa dilakukan saat berada di luar sana.  😀

Silangge 1

dengan Ito Advent Ritonga, Pengrajin Ulos dari Silangge, Sipirok

Setelah ngobrol-ngobrol sambil melihat-lihat apa yang dipamerkan di situ, termasuk yang ada di dalam 2 lemari kayu besar dengan pintu-pintu berkaca, aku bertanya apa sesungguhnya makna yang ada di Ulos Angkola.

Menurut beliau Ulos Angkola merupakan ulos yang diberikan kepada pengantin Batak Angkola, dengan simbol-simbol penuh makna, penuh dengan pesan-pesan akan ajaran hidup yang harus dipelajari, dijalani orang Batak Angkola, terutama boru (anak perempuan).

Saya lalu meminta beliau untuk mengatakannya pada saya satu demi satu.  Ito Advent bilang, baru kali ini ada orang kita (orang Sipirok, maksudnya) yang bertanya pada dirinya tentang hal ini. Orang luar, orang asing yang justru lebih sering bertanya.  Semoga ini bukan tanda betapa tidak pedulinya generasi muda Sipirok terhadap tinggalan agung leluhurnya.

Saya lalu bilang, saya tidak sering mengikuti acara Mangulosi atau memberi ulos.  Tapi dari acara-acara yang saya lihat, saya ikuti, saya belum pernah meilihat, mendengar orang yang mangulosi itu menjelaskan makna yang tersimpan dalam ulos yang diberiannya.  Padahal bukankah makna adalah bagian terpenting dari sebuah pemberian..?

Ito Advent bilang, “Saya akan kasi tahu kamu.. Tapi kalau nanti tulisanmu sudah jadi.., sempatkan untuk memprintnya ya, dan kirimkan pada saya”.  Deal.  Insya Allah aku akan melakukannya.

By the way, diriku sempat bertanya, mengapa dirinya tidak pernah menulis tentang makna yang ada pada motif yang terdapat pada  ulos Angkola.  Dia bilang, dia pernah menuliskannya, lalu seseorang meminjam catatan tersebut, namun tak pernah mengembalikannya.. Hmmmmm… sad

Ito Advent menjelaskan pada saya mulai dari tepi ulos, yang wujudnya seperti bulu, sampai ke tengah ulos. Mari kita mulai.

Rambu 1

Rambu

RAMBU.  Rambu atau jumbai yang wujudnya seperti bulu, seperti putri melambai-lambai, melambangkan dalam berumahtangga, oarng harus luwes dalam mencari nafkah.

Manik-manik Si Mata Rambu 1

Manik-manik

MANIK-MANIK, SI MATA RAMBU, artinya dalam berumah tangga, sebagai orang tua nantinya, sepasang suami istri harus bisa menjaga anak laki-laki dan anak perempuannya dengan baik.  Bahasa Batak Angkolanya, Matahon anak dohot boru.

Sirat

Sirat

SIRAT, artinya suratan tangan, atau jodoh. Jadi orang yang menikah itu sudah jodoh, harus bisa mempertahankan rumah tangganya.

Jarak

Jarak

JARAK, tenunan polos berwarna hitam, berada di antara sirat dan pusuk robung.  Artinya dalam semua aspek kehidupan harus ada jarak, tidak boleh terlalu dekat.  Tidak boleh kita membuka semua yang ada pada kita kepada orang lain.

Pusuk Robung

Pusuk Robung

PUSUK ROBUNG alias pucuk rebung.  Artinya dalam kehidupan harus bisa bersikap seperti bambu, bermanfaat di sepanjang usia, makin tinngi makin merunduk, knea angin bergoyang tapi tidak patah.  Dan motif pucuk rebung ini juga ada lho dalam tenunan Melayu.  Apa ya maknanya? Ada kesamaan asal muasalkah? Hmmmm.

Luslus

Luslus

LUSLUS, artinya dalam hidup manusia itu harus bagai lebah, hidup bermasyarakat. Tak boleh hidup sendiri.

Tutup Mumbang

Tutup Mumbang

TUTUP MUMBANG. Artinya di dalam hati harus ada tempat untuk menyimpan yang panas dan yang dingin. Harus bisa mengendalikan diri, mampu menyimpan hal-hal yang buruk dan tidak mengumbar yang baik.

Iran-iran

Iran-iran

IRAN-IRAN, andege ni mocci.  Bahasa Indonesianya jejak tikus. Tiku kemanapun melangkah selalu terlihat jejak kakinya,  artinya dalam hidup manusia harus meninggalkan jejak, kebaikan. Tidak boleh berlalu tanpa meninggalkan bekas.

Jojak Mata-mata

Jojak Mata-mata

JOJAK MATA-MATA.  Ini motif dengan bentuk melintang terdiri dari warna merah, putih dan hijau.  yang menunjukkan perubahan.  Karena dengan pernikahan seorang perempuan akan melangkah ke tempat mertua, tinggal dan menjadi bahagian dari keluarga mertua, artinya berubah lingkungan, seorang perempuan atau boru harus meninggalkan jejak baik bagi keluarganya.  Suami dan istri harus mampu memberi kesan baik tentang keluarganya ke keluarga mertua, dan sebaliknya juga memberi kesan baik tentang keluarga mertua kepada keluarganya.

Yok-yok Mata Pune

Yok-yok Mata Pune

YOK YOK MATA PUNE.  Pune dalam bahasa Indonesia artinya burung Beo, burung yang cerdas.  Jadi seorang boru, perempuan Batak harus pintar, harus cerdas, harus mau selalu belajar.

Ruang

Ruang

RUANG.  Bahagian tenunan yang paling besar dan kaya warna ini melambangkan ular naga.  Kuat dan panjang.  Artinya suami istri itu harus berjiwa tegar, kuat dan mampu merangkul semua pihak yang ada di sekitarnya.

Si Jobang

Si Jobang

SI JOBANG. Motif yang berbentuk deretan prajurit.  Jumlahnya harus ganjil, di sisi-sisi terluar harus yangmenggambarkan Mora (Raja), berwarna merah. Mora di pakkal, mora di ujung.  Artinya sebagai Mora, harus bertanggung jawab terhadap seluruh aspek kehidupan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Singap

Singap

SINGAP alias ujung atap.  Artinya sebagai orang Batak, harus mampu bersikap seperti atap, mampu menahan panas terik matahari dan hujan.  Sepahit apa pun yang terjadi dalam berumah tangga harus bisa dihadapi.

Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung

Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung

Doa HORAS TONDI MADINGIN SAYUR MATUA BULUNG.. Ini serangkai doa, harapan, yang berarti semoga orang yang diulosi ini selamat-selamat, jiwanya sejuk sampai dia seperti daun yang menua.

Bunga

Bunga

BUNGA.  Perempuan Batak harus mengeluarkan bau yang harum bagi sekelilingnya. Harus bisa jadi pribadi yang teladan, jadi contoh.

Suri-suri

Suri-suri

SURI-SURI.  suri dalam bahasa Batak berarti sisir.  Makna Suri-suri, adalah sebelum keluar rumah orang harus merapikan diri, berkaca.  Jadi sebelum kita mengurusi orang lain, kita harus periksa diri kita dahulu, perbaiki diri kita, rapikan, baru kita boleh mengurusi diri orang lain.

Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu

DALIHAN NA TOLU.  Di dalam masyarakat adat Batak ada 3 unsur, Anak Boru, Kahanggi, dan Mora.  Yang paling tinggi kedudukannya adalah Mora atau Raja.  Yang menjadi Mora dalam adat adalah orang tua perempuan, alias mertua dari seorang laki-laki Batak.  Jadi bisa tahu donk, walau orang Batak itu menganut patrilineal, garus penerus marga ada pada anak laki-laki, tapi anak perempuan juga sangat berharga.  Ada istilah di masyarakat Batak, orang dianggap kaya kalau maranak (punya anak laki-laki) sapuluh (10), marboru (punya anak perempuan) sabolas (sebelas).  Karena dia bisa jadi mora untuk 11 keluarga. Hehehehe...  Pada ulos, dalihan na tolu digambarkan dengan 3 kolom yang berada di tepi kiri dan kanan ulos.  Yang paling luar adalah anak boru, yang tuigasnya dalam masyarakat adat melayani Mora dan Kahanggi.  Yang tengah adalah Kahanggi (saudara dari anak boru).  yang bahagian paling dalam, yang dibatasi dengan tugu adalah Mora.

Tugu

Tugu

TUGU, yang berupa 3 garis hitam sejajar, artinya perkumpulan keluarga.  Orang Batak harus hidup dalam perkumpulan keluarga.

Untuk diketahui, ulos Batak terdiri dari dua lembar yang disambung tepat di bagian tengah.  Seluruh susunan dan ukuran motif dari kedua lembar ulos itu sama, kecuali tulisan doa dan harapa Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung.  Tulisan itu justru menjadi satu kesatuan setelah kedua lembar ulos disambung.  Kenapa harus terdiri dari dua lembar yang disambung? Karena rumah tangga itu terdiri dari 2 pribadi dengan latar belakang yang berbeda, yang disatukan, disambungkan.  Dalem maknanya.

Oh ya, seharusnya, diriku memperkaya penjelasan ito Advent ini dengan mendalami makna nama-nama corak tersebut, mengingat Papaku dan teman-temannya sudah menerbitkan 2 edisi kamus Angkola – Indonesia.  Tapi karena diriku takut lupa mengaitkan penjelasan-penjelasan yang diberikan dengan foto-foto yang diriku buat, jadi haris segera dikerjakan.  Lagi pula, aku ingin bisa mempublikasi paling tidak satu tulisan pada saat aku sedang berada di rumah peninggalan Ompungku.  Why ? Karena Ompung Godang kami mempunyai minat baca yang besar, dan mewariskannya pada anak-anak beliau, yang kemudian juga mewariskannya pada kami, cucu-cucu Ompung.  Buku adalah jendela dunia. Dan jendela itu tak ada gunanya kalau tidak dibaca.

Semoga tulisan ini bermanfaat.. Mungkin bisa menjadi referensi bagi yang akan mangulosi.. Atau mungkin juga bagi yang menerima ulos namun belum diberi penjelasan tentang makna yang ada di balik motif-motif yang ada di ulos tersebut.

Rumah Jl. Simangambat No. 97 Sipirok, 05 April 2015

Sondha Siregar

Berkunjung Ke Kailasa

Tulisan ini merupakan repost dengan menggabungan dua tulisan yang aku tulis hampir 4 tahun yang lalu… Tulisan yang  ini dan yang  ini…  Semoga penggabungan ini justru memberikan gambaran yang utuh tentang keindahan Kailasa…

Kailasa

Deskripsi Tentang Dieng di Museum Kailasa…

Kailasa ? Dimana itu…? Kok rasanya nama itu gak pernah tercantum di peta.. Di Indonesia atau di negara lain ya…?

Kailasa itu di Indonesia… Beneran Indonesia.. Tepatnya di Dieng Plateu (Dataran Tinggi), di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.. Dieng karena keindahan dan ketentramannya diibaratkan sebagai Kailasa atau Khayangan, negeri para dewa, negeri yang indah di atas awan….

Menurut informasi di Museum di Dieng, yang diberi nama Kailasa, berdasarkan 22 buah prasasti berbahasa Jawa Kuna, Dieng yang berasal dari kata Dhi Hyang (tempat para roh).  Dieng dahulu berfungsi sebagai pusat kegiatan religius, tempat para pendeta sekte Saiwa melakukan praktek asketik, dimana Dieng diibaratkan sebagai Kailasa artinya Kahyangan Siwa yang Suci, Pusat Dunia dan Tempat Para Arwah Bersemayam…

Hari Sabtu, 26 Maret 2011 jam 06.30 pagi aku beserta 2 orang teman yang bernama sama, Ika dan Ika, diantar Mas Joko, si driver yang baik hati, memulai perjalanan dari Yogya ke Dieng..  Kami jalan ke arah Sleman… melalui daerah Kali Putih.., daerah yang mengalami bencana berupa lahar dingin yang membawa material pasir dengan volume yang subhanallah banyaknya.., yang menyebabkan banyak rumah hancur….

Setelah singgah untuk sarapan brongkos di Warung Ijo Bu Padmo di bawah jembatan yang menghubungkan desa Salam dan desa Tempel, kami menuju Wonosobo melalui jalan pintas, melalui desa-desa di perbukitan selama sekitar 2,5 jam.  Udara di Wonosobo sejuk…, dengan pemandangan warna hijau dimana-mana…

Dieng Plateu 1

Dari Wonosobo harus ditempuh 25 km lagi untuk bisa sampai ke Dieng.. Namun ini perjalanan yang menyenangkan…, karena menyusuri bukit-bukit dan pegunungan… Iya, Dieng berada diantara pegunungan karena Dieng diperkirakan dulunya merupakan danau bekas kawah gunung api yang sudah mati..

Mobil lalu diparkir di pelataran, yang di ujungnya terdapat semacam pintu ke arah sebuah taman… Tapi karena hari hujan, kami terpaksa menunda masuk ke taman tersebut dan duduk di warung Pak Saroji…  Warung yang antik…  Kenapa..? Karena penjualnya menghidangkan dagangannya berupa manisan carica, kentang goreng, kripik kentang, kacang, minuman purwaceng tanpa menagih pada pengunjung yang menikmati di tempat.. Yang ditagih hanya yang kita beli untuk dibawa pulang.. What a service…!!!!

Sementara menunggu hujan reda, sambil menikmati makanan dan minuman hangat di Warung pak Saroji, kami juga sempat melakukan sholat di musholla yang berada tepat di belakang warung..  Saat berwudhlu…. Subhanallah….. bbbbrrrrr………………… airnya sejuk banget…… gigi aja bergemeretuk dan ngilu ketika kumur-kumur….  Rasanya malah pengen bergelung dalam mukena.. hehehehe…

Setelah hujan agak reda,  dengan dibekali payung pinjaman dari isteri pak Saroji, kami berjalan menuju taman yang tersembunyi di balik rerimbunan bunga…  Melewati pintu gerbang, kami melihat selapis rerimbunan tanaman lagi di depan.. Sedangkan di sisi kanan terlihat umpak, yaitu tumpukan batu2 candi tersusun rapi…, yang ternyata Rekonstruksi Dharmasala…, tempat istirahat para penziarah dan juga tempat persiapan upacara keagamaan..

Lalu kami meneruskan langkah menuju taman yang ditutupi pagar tanaman… Subhanallah…, di balik tanaman2 tersebut terbentang jejeran 5  buah candi yang indah… Disempurnakan  dengan udara yang sejuk dan kekabutan serta perbukitan hijau  yang menjadi latarnya… Subhanallah…. Sungguh indah… Tak salah bila diungkapkan bagai Negeri Indah di Atas Awan

Candi tersebut oleh masyarakat diberi nama mengikuti tohoh-tokoh pewayangan..  Candi Arjuna, Candi Semar (di depan Arjuna), lalu Candi Sumbadra, Candi Puntadewa dan Candi Srikandi.

Nama-nama candi ini membawa aku pada kenangan masa kecil, ketika almarhumah ibu membelikan aku 4 jilid buku cerita bergambar yang sangat tebal (untuk ukuran anak kelas 4 SD) karya RA. Kosasih yang berjudul Mahabrata, lalu 3 jilid buku Barata Yudha, serta beberapa jilid (aku gak ingat persis lagi) buku yang tak terlalu tebal berjudul Pandawa Seda..  Buku-buku itu membuat aku mengenal tokoh-tokoh wayang beserta karakternya… Buku-buku yang mengajarkan pilihan-pilihan hidup yang bernama kebaikan dan keburukan, serta segala konsekuensinya…

Candi Arjuna 1

Tapi menurut deskripsi yang belakangan aku baca di Museum Kailasa, tidak ada hubungan antara nama dan karakter tokoh wayang-wayang tersebut dengan apa yang diekspresikan pada dinding-dinding candi itu…

Kami lalu menyusuri candi-candi tersebut satu persatu… Mengelus dan merasakan pahatan-pahatannya..  Kalau sudah begini, sedih rasanya tidak punya ilmu arkeologi sehingga tak mampu membaca apa makna yang tersurat dan tersirat pada setiap bahagian candi-candi tersebut…

Ada banyak tanya di dalam hati.. Generasi seperti apa yang mampu menetukan lokasi yang begini indah untuk menjadi tempat melakukan aktivitas asketiknya…? Berapa banyak orang yang terlibat membuat semua ini, berapa lama..? Dari mana mereka datang…? Dari mana mereka mendatangkan bahan-bahannya.. Bagaimana teknologi arsitektur dan pahat batu mereka sehingga mampu menghasilkan karya yang begitu indah…?  Dan satu hal lagi, lokasi ini, diperkirakan dengan teknologi saat ini, berada tepat di tengah Pulau Jawa.. Kok bisa generasi abad keenam dan ketujuh menentukannya..? Rasanya zaman itu pengetahuan pemetaan masih sangat sangat sangat terbatas..  Gak ada GPS atau apalah yang bisa membantu mengukur.. Coincidence….? Rasanya enggak yaa…  Kalau enggak, terus bagaimana…? Pakai teknologi apa…?

Belum puas berkeliling, mengamati dan duduk menikmati suasananya, kami harus bergegas pergi karena hujan mengguyur dengan derasnya… Payung tak mampu melindungi diri dari terpaan air hujan..  Udara jadi terasa semakin dingin menusuk tulang… tapi, candi dan lingkungannya jadi semakin indah dan eksotis…. Membuat semakin enggan meninggalkannya…

Ketika hujan semakin tak bersahabat, kami terpaksa berlari dan berlari untuk kembali ke warung pak Saroji untuk menghangatkan tubuh dengan teh hangat dan kentang goreng serta secangkir purwaceng…

Lama menunggu, hujan ternyata tak kunjung reda di daerah yang dingin ini…. Brrrrrrr…. Dingin  dan semakin dingin… Apalagi sebagian baju agak-agak basah kena tempias hujan saat berlari-lari meninggalkan Kompleks Candi Arjuna.  Setelah menunggu dan menunggu…, dan dengan mempertimbangkan waktu yang tersisa, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.  Meski masih hujan…, dan dengan bekal pinjaman 2 buah payung  dari pak Saroji pemilik warung di kawasan parkiran Kompleks Candi Arjuna, kami melanjutkan perjalanan…

Kemana……………?

Ke Kawah Sikidang…

Kawah Sikidang 1

Kawah…? Maksudnya bukaan gunung api yang mengeluarkan gas…? Iya…. Betul sekali…  Tapi kawah yang ini tidak seperti Kawah Bodas di Gunung Tangkuban Perahu yang membutuhkan perjuangan untuk sampai ke lokasi.  Aksesibilitas ke kawah ini begitu mudah…, ada jalan aspal.. hotmix pula… !! So, setelah menyusuri jalan dan sempat melintas di bawah pipa gas yang merupakan jaringan dari PLTG,  kami pun sampai ke area parkir Kawah Sikidang… Area parkir….???  Iya… Kawah Sikidang dilengkapi dengan area parkir plus beberapa fasum yang umumnya ada di obyek-obyek wisata yang dikelola dengan baik..  Selanjutnya dari area parkir,  kami tinggal jalan kaki beberapa puluh meter untuk sampai ke lahan dimana terdapat bukaan-bukaan yang menjadi jalan keluar gas bumi…..

Btw, begitu membuka pintu mobil, selain merasakan udara yang sejuk serta rinai gerimis yang memang selalu ada di daerah ini, kita juga akan mencium bau yang “keren abizzzz”,  hehehehe… Bau yang nyaris seperti bau k****t, yang merupakan bau gas sulfur…  Sebagai catatan, pengunjung tidak boleh terlalu dekat dengan kawah-kawah yang ada.., karena gas Sulfur itu bisa menjadi racun bila terhirup dalam konsentrasi tertentu…  Untuk mengingatkan pengunjung , Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara meletakkan tanda peringatan yang dilengkapi dengan gambar tengkorak…

Menurut legenda yang ada di masyarakat Dieng, Kawah Sikidang adalah seorang pangeran yang ditimbun dalam sebuah sumur yang digalinya sendiri atas permintaan seorang putri cantik yang telah dilamarnya.  Karena si pangeran tak cukup tampan di matanya, sang putri berusaha menyingkirkan sang pangeran buruk rupa dengan menguburnya di dalam sumur..  Namun akibat kesaktiannya sang Pangeran mampu tetap meronta-ronta dalam bentuk golakan lahar di kawah Sikidang….

Pasar Sikidang

Setelah melihat cairan yang bergolak di bukaan-bukaan yang ada di tanah tersebut dari balik kekabutan, kami kembali ke parkiran mobil…  Di sekitar parkiran itu tersedia beberapa bangunan yang difungsikan sebagai pasar lengkap dengan toilet yang cukup bersih…  Sebelum pulang kami menghampiri sebuah warung di pojokan pasar tersebut.., warung yang menjual goreng tempe, tahu, pisang serta lengkap dengan minuman berupah teh, kopi dan purwaceng, sejenis minuman khas dieng yang terbuat dari rempah-rempah..  Dalam cuaca yang dingin…, tempe dan tahu goreng yg dicocol sambel kecap rasanya nikmatttttt bangetttzzzzzz……  di pasar ini juga ada jual tanaman gunung yang cantik-cantik.. Menggemaskan…  😀

Merasa enakan setelah menyantap beberapa potong gorengan dan minuman…, kami melanjutkan perjalanan… Kemana lagi….? Ke Telaga Warna…, tapi sebelumnya kami singgah di Candi Bima yang berada di perbukitan di pertigaan jalan ke Kawah Sikidang yang telah kami lewati saat datang…

Candi Bima, seperti tokoh Bima yang bertubuh paling besar di antara anggota Pandawa, merupakan candi terbesar.. Lokasinya juga paling tinggi dibanding lokasi candi sebelumnya…, sehingga untuk mencapainya kita harus melewati  beberapa puluh anak tangga.    Aku amat-amati, bagian belakang candi ini mengarah ke Kawah Sikidang…, sehingga dalam candaanku ke teman-teman satu rombongan, aku bilang kalo “Bau yang keren abiz dari Kawah Sikidang itu adalah bau k****t Bima.. Hahahahaha….

Telaga warna a

Dari Candi Bima kami meneruskan perjalanan ke Telaga Warna..  Setelah membeli karcis di  di loket yang ada di pintu gerbang, kami menyusuri jalan setapak menuju telaga… Daannnn…, subhanallah, telaga itu berwarna hijau pupus, ada juga yang kemerahan di bagian ujung. Warna telaga nampaknya disebabkan oleh lumut yang ada di dasar telaga, yang mungkin disebabkan pengaruh lahan yang vulkanis.  Dikelilingi tetumbuhan, suasana yang sunyi dan rinai hujan, telaga itu tampak indah, juga syahdu…  Ada keheningan yang begitu dalam….

Telaga warna 1 a

Dari Telaga Warna kami kembali ke Yogya…, setelah singgah untuk mengembalikan payung pinjaman ke warung pak Saroji dan juga singgah untuk makan sore di sebuah rumah makan di Wonosobo…

Perjalanan ini begitu indah…, begitu memuaskan mata dan bathin..  Dataran yang tinggi dan selalu berkabut benar-benar bagai Negeri di Atas Awan…

Telaga warna 2 a

Dalam hati aku berharap bisa kembali ke sini untuk waktu yang lebih lama.. Sehingga bisa menginap dan menikmati setiap sisi Dieng….

Di dalam mobil yang menyusuri jalan berliku menuju Yogya, pikiranku yang liar dan terkadang ajaib berkata…, “Seandainya aku mendapatkan pasangan hidup yang orangtuanya menetap di Dieng, tentu aku punya alasan untuk kembali dan kembali berkunjung ke Negeri Indah di Atas Awan ini… Aku akan punya “rumah” di sini….” Hehehehehe….***

1 Banner Jan-Feb 2015 edit

Suatu Pagi di Kampung Bandar

Ini adalah catatan Perjalananku  ke Kampung Bandar…   Kampung Bandar…? Dimana itu…?

Kampung Bandar itu nama sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru..  Sebenarnya daerah ini  udah gak bisa dibilang kampung, karena daerah ini nuansanya sudah kota…  Tapi kata “Kampung” itu sudah melekat dengan kata Bandar, karena dulunya memang daeah itu adalah sebuah kampung… 😀

Apa istimewanya kampung ini sampai  dijadikan topik bahasan di blog ini hari ini…?   Hmmmm, kampung ini sangat istimewa…, karena kampung yang berada di tepi Sungai Siak ini  lah cikal bakal Kota Pekanbaru…

Siak III 1

Dulu sebelum tahun 1977-an, di daerah Kampung Dalam ini lah lokasi jembatan penyebrangan dari Kota Pekanbaru ke Rumbai, yang saat itu merupakan kawasan pertambangan, pengolahan minyak, perkantoran dan juga pemukiman pekerja PT. Caltex.  Saat itu jembatannya jembatan ponton, yang dibuka 2 kali sehari, jam 06 pagi dan sore agar kapal-kapal bisa lewat.  Setelah tahun 1977, jembatan Leighton (diambil dari nama perancangnya) menggantikan posisi jembatan ponton tersebut.  Lalu di lokasi jembatan ponton tersebut pada akhir tahun 2010-an dibangunan Jembatan Siak III.

Jadi ceritanya, kemaren tiba-tiba diriku teringat bahwa sudah lama sekali gak pernah jalan-jalan ngubek-ngubek Kota Pekanbaru.  Berbagai aktivitas beberapa tahun ini membuat dirriku mundar mandir rumah – kantor. Karena ingin menikmati Kota Pekanbaru, aku memutuskan untuk mengisi sabtu pagi ku dengan kembali menyusuri Kampung Dalam yang beberapa tahun lalu pernah aku susuri, plus melihat dari dekat rumah Tuan Qadi, yang dulunya selalu menjadi tempat singgah Sultan Syarif Qassim II,  bila beliau sampai di Pekanbaru, dan bila beliau mau meninggalkan Pekanbaru kembali ke Siak Sri Indrapura, kota dimana berada pusat kerajaan Siak dahulu kala…  Rumah Tuan Qadi ini baru selesai direvitaslisasi..  Jadi sudah cantik kembali..

Jalan-jalan di Sabtu pagi itu dimulai dengan sarapan Bubur Ayam Kings..  Ini merupakan bubur ayam terlezat di Pekanbaru.. Bahkan sampai saat ini ,setelah aku pergi ke beberapa tempat, rasanya Bubur Ayam Kings ini adalah juaranya bubur ayam.., belum ada yang bisa ngalahin kelezatannya..  😀

Rumah Tuan Qadi 1

Selesai sarapan, diriku dan Melly, seorang teman yang kerja sebagai PNS di salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, melanjutkan perjalanan ke rumah Rumah Tuan Qadi.. Rumahnya udah rapi…, cantik…  Sayang belum dibuka untuk umum..  Padahal klo dijadikan Museum Pekanbaru Tempo Dulu, pasti keren yaa..

Ada kesamaan rumah Tuan Qadi dengan rumah Lontiok, rumah tradisional di Desa Pulau Belimbing, Kabupaten Kampar yang diriku pernah kunjungi..  Keduanya rumah panggung, karena berada di tepi sungai, dan ada bak di depan rumah…, sarana untuk membersihkan kaki sebelum masuk ke rumah…

Rumah berwarna biru ini sebenarnya sederhana.. Tak banyak ornamen sepert rumah Lontiok..  Ornamen hanya terlihat di pinggir tangga masuk..  Di tiang penyangga atap di sisi selaan tertulis PKB 23:7  Di tiang penyangga bagian utara tertulis 1928.  Apa artinya..? Selesai dibangun pada tanggal 23 Juli 1928?

Karena baru selesai dibangun dan sepertinya belum difungsikan…, tak banyak yang bisa dilihat di Rumah Tuan Qadi ini… Aku lalu melanjutkan perjalan ke Kampung Bandar, setelah sebelumnya sempat duduk-duduk sejenak di taman di bawah Jembatan Siak III, melihat-lihat dari kejauhan kapal yang bersandar..

Aku memarkirkan si sparky di pinggi jalan Perdagangan…  tak mudah untuk parkir di sini.. Jalannya sempit, dan di kiri kanan jalan, tanahnya turun ke bawah..  Saat parkir aku melihat ternyata di tepi jalan ini ada pintu air..  Sepintas, pintunya masih ada..  Mungkin masih berfungsi yaa.., mencegah air sungai masuk ke arah pemukiman…  Pintu air ini mengingatkan ku saat aku masih kecil, daerah Kampung Bandar ini acap kali banjir, bahkan pernah sampai ke dekat  kantor RRI lama, di pojokan jalan Ahmad Yani dengan jala, Ir. H. Juanda.

Rumah Tua 1

Apa yang aku cari di Kampung bandar… Aku ingin melihat-lihat lagi beberapa rumah tua yang cantik-cantik, yang aku pernah lihat di sana…  Ternyata oh ternyata, begitu mendekati salah satu rumah tua, yang pernah direvitalisasi oleh pemerintah Kota Pekanbaru beberapa tahun yang lalu, aku mendengar suara.., pletak pletak... Suara dua bilah kayu bertemu… Suara alat tenun tradisional..

Aku dan Melly langsung menghampiri rumah tersebut.. Di dinding depan rumah terdapat spanduk yang mengatakan bahwa Kampung Bandar itu sudah dijadikan Desa Wisata Sejarah dan Budaya oleh Pemerintah Kota Pekanbaru.  Dan rumah tua itu dipinjamkan oleh pemiliknya untuk tempat kegiatan kelompok penenun, “Pucuk Rebung”.  Pucuk Rebung merupakan nama salah satu motif khas Melayu.

Tenun Siak Pucuk Rebung 1

Saat kami di sana, kami menemukan 3 orang ibu-ibu yang sedang menenun.. Salah satunya sedang membuat bahan untuk blazer, pesanan salah satu pemilik toko besar di daerah Pasar Bawah.  Keseluruhan ada 4 alat tenun di rumah tersebut.. Juga ada 2 alat pemintal benang.. Ada 2 lemari kaca.., satu menyimpan berderet-deret benang…, satunya lagi menyimpan berbagai hasil tenun…

Hasil Tenunan 1

Ibu-ibu tersebut, adalah ibu rumah tangga yang tinggal di daerah tersebut,  Mereka perempuan-perempuan yang menikah dengan orang setempat, lalu menetap di situ, dan beberapa tahun yang lalu mendapat pelatihan menenun.  Menurut ibu Wawa, salah satu dari tiga orang ibu-ibu tersebut, mereka masih mengalami keterbatasan memasarkan hasil karya mereka.  Ada nama besar penenun yang lebih dikenal masyarakat di Pekanbaru.  Mungkin harusnya Pemerintah membantu dengan membuatkan media pemasaran online bagi hasil karya para ibu-ibu tersebut yaa..  sehingga orang tahu keberadaan mereka dan hasil karya mereka..

Buat teman-teman yang berminat…, Baik berminat untuk membeli tenunan, atau mau membawa putra putrinya agar bisa melihat seperti apa kegiatan menenun itu, silahkan datang ke Kampung Bandar di jalan Perdagangan di Pekanbaru.. Sama sekali tidak susah untuk menemukan tempatnya.. ***

Note : Foto jembatan lama diambil dari http://m.riaupos.co/14670-berita-.html

Museum Batak

Tanggal 22 Desember 2014 yang lalu aku  ke Medan untuk menemani Papaku pulang kampung ke Sipirok.. Ya, tanggal 24 Desember 2014, tepat 100 hari kepulangan alm Mama, dan Papa ingin berziarah…  Jadi kami, aku, Papa adikku Ivo dan ponakan ku Ananda, berangkat ke Sipirok tanggal 23 Desember 2014.

Poda na 5

Semula kami berencana akan berangkat pagi-pagi sekali dari Medan, agar bisa singgah di Pematang Siantar untuk membeli Roti Ganda, minum teh dan makan roti bakar di kedai kopi Sedap, serta singgah di Balige   untuk berkunjung ke Museum Batak.   Namun karena sebelum berangkat Papa mengajak kami membeli mesin potong rumput pesanan salah seorang kerabat di kampung,  jadi lah kami berangkat jam 11 siang dari Medan.   Karena kami jalannya santai, dan pakai singgah makan siang di Tebing Tinggi, kami sampai di Pematang Siantar sekitar jam 4 sore,  dan tak bisa sampai ke Balige pada jam museum masih buka..  😀

Kami akhirnya menggeser rencana untuk ke museum tersebut.   Jadinya saat pulang dari Sipirok tanggal 26 desember 2014.  Hari itu kami berangkat dari Sipirok jam 06.30 pagi.  Agar aman melewati Aek Latong, kami membawa supir tambahan, salah satu tetangga di kampung, untuk menyetirkan mobil sampai di Balige dan sekitarnya.  Maklum lah, kami pergi berempat…  Nyetirnya gantian.., kalo enggak Ivo, ya diri ku..   belajar jadi supir medan, coy…!!!   Karena enggak tega ngeliat Papa nyetir jarak jauh di usia beliau yang menjelang 77 tahun..  Meski beliau merasa masih kuat nyetir…., dan merasa lebih jago nyetir di medan-medan yang menantang dibanding kami, putri-putrinya.. Hehehehe…

Gerbang a

Berangkat pagi tanpa mandi, hanya cuci muka, sikat gigi dan bebersih sekedarnya… 😀  Kami bisa sampai di Sipaholon, pinggiran Kota Tarutung sekitar jam 09.30 pagi..  Di situ kami mandi pagi di permandian air panas, air belerang, sekaligus brunch.. Puas mandi dan makan, kami lanjut perjalanan, dan sampai ke Balige jam 11 siang.

Di Balige kami langsung menuju Museum Batak yang berlokasi di Desa Pagar Batu, tak jauh dari tepian Danau Toba.. Museum Batak ini merupakan bahagian dari TB Silalahi Center…  Semacam sebuah pusat kebudayaan Batak  yang didirikan oleh Jenderal TB Silalahi di kampung beliau, Desa Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.. TB Silalahi Center merupakan sebuah kawasan yang lokasinya tidak jauh dari Danau Toba..  Di kawasan itu terdapat Museum TB Silalahi, Museum Batak, Huta Batak..  Ada juga beberapa sarana pendukung…  Terus kami kemana aja…?

Museum TB Silalahi 2 a

Begitu masuk, kami menuju gedung yang  kami temui pertama kali saat masuk ke kawasan…  Museum TB Silalahi..  Apa isinya…?  Di bagian depan terdapat deretan foto-foto presiden Indonesia, dari pertama sampai akhir…  Lalu, dilanjutkan dengan cerita tentang riwayat hidup seorang TB Silalahi, dan koleksi-koleksi pribadi, seperti pakaian untuk berbagai kesempatan, jam tangan, pena, handphone, ijazah dan diploma-diploma serta berbagai penghargaan..  Juga souveniers dari berbagai negara yang pernah dikunjungi dan cendera mata yang pernah diberikan kolega-kolega beliau dari berbagai negara…

Huta Batak a

Keluar dari Museum TB Silalahi, kami menuju Huta Batak…   Apa itu Huta Batak…? Itu sebuah kawasan, yang di dalamnya ada 7 unit rumah adat Batak yang sudah tua…  Tapi masih cantik dan sangat terawat..  Miniatur perkampungan orang Batak..  Di situ juga ada 2 unit kuburan batu..  Ada juga pangulu balang di pojok kawasan huta Batak, dan ada si Gale-gale di depan salah satu rumah Batak…

Apa itu Pangulu Balang…?  Temen-teman baca sendiri ya di pic ini…  Biar jelas…  😀 Pangulu Balang 1

Ngomong-ngomong soal Pangulu Balang…, Papa ku pernah membuat tulisan tentang kampung kami Sibadoar yang hikayatnya  juga punya Pangulu Balang.. Tulisan itu bisa teman-teman bisa lihat di Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (11). Tapi ini aku kutipkan…

Huta Sibadoar “tempo doeloe” ada penjaganya yang dikenal dengan nama “pangulubalang”, konon satu-satunya huta di Luat Sipirok na mar pangulubalang. Pangulubalang adalah patung batu (di gorga) bentuk manusia mini. Konon patung itu sebelumnya “di-isi” dengan jasad manusia yang sengaja dikorbankan dan diolah sedemikian rupa khusus untuk membuat “pangulubalang”. Pangulubalang pada saat-saat tertentu (periodik) di-pele (diberi makan) oleh majikannya yang menunya berupa padi yang digonseng (bertih), telur ayam kampung, dll. Seandainya majikannya terlambat ma-mele (memberi makan), ada harapan telur ayam sekampung yang sedang dierami akan “bayuhon” (tidak jadi menetas) karena sebelumnya telah disantap oleh pangulubalang. Roh manusia yang jasadnya ada dalam pangulubalang, dipercaya dapat berfunggsi sebagai penjaga huta. Jika ada musuh (zaman doeloe sering kejadian) mau menyerbu masuk huta, ataupun akan timbul wabah kolera (begu attuk) dan lain-lain bencana, maka sebelumnya oleh pangulubalang akan diberikan peringatan-peringatan dini dengan tanda-tanda umpamanya, semut-semut merah bermunculan disekeliling huta secara menyolok, dan atau tanda-tanda alam lainnya yang tidak lazim, bahkan katanya suara-suara aneh yang bersumber dari pangulubalang. Berdasarkan ini semua (majikannya biasanya cepat tanggap) orang sekampung dapat mengambil tindakan berjaga-jaga (mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya).

Terus apa itu si Gale-gale..? Si Gale-gale 2a

Si Gale-gale itu patung untuk menghibur orang yang mengalami kesedihan karena kematian anggota keluarganya.. Patung itu bisa beergerak.., menari mengikuti musik.. Kalo dulu digerakkan oleh roh yang dipanggil oleh datu..  Kalo sekarang digerakkan secara mekanik…  Di Huta Batak ini, si Gale-gale ditampilkan setiap 30 menit, kalau tidak salah..  Pengunjung bisa duduk-duduk di kursi-kursi yang terbuat dari semen di seberang rumah yang ada si Gale-galenya..  Tapi kalau mau, penonton juga bisa ikut menari.. 😀

Si Gale-gale 3 a

Oh ya, di dekat gerbang Huta Batak juga ada rumah adat Toraja… Mengapa? Karena katanya suku Toraja yang berada di wilayah Sulawesi Selatan itu punya kedekatan budaya dengan suku Batak..

Halaman Museum Batak a

Dari Huta Batak, kami berjalan menuju Museum Batak.. Karena  Huta Batak berada di belakang Museum TB Silalahi, yang sejajar dengan Museum Batak, jadi lah kami menyusuri halaman belakang Museum Batak…  Ada apa di sana? Ada patung yang menggambarkan aktivitas panen raya.., dan ada papan catur raksasa, yang tinggi buah caturnya setengah tinggi orang dewasa… Yaa…, orang Batak memang identik dengan catur dan domino.. 😀

Museum Batak a

Apa yang ada di dalam Museum Batak…? Banyak…. 😀  Selain memberikan berbagai informasi dan memamerkan benda-benda yang menggambarkan 7 unsur kebudayaan (Sistem bahasa, Sistem peralatan hidup dan teknologi, Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial,  Ilmu pengetahuan, Kesenian, dan Sistem kepercayaan, atau agama) dari berbagai etnis Batak (Toba, Angkola, Pakpak, Mandailing dll), di museum Batak juga ada bahagian yang menggambarkan sejarah perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, sejarah masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, juga tentang interaksi antar agama yang ada di masyarakat Batak.

Di Museum ini juga dijelaskan tentang filosofi hidup orang Batak seperti CICAK.. What….?   Iya Cicak.. makanya di rumah-rumah adat batak, atau peralatan orang-orang Batak sering terdapat ornamen berbentuk cicak..  Apa artinya…? Dalam masyarakat Batak hewan ini adalah hewan yang mempunyai filosofi terutama dalam pergaulan. Kepercayaan para leluhur mengatakan bahwa setiap etnis Batak harus dapat bergaul dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam satu lingkungan.  Filosofi ini juga ditanamkan dari orang tua kepada anak-anaknya yang hendak merantau ke suatu daerah, anak-anak tersebut harus dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan pemukiman barunya dan orang-orang disekitarnya, seperti halnya hewan cicak yang dapat menempel di dinding bangunan apa saja tanpa harus takut dan tertutup dari lingkungan di sekitarnya.

Di dekat pintu keluar Museum Batak juga terdapat tampilan tentang Poda Na Lima, yaitu prinsip hidup orang Batak yang 5.. Paias Rohamu (Bersihkan Hatimu), Paias Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu), Paias Paheonmu (Bersihkan Pakaianmu), Paias Jabumu (Bersihkan Rumahmu), Paias Paharanganmu (Bersihkan Halaman Rumahmu).  Di situ juga ada tampilan Nasehat Leluhur Tanah Batak, Carilah Rezeki dan Peruntungan, Carilah Kesempurnaan Hidup, Carilah Kehormatan dan Kemuliaan.. Kalau pesan-pesan ini dilakukan dengan konsep religi…, rasanya pesan-pesan ini akan menjadi pegangan yang sangat indah… Nasehat leluhur Batak a

Oh ya, makam Sisingamangaraja XII juga terdapat di kawasan ini, di bahagian depan..  Tapi kami tidak sempat singgah.. Karena tanpa sadar kami sudah menghabiskan waktu 4 jam di tempat ini.. Tak terasa..Karena tempat ini memang sangat layak untuk dikunjungi…  Tempatnya nyaman.. Story line museum-nya bagus..  Informasi-informasi yang disampaikan sangat banyak dan jelas..  Tempat ini sangat layak untuk dikunjungi, bukan hanya bagi yang di dalam tubuhnya mengalir darah Batak..  Tapi bagi mereka pencinta Budaya dan Sejarah…

Dari informasi yang saya dengar di sana, Museum ini merupakan Museum milik pribadi (non pemerintah) yang terbaik di Indonesia.  Saya gak bisa kasi komentar tentang hal ini.. Secara saya baru mengunjungi 4 museum pribadi saja di Indonesia, yaitu  museum ini, Museum Rahmat di Medan,  Museum Sapoerna di Surabaya. dan Museum Kata di Belitung Timur.  Tapi memang informasi yang ada di Museum Batak ini jauh lebih kaya dan dalam maknanya, karena menyangkut sebuah etnis..  Dan menurut saya, story behind the object yang ditampilkan juga jauh lebih bagus dibanding Musee’ de Louvre di Paris..  Sungguh… Dan sebagai peminat sejarah dan budaya, berkunjung ke tempat seperti ini buat Papa dan kami anak-anaknya merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan..   Semoga kami bisa segera jalan-jalan bersama Papa lagi, segera…  Doain ya teman-teman.. ***

Kata Pengantar Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke2

Teman-teman, ini saya salinkan Kata Sambutan yang ditulis ibu Susan Rodgers untuk Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke-2.  Beliau adalah  seorang antropolog berkewarganegaraan Amerika, yang pernah melakukan penelitian tentang Budaya Batak.  Beliau pencinta Budaya Batak, dan bersama beberapa temannya menetap di Sipirok pada tahun 1970-an saat melakukan riset untuk program masternya.  Dan beliau sangat fasih berbahasa Angkola.  Sepertinya Bahasa Angkola adalah bahasa kedua beliau setelah bahasa ibunya, Bahasa Inggris.  Saya bisa melihat itu saat beliau berkomunikasi dengan Papa saya, pada waktu kami bertemu di bulan Juni 2013 di Medan.  Hal itu sempat membuat saya merasa malu… 😀

Susan Rodgers 1aKebetulan saya menjadi jembatan proses komunikasi antara Papa saya dengan ibu Susan, yang telah diberi marga Siregar oleh tetua Adat Sipirok pada tahun 1970-an (makanya saya memanggil beliau dengan BOU dalam komunikasi-komunikasi kami).  Saya biasanya ditugaskan menyampaikan pikiran dan pendapat Papa saya ke ibu Susan dalam bentuk email.  Juga menyampaikan permohonan agar beliau bersedia memberi kata pengantar untuk kamus ini.  Begitu juga sebaliknya.  Jadi Kata Sambutan beliau yang aslinya dalam Bahasa Inggris, dikirimkan ke saya untuk diteruskan ke Papa untuk kemudian dilampirkan di bahagian awal kamus.  Dan versi Bahasa Indonesia yang juga ditampilkan di awal kamus, adalah terjemahan yang sudah beliau periksa dan mendapat pesetujuan..  Untuk teman-teman ketahui, beliau meminta softcopy draft kamus dikirimkan kepada beliau sebelum beliau menulis kata pengantar.  Jadi ada proses yang beliau lakukan sebelum menulis kata pengantar ini..

Mengapa saya menyalinkan Kata Sambutan ini di blog saya…?  Agar kita, terutama generasi muda Angkola bisa melihat, memahami bahwa Bahasa Angkola itu pernah begitu maju.. Kemajuan itu pasti disebabkan adanya orang-orang cerdas, orang-orang intelek..

Selamat menikmat…  Semoga terinspirasi…

 KATA SAMBUTAN EDISI KEDUA

 Sekali lagi ini merupakan suatu kehormatan bagi saya diminta untuk  membuat Kata Sambutan pada Kamus Angkola/Indonesia yang  sekarang hadir dalam edisi kedua dengan revisi penambahan 500  kata baru. Seperti yang pernah saya sampaikan pada tulisan pembuka saya di edisi pertama kamus ini, yang terbit tahun 2004 lalu, kamus  seperti ini akan sangat dibutuhkan oleh orang Tapanuli dan Angkola  di berbagai kota, para generasi muda yang ada di daerah tersebut, dan dalam jagad keilmuan seperti linguistik, antropologi, sastra dan lmu  pengetahuan sejarah di Indonesia dan seluruh dunia. Kamus ini disusun dengan cermat setelah dilakukan kerja lapangan dan  pengujian dari buku-buku penting yang berkaitan dengan pembuatan  kamus ini, seperti novel berbahasa Angkola yang terbit tahun 1920an  yaitu novel Sitti Djaoerah,  yang tentunya tidaklah dibuat hanya untuk  menjadi buku yang menyimpan banyak kata namun dibiarkan berdebu  di rak buku.  Kiranya, kamus seperti Kamus Angkola/Indonesia ini dapat  menjadi katalisator yang memperkaya khasanah Bahasa Indonesia  dalam  kehidupan masyarakat saat ini dan juga masyarakat  dari berbagai  latar belakang.

Kamus seperti ini juga dapat membantu para siswa disekolah.   Mereka dapat menemukan betapa banyaknya buku-buku bahasa  Angkola di Tapanuli dan Medan yang dibuat selama masa  penjajahan  Belanda, sejak tahun 1910an sampai awal tahun  1940an.  Saya sangat berharap  buku-buku luar biasa sejenis  ini juga dapat dicetak ulang.

Selain itu, kamus yang luar biasa dan memuat ilmu pengetahuan luas  seperti kamus ini, memiliki sisi estetik berbahasa orang Sumatera yang  baik, juga dapat membantu para sarjana kita di Indonesia. Dan lebih  dari pada itu,  kamus ini juga bisa melestarikan kembali atau  menjaga  naskah-naskah penting pada masa lampau.  Pada masa dahulu itulah bahasa seperti  bahasa Angkola Batak  digunakan secara intensif pada novel, koran, buku  pelajaran dan  cerita rakyat. Karya sastra dengan bahasa daerah seperti inilah  yang kurang dikenal sekarang, bahkan di Indonesia.  Novel modern berbahasa  Indonesia seperti novel M. Rusli  Siti Nurbaya  dan novel milik Sipirok sendiri,  Azab dan Sengsara (oleh Merari Siregar) merupakan bacaan populer  untuk  para pembaca umum dan siswa sekolah menengah,  namun novel berbahasa Angkola dan novel berbahasa jawa  (misalnya) tidak dikenal luas.  Kamus seperti inilah yang dapat membantu para pembaca  mencerna bahasa  atau kata yang ada dalam buku atau novel  terbitan  lama tersebut, yang tidak hanya dapat mengetahui  sekedar  katanya saja tapi juga sisi estetik dari  makna kata  atau bahasanya bagi seluruh pembaca di Indonesa maupun  di dunia.

Ada hal baru pada Kamus Angkola/Indonesia edisi kedua ini,  yaitu interaksinya  yang baik terhadap beragam daftar dan  level pidato (bahasa) Angkola.  Para peneliti kamus tidak hanya mencari dan merangkum  bahasa dan  percakapan Angkola sehari-hari tetapi juga  beragam hal mengenai seni  berpidato yang tinggi,  sahut menyahut osong-osong dan senandung ratapan  andung.  Dalam hal ini penulis menggambarkan secara mendalam tentang  novel-novel berbahasa Angkola yang terbit sejak tahun 1910an  sampai 1930an  (yaitu pada karya M.J. Sutan Hasundutan  Sitti Djaoerah, yang sudah disebutkan  diatas,  dan juga karya Sutan Pangurabaan Pane Tolbok Haleon). Mereka juga menggambarkan karya lama seperti milik Willem  Iskandar Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-rumbuk;  buku-buku sekolah dialek  Mandailing dasar yang pertama kali  diterbitkan pada tahun 1872. Buku tersebut sudah tersebar luas diseluruh Padangsidimpuan  dan Sipirok,  karena dialek Mandailing cukup dekat  dengan dialek Angkola.  Buku sekolah tersebut diajarkan pada generasi muda hingga  akhirnya dilarang  oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang  menganggap bahwa buku itu merupakan  buku pemberontaK—Belanda menganggap bahwa ayat-ayat yang ada pada Si Bulus-Bulus dikutip kembali secara rahasia di seluruh Tapanuli Selatan sebagai perkumpulan yang melawan dominasi  politik kolonial.  Setelah Revolusi Nasional, Willem Iskandar  tidak hanya membahas mengenai  lagu pujian untuk Tapanuli  Selatan  tapi juga tentang perjanjian ekonomi dan  politiknya yang kembali disusun.

Seperi kebanyakan kamus pada umumnya, Kamus Angkola/ Indonesia sebelumnya juga sudah pernah diterbitkan.  Angkola en Mandailing Bataksch-Nederlandsch Woordenboek karya  H.J. Eggink terbit tahun 1936 merupakan kamus Angkola klasik.  Tetapi sebagai seorang sarjana Belanda yang bekerja di zaman  kolonial, Eggink ternyata tidak menyentuh akses ke upacara horja   yang banyak menampilkan seni berpidato ritual yang tinggi.   Namun hal tersebut dialami oleh ke empat peneliti kamus  berikut ini;  Arden Siregar, gelar Baginda Habiaran;  Panangian Pane gelar Mangaraja Habonaran;  Dr. Aristides Marpaung; dan Parningotan Siregar gelar Baginda  Hasudungan Ompu Raja Oloan. Mereka menikmati upacara horja  itu secara langsung, karna mereka sendirilah si orator ulungnya.  Sayangnya sejak terbitan edisi pertama tahun 2004,  Mangaraja Habonaran, Dr. Aristides Marpaung dan Baginda  Hasudungan Ompu Raja Oloan telah meninggal dunia.  Beberapa warisan mereka akan selalu hidup pada proyek kamus  yang membanggakan ini, khususnya bagi generasi muda seluruh dunia.

Bapak Arden Siregar bergelar Baginda Habaran, yang berusia  74 tahun pada bulan Mei 2012, diberi kehormatan untuk membawa  hasil penelitian tim ke edisi kedua kamus ini. Sebagai pembaca, kami  berhutang rasa terimakasih kepada tim yang telah membantu  kami untuk menyambung kelezatan sebuah bahasa yang mana  novelis tahun 1920an Sutan Hasundutan pernah sekali berkata  “tabo”—benar-benar lezat!

Susan Rodgers, Ph.D. Professor, Anthropology, and W. Arthur Garrity, Sr., Professor Department of Sociology and Anthropology College of the Holy Cross Worcester, Massachusetts 01610 USA

Kamus Angkola – Indonesia

Ini Kamus Angkola -Indonesia, cetakan ke-2, hasil karya Papa ku dan teman-temannya…   Salah satunya adalah almarhum Opung Baginda Hasudungan Siregar, salah seorang raja adat dari Bunga Bondar..

Kamus Papa

Pada cetakan ke-2 ini terdapat tambahan sekitar 500 kosa kata terhadap kamus cetakan yang pertama…   Dan dalam proses penyusunannya, Papa bekerja sendiri karena ketiga teman beliau sudah mendahului beliau…

Susan RodgersKata Pengantar di Kamus Cetakan ke-2 ini, sama seperti di cetakan pertama, diberikan oleh namboru bule :D, Prof. Susan Rodgers, seorang pencinta budaya Batak dari College of Holy Cross..  Alhamdulillah pada tahun 2013 yang lalu saya sempat mendampingi Papa bertemu dengan beliau yang singgah di Medan, saat beliau dalam perjalanan ke Bali untuk mendampingi mahasiswanya melakukan study tentang kain tradisional..

Sebenarnya ada satu kerja besar lagi yang harus dilakukan…. Apa? Menyusun versi sebaliknya… Kamus Indonesia – Angkola…  Tapi Papa kayaknya belum punya semangat ke arah sana…  Sepertinya dikerjain oleh seorang teman baiknya membuat beliau sebel, dan belum pulih…

Ceritanya, setelah kamus beliau jadi, salah seorang kenalan baik, dongan sahuta, yang saat itu berkiprah di lembaga legislatif di kampung minta agar Papa memperbanyak kamus tersebut untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan akan mendapat penggantian uang cetaknya dari dana APBD setempat.. Papa lalu menyerahkan beberapa ribu eksemplar ke orang tersebut, tapi sampai hari ini, ketika orang itu sudah tak lagi menjadi anggota legislatif, uang pengganti cetak itu tak pernah kembali..  😀  Sempat siyy Papa minta temannya yang lain lagi untuk ngecek ke Pemda, apakah memang sudah ada anggaran untuk itu dan bagaimana perkembangannya..  Menurut teman Papa itu, uangnya sudah dianggarkan, bahkan sudah lama dicairkan…   entah siapa lah yang menerimanya.. 😀  Tapi hasil pengecekan Papa ke beberapa kenalannya yang berkiprah di dunia pendidikan di huta, sekolah mereka ada menerima kamus tersebut..

Kami, anak-anak Papa,  sudah bilang ke Papa untuk mengikhlaskan saja.. Yang penting kan bukunya sudah sampai di sekolah-sekolah., semoga bisa bermanfaat bagi generasi muda di sana…  Beliau setuju, dan berusaha melupakan uang beliau sekian puluh juta tak kembali…  😀  Tapi ada yang tinggal di pikiran dan hati beliau… Beliau bilang, “Ngerinya negeri kita ini ya…. Orang tak lagi menghargai karya orang lain, yang dibuat bertahun-tahun dengan penuh cinta dan dedikasi…  Meski itu orang yang dia kenal..”

Ahhhh kalimat beliau itu membuat ingatanku melayang pada pemandangan yang sering ku lihat saat pulang ke rumah…  “Papa yang selalu membaca berbagai literatur bahasa Angkola, lalu mencatat kosa kata baru yang beliau temukan, mencari maknanya…  Lalu dengan tekun menghadapi laptop (mula-mula dulu komputer) di meja kerjanya menyusun kata-kata demi kata…  Dan itu bertahun-tahun”

Tapi aku yakin, suatu saat kamus ini akan jadi sesuatu yang sangat berharga di dunia pendidikan, dunia sastra Angkola..    We proud of you, Pa…***

PS ;  Buat teman2 yang ingin mengoleksi kamus ini, bisa menghubungi saya di FB : sondha. Harga Rp.150rb/eksemplar + ongkir (ongkir  dapat teman-teman cek di sini http://www.jne.co.id/)  ***

Tuku dan Bulang…

Apa itu TUKU…? Apa itu BULANG….?

Buat teman-teman yang tidk berasal dari Tanah Batak, tuku dan bulang adalah hal yang asing.. Kecuali teman-teman punya pergaulan dan pernah diundang ke pesta-pesta pernikahan yang menggunakan adat Angkola dan Mandailing..

Buat diri ku yang berdarah Batak Angkola…, bulang bukan hal yang asing.. Karena di usia belia, sekitar 10 tahun, aku pernah memakainya dalam salah satu horja (acara adat) yang diadakan keluarga ku..  Meski kadang suka salah sebut dengan bulung.. 😀  Padahal artinya beda banget… Bulung artinya daun…

Tuku Bulang 1

So…., apa itu Tuku dan Bulang…?

Tuku itu topi kebesaran adat batak Mandailing dan Angkola, biasa dipakai pengantin pria…  Sedangkan Bulang itu hiasan kepala yang dipakai pengantin perempuan…

Sebenarnya pakaian pengantin Batak Angkola dan Mandailing bukan hanya Tuku dan Bulang…, tapi ada perlengkapan lainnya.. Apa aja?  Gelang besar yang dipakai di lengan atas pada pengantin laki-laki, dan lengan bawah pada pengantin perempuan.  Pada pengantin perempuan juga ada hiasan dada, berupa deretan logam berhias yang disusun di atas kain beledru…, Ada juga penutup kuku, berupa logam yang dibentuk seperti kuku yang panjang dan berhias..  Oh iya, pengantin laki-laki dan perempuan juga dihias masing-masing dengan sepasang pisau yang bernama rencong dan tapak kuda.. Rencong…? Kaya orang Aceh yaa…  Hmmm…,  perlu dicari tahu niyyy, apa ada kedekatan budaya di antara suku2 ini…

Ceritanya, beberapa bulan terakhir,  aku sering melihat status ito Ardiyunus Siregar, seorang teman di FB yang berasal dan tinggal di Sipirok, yang menyiratkan kalau beliau adalah pembuat Tuku dan Bulang..  Aku ingin melihat kerajinan yang merupakan bagian dari budaya ku sendiri… Konyol rasanya ketika aku pergi kemana-mana, melihat berbagai aktivitas yang menyangkut kerajinan rakyat sebagai warisan budaya, tapi aku malah belum sempat melihat warisan budaya ku sendiri… 😀  Jadi saat  akhir Desember 2014 aku pulang ke Sipirok untuk menemani Papa ziarah ke makam Mama dalam rangka 100 hari kepergian beliau, aku berniat untuk melihat pembuatan Tuku dan Bulang..

Masih dalam perjalanan ke Sipirok, aku berusaha menghubungi ito Ardiyunus Siregar, meminta kesediaan beliau untuk memberi diriku kesempatan untuk melihat aktivitas pembuatan Tuku dan Bulang..  Alhamdulillah beliau bersedia..  Beliau bilang rumahnya, tempat membuat kerajinan Tuku dan Bulang, berada di Jalan Padang Bujur..  Jalan itu gak asing buat kami sekeluarga..  Karena kalau lagi pulang kampung kami selalu ke Padang Bujur untuk mandi air panas..  Namun sebagaimana alamat sebagian rumah-rumah di kampung, tidak ada nomor rumah.., hanya ada ancer2nya saja…  😀

Dalam perjalanan menuju ke air panas di Padang Bujur buat mandi pagi,Papa menunjuk sebuah rumah yang kami lewati.. Papa bilang. “Itu rumah teman alm tulang Sahrin.  Sebelum tulang mu meninggal dia suka ke situ buat mancing.  Papa beberapa kali diajak ke situ, tapi belum sempat.”

Songket1

Habis mandi air panas, Papa membantuku mencari alamat tersebut…  Tapi sepertinya tak ada yang bisa memberi informasi..  Kami lalu singgah di tempat kerajinan tenun motif Angkola binaan Indosat yang juga ada di Jalan Padang Bujur.. Kami bertanya-tanya di situ, tapi mereka juga tidak bisa memberi jawaban..  Aku kembali bertanya ke ito Ardiyunus, ternyata rumahnya ya itu, yang sering dikunjungi alm tulang Syahrin.  What a small world yaa…

Aku akhirnya berkunjung ke rumah itu.. Ditemui ito Ariyunus dan istrinya.. Mereka menunjukkan berbagai hsil pekerjaan mereka yang masih dalam proses..  Mereka juga menunjukkan bagaimana mengerjakannya…  Sungguh butuh keterampilan…  Tidak ada pola (pattern) yang diikuti… Semua motif mengikuti kebiasaan dan pikiran pengrajin..  Menurut ito Ardiyunus, dia mewarisi keterampilan itu dari ayahnya, yang juga pengrajin tuku dan bulang..  Dan menurut beliau hanya sedikit jumlah pengrajin Tuku dan Bulang yang masih ada di Sipirok.. Beliau saja hanya punya 3 orang pekerja..  Dengan 3 orang pekerja, beliau bisa menyelesaikan 1 set tuku dan bulang dalam waktu 3 hari kerja..

Tuku dan Bulang

Saat saya bertanya tentang filosofi yang ada pada motif-motif yang terdapat pada Tuku dan Bulang, ito Ardiyunus bilang dia juga belum paham.. Ada generasi muda yang mau belajar tentang hal ini…? Semoga ada yaa..  Supaya bisa lebih diapresiasi…

Tapi dalam candanya ito Ardiyunus bilang, “Bulang itu hadiah orang Batak buat boru (anak perempuan)nya.., sekaligus menunjukkan martabat kepada keluarga menantunya.. Karena pada zaman dulu, Bulang itu bulan gold plated, sepuhan, tapi emas beneran.. Dan lucunya, diserahkannya borunya kepada menantunya, tapi si boru dibekali satu set pisau..” Hahahaha…

Dengan perkembangan zaman…., dimana generasi muda banyak yang keluar dari kampung untuk bersekolah, lalu menetap dan bekerja di rantau, siapa yang akan mewarisi budaya yang agung ini yaa…?  Aku sempat mendiskusikan hal ini dengan ito Ardiyunus dan istrinya..  Juga sharing tentang peluang mengembangkan usahanya ini sebagai aktivitas ekonomi kreatif.. Misalnya dengan membuat inovasi berupa barang-barang yang bisa menjadi souvenir..  Semoga Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, mau membuka mata dan hati untuk melihat pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai kesempatan untuk membangun daerah dan mensejahterakan rakyat…  Apa lagi daerah ini berada di jalur yang strategis…, di antara 2 destinasi yang banyak diminati wisatawan, Danau Toba dan Bukit Tinggi..  Belum lagi oarang-orang Batak yang merantau entah kemana-mana, pasti ingin pulang kampung untuk berlibur dan mengenalkan kampung mereka pada anak cucunya…

Buat teman-teman yang berminat untuk melihat proses pembuatan tuku dan bulang saat berkunjung ke Sipirok, atau mau pesan, silahkan hubungi ito Ardiyunus di FB-nya ardiyunus.siregar.  Atau bisa juga menghungi saya,  saya dengan seizin ito Ardiyunus akan memberikan nomor telpon beliau… ***

Berkunjung ke Rengat, Kota Para Raja..

Akhir September 2013 yang lalu, dalam rangka kerja, aku kembali berkesempatan untuk berkunjung ke Rengat dan Tembilahan..  Rengat dan Tembilahan itu kota-kota di Provinsi Riau, Rengat  ibukota Kabupaten Indragiri Hulu.., sedangkan Tembilahan merupakan ibu kota Kabupaten Indragiri Hilir.

20130924_151211

Bersama Kak Indria, teman perjalanan ke Indragiri

Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten  Indragiri Hilir, dan Kabupaten Kuantan Singingi yang dilalui oleh Batang Kuantan atau Sungai Indragiri  dulunya merupakan bagian  wilayah Kerajaan Indragiri,  sebuah Kerajaan Melayu yang menjadi bawahan (nazal) dari Kerajaan Minangkabau (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Inderagiri). Batang Kuantan atau Sungai Indragiri yang berhulu ke Danau Singkarak di wilayah Minangkabau,, dan berhilir ke Pantai Timur Sumatera membuat  wilayah Indragiri pada masa itu bisa mengambil peran sebagai  pelabuhan bagi Kerajaan Minangkabau..

Karena Rengat dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Indragiri, dan keturunan bangsawan Indragiri memakai gelar Raja, sebagimana gelar Raden di daerah Jawa Tengah dan Timur, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu menyebut Kota Rengat sebagai Kota Para Raja.

Ini  bukan kunjunganku yang pertama ke Rengat dan Tembilahan..  Untuk ke Rengat, ini kunjungan ku yang ke 4, untuk ke Tembilahan ini kunjungan ku yang ke 3.  Bahkan sekitar tahun 2009, aku sempat berkunjung ke Rengat diajak oleh ibu Dr Widya Nayati, seorang arkeolog senior, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, untk melihat makam Raja-raja Indragiri serta beberapa makam tua di daerah Japura, sebuah daerah di pinggir Kota Pengat.

Berapa lama perjalanan ke sana?  Dari Pekanbaru ke Rengat sekitar 4 – 5 jam jalan darat.  Dari Rengat ke Tembilahan butuh waktu sekitar 2,5 – 3 jam.  Jadi rata-rata dari Pekanbaru ke Tembilahan butuh waktu sekitar  7  – 8 jam…

Apa yang menarik di Rengat…?

Rumah Tinggi Rengat

Rumah Tingg idi Rengat

Saat bertemu dengan seorang kenalan di Rengat, aku bertanya tentang tinggalan Kerajaan Indragiri yang masih bisa dikunjungi..  Beliau menyarankan aku untuk menyusuri jalan yang berada di tepi Sungai Indragiri.  Ke arah hulu..  Tak jauh dari jembatan terbesar yang ada di Rengat… , hanya sekitar satu km.

Apa yang ada di sana…?  Sebuah  Rumah Tinggi, yang dulunya merupakan rumah salah satu menteri Kerajaan Indragiri..  Rumah kayu dua lantai ini  cantik, penuh dengan ornamen yang khas Melayu…  Posisinya menghadap Sungai Indragiri, lebih kurang 100 meter dari bibir sungai..

Saat ini, Rumah Tinggi ini  oleh Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu dijadikan Museum Daerah.  Sayang, saat aku sampai di Rengat, sudah hampir jam 17.00.  Jam kerja sudah usai.., tak bisa lagi melihat ke dalam Museum.. Hanyabisa  melihat dari luar…  Hmmm… Semoga di kunjungan berikutnya bisa yaa…

Bolu Berendam Source : www.riaudailyphoto.com

Bolu Berendam
Source : http://www.riaudailyphoto.com

Apa lagi  yang istimewa dari Rengat….?  Kulinernya…  😀

Ada kue yang khas dari Rengat, namanya Bolu Berendam..   Kue ini custome made… Hanya dibuat by order..  Tak ada di toko2 atau penjual kue sehari-hari..  Biasaya hanya dihidangkan di acara pesta-pesta atau selamatan, atau saat lebaran..  Sama dengan kue bolu lainnya., terbuat dari campuran gula, terigu dan telur.. , dibakar dalam oven dengan cetakan kecil-kecil berbentuk bunga..  Lalu apa istimewanya…? Istimewanya, bolu ini setelah matang, direndam dalam larutan gula pasir yang dikasi esence vanilla..  Jangan tanya rasanya… Muaaaannniiiissss bangeeeetttttt….. Bikin ngilu gigi.. Entah siapalah yang menciptakannya..  Entah mengapa lah orang di Rengat suka…  Tak takut diabetes kah mereka…??? 😀

Kue Rengat

Lalu apa yang bisa menjadi buah tangan  kalau kita berkunjung ke Rengat…?

Hmmmmm….. Di Rengat, ada yang namanya Pasar Rakyat Rengat.. Lokasinya di tengah kota.. Tak jauh dari alun-alun kota..  Di pasar tersebut, di bagian tengah, setelah penjual sayur dan bumbu-bumbu dapur, persis sebelum los-los yang menjual bahan makanan kering, teman-teman bisa menemukan penjual berbagai kue khas Rengat..  Antara lain kue bawang, keripik pisang tanduk, kue bolu… Pokoknya heboh laahhh…  Harganya pun tak mahal…,, mulai dari Rp.10.000,- per bungkus..  lupadiet.modeon 😀 ****

 

Ramayana Ballet Prambanan…

Pagi hari  tanggal 13 Oktober 2012, sebelum aku berangkat ke Solo aku sempat ngobrol by phone  dengan mba Wik, lengkapnya mba Widya Nayati, salah satu arkeolog, yang sudah seperti kakak buat ku.  Begitu tahu aku mau ke Solo numpak sepur, mba Wik bilang, “Kamu ntar pulang dari Solo, turun di Prambanan aja.. Terus naik ojeg ya ke Prambanan, bilang sama tukang ojeg ke Gedung Tri Murti.”  Ada Festival Ramayana, kita nonton Ramayana Ballet Prambanan..

Namun kereta api yang aku tumpangi lagi minta perhatian dari PJKA  kayaknya.. :D.  Kereta apinya ngambeg saat kami singgah di stasiun Klaten, lebih dari satu jam…  Lalu gak jauh dari Klaten, di tengah persawahan, kereta apinya ngadat lagi… Hikssss…  Udah gitu, ternyata gak singgah pula di stasiun Prambanan..  Jadilah aku turun di stasiun Maguwo yang berada di sekitar Bandara Adi Sucipto, menjelang magrib…

Trus gimana ke Prambanannya….??  Naik ojeg jeg jeg jeg….  Berapa duit…? Dua puluh lima ribu rupiah…   Ini harga yang pantas, menurut aku.. Secara jarak yang ditempuh lumayan jauh, bok….   15 kilometer, ada kali..  Mana pakai acara nyari-nyari pula..  Iya, gedung Trimurti tidak berada di lokasi yang sama dengan kompleks Candi Prambanan… Kalau kita datang dari arah Yogyakarta,  kita belok ke arah utara sebelum kita melintasi sungai persis sebelum sampai ke kompleks Candi Prambanan..  Yaaa…., gedung Trimurti dan kompleks Candi Prambanan dipisahkan oleh sungai…

Aku sampai di gedung Tri Murti saat magrib…   Mba Wik dan 3 staff nya sudah berada di halaman depan gedung Trimurti..  Pameran yang merupakan bagian dari Festival Ramayana sudah tutup… Hiksss…..

Mba Wik langsung mengajak aku dan staff beliau ke restoran yang berada di utara gedung Trimurti… Restoran tersebut terdiri dari beberapa bale…, dengan beberapa set meja makan tersusun cantik di halamannya menghadap “Kompleks Candi Prambanan”..  Sungguh makan malam yang istimewa, suasananya…  Makanannya enak, tapi gak luar biasa… Standard, kalo menurut aku…  Menunya campuran… ada masakan Eropa, Chinesse ada pula Gudeg… 😀

Makan malam derngan pemandangan Candi Prambanan.. What a romantic dinner for people in love…

Selesai makan malam yang menyenangkan, mba Wik  mengajak aku dan staf-staf beliau ke teater terbuka…  Tempat  Ramayana Ballet Prambanan akan ditampilkan…

Apa siyyy Ramayana Ballet Prambanan….??

Ramayana Ballet Prambanan adalah pertunjukan sendratari Ramayana yang dilakukan di Kompleks Gedung Trimurti yang berdampingan dengan  Candi Prambanan.., dimana pertunjukan di sini dilakukan di teater terbuka dengan memanfaatkan pemandangan Candi Prambanan sebagai latar belakang…

Menurut tulisan Bung Karno, Presiden Indonesia Pertama pada 25 Agustus 1961, yang ditampilkan di beberapa bagian tempat petrunjukan…

“Ballet Ramayana adalah satu pertjobaan (good effort) untuk membawa seni-pentas Indonesia ke taraf jang lebih tinggi”

Buat teman-teman generasi setelah EYD alias Ejaan Yang Disempurnakan  tahun 1974, mungkin bingung ya baca tulisan itu… Tapi perlu tau donkkk… 😀

Harga Tiket Pertunjukan Ramayana Ballet Prambanan

Ramayan Ballet Prambanan tidak diadakan setiap hari…  Kalau teman-teman akan berkunjung ke Yogya dan ingin menonton pertunjukan ini,  coba lihat jadwalnya di website Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko  ini… Siapa tahu pas dengan jadwal pertunjukan…

Berapa harga tiketnya…?  Pada saat aku kesana, aku sempat memotret daftar harga  yang tertulis samping di ticket box..  Larang alias mahal yaaa….?? Klo menurut aku yang udah melihat pertunjukannya, ya enggak laahhh…   Wajar…  Karena ada banyak pihak yang terlibat dan pantas mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan bagi penonton.. Ada para penari yang penampilannya luar biasa, juga para pemain musik dan orang-orang yang bekerja sebagai tenaga pendukung, seperti penata lampu, penata suara, sampai petugas kebersihan dan keamanan…  Lagi pula masa kita tidak mau menghargai kinerja seniman kita sendiri… Masa harus wisatawan asing saja yang menikmati karya seni anak negeri… Rugi laaahhh…  Nanti orang asing paham dan bisa mengapresiasi seni dan budaya kita, sementara kitanya sibuk mengembangkan seni yang berorientasi ke barat sana…

Pada saat aku menyaksikan Ramayana Ballet Prambanan, yang tampil bukan lah para seniman  yang biasa melakukan pertunjukan di situ… Tapi para peserta Festival Ramayana, yang diikuti oleh utusan 8 Provinsi di Indonesia..  Dan malam itu yang tampil adalah utusan dari Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Jawa Tengah..

Hanoman Obong…

Saat Kalimantan yang tampil, hmmmmm aku rasanya seperti melihat pertunjukan ludruk di televisi.. Sorry to say that…  Tapi saat melihat penampilan dari Provinsi Jawa Tengah…. waaaaaaaw, keren banget….  Selain karena yang ditampilkan adalah episode Hanoman Duta, yang mengambarkan Hanoman si monyet ,bule menjadi duta Rama untuk menemui Rahwana di Alengkadirja, dan berakhir dengan Hanoman Obong alias Hanoman dibakar, dan membakar bangunan-bangunan di Alengkadirja, sehingga pertunjukan juga dilengkapi dengan bakar-bakaran…, penampilan kontingen Jawa tengah benar-benar indah,  gerak penarinya yang halus dan detail, busana yang indah, juga musik dan suara penembang yang  merdu…..  Komplit banget… Dengar-dengar, para penarinya adalah para sarjana Sekolah Tinggi Karawitan Solo, dan dibina oleh salah satu putri Kraton Surakarta…

Kontingen Jawa Tengah setelah pertunjukan..

Sungguh saat kontingen Provinsi Jawa Tengah yang tampil, mata ku sepenuhnya terbuka lebar… Meski tubuh sudah sangat lelah karena sudah jalan-jalan seharian…  Tidak demikian saat kontingen provinsi lain tampil sebelumnya, aku sempat beberapa kali tertidur dalam duduk, lalu terbangun dan kembali nonton… Hehehehee…

Buat teman-teman yang mau berkunjung ke Yogya, sempatin nonton pertunjukan ini… Dijamin tidak rugi…, yang tidak nonton justru rugi…   😀 ***

A Half Day Solo Trip…

Solo….? Solo atau Oslo…? Hahahahaaaa… eS O el O… Solo…

Kota ini gak jauh dari Yogya, tempat aku pernah menetap sekitar 2,5 tahun untuk studi, tahun 1999 – 2001..  Sebagai makhluk “lasak” dan “kaki panjang”…, di sela-sela msa perkuliahan, aku sempat berkunjung ke Solo sekitar tahun 2001, bersama Mimi, salah seorang teman main di Yogya…

Waktu itu kami berangkat naik kereta api, turun di stasiun Purwosari, nyari sarapan nasi liwet, lalu jalan ke Pura Mangkunegaran, Kraton Solo dan lihat2 di Pasar Klewer…

Kali ini…., aku pergi sendiri… Alone… Tapi teteuuuuuuppppp menikmati perjalanan…  Alhamdulilllah….

Aku berangkat dari Yogya ke Solo numpak sepur alias naik kereta api..  Dari Stasiun Tugu, aku naik kreta api AC KRDI Madiunjaya jam 08:50 wib.. Ongkosne piro…? Kalih doso ewu ae… Dua puluh ribu rupiah saja…

Kereta berangkat tepat waktu..  Alhamdulillah..  Kereta hanya berhenti di stasiun Lempuyangan, Maguwo yang berada di sekitar Bandara Adi Soecipto, Klaten, lalu berhenti di 2 stasiun di Solo, yaitu stasiun Purwosari dan terkahir Stasiun Balapan…

Jam 09.56 wib aku sudah menginajkkan kaki di Stasiun Balapan..  Sebelum keluar dari pintu stasiun aku sempat cari info jadwal keberangkatan kereta untuk kembali ke Yogya.  Kereta AC berangkat sekitar jam 14.20.  Kereta Non AC jam 15.20 dan 16.20.

Aku lalu keluar ke sisi selatan rel kereta..  Di luar pintu sudah menunggu serombongan emang2 tukang becak berseragam yang menawarakan jasa..  Harga yang mereka tawarkan sudah standard.  Untuk tujuan yang sama dari lokasi tersebut, mau dengan tukang beca yang mana pun, upahnya sama.. Jadi gak ada persaingan tak sehat dengan melakukan banting harga…  Stasiun Balapan – Kampung Batik Kauman – Pusat Grosir Solo (PGS)   Rp. 15.000,-    Untuk melanjutkan perjalanan ke Kraton Surakarta, emang tukang becak menawarkan upah tambahan Rp.5.000,-.  Lalu dari kraton ke Pasar Klewer juga Rp.5.000,-.  Sedangkan dari Pasar Klewer ke Pura Mangkunegaran, yang aku rencanakan, emang Tukang Becak meminta Rp.15.000,-, dan kemudian Rp.15.000,- lagi untuk jalur Pura Mangkunegaran – Stasiun Balapan.  Jadi biaya transportasi untuk ke 5 lokasi dan kembali ke stasiun dibutuhkan dana Rp.55.000,-  Dan di setiap persinggahan, emang Tukang Becak akan setia menunggu, seperti supir pribadi kita… Heheheheeee….  Buat aku, cara seperti ini sangat nyaman, karena gak mesti bulak balik tawar menawar, dan alhamdulillah si emang tukang becak yang membawa aku orangnya santun banget…

Kampung Batik

Dari Stasiun Balapan ke Kampung Batik Kauman menurut aku cukup jauh.. Naik becak sekitar 15 menit.. Kampung ini terdiri dari sebuah area yang cukup padat.  Mobil hanya bisa jalan satu arah, gak bisa papasan dan itu pun hanya di jalan-jalan utamanya..  Jalanan yang ada lebih banyak berupa gang yang muat untuk dilalui 2 buah becak bersisian atau lebih kecil lagi.

Di wilayah ini sebagian besar rumah merupakan outlet penjualan batik.  Hanya tempat menjual…  Tidak ada orang memproduksi batik di sisni.. Aku tak melihat sebuah canting pun, juga gawangan untuk meletakkan kain yang di batik, atau sepotong malam…  Tidak ada.. Sungguh aku agak kecewa… Karena aku senang sekali melihat orang membatik.., terutama saat pembatik mengangkat canting dari wajan berisi malam yang panas, lalu meniupnya, sebelum menorehkannya pada permukaan kain… Di mata ku gerakan itu sangat indah.., pelan-pelan, halus dan penuh rasa…

Sebagian besar rumah-rumah di kampung ini menjual batik..  Tapi karena yang ku temui tak sesuai dengan harapan, bisa menyaksikan pengrajin, aku ilfil alias ilang filing… Sehingga tanpa berlama-lama aku langsung meminta emang tukang becak mengantarkan aku ke Pusat Grosir Solo..

Pusat Grosir Solo atau lebih sering disebut PGS seperti layaknya pasar modern berupa bangunan sekian lantai.. Sekilas tak terlihat beda dengan pasar-pasar di daerah lain, kecuali dagangannya.. Yuuuppp… Batik..  Hampir semua toko yang ada menjajakan batik.. Baju wanita berupa blouse, dress, rok. Kemeja laki-laki..  Juga kain panjang dan bahan baju.. Semua bermotif batik.. Ada batik sogan, dengan warna mono tone, ada juga yang colourful, dengan berbagai kualitas dan juga harga…

Aku lalu lihat-lihat, cuci mata..  Tapi umumnya baju perempuan yang cantik2-cantik di situ kurang pas dengan selera ku, yang cenederung simple and chic..   Aku hanya nemu sebuah blouse yang keren menurut aku..  Sayang blouse katun yang lucu dan all size itu malah membuat tubuh ku terlihat besar saat memakainya.. Hikssss.. Mengurangi nilai jual ku…

gerbang alun alun solo

Dari PGS aku diantar emang tukang becak ke Kraton Surakarta..  Gak jauh dari PGS..  Bahkan gerbang alun-alun kraton terlihat dari depan PGS..  Cuma untuk pengunjung bisa masuk ke keraton, tidak bisa dari gerbang utama.. Masuknya dari pintu belakang…  Untuk sampai ke sana, kita harus muter-muter dulu di jalan-jalan seputar keraton..

DSC05894

Untuk masuk ke museum karaton, pengunjung peroranga dikenai biaya Rp.10.000,-/orang bagi dewasa.  Kalau rombongan Rp.8.000,-/orang,.. Khusus untuk pengunjung dari luar negeri, tiket masuk harganya lebih mahal.. Rp.15.000,-/orang…   Museum ini bisa dikunjungi setiap hari kecuali Jum’at. Dengan jam berkunjung jam 09.00 – 14.00, kecuali sabtu dan minggu sampai dengan jam 15.00.

Museum Kraton Surakarta  berbentuk bangunan persegi panjang, dengan ruang terbuka dan sebuah sumur tua di tengahnya, yang ditumbuhi beberapa pohon beringin besar..  Sayang rumpu-rumputnya pun besar, alias tinggi..  Seperti kurang terawat..  Ruang pamernya adalah ruangan-ruanganbesar  yang berjejer-jejer di bangunan tersebut…

Apa yang bisa dilihat di Museum Kraton Surakarta…?   Ada banyak barang peninggalan.., milai dari pelataran dapur dan rumah tangga lainnya, senjata, alat transportasi dll.. Sayang sangat sedikit sekali barang yang dipamerkan punya deskripsi… Padahal deskripsi alias “the story behind the object” yang bikin pengunjung bisa memahami dan terpikat pada barang-barang yang dipamerkan..   dari beberapa museum yang pernah aku kunjungi, memang tak banyak yang memberikan deskripsi pada obyek-obyek yang dipamerkan.. Museum Fatahillah, Museum Teknologi Melayu Brunei merupakan museum yang memberikan deskripsi bagi obyek-obyeknya…

DSC05900

Di selasaran museum kraton aku melihat 2 kereta kencana yang sudah tua dan rusak.. Mungkin pengurus kraton tak punya dana untuk merawatnya…  Di salah satu kereta, aku melihat hiasan berupa patung-patung malaikat yang snagat berciri Eropa.. Sepertinya ini salah satu tanda yang menunjukkan kemana orientasi sultan-sultan kraton ini di masa lalu.. Puas melihat-lihat museum, aku melangkah ke sebuah pintu penghubung museum dengan halaman kraton..

Untuk masuk ke halaman dalam kraton, pengunjung tidak boleh memakai sandal, harus sepatu atau telanjang kaki.. Tidak boleh pakai tank top dan hot pants..

Halaman dalam kraton terdiri dari pasir dengan jejeran pohon yang rapat , rimbun dan memberikan rasa sejuk dan teduh…  Aku berkeliling mengamati kembali pemandangan yang pernah ku lihat sekitar 11 tahun yang lalu diiringi lamat-lamat suara gending dari para pemain gending kraton yang sedang berlatih di  sebiah sisi balarung kraton..

Di beberapa titik di teras balairung terdapat patung-patung yang menunjukkan orientasi kraton ini ke budaya Eropa..  Ada patung dewi yang membawa kitab dan pedang di pintu masuk utama..  Lambang bahwa kraton akan berorientasi kepada pengetahuan dan menegakkan hukum kah?  Entah lah.., tak ada guide yang menemaniku, sehingga aku tak mendapatkan penjelasan apa pun..

Di sebuah pojok kraton nampak seorang emban tua duduk terkantuk-kantuk…  Demikian pula di pojok lain, nampak emban tua terkantuk-kantuk menyandar pada sebuah tiang dengan segelas kopi di samping nya..  Kesetiaan para emban…

DSC05912

Aku lalu duduk di sebuah pendopo di seberang balarung.. menikmati semilir angin dan keteduhan yang dihadirkan rerindangan pohon yang rapat, sambil menikmati alunan suara gending… Ada rasa damai yang luar biasa…  Sendainya kehidupan didominasi keteduhan, kesejukan dan keindahan… Hmmmmm….

Setelah duduk beberapa aku meninggalkan keraton, mengahmpiri emang tukang becak yang menunggu di depan gerbang  museum dengan setia..  Kami lalu menuju Pasar Klewer, melanjutkan acara cuci mata, dengan melihat-lihat batik…

gerbang pembatas wilayah kraton dengan pasar klewer

Pasar Klewer memang asyik… banyak banget pilihan batik.. Tapi sekaligus akan membuat bingung orang yang gak paham dimana mencari apa di sini… Heheheheeee…

Gak lama aku masuk ke Pasar ini, aku melihat seorang ibu mendorong gerobak yang berisi berbagai bungkus makanan… Cacing-cacing di perut ku langsung beraksi, meronta-ronta…  Aku melihat jam tangan ku, hmmm jam 13 lewat…, pantas…  Tapi mau makan dimana…? Aku lalu menghampiri si ibu pedagang makanan yang sedang menawarkan dagangannya pada salah seorang penjaga toko..

Aku : Ibu jual apaan?

Ibu Pedagang : Macam-macam.. Ada nasi kuning pakai kering tempe dan telur dadar, selat solo, opor tahu, tempe dan tahu bacem..  Pilih aja..

Aku : Pengen siyy bu.. Tapi mau makan dimana..?

Salah seorang penjaga toko nyeletuk sambil menyodorkan dingklik yang nganggur di samping tempat dia duduk  : Makan di sini aja mba..  Gak apa-apa kok..

Aku : Beneran gak apa-apa? Gak terganggu?

Penjaga toko : Yo enggak lah mba..  Monggo..

Aku lalu memilih sekotak nasi kuning dan opor tahu… Rasanya enak banget…. Heheheeee… si Batak yang menikmati berbagai kuliner termasuk masakan Jawa…

Sambil makan aku ngobrol sama mba penjaga toko yang duduk di sebelah ku.. Aku bilang aku pengen lihat2 batik untuk bahan baju.. Beliau menunjukkan Toko Ria, yang hanya selisih satu dari tempat dia jualan..

Selesai makan, aku mengucapkan terima kasih atas dingkliknya, dan pamit pada si mba penjaga toko..  Aku lalu menuju Toko Ria..  Ya ammmpppyyyyuuuunnnnn…., itu bahan batik banyak banget… aneka warna, corak, kualitas dan harga tentu….. Kalau beli satu jelas harganya beda sama kalau beli beberapa, akan beda lagi kalau belinya banyak…   Klo aku ya jelas belinya hanya beberapa, untuk diri ku dan untuk adik ipar ku yang titip beli..  Dipilih. dipilih, dipilihhhhhhh…. 😀

Sungguh tak mudah untuk memilih mana yang mau dibawa pulang..  Akhirnya setelah keinginan dan logika berperang seru, aku memutuskan membeli 4 potong dan titipan adik ipar ku 3 potong..  Tapi sungguh aku puas dengan pilihan2 batik ku kali ini..  Mudah-mudahan aku punya kesempatan untuk segera mengantarkannya ke Penjahit Sebelas di Cipete, Jakarta, yang telah membuatkan baju-baju cantik dari batik buat adik ipar dan juga Ati, teman ku.

Puas pilah pilih batik, aku keluar dari Pasar Klewer, dan meminta emang tukang becak membawaku ke Pura Mangkunegara..  Sebelumnya kami sempat singgah di sebuah masjid di daerah Kauman untuk sholat Dzuhur.  Kami sampai di gerbang utama Pura Mangkunegaran pada pukul  14.36 wib.  Pura sudah tidak menerima kunjungan lagi untuk hari itu, karena waktu berkunjung hanya sampai jam 14.00 wib.  Tapi salah seorang perempuan yang kami temui di halaman luar pura menyarankan kami untuk masuk dari pintu samping..

Tukang becak lalu membawa ku memutar ke pintu samping Pura.  Alhamdulillah, penjaga di gerbang pura mengizinkan ku untuk masuk dan bersedia mengantarkan ku berkeliling.. Terus terang aku lebih banyak membaca tentang Keluarga Mangkunegaran dari pada Keluarga Kraton Surakarta.  sosok mereka lebih familiar dan wellknown ya.. Mungkin karena anggota keluarga mereka menjalin tali pernikahan dengan nama-nama besar di negeri ini, seperti dengan putri Bung Karno dan putra Prof M. Yamin.  Sebagai anak yang suka ikut ibu membaca majalah Kartini di masa kecil, jadi tahu cerita-cerita tentang kteluarga tersebut..

Pura Mangkunegaran jauh lebih terawat dari pada kraton Surakarta.. Halaman dalam kraton tertata rapi dan sangat asri.  Menurut penjaganya, Paundra, putra sulung Mangkunegoro X dan Sukmawati Soekarno Putri yang menetap di situ.  Sementara Mangkunegoro X dan keluarga lain lebih banyak menetap di Jakarta.

Aku sempat kembali menyusuri ruang-ruang Pura yang cenderung terbuka.. Mengamati koleksi topeng dan cendera mata koleksi keluarga Pura, serta foto-foto  mereka.  Sungguh Pura ini cenderung lebih terasa nuansa kekeluargaannya..

Setelah seputaran mengelilingi bagian dalam Pura Mangkunegaran, aku melanjutkan perjalanan ke Stasiun Balapan.. Yaaaaa, aku harus mengejar kereta, karena aku berharap sebelum jam 17-an aku sudah berada di Prambanan.. Alhamdulillah aku sampai di Stasiun Balapan jam 15.15.. Barengan dengan munculnya kereta yang akan berangkat ke Yogya.. Tapi kali ini kereta tanpa AC.. Gak masalah, yang penting perjalanan bisa dilanjutkan..

Terima kasih emang tukang becak yang sudah setia mengantarkan ku keliling Solo.. Tukang becak yang di awal perjalanan sempat ku ku minta opininya tentang Joko Widodo..    Ini opini si emang Tukang Becak…

Hal2 yang membuat Rakyat Solo mencintai JOKOWI:

  1. Jokowi menyediakan tempat bagi para PKL yang menjual barang2 bekas, tempat itu gratis;
  2. Jokowi membangun seluruh kantor Lurah dan Camat di kota Solo sehingga representatif untuk melayani masyarakat;
  3. Jokowi melakukan penataan di pemukiman di bantaran kali Bengawan Solo untuk sekitar 200 KK, dan mereka mendapatkan sertifikat atas tanah mereka;

  4. Jokowi membangun Rumah Sakit Pemerintah Kota Solo, dan membuat kebijakan pemberian pelayan gratis bagi penduduk miskin;

5. Jokowi melakukan kebijakan pendidikan gratis untuk pendidikan Dasar – Menengah bagi penduduk yang terdaftar sebagai Warga Surakarta/Solo;dan beberapa kebijakan lainnya yang berpihak ke rakyat kecil..

Ini adalah pandangan seorang rakyat kecil, seorang Tukang Becak..Saat aku tanya, bapak gak kecewa pak Jokowi meninggalkan Solo sebelum berakhir masa jabatannya ?Jawab bapak Tukang Becak : “Ya sedih, bu.. Tapi beliau kan harus diberi kesempatan untuk berbuat ti tingkat yang lebih tinggi. Demi kemajuan Indonesia, tohh..”Jawaban yang sangat bijak… menurut aku..

Semoga lain kali aku bisa berkunjung kembali ke Solo.. Aku ingin ke Lawean, aku ingin menyusuri sisi lain kota ini.. Dan aku berharap bisa mengunjunginya pada saat Solo Batik Festival…  Semoga, semoga, semoga…***

Tugu Batakland English School…

Hari Kamis, 15 Desember 2011 aku melakukan perjalanan bersama Papaku..  Perjalanan yang akan penuh kenangan buat kami nantinya..  Ya kami melakukan perjalanan dari Sipirok ke Medan lewat  jalur Pangaribuan..  Jalur yang sama sekali tak populer bagi para penempuh jalan Sipirok – Medan, atau sebaliknya..

Buat keluarga kami, jalur yang biasa kami tempuh adalah Sipirok – Tarutung – Siborong2 – Balige – Parapat – Tebing Tinggi – Lubuk Pakam – Medan.  Tapi di jalur ini ada ruas yang sangat tidak nyaman, yaitu ruas Aek Latong, yang berada di antara Sipirok dan Tarutung, hanya sekitar 15 km dari Sipirok.  Ruas semakin membuat tak nyaman di hati setelah beberapa bulang yang lalu di lokasi tersebut terjadi kecelakaan, sebuah bus ALS tergelincir dan menyebabkan 14 orang penumpangnya tewas.  Jalur lain adalah Sipirok – Padang Sidempuan – Sibolga – Tarutung dst.  Buat kami jelas jalur ini sangat tidak popuker karena…., muter bok…!! Perjalanan bertambah panjang sekitar 3 jam… Ogah laaahhh ya, kecuali gak ada pilihan.. 🙂

Naaahhh, jalur Sipirok – Pangaribuan – Siborong2 – Balige dan seterusnya lah yang menjadi pilihan…  Dari Sipirok, kami bergerak ke arah Sibadoar, Bunga Bondar, Hanopan, Sipogu dan seterusnya…  Tak lebih 2 kilometer dari kampung Sipogu, Papa tiba-tiba menyuruh supir yang mengendarai mobil kami berhenti…  Papa lalu mengajak aku turun… Lalu menuju semak-semak yang padat di pinggir jalan…

Papa sambil menerabas semak2 di sekitar kami : “Di sini inang (= ibu, tapi dalam bahasa Batak sehari-hari biasanya digunakan oleh orang tua untuk memanggil anak perempuannya) ada tugu peringatan Batakland English School..  Sekolah Batak berbahasa Inggris..

Di balik semak-semak yang padat itu, kami menemukan tugu berwarna hijau tak terawat…. Mengenaskan…

Tugu Batakland English School di Sipogu – Sipirok dikelilingi semak…

Di tugu tersebut tertulis :

THE FIRST SCHOOL OF SEVENTH-DAY

ADVENTIST CHURCH IN SUMATERA

BATAKLAND ENGLISH SCHOOL

(BES)

1921

Jadi tempat tugu  ini berada merupakan bekas  lokasi Batakland English School, sekolah misi pertama di Sumatera.  Hasil surfing di dunia maya, ada seseorang yang  bernama Jan S. Aritonang yang menulis tentang sekolah ini.. dan menurut beliau sekolah ini berlangsung pada tahun 1861 – 1940.  Terlepas dari ini merupakan sekolah misi, kehadiran sekolah ini menurut cerita yang didengar Papaku, berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa Inggris dan wawasan berpikir generasi muda Sipirok di zaman tersebut…  Sayangnya kalau tugu ini diabaikan begitu saja dan terbenam dalam rimbun semak dan ilalang… ***

Berkunjung ke Istana Maimoon….

Istana Maimoon adalah salah satu peninggalan Kerajaan Melayu Deli yang terdapat di Kota Medan…  Buat aku berkunjung ke istana ini pada tanggal 01 September 2011 yang lalu merupakan perjalanan yang sangat istimewa..  Mengapa….?

Karena aku tidak pernah tahu dan ingat kapan pertama kali aku menginjak Kota Medan dan melihat istana yang berlokasi di Jalan Brigjen Katamso ini..  Ya, sejak masih bocah cilik mentik aku sering sekali ke Medan.. Aku tidak bisa lagi menghitung dan mengingat berapa kali aku ke Medan dan melihat istana ini. Bahkan sebelum kelas 4 SD boleh dibilang setengah dari hari-hari ku, aku berada di Medan dan setengahnya lagi di Pekanbaru.. Tapi, dari kunjungan yang entah berapa kali dan sejak usia sangat belia itu….., AKU BELUM PERNAH BERKUNJUNG KE ISTANA MAIMOON sampai tanggal 01 September 2011 itu..  Aneh yaaa….???

Istana Maimoon, 01 September 2011

Tapi aku yakin, I’m not the only person on the world yang mengalami begini…, terutama di Indonesia… :D.  Karena kita memang lebih sering memandang sesuatu yang jauuuhhhh…., tapi kurang aware dengan sesuatu yang ada di sekitar kita, sesuatu yang dekat dengan jangkauan pandang kita…  Buktinya, ada pepatah orang tua-tua kita yang bilang  “Semut di seberang lautan nampak, tapi gajah di pelupuk mata tak terlihat”.  Rasanya pepatah ini tak hanya bisa dimaknai “lebih mudah melihat kesalahan orang lain dari pada kesalahan diri sendiri” tapi juga bisa dimaknai sebagai “lebih terhadap menghargai apa-apa yang jauh dari diri kita, tapi abai terhadap apa yang ada di sekitar kita…”

Menurut aku, sudah saatnya kita harus berubah… Kita harus lebih menghargai warisan (heritage)  leluhur kita, menyisihkan waktu untuk mengapresiasinyaerap nilai-nilai luhur yang terpahat di tinggalan-tinggalan tersebut…

Buku Sejarah Singkat Istana Maimoon…

Menurut buku Sejarah Singkat Istana Maimoon yang dijual pengelola istana seharga Rp.15.000,- / eksemplar, Kerajaan Melayu Deli bermula dari Kerajaan Aru di abad 16, yang ditaklukkan  oleh pasukan Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Hisyamuddin seorang keturunan Hindustan pada tahun 1612.  Panglima ini lah yang kemudian diangkat oleh Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh sebagai wakil kerajaan untuk wilayah Sumatera Timur dengan gelar Tuanku Panglima Gocah Pahlawan.  Selanjutnya wilayah tersebut menjadi Kerajaan Deli dan Tuanku Panglima Gocah Pahlawan menjadi Sultan Deli I.

Selanjutnya, setelah generasi demi generasi berganti.., ibu kota kerajaan pun berkali-kali berpindah lokasi.   Bersama dengan kejayaan dan kemakmuran Kerajaan Deli dari perdagangan tembakau,  Sultan Deli IX, Sulthan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah yang memerintah tahun 1873 – 1924, memindahkan ibu kota kerajaan dari Labuhan Deli ke Medan dan mendirikan Istana Maimoon mulai tanggal 26 Agustus 1988 dan diresmikan pada tanggal 18 Mei 1891.

Menurut buku Sejarah Singkat Istana Maimoon, Istana  yang bernuansa Persia, India dan Eropa ini mempunyai luas 2.772 m2 di atas lahan seluas 217 x 200 m2, yang biaya pembangunannya menghabiskan dana sebesar Fl.100.000.  Ada pun arsiteknya adalah seorang tentara KNIL yang bernama  Kapten TH. van Erp.

Selain membangun Istana Maimoon, Sulthan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah ini juga membangun Masjid Raya Al Mashun pada tahun 1906.  Berrdasarkan catatan di rumah peninggalan Tjong A Fie,  Kapitan masyarakat Tionghoa di Medan pada zamannya itu, pembangunan masjid raya tersebut pendanaannya dibantu oleh Tjong A Fie…

Beratus-ratus bahkan mungkin beribu kali melintasi jalan di depan Istana Maimoon memang menghadirkan kesan akan adanya warisan budaya di situ, tapi kesannya tidak sekuat ketika kita melintasi kawasan Keraton Yogya atau Keraton Solo, hal ini mungkin karena eksistensi Keluarga Kerajaan Deli di masyarakat tidak lagi sekuat keluarga Keraton Yogya dan Keraton Solo…

Begitu memasuki halaman istana, kita bisa merasakan adanya sisa-sisa kejayaan masa lampau yang kurang terawat :  rumput yang tinggi, halaman yang tak tertata baik.. Bahkan tempat parkir pengunjung pun tidak cukup representatif…  Aku cukup kebingungan saat mau memarkirkan mobil, karena lokasi parkir tidak teduh, sementara istana yang berundak-undak tidak memungkinkan Mama yang menggunakan kursi roda untuk ikut masuk ke istana. Setelah berdiskusi dengan Mama, aku akhirnya memarkirkan mobil dekat “green house” penjual bunga yang ada di halaman istana..  Mobil diparkir dengan mesin dan AC tetap menyala, jendela di sisi tempat duduk Mama yang dekat “green house” dibuka separuh…  Jadi selama menunggu kami mengunjungi  istana, Mama bisa menikmati pemandangan bunga-bunga yang ada di “green house”.  Setelah membuat Mama dalam kondisi yang agak nyaman, aku pun berjalan menuju istana, menyusul rombongan Mami Nana, kak Erni dan anak-anak yang sudah aku turunkan di depan pintu masuk istana sebelumnya..

Tangga masuk istana serta prasasti pembangunan istana..

Untuk masuk ke istana yang bernuansa kuning dan hijau ini, kita harus melewati sederetan anak tangga… Yaa…, istana ini merupakan rumah panggung.., karena berada tak jauh dari Sungai Deli yang  membelah Kota Medan..  Di bagian kaki pilar terbawah tangga istana terdapat prasasti 2 prasasti.  Prasasti di pilar sebelah utara berbahasa Belanda yang bertuliskan tanggal pendirian istana ini.., sedangkan di pilar bagian selatan terdapat prasasti bertulisan Arab.

Di ujung tangga istana, kita akan sampai di beranda istana yang cukup luas dan sangat nyaman… Beranda ini menyatu dengan balkon-balkon yang cantik…  Aku membayangkan betapa menyenangkannya beranda ini untuk duduk-duduk santai bagi Sultan dan keluarganya, sambil menikmati teh di pagi dan sore hari….

Teras dan Balkon  Istana….

Dari teras, kita bisa mencapai ruang penerima tamu.. Di ruang ini hanya tersisa 2 buah sofa tua di sisi selatan dan lemari antik khas China di sebuah pojok di sisi utara.. Selebihnya hanya ada beberapa buah foto-foto di dinding…  Dari ruang penerima tamu ini kita bisa menuju ruang yang besar, yang di sisi utaranya terdapat singgasana Sultan, dengan nuansa kuning dan hijau…  Tak banyak yang tersisa di ruang ini, hanya ada beberapa furniture dan lukisan para Sulthan dan keluarganya..

Interior Istana….

Dari ruang besar kita bisa mencapai bagian belakang istana.. Bagian belakang in digunakan untuk penjualan souvenir, juga untuk berfoto bagi pengunjung yang ingin berfoto menggunakan baju kerajaan..  di ruang belakang ini pula terdapat sepasang kursi kerajaan…

Istana ini indah…, terlalu indah untuk diabaikan oleh zaman…

Untuk lebih bisa mengenal dan menikmati tinggalan budaya yang satu ini, ada baiknya teman-teman menyediakan waktu untuk berkunjung ke sini bila teman-teman ke Medan… Tiket masuknya sama sekali tidak mahal sama sekali.. Kalau tidak salah Rp.1.000,- per orang saja..***

Bergaya di Istana…

Selamat Jalan Tulang Sahrin…

Hari Jum’at malam  tanggal 5 Agustus 2011, aku dapat bbm di group keluarga kami dari Ivo, adik ku..  Isinya “Tulang  (Oom dari pihak ibu) Sahrin dirawat di ICU rumah sakit Materna (Medan) karena …….. ” Innalillah….

Siapa siyy Tulang Sahrin.. ?? Tulang Sahrin, lengkapnya Sahrin Halomoan Harahap  adalah sepupu  Mama ku..  Ayahnya Tulang Sahrin, Opung Bagon Harahap gelar Baginda Hanopan adalah abang dari Jamin Harahap gelar Baginda Soripada Paruhum, ayah Mamaku..  Mereka berdua adalah anak dari Tuongku Mangaraja Elias Hamonangan Harahap dari Hanopan dengan istrinya Petronella boru Siregar dari Bungabondar. Sehingga secara tutur (cara memanggil) dalam adat Batak aku memanggil “tulang” alias saudara laki-laki dari ibu kepada Tulang Sahrin.

Sebenarnya, aku terkait dengan Tulang Sahrin bukan cuma dari pihak Mama, tapi juga dari pihak Papa, karena ibunya Papa juga kakak beradik dengan Baginda Hanopan, ayah tulang Sahrin.  Bahkan saat belia tulang Sahrin pernah tinggal bersama-sama keluarga Papa, sehingga dia bagaikan adik bagi Papa yang merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara.  Karena itulah tulang Sahrin memanggil Papa dengan sebutan “abang” bukan “ipar” sebagaimana seharusnya dalam tutur adat Batak.

Buat aku, tulang Sahrin bukan cuma sekedar sepupu Papa dan Mama yang sesekali bertemu di acara-acara keluarga..  Memang, lebih dari 30 tahun terakhir itu yang terjadi.., kami hanya bertemu sesekali karena kami tinggal di kota yang berbeda..  Tapi di saat aku berusia sekitar 9 sampai dengan 11 tahun, aku dan tulang Sahrin yang saat itu bertugas di Kejaksaan Tingg Riau, tinggal di rumah yang sama di jalan Kundur Pekanbaru.

Lalu hari Rabu, 10 Agustus 2011 siang, setelah tulang dirawat 5 hari, Papaku mengabari kami anak-anaknya kalau tulang akhirnya berpulang.. Innalillahi wa innailaihi roji’un… Selanjutnya Papa mengabari kalau pemakaman yang didahului dengan acara adat akan dilalukan di Hanopan pada hari Sabtu 13 Agustus 2011..



Setelah berunding dengan adik ku David, diputuskan aku akan pulang kampung untuk menghadiri acara adat dan pemakaman itu..  Karena David, baru saja kembali dari Medan, dan sempat mengunjungi Tulang Sahrin saat dirawat di rumah sakit.  So, berangkat lah aku pada tanggal 12 Agustus 2011 menjelang magrib dengan menggunakan mobil rental sekaligus sopirnya, karena si sparky adalah city car yang bukan untuk digunakan di jalur trans sumatera..

Setelah menyelesaikan pekerjaan sampai dengan Jum’at 12 Agustus 2011 siang.. Menjelang magrib aku berangkat menuju negeri leluhur ku, Sipirok…  Kami pergi melalui jalur Pasir Pangaraian – Aek Godang.  Di beberapa ruas, jalannya memprihatinka, tapi masih tetap ini adalah jalur tersingkat dan tercepat.. Jalur alternatif adalah dari Sibuhuan belok ke arah Gunung Tua, lebih jauh sekitar 150-an km dengan jarak tempuh lebih lama sekitar 2 1/2 jam..

Perjalanan ini cukup berat rasanya, karena dilakukan di bulan Ramadhan, saat tubuh butuh konsumsi lebih di malam hari.  Sementara setelah lewat kota Pasir Pangaraian tidak ada tempat makan yang representatif..  Sahur kami lakukan di Palsabolas,  sekitar 20 km dari Sipirok.  Itu pun yang disantap hanya roti yang kami bawa dari Pekanbaru, serta teh yang kami buat dengan meminta air panas di warung yang hanya menjual indomie…  Selama dalam perjalanan, kami hanya menyantap roti dan roti plus kue bawang dan jeruk..

Kami sampai di rumah Opung di Sipirok menjelang jam 5 pagi…   Tapi kami tidak bisa menginap di sini, karena di rumah Opung hanya satu kamar yang dibiarkan kosong buat Papa menginap kalau pulang ke Sipirok.  Kamar-kamar lain digunakan oleh anak-anak dari desa-desa di sekitar Sipirok yang bersekolah di Sipirok.  Mereka sekaligus bertanggung jawab untuk bersih-bersih rumah..  Sementara rumah Opung yang satunya, bagas lombang sedang disewakan supaya ada yang menghuni dan merawat.  Papa lalu membawa kami ke Mess Pemda SUMUT di Pesanggrahan, yang lokasinya tak jauh dari rumah Opung.

Setelah istirahat, sekitar jam 09 pagi kami berangkat ke Hanopan, yang berjarak sekitar 14 km ke arah Simangambat, untuk mengikuti acara adat pemakaman tuang Sahrin..  Ya, upacara adat pemakaman tulang Sahrin dilakukan di rumah peninggalan leluhur kami Tuongku Mangaraja Elias Hamonangan Harahap yang berada di kampung Hanopan.

Bagas Parsadaan Hanopan, peninggalan Tuongku Mangaraja Elias Hamonangan Harahap, buyutku..

Saat kami sampai di Hanopan, persiapan melepas jenazah sudah rampung dilakukan..

Bendera-bendera duka cita sudah melambai-lambai di udara…  Ada yang terdiri dari gabungan kain tiga warna khas Batak, putih – hitam – merah.  Ada juga yang empat warna, putih – hitam – merah – kuning.  Ada juga yang bergambar bulang, penutup kepala laki-laki yang bentuknya seperti mahkota, yang biasanya dipakai pengantin laki-laki.  Ada juga yang bergambar pedang dan ular..  Aku belum sempat bertanya pada Papa ku apa makna semua itu..

Bendera-bendera Adat melambai di udara…

Di jalan di depan rumah sudah tersedia hombung, keranda khas Batak, yang dilapisi ulos.  Pada hombung tersebut juga  terdapat ukiran2 penuh makna..  Di belakang hombung terdapat tandu dari bambu, yang khusus dibuat untuk mengangkat peti jenazah tulang Sahrin…

Persiapan… Hombung dan Tandu Bambu…


Kami lalu masuk ke rumah…  Aku menyusuri sampai ke belakang rumah…  Di halaman belakang rumah aku lihat para ina (ibu-ibu) dan ama (bapak2) sedang mangaloppa (memasak), ada juga yang masih memotong-motong juhut (daging)…

Dalam adat Batak, bila seseorang meninggal di usia yang sudah tua, punya anak keturunan dan mapan secara ekonomi dianggap meninggal saur matua..  Kalau orang meninggal saur matua, keluarganya akan melakukan pemotongan seekor binatang ternak yang dagingnya (juhut) sebagian akan dimasak untuk makan tamu dan orang-orang yang bekerja selama upacara adat, sebagian lagi dibagikan kepada kerabat dan orang kampung tempat upacara adat dilaksanakan.  Khusus untuk masyarakat Batak Angkola, yang sejak lama sebagian menganut agama Islam dan sebagian lagi menganut agama Kristen, binatang ternak yang dipotong adalah kerbau.  Sedangkan yang memasak makanan adalah kerabat dan orang-orang kampung yang muslim dibantu dengan yang non muslim, sehingga pihak tamu dan kerabat yang muslim tidak ragu sama sekali akan kehalalan makanan yang dihidangkan…  Mengingat acara adat kali ini berlangsung di bulan Ramadhan, maka para tamu dan keluarga yang non muslim semua makan di dalam rumah, sedangkan yang muslim diberi makanan untuk disantap setelah berbuka puasa… penuh toleransi…

memotong juhut…

Mangaloppa…. Dilakukan oleh keluarga yang Muslim di Bulan Ramadhan bagi kerabat yang Non Muslim..

Acara adat dimulai dengan acara keluarga, yaitu penyampaian rasa kasih terhadap yang pergi dari para anggota keluarga yang ditinggalkan, yaitu istri, anak, menantu, mora, anak boru dan lain-lain, juga mengekspresikan rasa duka serta kalimat-kalimat saling menguatkan dalam menghadapi kehilangan ini…  Lalu karena sudah waktunya makan siang, maka para kerabat dan tamu yang non muslim dipersilahkan makan siang di bagian dalam rumah..

Setelah acara makan siang selesai…, acara pelepasan jenazah dimulai… Jenazah yang sejak kedatangannya di Hanopan diletakkan di tempat  tidur besi bertiang 4 (bed foster) peninggalan buyutku yang dihias dengan kain batik di tiang-tiangnya, dibawa ke luar rumah dan diletakkan di atas tandu yang dibuat dari bambu…, kemudian ditutup dengan hombung…

Membawa peti jenazah ke depan rumah…

Lalu disampaikan kata sambutan dari pihak keluarga, oleh Tulang Pasti, yang dilanjutkan dengan pembacaan riwayat hidup oleh Tulang Mei, adik bungsu Tulang Sahrin…  Kemudian sambutan yang tak putus-putus dari Mora, Anak Boru, Pisang Raut, Kahanggi, Raja Adat Hanopan lalu para Raja-raja Adat dari kampung-kampung di sekitar Hanopan.

Selesai kata sambutan yang sangat panjang dan lama, akhirnya tandu jenazah diangkat dengan didahului oleh seorang pemuda bermarga Harahap yang dipakaikan bulang dan perlengkapannya serta diiringi  payung kuning..  Untuk tahap awal, keranda tidak diangkat begitu saja.. tapi setelah beberapa langkah maju, dilakukan pula beberapa langkah mundur yang diiringi dengan tebaran beras kuning bercampur uang-uang logam… Langkah maju mundur dilakukan beberapa kali, baru kemudian keranda dibawa dengan langkah maju sepenuhnya menuju gereja untu dilakukan kebaktian pelepasan dan dibawa ke kuburan keluarga Harahap di pinggir pemukiman kampung Hanopan..

Melepas jenazah…

Mengantar jenazah ke gereja untuk kebaktian dan selanjutnya ke pemakaman..

Setelah pemakaman selesai, acara adat ditutup dengan tahapan Paulak Mora..  Semacam acara pelipur lara bagi keluarga yang ditinggalkan, serta menyerahkan tuppak (kontribus untuk membantu menutupi biaya yang telah keluar untuk acara adat) kepada keluarga yang ditinggalkan…

Semoga Tulang Sahrin beristirahat dalam damai.. Semoga keluarga yang ditinggalkan bisa bersabar dan menyelesaikan apa yang masih menyangkut dengan damai… Terutama di hati mereka.. Aku tahu itu tidak mudah.. Tapi percaya lah, menyerahkan segalanya ke tangan Allah adalah jalan terbaik… ***

Ke Pampang Lagi…

Pampang….??? Iya Pampang... Desa Budaya milik masyarakat Dayak Kenyah yang berada tak jauh dari Kota Samarinda, ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur… Hanya beberapa belas kilometer dari pusat kota..

Aku sudah beberapa kali berkunjung ke desa ini, dan rasanya selalu menyenangkan…  Menatap tinggalan budaya dan membuat potret-potretnya menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi ku jika berkunjung ke sana.. Bahkan aku sangat senang menatap tiang dengan patung burung enggang di ujungnya, yang terdapat di halaman depan rumah panjang… Menatapnya selalu membuat lagu Kalimantan karya Guruh Soekarno Putra yang dinyanyikan Chrisye kembali mengalun di benak ku…

KALIMANTAN

Sungai Mahakam terbentang
Bagai membelah dunia
Berkayuh ku ke seberang
Mencari dambaan jiwa

Gunung biru menghijau
Berhutan bagai beludru
Juwita dimana engkau
Hatiku semakin sendu

Tiang Enggang

Kemana, kan kucari
Kemana, oh kemana
Kemana, kan kucari
Kemana, oh kemana

Kudengar kicau burung
Dipohon bercanda riang
Menghilang rasa murung
Hatikupun merasa senang

Wahai kau burung enggang
Bolehkah daku bertanya
Dimana kucari sayang
Dambaanku tak kunjung datang

Dipadang belantara
Terdapat rumah panjang
Mungkinkah kasih disana
Jika ada kan kujelang

Ternyata kudapati
Hanyalah bekas bara
Kemana lagi kau kucari
Mungkin kita tak pernah jumpa

Kemana, oh kemana (3x)

composed by Guruh Soekarno Putra, sung by Chrisye

Bahkan beberapa waktu yang lalu, David, adik ku yang menetap di Samarinda mengabarkan lewat telpon bahwa Foto Rumah Panjang di Desa Pampang yang kubuat dan ku posting di sini bahkan digunakan pada buku pelajaran anak-anak SD di Kalimantan Timur.  Foto itu dimuat tanpa seizin ku, bahkan tidak mencantumkan sumber dari mana foto itu diambil penulis.

David  mengetahuinya dari seorang teman  yang melihat-lihat buku pelajaran anaknya, dan menemukan bahwa anak yang ada di depan Rumah Panjang di buku  itu sepertinya Abner, anak laki-laki David, yang sering dia temui saat kedua keluarga saling berkunjung.  Dia heran kok bisa ujug-ujug Abner jadi foto model dalam buku pelajaran sekolah.. Hahahaha.. Lalu teman David itu menelpon David untuk mengecek kebenaran bahwa yang ada di foto itu benar-benar Abner.

David malah bingung karena merasa tidak pernah membuat foto itu apalagi mempulikasinya, apa lagi menyerahkan ke penerbit.. David akhirnya nanya ke Abner, apa dia ingat kapan foto itu dibuat.. Abner yang bilang “Itu kan foto ku yang dibuat Bou, waktu kita sama-sama ke Pampang, PiI.”  David dan Nana, istrinya lalu mengecek blog ku, daaaaannnnn voilaa…..!!  Mereka menemukan foto yang sama dengan yang dimuat di buku pelajaran tersebut…

Buat aku mesti ada rasa gak nyaman karena karyaku diambil untuk sesuatu yang bernilai ekonomi tanpa izin, tapi mengingat karyaku dipakai untuk mengenalkan kebudayaan kepada generasi penerus bangsa, aku ikhlas… Semoga mamapu membuat mereka sadar betapa tingginya budaya bangsa kita..

So, saat kunjungan ke Samarinda pada tanggal 2 – 5 Juni lalu aku pun pergi ke Pampang.. Ngapain lagi…?  Secara kali ini saat aku ke Samarinda ada teman yang ikut, yaitu BG alias GP, yang belum pernah ke Pampang, ya aku menemani beliau ke sana..  Gak bosan…?  Ennggggaaaaaakkkkk tuuuuhhhh…..  Enngggaakkkk bangetssss….

Rumah Panjang

Rumah Panjang, 04.06.2011

Tapi ada yang berubah saat aku sampai di depan jalan masuk ke halaman Rumah Panjang.. Ada proses pembangunan pagar keliling… Bagus siyyy untuk mengamankan tinggalan budaya itu, tapi efeknya Rumah Panjang seakan berada di lahan yang sempit…, kemegahannya berkurang….

Souvenier Pampang

Dagangan di Rumah Panjang…

Begitu turun dari mobil yang diparkir di depan Rumah Panjang, beberapa anak perempuan menghampiriku dan BG, menyapa dengan ramah.., menanyakan dari mana aku datang.. Hmmmmm…, anak2 yang punya kesadaran pariwisata… Good effort kids…!!!

Kami lalu menaiki beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu tua menuju bagian dalam Rumah Panjang… Tidak seperti saat aku berkunjung sebelum-sebelumnya.. Di dalam rumah itu sudah adagebeberapa perempuan yang berjualan cendera mata, berupa gelang-gelang, kalung, ikat pinggang dan ikat kepala, rompi khas Dayak Kenyah.., terbuat dari manik-manik dengan kombinasi warna yang meriah…

Lalu aku juga melihat melihat gendongan bayi dari manik-manik di antara barang-barang yang didagangkan tersebut… Salah seorang perempuan yang berjualan di situ menggunakan dari manik-manik untuk menggendong anaknya, sementara seorang perempuan lain menggunakan gendongan dengan model yang sama tapi terbuat dari rotan…

Gendongan Bayi Mote

Gendongan Bayi dengan hiasan manik-manik..

Gendongan Bayi Rotan

Gendongan Bayi Berbahan Rotan

Di dalam Rumah Panjang itu juga terdapat bapak Kuping Panjang, yang ini orangnya berbeda dengan yang dulu kami pernah berfioto bersama David, Nana dan Abner.. Kali ini kostumnya lebih  lengkap dengan tombaknya..  Selain itu juga ada beberapa anak yang menggunakan baju khas Dayak Kenyah serta seorang ibu yang cukup lanjut usia dengan kuping yang panjang dan kedua lengan penuh tatto yang telah memudar…

Untuk berfoto dengan Bapak, Ibu Kuping Panjang dan anak-anak kecil tersebut kita harus membayar.  Untuk satu jepretan dikenakan Rp.25.000,-  Lumayan mahal juga yaa.. Tapi mungkin itu lah satu-satunya sumber penghasilan mereka, selain berladang.  Menurut aku siyy tidak apa-apa, toh dengan kita menghargai mereka dan kekayaan budaya mereka, akan memotivasi mereka untuk melestarikan budaya itu.. Why not, bukan begitu teman-teman…?

Ibu Kuping Panjang

Ibu Kuping Panjang..

 

Ada pun si Ibu Kuping Panjang dan Bertatto di lengan sangat  ramah dan setengah mati merayu ku agar membeli barang dagangannya.. Tapi setelah aku jelaskan bahwa aku tak ingin lagi berbelanja agar rumah tak penuh dengan berbagai barang, dan dia pun telah mendapatkan uang dari ku sebagai model foto, akhirnya dia tersenyum… hehehehe…

Pampang memang selalu menyenangkan untuk dikunjungi…  Datang lah ke sana teman-teman.. Kita akan mengenali betapa kayanya budaya negeri ini…****