Berkunjung ke Selatpanjang

Awal minggu lalu, aku kembali ngebolang.. Menjadi bocah petualang.  Ceritanya diriku diajak teman-teman kantor pergi ke Kota Selatpanjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti.  Kota ini berada di Pulau Tebing Tinggi, salah satu pulau yang berada di pesisir timur Pulau Sumatera.

Untuk sampai ke Kota Selatpanjang, dibutuhkan sedikit perjuangan, karena kita harus berganti kendaraan sebanyak 3 kali.  😀 😀 Pertama-tama kita naik kapal selama 1 jam, dari Pelabuhan Sungai Duku di daerah Teluk Lembu di Pekanbaru, sampai ke pelabuhan rakyat di daerah Buantan di Kabupaten Siak.  Di Buantan kita bertukar kendaraan, naik bus.  Perjalanan selama 1.5 jam sampai ke Pelabuhan Butun yang berada di pantai timur Pulau Sumatera, namun masih termasuk Kabupaten Siak.   Di Butun kita ganti kendaraan lagi dengan kapal.  Kita harus berlayar 1.5 jam, baru sampai ke Kota Selatpanjang.  Saat berpindah-pindah kendaraan, kita harus berjalan kaki antara 50 – 200 meter, jadi disarankan untuk tidak membawa barang yang besar atau banyak.  Kalau memang akan membawa barang, ada jasa pengangkut  berupa gerobak, atau serahkan kepada awak kapal untuk mengurus.  Dengan tambahan bayaran tentunya.  Atau kalau memang mau bawa barang banyak, supaya gak pindah-pindah kendaraan, pilihannya adalah naik kapal kayu Gelatik.  Hanya waktu tempuhnya 3 kali lipat, 12 jam lebih kurang.

Berapa ongkos Pekanbaru – Selatpanjang?  Kalau naik Nagaline, nama salah satu operator yang melayani  jalur tersebut, ada 3 kelas dengan 3 tingkatan harga.  Rp. 150K untuk kelas ekonomi.  Di kapal duduknya di baris keempat sampai ke belakang.  Kursi di bus, 3 tempat duduk di sisi kiri dan 3 tempat duduk di sisi kanan.  Untuk kelas VIP, harganya Rp.170K.  Di kapal duduk di baris pertama sampai baris ketiga.  Busnya beda dengan yang kelas ekonomi.  Tempat duduk di dalam bus berada di jalur kiri, 2 kursi bersebelahan.  Kelas VVIP harganya Rp.190K.  Di kapal duduk  di baris pertama.  Di bus, duduk di jalur kanan, kursi tunggal, kaki bisa selonjoran.

Vihara Hoo Ann Kiong, Agustus 2012 at my insta @sondhasiregar

Kunjungan ke Selatpanjang kali ini bukan yang pertama kali bagiku.  Diriku pernah ke sana sekitar bulan Agustus 2012, untuk mengunjungi teman lamaku,  kak Vivi.  Waktu itu kak Vivi yang dokter gigi dan besar di Selatpanjang bertugas di sana.  Saat berkunjung ke sana,  aku sempat dibawa kak Vivi berkeliling dengan sepeda motor, melihat-lihat beberapa bahagian sisi kota, termasuk melihat Vihara Hoo Ann Kiong, yang berlokasi di Jl.  Ahmad Yani.  Diperkirakan, vihara ini adalah vihara tertua di Kota Selatpanjang, bahkan  tertua di Provinsi Riau.   Kota Selatpanjang, sebagaimana kota-kota besar mau pun kecil di pesisir timur Pulau Sumatera, pesisir barat Pulau Kalimantan dan pesisir utara Pulau Jawa adalah daerah-daerah yang banyak penduduk dengan etnis Tionghoa.  Jadi tidak heran kalau ada beberapa vihara di Selatpanjang.

Becak Selatpanjang

Di Kota Selatpanjang transportasi umumnya adalah sepeda motor, sepeda dan becak. Tak banyak mobil yang wara wiri di kota ini.  Yang ada itu pun sebagian besar berplat merah alias mpbil dinas.  Karenanya kota ini udaranya segar dan nyaman untuk dihuni.  Kenderaan umum?  Becak.   Jangan heran bila begitu keluar dari gedung pelabuhan akan banyak pengemudi becak yang menawarkan tumpangan, bahkan tukang becak yang nafsu banget mendapatkan penumpang bisa menarik bawaan penumpang untuk dimasukkan ke becaknya.  Rada-rada menyebalkan, memang. 😀  Tapi mungkin harus dimaklumi saja di tengah ekonomi yang sedang sulit.  Bersikap tegas, adalah cara terbaik menghadapi mereka.  Oh ya, becak di kota ini unik.  Seperti becak di Jakarta, becak di Selatpanjang ditarik dengan motor bebek, tapi kursi penumpangnya dua baris.  Untuk duduk di baris belakang, penumpang harus melompati kursi di baris depan, karena tak ada akses untuk naik ke bangku belakang dari samping.  Ya, bangku belakang itu memang lebih sering digunakan untuk tempat barang yang dibawa penumpang.  Sedangkan bila penumpang becak ada 3 atau empat orang, penumpang ketiga dan keempat duduk di bangku tambahan yang diletakkan di sisi belakang pagar depan becak.  😀

Untuk menginap, di Selatpanjang ada banyak hotel dengan harga kamar yang wajar.  Tapi kita  harus cari-cari info yang cukup sebelum memilih hotel, karena katanya tak semua hotel airnya bersih dan jernih.  Makumlah, sebagai daerah pesisir yang sebagian besar lahannya adalah gambut, air di Selatpanjang selain payau juga berwarna coklat.  Katanya meski telah beberapa kali mengusapkan sabun ke badan, mandi bisa terasa bagai tak bersabun, busanya tak keluar, kulit terasa licin saja.  😀  Untuk dapat air yang jernih, masyarakat biasanya menampung air hujan, atau dengan sumur bawah tanah yang mebutuhkan investasi sangat tidak sedikit.  Saat kunjungan kemaren diriku dan teman-teman menginap di hotel Dyva, atas rekomendasi teman yang sudah beberapa kali ke sana.  Alhamdulillah air di hotel itu bagus, dengan volume supply yang memadai.

Kemana saja saat berkunjung ke Selatpanjang kali ini?  Secara waktu terbatas,  selain menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan, kami menyempatkan diri menikmati seafood dan mie sagu, juga ke pasar untuk melihat-lihat berbagai produk khas Kepulauan Meranti lainnya.  Kabupaten Pulau Meranti  yang merupakan daerah pesisir, banyak ditumbuhi oleh tanaman Rumbia atau Sagu (Metroxylon sagu Rottb).  Makanya di daerah ini terdapat banyak produk olahan dari bahan dasar sagu.

wp-image-235261116.Apa itu mie sagu?  Mie sagu merupakan kuliner khas Selatpanjang.  Mie ini olahan dari teras batang sagu, teksturnya lembut dan kenyal.  Lebih lembut dan warnya lebih bening bila dibandingkan dengan kwetiaw.  Mie sagu biasanya dimasak dengan bumbu bawang merah, bawang putih dan cabe merah yang digiling kasar. Sebagai penyemarak biasanya ditambahkan kucai (Allium tuberosum), toge dan ikan teri yang sudah digoreng atau udang kering.  Mie sagu saat ini sudah mulai banyak dijual di kedai-kedai kopi di Pekanbaru, tapi berburu mie sagu di daerah asalnya tentu memberi keseruan tersendiri.  😀

Selama di Selatpanjang, kami dua kali menikmati mie sagu.  Yang pertama di foodcourt di samping hotel.  Mie sagunya enak, cuma bumbunya yang rasanya belum maksimal.  Mie sagu kedua, kami nikmati di Kedai Kopi Pelangi di Jl. Ahmad Yani.  Kedai kopi yang berada di ruko ini terkesan tak terawat karena dinding-dindingnya kusam, tapi mie sagu yang dijual maknyuss.

Mie sagu di Kedai Kopi Pelangi ini merupakan rekomendasi dari seorang cicik (tante) pemilik toko tempat kami membeli beberapa produk olahan sagu di pasar.  Cicik itu bilang, kedai kopi yang tak jauh dari Hotel Pulama.  Maka kami pun bertanya-tanya pada beberapa orang yang kami temui di sepanjang pencaharian, dimana itu Hotel Pulama, tapi tak ada yang tahu.  Dan ternyata maksud si Cicik itu adalah Hotel Furama.  😀 😀 😀  Dan ternyata juga, salah seorang teman perjalananku pernah menginap di Hotel Pulama itu. Tapi enggak ngeh dengan maksud si cicik.. 😀 😀

Sebenarnya ada satu lagi tempat dan kuliiner yang direkomendasikan untuk menikmati mie sagu dan sempolet :  kantin di samping gedung kantor Badan Kepegawaian Daerah di kompleks perkantoran Pemerintah Kabaupaten Kepulauan Meranti.  Sayang saat kami ke sana, kami baru saja sarapan, perut kami masih penuh.  Adapun sempolet adalah bubur sagu yang dinikmati bersama sup ikan, seperti papeda kalau di Indonesia Bagian Timur.

Cerita Sondha - Oleh-oleh Selatpanjang

Oleh-oleh Selatpanjang

Apa yang didapat di pasar di Selatpanjang?  Klo diriku siyy cuma beli mie sagu, ebi alias udang kering dan kerupuk udang.  Sebenarnya di pasar, diriku menemukan banyak banget produk olahan sagu dan hasil laut yang sebenarnya layak untuk coba dibeli dan diolah jadi makanan istimewa.  Misalnya sagu dalam bentuk butiran yang bisa dibuat jadi bubur.  Ada juga terasi dan ikan teri.  Tapi mengingat transportasi yang nyambung-nyambung, jadi malas belinya.  Malas gotong-gotong.  😀
Bagi penggemar kopi, di Selatpanjang  ada toko Diamond, yang menjual bubuk kopi dengan merk Cengkeh.  Kata teman-teman yang minum, rasanya enak pakai banget.  Jadi gak boleh dilewatkan.

So, bagi teman-teman yang senang menjelajah, silahkan berkunjung ke Selatpanjang…***

Ke Sungai Subayang

Sebuah postingan untuk memperingati WORLD WATER DAY tahun ini, 22 Maret 2017.

Beberapa waktu yang lalu, Rudi Fajar, seorang teman, adik kelas di SD sampai SMA, memasukkan diriku di komunitas yang beliau gagas dan pimpin.  Group yang berkomunikasi di WhatsAp itu bernama Exploring Riau Community, disingkat XRC.

Sondha @ Subayang

captured by Nono

Komunitas XRC adalah kumpulan orang-orang yang bermukim di Riau, Kota Pekanbaru khususnya, yang berminat, mencintai pariwisata, yang ingin mengeksplor obyek-obyek wisata di Provinsi Riau.  Sebagai orang yang pernah bekerja dan punya passion di bidang pariwisata, hobby nge-blog juga, jelas menjadi bahagian dari komunitas ini sesuatu yang menarik.

Beberapa hari setelah bergabung di komunitas XRC, dilemparkan lah ide untuk berwisata ke Sungai Subayang.

Apa dan dimana lokasi Sungai Subayang ?

Sungai Subayang yang merupakan bagian hulu Sungai Kampar Kiri tersebut berada di  Desa Tanjung Balit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu,  Kabupaten Kampar.  Sungai ini merupakan salah satu sungai penting, yang kuantitas dan kualitas airnya sangat menentukan kehidupan di sekitar Sungai Kampar.  Untuk teman-teman ketahui, Sungai Kampar adalah salah satu dari 4 sungai besar di Provinsi Riau, yang bermuara ke Selat Malaka.  Di bagian yang lebih hilir sungai inilah terjadinya gelombang Bono yang unik, gelombang yang besar dan panjang, sehingga  para perselancar  bisa memanfaatkannya untuk surfing.

Untuk sampai ke Sungai Subayang, kita dapat memulainya dari Desa Gema, yang berjarak lebih kurang 90 km jalan darat dari Pekanbaru ke arah Lipat Kain.

Rimbang Baling

Pemandangan Sungai Subayang dan Kawasan Rimbang Baling dari Tepian di Desa Gema

Di sekitar Sungai Subayang terdapat kawasan Rimbang Baling, kawasan yang hutannya dipertahankan oleh masyarakat adat.  Rimbang Baling merupakan salah satu penyumbang oksigen yang utama bagi wilayah Sumatera Tengah, teruama ketika musim kelima, musim asap, menyergap Provinsi Riau dan sekitarnya.  Hal ini terjadi karena masyarakat adat di kawasan Rimbang Baling tetap mempertahankan hutan adat, dan hidup dari budidaya karet ( Hevea brasiliensis).  Rimbang Baling juga catchment area yang menentukan kuantitas dan kualitas air Sungai Subayang, sehingga perlu dijaga kelestariannya.

Apa daya tarik Sungai Subayang ?

Di Sungai Subayang pengunjung bisa menyusuri sungai naik piyau alias sampan bermotor ke arah Rimbang Baling pulang pergi.  Ada 2 jenis piyau di situ,  piyau Johnson dan piyau Robin, sesuai dengan nama mesinnya.  Piyau Johnson berukuran sedikit lebih besar, sedangkan piyau Robin lebih kecil, namun lebih gesit.  Bila sungai sedang surut,  dan piyau melintasi daerah yang sangat dangkal, penumpang piyau bahkan bisa menikmati acara mendayung ! 😀

Piyau

Piyau

Hutan Rimbang Baling yang alami, hijau dan asri, serta  desa-desa dengan aktivitas kehidupannya merupakan pemandangan yang bisa dinikmati selama berpiyau menyusuri sungai.  Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan Batu Belah dan singgah di Pulau Pidu, sebuah sedimentasi pasir dan kerikil di tengah-tengah sungai.  Pengunjung juga bisa menikmati pertunjukan kesenian rakyat di desa Batu Songgam, serta berbagai kuliner lokal.

img-20170226-wa0024-1.jpg

Berkumpul di Bandar Serai, The Meeting Point

So, pada hari Minggu tanggal 05 Maret, jam 06.30AM, sebagaimana ditetapkan, kami para peserta, sekitar 200 orang, sudah berkumpul di Kawasan Bandai Serai yang menjadi meeting point.  Karena gak berani nyetir keluar kota, dan juga karena aku nyetirnya pelan, aku terpaksa ikut dengan peserta lain.  Alhamdulillah, Rudi Fajar menawarkan aku untuk ikut bersama keluarganya.  Dan alhamdulillah juga diantara peserta juga ada 2 teman seangkatanku di SMA, Cing-cing dan Nono.  Jadi tambah seru.

wp-image-1543611043jpg.jpg

Sebahagian Anggota XRC yang Ikut Berwisata ke Sungai Subayang

Setelah berjalan lebih kurang 1.5 jam, dan sempat singgah di Masjid Raya Lipat Kain, kami sampai di Desa Gema.  Tapi karena hampir seminggu sebelum tanggal 5 Maret 2017 hampir seluruh daerah di Indonesia Bagian Barat mengalami hujan terus menerus, Sungai Subayang mengalami peningkatan muka air yang signifikan.  Bahkan arus sungai menjadi sangat deras.  Keadaan tersebut membuat resiko menyusuri sungai dengan piyau ke kawasan Rimbang Baling dan Desa Batu Songgam menjadi sangat beresiko.  Apa lagi diantara peserta banyak juga yang perempuan dan anak-anak.

Kondisi yang diluar ekspetasi ini membuat rencana yang sudah disusun XRC harus disesuaikan.  Acara makan siang yang rencananya akan dinikmati di Desa Batu Songgam, dirubah menjadi di tepian Sungai Subayang di Desa Gema.  Para peserta tetap bisa berpiyau tapi hanya dalam jarak yang lebih pendek, yaitu sampai ke lokasi Laboratorium Kualitas Air milik WWF.  Tapi meski jarak itu tidak terlalu panjang, tapi kami bisa melihat betapa indahnya kawasan Rimbang Baling.  Kami bahkan melihat pohon  durian dan  Sialang (Latin : Kompassia Exelca).  Pohon Sialang adalah tanaman tempat lebah senang bersarang dan menghasilkan madu berkualitas sangat baik.

Meski perjalanan tak sesuai dengan rencana, tapi one day trip ke Sungai Subayang ini sangat menyenangkan dan berkesan.  Ingin mengulang dan kembali ke sana ? Mengapa tidak ?  Bahkan jadi semakin ingin mengambil paket Camping di Rimbang Baling.  Ada yang mau bareng ? Yuuukkk  !!

Diriku berharap,  ecotourism dengan konsep desa wisata dapat dikembangkan di Desa Gema, Desa Batu Songgam dan desa-desa lain di kawasan Rimbang Baling.  Agar masyarakat  mempunyai alternatif sumber pendapatan, sehingga ketika harga karet jatuh, masyarakat tak perlu menebang pohon medang yang ada di hutan untuk diambil kulitnya,dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.  Agar kawasan Rimbang Baling, Sungai Subayang dan Sungai Kampar tetap lestari.***

Kampoeng Sasirangan

Seperti kita tahu Indonesia adalah surga di Khatulistiwa.  Penuh keragaman, bukan hanya flora dan fauna, tapi juga suku dan budaya. Teknologi sebagai salah satu unsur kebudayaan suatu etnis, antara lain tercermin dari kain tradisional.

Di Indonesia, umumnya kain tradisional merupakan hasil tenun, hasil mbatik,  dan hasil ikat  celup (tie dye).

wp-image-574674184jpg.jpgDi daerah luar Pulau Jawa, umumnya kain tradisional adalah hasil tenun, misalnya ulos hasil karya halak Batak, tenun Silungkang karya urang Minang, tenun Siak karya anak Melayu, songket Palembang karya Wong Kito  Galoh,  Tapis dari Lampung, sarung Samarinda karya perantau Bugis yang tinggal di Samarinda, juga tenun karya etnis Sasak dari Lombok.  Tekniknya berupa menyusun helai demi helai benang menjadi lembaran-lenbaran kain, dengan berbagai motif dan hiasnya, dengan bantuan alat tenun bukan mesin.

Mbatik adalah teknik menghias kain, dengan menggunakan canting dan malam,  bukan membuat kain.  Canting alat untuk menorehkan malam atau lilin pada kain, untuk membentuk garis dan pola-pola yang ingin ditampilkan, untuk kemudian dicelup dalam larutan pewarna.

Mbatik sebenarnya budaya Jawa, namun seiring dengan ditetapkannya batik sebagai World Heritage, dan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Internasional, penggunaan batik menjadi booming.  Memakai batik menjadi trend, bahkan menjadi pakaian kerja di berbagai perusahaan dan instansi pemerintah.  Lalu hampir semua daerah di Indonesia, meski tidak punya budaya mbatik, membuat batik dengan motif khas daerah.  Karena bukan bahagian dari budaya, tidak mudah membangun sentra batik di luar Jawa.  Oleh karenanya, banyak daerah di luar Pulau Jawa yang ingin membuat batik dengan motif khas daerah  melakukan pembuatan di sentra-sentra produksi Batik, seperti Pekalongan.

Teknik menghias kain yang lain lagi adalah tie dye, ikat celup.  Daerah di Indonesia yang terkenal dengan kriya tie dye adalah Palembang dengan kain Jumputan, dan Kalimantan Selatan dengan kain Sasirangan.

kampoeng-sasirangan1

Kampoeng Sasirangan – Sasirangan

Pada perjalanan ke Banjarmasin tanggal 13 – 15  Desember 2016 yang lalu, diriku sempat berkunjung ke kawasan di tepian sungai Martapura yang menjadi sentra produksi sasirangan, yang bernama Kampoeng Sasirangan.  Lokasinya di Jalan Simpang Sungai  Mesa Kabel, gak jauh dari  jembatan di Jalan Pahlawan Perintis Kemerdekaan yang melintasi Sungai Martapura.

Di daerah ini, kain-kain sasirangan di jual di rumah-rumah penduduk. Rumah-rumah papan khas tepian.  Seandainya ditata dengan lebih baik, kawasan ini akan bisa menjadi tujuan wisata, karena sentra produksi sasirangan bisa menjadi daya tarik.  Aku jadi ngebayangin betapa asyiknya bila setelah atau sebelum keluar masuk rumah-rumah yang menjual sasirangan, pengunjung bisa duduk-duduk di tepian sungai menikmati kuliner khas banjar yang terkenal nyaman (Bahasa Banjar : nyaman = enak).

Umumnya yang menjual kain sasirangan di daerah ini membuat sendiri barang dagangannya.  Jadi antara satu pedagang dengan pedagang yang lain warna, desain tie dye -nya tidak sama.  Bahkan pada penjual atau pembuat yang sama, belum tentu ada sasirangan yang persis sama.  Mengapa bisa begitu ? Karena meski ada pola yang disiapkan, sasirangan yang merupakan handmade bisa berbeda akibat kekuatan ikatan, lama perendaman dan berbagai faktor lain yang berpengaruh dalam proses pembuatan.

Penjual sasirangan yang daku datangi di tempat situ memberi nama tokonya Rose Sasirangan.  Penjualnya ramah dan baik hati.  Bahkan dia menunjukkan bagaimana cara membuat sasirangan.

kampoeng-sasirangan

Cara membuat sasirangan

Jadi untuk membuat sasirangan, pengrajin mengambar pola-pola yang ingin dibuat di kain berwarna putih.  Lalu pengrajin menjahitkan benang pada garis-garis yang sudah digambar di kain,   Lalu benang-benang itu ditarik, sehingga membentuk puntalan-puntalan kain.  Puntalan-puntalan tersebut lalu dililit pakai karet gelang sampai tertutup rapat, sehingga tidak terkena cairan pewarna saat dicelup.

Saat melihat-lihat sasirangan yang dijual di Rose Sasirangan, duhhh rasanya mabok.. Kain-kain dan kerudung yang dijual cantik-cantik banget.  Bingung mana yang mau dibawa pulang.  😀 Berapaan harganya?  Lupa berapa persisnya.  Klo gak salah yang bahannya sutra sekitar Rp.250.000,-, yang bahannya katun sekitar Rp.150.000,-an.  Kalau kerudung, harganya sekitar Rp.50.000,-an.

Btw, sasirangan yang aku beli di Kampoeng Sasirangan itu bukan sasirangan pertamaku.  Sasirangan pertamaku pemberian dari kak Sartidja, oleh-oleh beliau saat mudik ke kampung leluhurnya di Kalimantan Selatan beberapa tahun yang lalu..

Buat teman-teman yang berkunjung ke Banjarmasin, jangan cuma nyari permata yaaa.  Cari juga sasirangan, salah satu kekayaan budaya bangsa kita. Beli yang banyak. Kirim ke aku satu. 😀  Wajib beli yaa, karena  kalau bukan kita, siapa lagi yang mengapresiasi dan mencintai karya anak bangsa, dan juga budaya negeri kita.  ***

Ulos Angkola

Pulang kampung ke Sipirok dalam beberapa tahun terakhir selalu membuat hati dan pikiranku tergelitik… “Mau tau tentang apa lagi, yaa…?”

Yuupppp…  Besar di Pekanbaru, berada di lingkungan yang berasal dari berbagai suku,  lalu sekolah ke Bogor, dan sempat tinggal di 2 kota lain, bergaul dengan teman-teman dari berbagai daerah, membuat diriku di usia belia dan awal dewasa gak terlalu mau tahu tentang kampungku.. Tapi kemudian kesadaran bahwa budaya yang dimiliki leluhurku sungguh kekayaan yang tak ternilai, yang seharusnya aku kenal, aku pelajari, menggoda hati…  Makanya, bila ada kesempatan pulang kampung  aku berusaha melihat tinggalan budaya yang ada di kampungku..

Setelah mengunjungi ito Ardiyunus Siregar pengrajin Tuku dan Bulang  yang tinggal di desa Padang Bujur Sipirok, yang saya kenal melalui group orang-orang Sipirok di Facebook, kali ini saya berkenalan dan mengunjungi ito Advent Ritonga, seorang pengrajin ulos yang well-known.  Ito Advent Ritonga, yang formalnya hanya tamat Sekolah Dasar tapi sangat cerdas dan penuh bakat, menetap di Silangge, sebuah kampung yang berada sekitar 1 km dari jalan raya menuju Sipirok, kalau kita datang dari arah Medan.  Atau kalau dari rumah Ompungku sekitar 5 km-an.

Ulos 1

Ulos Angkola

Salah satu tulisan di dunia maya tentang Advent Ritonga bisa teman-teman lihat di sini

Aku sendiri sebelumnya enggak tahu dengan beliau dan nama besarnya.. Maklum kurang gaul.. Hahaha.. Tapi adikku Ivo, yang pernah menyusuri berbagai sentra kerajinan di Sumatera Utara, menyarankan aku mengunjungi pertenunan beliau kalau mau liat pengrajin Ulos.

By the way, anyway, busway…, teman-teman udah pada tahu kan apa itu ULOS…?

Ulos itu artinya secara harfiah kain, atau selimut..    Tapi biasanya pengertiannya dalam konteks adat..  Sedangkan untuk kain (bahan baju, sarung, kain panjang), kata yang dipakai adalah abit.  Ada juga yang menyebut ulos dengan istilah abit godang atau kain kebesaran, buka kegedean, lho.

Karena etnis Batak terdiri dari berbagai varian yang mempunyai budaya juga berbeda-beda…, maka ulosnya juga berbeda-beda, baik dari warna mau pun corak..  Sipirok, sebagai wilayah yang dihuni oleh masyarakat Batak Angkola, maka ulos di Sipirok adalah Ulos Angkola..  Ulos yang menggunakan lebih banyak warna..

Hari Jum’at 03. April 2015 kemaren, sore hari, dengan diantar kak Mega, anak Namboru (kakak Papa) yang menetap di Sipirok, diriku pergi ke Silangge, ke rumah ito Advent Ritonga, pengrajin Ulos itu..

Pertenunan Silangge

Pertenunan Silangge

Begitu sampai di rumah ito Advent Ritonga, mataku melihat di samping rumah beliau terdapat sebuah bangunan kayu, tempat bertenun, yang di atas pintunya terdapat tulisan yang mengatakan kalau pertenunan ini merupakan binaan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk pencelupan benang.  Tak sempat berbengong-ria, aku dan kak Mega langsung disuruh masuk ke ruang tamu rumah yang sekaligus berfungsi sebagai showroom sederhana..

Kak Mega langsung memperkenalkan diriku pada beliau, dan memberi tahu maksud kedatangan ku ke situ. Dan, ito Advent bilang, “Hu tanda do amangmu.  Ro do hami tu horja inatta na baru on”.  Artinya, “saya kenal dengan bapakmu, dan kami hadir saat acara adat pemakaman ibumu baru-baru ini”.  Hmmmmm.  Ini Sipirok, banyak orang yang saling kenal. Jadi hati-hati melangkah dan bicara.  Lebih hati-hati dari yang biasa dilakukan saat berada di luar sana.  😀

Silangge 1

dengan Ito Advent Ritonga, Pengrajin Ulos dari Silangge, Sipirok

Setelah ngobrol-ngobrol sambil melihat-lihat apa yang dipamerkan di situ, termasuk yang ada di dalam 2 lemari kayu besar dengan pintu-pintu berkaca, aku bertanya apa sesungguhnya makna yang ada di Ulos Angkola.

Menurut beliau Ulos Angkola merupakan ulos yang diberikan kepada pengantin Batak Angkola, dengan simbol-simbol penuh makna, penuh dengan pesan-pesan akan ajaran hidup yang harus dipelajari, dijalani orang Batak Angkola, terutama boru (anak perempuan).

Saya lalu meminta beliau untuk mengatakannya pada saya satu demi satu.  Ito Advent bilang, baru kali ini ada orang kita (orang Sipirok, maksudnya) yang bertanya pada dirinya tentang hal ini. Orang luar, orang asing yang justru lebih sering bertanya.  Semoga ini bukan tanda betapa tidak pedulinya generasi muda Sipirok terhadap tinggalan agung leluhurnya.

Saya lalu bilang, saya tidak sering mengikuti acara Mangulosi atau memberi ulos.  Tapi dari acara-acara yang saya lihat, saya ikuti, saya belum pernah meilihat, mendengar orang yang mangulosi itu menjelaskan makna yang tersimpan dalam ulos yang diberiannya.  Padahal bukankah makna adalah bagian terpenting dari sebuah pemberian..?

Ito Advent bilang, “Saya akan kasi tahu kamu.. Tapi kalau nanti tulisanmu sudah jadi.., sempatkan untuk memprintnya ya, dan kirimkan pada saya”.  Deal.  Insya Allah aku akan melakukannya.

By the way, diriku sempat bertanya, mengapa dirinya tidak pernah menulis tentang makna yang ada pada motif yang terdapat pada  ulos Angkola.  Dia bilang, dia pernah menuliskannya, lalu seseorang meminjam catatan tersebut, namun tak pernah mengembalikannya.. Hmmmmm… sad

Ito Advent menjelaskan pada saya mulai dari tepi ulos, yang wujudnya seperti bulu, sampai ke tengah ulos. Mari kita mulai.

Rambu 1

Rambu

RAMBU.  Rambu atau jumbai yang wujudnya seperti bulu, seperti putri melambai-lambai, melambangkan dalam berumahtangga, oarng harus luwes dalam mencari nafkah.

Manik-manik Si Mata Rambu 1

Manik-manik

MANIK-MANIK, SI MATA RAMBU, artinya dalam berumah tangga, sebagai orang tua nantinya, sepasang suami istri harus bisa menjaga anak laki-laki dan anak perempuannya dengan baik.  Bahasa Batak Angkolanya, Matahon anak dohot boru.

Sirat

Sirat

SIRAT, artinya suratan tangan, atau jodoh. Jadi orang yang menikah itu sudah jodoh, harus bisa mempertahankan rumah tangganya.

Jarak

Jarak

JARAK, tenunan polos berwarna hitam, berada di antara sirat dan pusuk robung.  Artinya dalam semua aspek kehidupan harus ada jarak, tidak boleh terlalu dekat.  Tidak boleh kita membuka semua yang ada pada kita kepada orang lain.

Pusuk Robung

Pusuk Robung

PUSUK ROBUNG alias pucuk rebung.  Artinya dalam kehidupan harus bisa bersikap seperti bambu, bermanfaat di sepanjang usia, makin tinngi makin merunduk, knea angin bergoyang tapi tidak patah.  Dan motif pucuk rebung ini juga ada lho dalam tenunan Melayu.  Apa ya maknanya? Ada kesamaan asal muasalkah? Hmmmm.

Luslus

Luslus

LUSLUS, artinya dalam hidup manusia itu harus bagai lebah, hidup bermasyarakat. Tak boleh hidup sendiri.

Tutup Mumbang

Tutup Mumbang

TUTUP MUMBANG. Artinya di dalam hati harus ada tempat untuk menyimpan yang panas dan yang dingin. Harus bisa mengendalikan diri, mampu menyimpan hal-hal yang buruk dan tidak mengumbar yang baik.

Iran-iran

Iran-iran

IRAN-IRAN, andege ni mocci.  Bahasa Indonesianya jejak tikus. Tiku kemanapun melangkah selalu terlihat jejak kakinya,  artinya dalam hidup manusia harus meninggalkan jejak, kebaikan. Tidak boleh berlalu tanpa meninggalkan bekas.

Jojak Mata-mata

Jojak Mata-mata

JOJAK MATA-MATA.  Ini motif dengan bentuk melintang terdiri dari warna merah, putih dan hijau.  yang menunjukkan perubahan.  Karena dengan pernikahan seorang perempuan akan melangkah ke tempat mertua, tinggal dan menjadi bahagian dari keluarga mertua, artinya berubah lingkungan, seorang perempuan atau boru harus meninggalkan jejak baik bagi keluarganya.  Suami dan istri harus mampu memberi kesan baik tentang keluarganya ke keluarga mertua, dan sebaliknya juga memberi kesan baik tentang keluarga mertua kepada keluarganya.

Yok-yok Mata Pune

Yok-yok Mata Pune

YOK YOK MATA PUNE.  Pune dalam bahasa Indonesia artinya burung Beo, burung yang cerdas.  Jadi seorang boru, perempuan Batak harus pintar, harus cerdas, harus mau selalu belajar.

Ruang

Ruang

RUANG.  Bahagian tenunan yang paling besar dan kaya warna ini melambangkan ular naga.  Kuat dan panjang.  Artinya suami istri itu harus berjiwa tegar, kuat dan mampu merangkul semua pihak yang ada di sekitarnya.

Si Jobang

Si Jobang

SI JOBANG. Motif yang berbentuk deretan prajurit.  Jumlahnya harus ganjil, di sisi-sisi terluar harus yangmenggambarkan Mora (Raja), berwarna merah. Mora di pakkal, mora di ujung.  Artinya sebagai Mora, harus bertanggung jawab terhadap seluruh aspek kehidupan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Singap

Singap

SINGAP alias ujung atap.  Artinya sebagai orang Batak, harus mampu bersikap seperti atap, mampu menahan panas terik matahari dan hujan.  Sepahit apa pun yang terjadi dalam berumah tangga harus bisa dihadapi.

Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung

Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung

Doa HORAS TONDI MADINGIN SAYUR MATUA BULUNG.. Ini serangkai doa, harapan, yang berarti semoga orang yang diulosi ini selamat-selamat, jiwanya sejuk sampai dia seperti daun yang menua.

Bunga

Bunga

BUNGA.  Perempuan Batak harus mengeluarkan bau yang harum bagi sekelilingnya. Harus bisa jadi pribadi yang teladan, jadi contoh.

Suri-suri

Suri-suri

SURI-SURI.  suri dalam bahasa Batak berarti sisir.  Makna Suri-suri, adalah sebelum keluar rumah orang harus merapikan diri, berkaca.  Jadi sebelum kita mengurusi orang lain, kita harus periksa diri kita dahulu, perbaiki diri kita, rapikan, baru kita boleh mengurusi diri orang lain.

Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu

DALIHAN NA TOLU.  Di dalam masyarakat adat Batak ada 3 unsur, Anak Boru, Kahanggi, dan Mora.  Yang paling tinggi kedudukannya adalah Mora atau Raja.  Yang menjadi Mora dalam adat adalah orang tua perempuan, alias mertua dari seorang laki-laki Batak.  Jadi bisa tahu donk, walau orang Batak itu menganut patrilineal, garus penerus marga ada pada anak laki-laki, tapi anak perempuan juga sangat berharga.  Ada istilah di masyarakat Batak, orang dianggap kaya kalau maranak (punya anak laki-laki) sapuluh (10), marboru (punya anak perempuan) sabolas (sebelas).  Karena dia bisa jadi mora untuk 11 keluarga. Hehehehe...  Pada ulos, dalihan na tolu digambarkan dengan 3 kolom yang berada di tepi kiri dan kanan ulos.  Yang paling luar adalah anak boru, yang tuigasnya dalam masyarakat adat melayani Mora dan Kahanggi.  Yang tengah adalah Kahanggi (saudara dari anak boru).  yang bahagian paling dalam, yang dibatasi dengan tugu adalah Mora.

Tugu

Tugu

TUGU, yang berupa 3 garis hitam sejajar, artinya perkumpulan keluarga.  Orang Batak harus hidup dalam perkumpulan keluarga.

Untuk diketahui, ulos Batak terdiri dari dua lembar yang disambung tepat di bagian tengah.  Seluruh susunan dan ukuran motif dari kedua lembar ulos itu sama, kecuali tulisan doa dan harapa Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung.  Tulisan itu justru menjadi satu kesatuan setelah kedua lembar ulos disambung.  Kenapa harus terdiri dari dua lembar yang disambung? Karena rumah tangga itu terdiri dari 2 pribadi dengan latar belakang yang berbeda, yang disatukan, disambungkan.  Dalem maknanya.

Oh ya, seharusnya, diriku memperkaya penjelasan ito Advent ini dengan mendalami makna nama-nama corak tersebut, mengingat Papaku dan teman-temannya sudah menerbitkan 2 edisi kamus Angkola – Indonesia.  Tapi karena diriku takut lupa mengaitkan penjelasan-penjelasan yang diberikan dengan foto-foto yang diriku buat, jadi haris segera dikerjakan.  Lagi pula, aku ingin bisa mempublikasi paling tidak satu tulisan pada saat aku sedang berada di rumah peninggalan Ompungku.  Why ? Karena Ompung Godang kami mempunyai minat baca yang besar, dan mewariskannya pada anak-anak beliau, yang kemudian juga mewariskannya pada kami, cucu-cucu Ompung.  Buku adalah jendela dunia. Dan jendela itu tak ada gunanya kalau tidak dibaca.

Semoga tulisan ini bermanfaat.. Mungkin bisa menjadi referensi bagi yang akan mangulosi.. Atau mungkin juga bagi yang menerima ulos namun belum diberi penjelasan tentang makna yang ada di balik motif-motif yang ada di ulos tersebut.

Rumah Jl. Simangambat No. 97 Sipirok, 05 April 2015

Sondha Siregar

Berjuang Mewujudkan Mimpi

Mimpi…..

Kata mimpi sebenarnya “sesuatu” buat diriku yang sudah nyaris setengah abad…  Karena di usia yang sudah tidak muda lagi, kesadaran bahwa waktu untuk meraih impian tak sepanjang saat belia..  Impian tak lagi setinggi bintang di langit… Namun tetap ada dan ingin diwujudkan, dengan hasrat yang kuat…

Akhir-akhir ini, keinginan untuk hidup  lebih seimbang menderu deras dalam diriku.. Seimbang antara urusan dunia dan spiritual..  Aku ingin pekerjaan yang bisa lebih memberi rasa damai bagi diriku,  aktivitas yang sesuai dengan passionku..  Dan aku ingin punya waktu yang lebih untuk meningkatkan kehidupan spiritualku..  Bahkan menurut salah seorang sahabat,  seharusnya yang utama dalam  hidup itu adalah membangun spiritual, yang lain adalah pendukung untuk kehidupan spiritual tersebut…

JourneyYa, beberapa tahun terakhir ini, hidup, waktu, pikiran, perasaanku didominasi oleh pekerjaan.. Bahkan dalam satu tahun terakhir, ada kejadian dimana aku seharusnya berani menurunkan prioritas terhadap pekerjaan demi orang terkasih di akhir kehidupannya, tapi tidak aku lakukan, karena aku tak bisa menolak pekerjaan yang diperintahkan untuk aku laksanakan..  Tidak boleh ada sesal, karena sesal tak membawa semua yang sudah lalu, kembali.  Yang harus dilakukan adalah mengambil hikmah, agar tak terulang lagi.

Lalu…, apa impianku saat ini yang terkait dengan pikiranku itu?

Seperti yang pernah aku ceritakan di tulisan yang ini, pada tahun 2007 aku mulai menulis dengan membuat blog.  Dari situ aku menemukan passion untuk menulis.. Aku senang menulis, aku cinta menulis, aku ingin bisa menulis lebih banyak.. Menuangkan pikiran, menuangkan rasa, berbagi pengetahuan dan pengalaman.  Menulis memberikan rasa damai di hatiku…  Aku ingin jadi penulis…

Apa yang ingin ditulis…?

Sebagai manusia yang dinamis, aku bisa berpikir dan merasakan berbagai hal, juga bisa mengalami bermacam hal, yang bisa menjadi sumber inspirasi untuk menjadi tulisan.   Tapi sampai saat ini, salah satu bidang yang menjadi passion diriku adalah pariwisata.

Mengapa pariwisata…?

Setelah bekerja di instansi yang menangani perencanaan pembangunan daerah selama 12 tahun, aku dipindahkan ke instansi yang menangani pembangunan kebudayaan dan pariwisata daerah, masih di posisi mengurus perencanaan.   Aku menyukai pekerjaanku.  Pekerjaan yang mendorong aku untuk selalu berpikir komperhensif, menyeluruh.., tanpa mengabaikan detil.

Di instansi yang menangani pembangunan kebudayaan dan pariwisata ini, aku dengan latar belakang pendidikan bukan di bidang kebudayaan dan pariwisata, belajar nyaris dari nol tentang kebudayaan dan kepariwisataan.  Karena saat kuliah S1 di Sosek IPB, untuk yang terkait dengan ilmu sosial, aku hanya sempat belajar tentang Sosiologi Pedesaan dan Ekologi Manusia ( kalo gak salah ingat).   Ternyata bidang kebudayaan dan pariwisata ini menarik hatiku.   Kok bisa…?  Karena aku  melihat kebudayaan itu menyangkut hidup manusia, sejak lahir sampai meninggal.  Kebudayaan itu menyangkut rasa.. Kebudayaan suatu daerah dan tinggalannya merupakan keindahan, keunikan yang bisa menjadi daya tarik wisata.  Sementara pariwisata, bukan lagi hanya sekedar berlibur ke pantai atau ke gunung, tapi juga bisa menjadi cara untuk melihat, belajar tentang kebudayaan dan sejarah suatu daerah atau negara yang dikunjungi,  yang dapat membuat kita memahami betapa luar biasanya pemilik kebudayaan atau pelaku sejarah tersebut.  Dari pemahaman tersebut  bisa menjadi inspirasi untuk melakukan hal-hal yang lebih baik, dalam kehidupan.

Di sisi lain, bagi pemilik kebudayaan, pariwisata  bisa menjadi cara untuk meningkatkan ekonomi, yaitu dengan menjadikan kebudayaan dan tinggalan budaya yang mereka miliki sebagai daya tarik wisata.  Aku juga ingin bisa berkontribusi, dengan membuat tulisan-tulisan yang bisa menjadi bahagian promosi wisata daerah,

Apa yang telah aku lakukan untuk mewujudkan impianku itu?

Saat ini aku mencoba untuk intens menulis, termasuk menulis tentang perjalanan-perjalanan yang telah aku lakukan dalam beberapa tahun terakhir, namun belum sempat aku jadikan tulisan untuk blogku.  Aku juga mencoba lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman yang juga mencintai aktivitas menulis.  Aku akan berusaha untuk mendapat kesempatan mengisi ruang di salah satu harian yang terbit di kota tempat tinggalku. Aku berharap dengan semakin matangnya tulisan-tulisanku, aku bisa menulis buku, dan mendapat kesempatan untuk  menjadi penulis dalam rangka promosi pariwisata berbagai daerah atau negara.  Semoga…

Postingan ini diikutsertakan dalam #evrinaspGiveaway: Wujudkan Impian Mu”

label-ga1

 

Museum Batak

Tanggal 22 Desember 2014 yang lalu aku  ke Medan untuk menemani Papaku pulang kampung ke Sipirok.. Ya, tanggal 24 Desember 2014, tepat 100 hari kepulangan alm Mama, dan Papa ingin berziarah…  Jadi kami, aku, Papa adikku Ivo dan ponakan ku Ananda, berangkat ke Sipirok tanggal 23 Desember 2014.

Poda na 5

Semula kami berencana akan berangkat pagi-pagi sekali dari Medan, agar bisa singgah di Pematang Siantar untuk membeli Roti Ganda, minum teh dan makan roti bakar di kedai kopi Sedap, serta singgah di Balige   untuk berkunjung ke Museum Batak.   Namun karena sebelum berangkat Papa mengajak kami membeli mesin potong rumput pesanan salah seorang kerabat di kampung,  jadi lah kami berangkat jam 11 siang dari Medan.   Karena kami jalannya santai, dan pakai singgah makan siang di Tebing Tinggi, kami sampai di Pematang Siantar sekitar jam 4 sore,  dan tak bisa sampai ke Balige pada jam museum masih buka..  😀

Kami akhirnya menggeser rencana untuk ke museum tersebut.   Jadinya saat pulang dari Sipirok tanggal 26 desember 2014.  Hari itu kami berangkat dari Sipirok jam 06.30 pagi.  Agar aman melewati Aek Latong, kami membawa supir tambahan, salah satu tetangga di kampung, untuk menyetirkan mobil sampai di Balige dan sekitarnya.  Maklum lah, kami pergi berempat…  Nyetirnya gantian.., kalo enggak Ivo, ya diri ku..   belajar jadi supir medan, coy…!!!   Karena enggak tega ngeliat Papa nyetir jarak jauh di usia beliau yang menjelang 77 tahun..  Meski beliau merasa masih kuat nyetir…., dan merasa lebih jago nyetir di medan-medan yang menantang dibanding kami, putri-putrinya.. Hehehehe…

Gerbang a

Berangkat pagi tanpa mandi, hanya cuci muka, sikat gigi dan bebersih sekedarnya… 😀  Kami bisa sampai di Sipaholon, pinggiran Kota Tarutung sekitar jam 09.30 pagi..  Di situ kami mandi pagi di permandian air panas, air belerang, sekaligus brunch.. Puas mandi dan makan, kami lanjut perjalanan, dan sampai ke Balige jam 11 siang.

Di Balige kami langsung menuju Museum Batak yang berlokasi di Desa Pagar Batu, tak jauh dari tepian Danau Toba.. Museum Batak ini merupakan bahagian dari TB Silalahi Center…  Semacam sebuah pusat kebudayaan Batak  yang didirikan oleh Jenderal TB Silalahi di kampung beliau, Desa Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.. TB Silalahi Center merupakan sebuah kawasan yang lokasinya tidak jauh dari Danau Toba..  Di kawasan itu terdapat Museum TB Silalahi, Museum Batak, Huta Batak..  Ada juga beberapa sarana pendukung…  Terus kami kemana aja…?

Museum TB Silalahi 2 a

Begitu masuk, kami menuju gedung yang  kami temui pertama kali saat masuk ke kawasan…  Museum TB Silalahi..  Apa isinya…?  Di bagian depan terdapat deretan foto-foto presiden Indonesia, dari pertama sampai akhir…  Lalu, dilanjutkan dengan cerita tentang riwayat hidup seorang TB Silalahi, dan koleksi-koleksi pribadi, seperti pakaian untuk berbagai kesempatan, jam tangan, pena, handphone, ijazah dan diploma-diploma serta berbagai penghargaan..  Juga souveniers dari berbagai negara yang pernah dikunjungi dan cendera mata yang pernah diberikan kolega-kolega beliau dari berbagai negara…

Huta Batak a

Keluar dari Museum TB Silalahi, kami menuju Huta Batak…   Apa itu Huta Batak…? Itu sebuah kawasan, yang di dalamnya ada 7 unit rumah adat Batak yang sudah tua…  Tapi masih cantik dan sangat terawat..  Miniatur perkampungan orang Batak..  Di situ juga ada 2 unit kuburan batu..  Ada juga pangulu balang di pojok kawasan huta Batak, dan ada si Gale-gale di depan salah satu rumah Batak…

Apa itu Pangulu Balang…?  Temen-teman baca sendiri ya di pic ini…  Biar jelas…  😀 Pangulu Balang 1

Ngomong-ngomong soal Pangulu Balang…, Papa ku pernah membuat tulisan tentang kampung kami Sibadoar yang hikayatnya  juga punya Pangulu Balang.. Tulisan itu bisa teman-teman bisa lihat di Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (11). Tapi ini aku kutipkan…

Huta Sibadoar “tempo doeloe” ada penjaganya yang dikenal dengan nama “pangulubalang”, konon satu-satunya huta di Luat Sipirok na mar pangulubalang. Pangulubalang adalah patung batu (di gorga) bentuk manusia mini. Konon patung itu sebelumnya “di-isi” dengan jasad manusia yang sengaja dikorbankan dan diolah sedemikian rupa khusus untuk membuat “pangulubalang”. Pangulubalang pada saat-saat tertentu (periodik) di-pele (diberi makan) oleh majikannya yang menunya berupa padi yang digonseng (bertih), telur ayam kampung, dll. Seandainya majikannya terlambat ma-mele (memberi makan), ada harapan telur ayam sekampung yang sedang dierami akan “bayuhon” (tidak jadi menetas) karena sebelumnya telah disantap oleh pangulubalang. Roh manusia yang jasadnya ada dalam pangulubalang, dipercaya dapat berfunggsi sebagai penjaga huta. Jika ada musuh (zaman doeloe sering kejadian) mau menyerbu masuk huta, ataupun akan timbul wabah kolera (begu attuk) dan lain-lain bencana, maka sebelumnya oleh pangulubalang akan diberikan peringatan-peringatan dini dengan tanda-tanda umpamanya, semut-semut merah bermunculan disekeliling huta secara menyolok, dan atau tanda-tanda alam lainnya yang tidak lazim, bahkan katanya suara-suara aneh yang bersumber dari pangulubalang. Berdasarkan ini semua (majikannya biasanya cepat tanggap) orang sekampung dapat mengambil tindakan berjaga-jaga (mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya).

Terus apa itu si Gale-gale..? Si Gale-gale 2a

Si Gale-gale itu patung untuk menghibur orang yang mengalami kesedihan karena kematian anggota keluarganya.. Patung itu bisa beergerak.., menari mengikuti musik.. Kalo dulu digerakkan oleh roh yang dipanggil oleh datu..  Kalo sekarang digerakkan secara mekanik…  Di Huta Batak ini, si Gale-gale ditampilkan setiap 30 menit, kalau tidak salah..  Pengunjung bisa duduk-duduk di kursi-kursi yang terbuat dari semen di seberang rumah yang ada si Gale-galenya..  Tapi kalau mau, penonton juga bisa ikut menari.. 😀

Si Gale-gale 3 a

Oh ya, di dekat gerbang Huta Batak juga ada rumah adat Toraja… Mengapa? Karena katanya suku Toraja yang berada di wilayah Sulawesi Selatan itu punya kedekatan budaya dengan suku Batak..

Halaman Museum Batak a

Dari Huta Batak, kami berjalan menuju Museum Batak.. Karena  Huta Batak berada di belakang Museum TB Silalahi, yang sejajar dengan Museum Batak, jadi lah kami menyusuri halaman belakang Museum Batak…  Ada apa di sana? Ada patung yang menggambarkan aktivitas panen raya.., dan ada papan catur raksasa, yang tinggi buah caturnya setengah tinggi orang dewasa… Yaa…, orang Batak memang identik dengan catur dan domino.. 😀

Museum Batak a

Apa yang ada di dalam Museum Batak…? Banyak…. 😀  Selain memberikan berbagai informasi dan memamerkan benda-benda yang menggambarkan 7 unsur kebudayaan (Sistem bahasa, Sistem peralatan hidup dan teknologi, Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial,  Ilmu pengetahuan, Kesenian, dan Sistem kepercayaan, atau agama) dari berbagai etnis Batak (Toba, Angkola, Pakpak, Mandailing dll), di museum Batak juga ada bahagian yang menggambarkan sejarah perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, sejarah masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, juga tentang interaksi antar agama yang ada di masyarakat Batak.

Di Museum ini juga dijelaskan tentang filosofi hidup orang Batak seperti CICAK.. What….?   Iya Cicak.. makanya di rumah-rumah adat batak, atau peralatan orang-orang Batak sering terdapat ornamen berbentuk cicak..  Apa artinya…? Dalam masyarakat Batak hewan ini adalah hewan yang mempunyai filosofi terutama dalam pergaulan. Kepercayaan para leluhur mengatakan bahwa setiap etnis Batak harus dapat bergaul dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam satu lingkungan.  Filosofi ini juga ditanamkan dari orang tua kepada anak-anaknya yang hendak merantau ke suatu daerah, anak-anak tersebut harus dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan pemukiman barunya dan orang-orang disekitarnya, seperti halnya hewan cicak yang dapat menempel di dinding bangunan apa saja tanpa harus takut dan tertutup dari lingkungan di sekitarnya.

Di dekat pintu keluar Museum Batak juga terdapat tampilan tentang Poda Na Lima, yaitu prinsip hidup orang Batak yang 5.. Paias Rohamu (Bersihkan Hatimu), Paias Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu), Paias Paheonmu (Bersihkan Pakaianmu), Paias Jabumu (Bersihkan Rumahmu), Paias Paharanganmu (Bersihkan Halaman Rumahmu).  Di situ juga ada tampilan Nasehat Leluhur Tanah Batak, Carilah Rezeki dan Peruntungan, Carilah Kesempurnaan Hidup, Carilah Kehormatan dan Kemuliaan.. Kalau pesan-pesan ini dilakukan dengan konsep religi…, rasanya pesan-pesan ini akan menjadi pegangan yang sangat indah… Nasehat leluhur Batak a

Oh ya, makam Sisingamangaraja XII juga terdapat di kawasan ini, di bahagian depan..  Tapi kami tidak sempat singgah.. Karena tanpa sadar kami sudah menghabiskan waktu 4 jam di tempat ini.. Tak terasa..Karena tempat ini memang sangat layak untuk dikunjungi…  Tempatnya nyaman.. Story line museum-nya bagus..  Informasi-informasi yang disampaikan sangat banyak dan jelas..  Tempat ini sangat layak untuk dikunjungi, bukan hanya bagi yang di dalam tubuhnya mengalir darah Batak..  Tapi bagi mereka pencinta Budaya dan Sejarah…

Dari informasi yang saya dengar di sana, Museum ini merupakan Museum milik pribadi (non pemerintah) yang terbaik di Indonesia.  Saya gak bisa kasi komentar tentang hal ini.. Secara saya baru mengunjungi 4 museum pribadi saja di Indonesia, yaitu  museum ini, Museum Rahmat di Medan,  Museum Sapoerna di Surabaya. dan Museum Kata di Belitung Timur.  Tapi memang informasi yang ada di Museum Batak ini jauh lebih kaya dan dalam maknanya, karena menyangkut sebuah etnis..  Dan menurut saya, story behind the object yang ditampilkan juga jauh lebih bagus dibanding Musee’ de Louvre di Paris..  Sungguh… Dan sebagai peminat sejarah dan budaya, berkunjung ke tempat seperti ini buat Papa dan kami anak-anaknya merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan..   Semoga kami bisa segera jalan-jalan bersama Papa lagi, segera…  Doain ya teman-teman.. ***

Kamus Angkola – Indonesia

Ini Kamus Angkola -Indonesia, cetakan ke-2, hasil karya Papa ku dan teman-temannya…   Salah satunya adalah almarhum Opung Baginda Hasudungan Siregar, salah seorang raja adat dari Bunga Bondar..

Kamus Papa

Pada cetakan ke-2 ini terdapat tambahan sekitar 500 kosa kata terhadap kamus cetakan yang pertama…   Dan dalam proses penyusunannya, Papa bekerja sendiri karena ketiga teman beliau sudah mendahului beliau…

Susan RodgersKata Pengantar di Kamus Cetakan ke-2 ini, sama seperti di cetakan pertama, diberikan oleh namboru bule :D, Prof. Susan Rodgers, seorang pencinta budaya Batak dari College of Holy Cross..  Alhamdulillah pada tahun 2013 yang lalu saya sempat mendampingi Papa bertemu dengan beliau yang singgah di Medan, saat beliau dalam perjalanan ke Bali untuk mendampingi mahasiswanya melakukan study tentang kain tradisional..

Sebenarnya ada satu kerja besar lagi yang harus dilakukan…. Apa? Menyusun versi sebaliknya… Kamus Indonesia – Angkola…  Tapi Papa kayaknya belum punya semangat ke arah sana…  Sepertinya dikerjain oleh seorang teman baiknya membuat beliau sebel, dan belum pulih…

Ceritanya, setelah kamus beliau jadi, salah seorang kenalan baik, dongan sahuta, yang saat itu berkiprah di lembaga legislatif di kampung minta agar Papa memperbanyak kamus tersebut untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan akan mendapat penggantian uang cetaknya dari dana APBD setempat.. Papa lalu menyerahkan beberapa ribu eksemplar ke orang tersebut, tapi sampai hari ini, ketika orang itu sudah tak lagi menjadi anggota legislatif, uang pengganti cetak itu tak pernah kembali..  😀  Sempat siyy Papa minta temannya yang lain lagi untuk ngecek ke Pemda, apakah memang sudah ada anggaran untuk itu dan bagaimana perkembangannya..  Menurut teman Papa itu, uangnya sudah dianggarkan, bahkan sudah lama dicairkan…   entah siapa lah yang menerimanya.. 😀  Tapi hasil pengecekan Papa ke beberapa kenalannya yang berkiprah di dunia pendidikan di huta, sekolah mereka ada menerima kamus tersebut..

Kami, anak-anak Papa,  sudah bilang ke Papa untuk mengikhlaskan saja.. Yang penting kan bukunya sudah sampai di sekolah-sekolah., semoga bisa bermanfaat bagi generasi muda di sana…  Beliau setuju, dan berusaha melupakan uang beliau sekian puluh juta tak kembali…  😀  Tapi ada yang tinggal di pikiran dan hati beliau… Beliau bilang, “Ngerinya negeri kita ini ya…. Orang tak lagi menghargai karya orang lain, yang dibuat bertahun-tahun dengan penuh cinta dan dedikasi…  Meski itu orang yang dia kenal..”

Ahhhh kalimat beliau itu membuat ingatanku melayang pada pemandangan yang sering ku lihat saat pulang ke rumah…  “Papa yang selalu membaca berbagai literatur bahasa Angkola, lalu mencatat kosa kata baru yang beliau temukan, mencari maknanya…  Lalu dengan tekun menghadapi laptop (mula-mula dulu komputer) di meja kerjanya menyusun kata-kata demi kata…  Dan itu bertahun-tahun”

Tapi aku yakin, suatu saat kamus ini akan jadi sesuatu yang sangat berharga di dunia pendidikan, dunia sastra Angkola..    We proud of you, Pa…***

PS ;  Buat teman2 yang ingin mengoleksi kamus ini, bisa menghubungi saya di FB : sondha. Harga Rp.150rb/eksemplar + ongkir (ongkir  dapat teman-teman cek di sini http://www.jne.co.id/)  ***

Tuku dan Bulang…

Apa itu TUKU…? Apa itu BULANG….?

Buat teman-teman yang tidk berasal dari Tanah Batak, tuku dan bulang adalah hal yang asing.. Kecuali teman-teman punya pergaulan dan pernah diundang ke pesta-pesta pernikahan yang menggunakan adat Angkola dan Mandailing..

Buat diri ku yang berdarah Batak Angkola…, bulang bukan hal yang asing.. Karena di usia belia, sekitar 10 tahun, aku pernah memakainya dalam salah satu horja (acara adat) yang diadakan keluarga ku..  Meski kadang suka salah sebut dengan bulung.. 😀  Padahal artinya beda banget… Bulung artinya daun…

Tuku Bulang 1

So…., apa itu Tuku dan Bulang…?

Tuku itu topi kebesaran adat batak Mandailing dan Angkola, biasa dipakai pengantin pria…  Sedangkan Bulang itu hiasan kepala yang dipakai pengantin perempuan…

Sebenarnya pakaian pengantin Batak Angkola dan Mandailing bukan hanya Tuku dan Bulang…, tapi ada perlengkapan lainnya.. Apa aja?  Gelang besar yang dipakai di lengan atas pada pengantin laki-laki, dan lengan bawah pada pengantin perempuan.  Pada pengantin perempuan juga ada hiasan dada, berupa deretan logam berhias yang disusun di atas kain beledru…, Ada juga penutup kuku, berupa logam yang dibentuk seperti kuku yang panjang dan berhias..  Oh iya, pengantin laki-laki dan perempuan juga dihias masing-masing dengan sepasang pisau yang bernama rencong dan tapak kuda.. Rencong…? Kaya orang Aceh yaa…  Hmmm…,  perlu dicari tahu niyyy, apa ada kedekatan budaya di antara suku2 ini…

Ceritanya, beberapa bulan terakhir,  aku sering melihat status ito Ardiyunus Siregar, seorang teman di FB yang berasal dan tinggal di Sipirok, yang menyiratkan kalau beliau adalah pembuat Tuku dan Bulang..  Aku ingin melihat kerajinan yang merupakan bagian dari budaya ku sendiri… Konyol rasanya ketika aku pergi kemana-mana, melihat berbagai aktivitas yang menyangkut kerajinan rakyat sebagai warisan budaya, tapi aku malah belum sempat melihat warisan budaya ku sendiri… 😀  Jadi saat  akhir Desember 2014 aku pulang ke Sipirok untuk menemani Papa ziarah ke makam Mama dalam rangka 100 hari kepergian beliau, aku berniat untuk melihat pembuatan Tuku dan Bulang..

Masih dalam perjalanan ke Sipirok, aku berusaha menghubungi ito Ardiyunus Siregar, meminta kesediaan beliau untuk memberi diriku kesempatan untuk melihat aktivitas pembuatan Tuku dan Bulang..  Alhamdulillah beliau bersedia..  Beliau bilang rumahnya, tempat membuat kerajinan Tuku dan Bulang, berada di Jalan Padang Bujur..  Jalan itu gak asing buat kami sekeluarga..  Karena kalau lagi pulang kampung kami selalu ke Padang Bujur untuk mandi air panas..  Namun sebagaimana alamat sebagian rumah-rumah di kampung, tidak ada nomor rumah.., hanya ada ancer2nya saja…  😀

Dalam perjalanan menuju ke air panas di Padang Bujur buat mandi pagi,Papa menunjuk sebuah rumah yang kami lewati.. Papa bilang. “Itu rumah teman alm tulang Sahrin.  Sebelum tulang mu meninggal dia suka ke situ buat mancing.  Papa beberapa kali diajak ke situ, tapi belum sempat.”

Songket1

Habis mandi air panas, Papa membantuku mencari alamat tersebut…  Tapi sepertinya tak ada yang bisa memberi informasi..  Kami lalu singgah di tempat kerajinan tenun motif Angkola binaan Indosat yang juga ada di Jalan Padang Bujur.. Kami bertanya-tanya di situ, tapi mereka juga tidak bisa memberi jawaban..  Aku kembali bertanya ke ito Ardiyunus, ternyata rumahnya ya itu, yang sering dikunjungi alm tulang Syahrin.  What a small world yaa…

Aku akhirnya berkunjung ke rumah itu.. Ditemui ito Ariyunus dan istrinya.. Mereka menunjukkan berbagai hsil pekerjaan mereka yang masih dalam proses..  Mereka juga menunjukkan bagaimana mengerjakannya…  Sungguh butuh keterampilan…  Tidak ada pola (pattern) yang diikuti… Semua motif mengikuti kebiasaan dan pikiran pengrajin..  Menurut ito Ardiyunus, dia mewarisi keterampilan itu dari ayahnya, yang juga pengrajin tuku dan bulang..  Dan menurut beliau hanya sedikit jumlah pengrajin Tuku dan Bulang yang masih ada di Sipirok.. Beliau saja hanya punya 3 orang pekerja..  Dengan 3 orang pekerja, beliau bisa menyelesaikan 1 set tuku dan bulang dalam waktu 3 hari kerja..

Tuku dan Bulang

Saat saya bertanya tentang filosofi yang ada pada motif-motif yang terdapat pada Tuku dan Bulang, ito Ardiyunus bilang dia juga belum paham.. Ada generasi muda yang mau belajar tentang hal ini…? Semoga ada yaa..  Supaya bisa lebih diapresiasi…

Tapi dalam candanya ito Ardiyunus bilang, “Bulang itu hadiah orang Batak buat boru (anak perempuan)nya.., sekaligus menunjukkan martabat kepada keluarga menantunya.. Karena pada zaman dulu, Bulang itu bulan gold plated, sepuhan, tapi emas beneran.. Dan lucunya, diserahkannya borunya kepada menantunya, tapi si boru dibekali satu set pisau..” Hahahaha…

Dengan perkembangan zaman…., dimana generasi muda banyak yang keluar dari kampung untuk bersekolah, lalu menetap dan bekerja di rantau, siapa yang akan mewarisi budaya yang agung ini yaa…?  Aku sempat mendiskusikan hal ini dengan ito Ardiyunus dan istrinya..  Juga sharing tentang peluang mengembangkan usahanya ini sebagai aktivitas ekonomi kreatif.. Misalnya dengan membuat inovasi berupa barang-barang yang bisa menjadi souvenir..  Semoga Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, mau membuka mata dan hati untuk melihat pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai kesempatan untuk membangun daerah dan mensejahterakan rakyat…  Apa lagi daerah ini berada di jalur yang strategis…, di antara 2 destinasi yang banyak diminati wisatawan, Danau Toba dan Bukit Tinggi..  Belum lagi oarang-orang Batak yang merantau entah kemana-mana, pasti ingin pulang kampung untuk berlibur dan mengenalkan kampung mereka pada anak cucunya…

Buat teman-teman yang berminat untuk melihat proses pembuatan tuku dan bulang saat berkunjung ke Sipirok, atau mau pesan, silahkan hubungi ito Ardiyunus di FB-nya ardiyunus.siregar.  Atau bisa juga menghungi saya,  saya dengan seizin ito Ardiyunus akan memberikan nomor telpon beliau… ***

Aku Ingin…

Sebuah puisi dari Bapak Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan…

Aku senang sekali dengan liriknya yang sederhana namun dalaaaaaaaaammmm banget…

Aku ingin, mencintaimu dengan sederhana..
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu..
kepada api yang menjadikannya abu…

Aku ingin, mencintaimu dengan sederhana..
dengan isyarat yang tak sempat..
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..***

Somewhere Over the Rainbow…

SOMEWHERE OVER THE RAINBOW…

Somewhere over the rainbow way up high
And the dreams that you dream of once in a lullaby
Somewhere over the rainbow blue birds fly
And the dreams that you dream of, dreams really do come true
Someday I’ll wish upon a star, wake up where the clouds are far behind me
Where trouble melts like lemon drops
High above the chimney tops is where you’ll find me
Somewhere over the rainbow bluebirds fly
And the dreams that you dare to, oh why, oh why can’t I?
Well I see trees of green and red roses too,
I’ll watch then bloom for me and you
And I think to myself, what a wonderful world
Well I see skies of blue and I see clouds of white and the brightness of day
I like the dark and I think to myself, what a wonderful world
The colors of the rainbow so pretty in the sky
are also on the faces of people passing by
I see friends shaking hands saying, How do you do?
They’re really saying, I, I love you
I hear babies cry and I watch them grow,
They’ll learn much more than we’ll know
And I think to myself, what a wonderful world
Someday I’ll wish upon a star, wake up where the clouds are far behind me
Where trouble melts like lemon drops
High above the chimney tops is where you’ll find me
Somewhere over the rainbow way up high
And the dreams that you dare to, oh why, oh why can’t I?

Somewhere over the rainbow, akan ada kebahagiaan menanti ku.., insya Allah..

Berkunjung ke Museum Rahmad…

@ Museum Rahmat….

Museum Rahmat…?  Teman-teman pernah dengar atau berkunjung ke museum ini…? Yaaa, bener museum ini adalah wildlife museum yang memamerkan koleksi berbagai jenis binatang hasil buruan pak Rachmat Shah yang diproses sedemikian rupa sehingga bisa dipamerkan..  Museum ini berlokasi di jalan S. Parman di Medan, lokasi yang gak asing sama sekali buat aku.  Karena kalau aku lagi pulang ke Medan dan “driving Mrs. Annie” alias bawa Mama jalan-jalan, sering kali lewat di depannya…  Bahkan lokasi museum ini tepat berada di seberang rumah Opungnya Monda, rumah kerabat yang kerap aku kunjungi saat usiaku sangat belia…

Kami berkunjung ke museum tersebut beramai-ramai… : 4 orang dewasa, 1 remaja, 3 kids dan 1 balita..   Harga tiket masuk per orang Rp.35.ooo,-

Kami lalu menyusuri ruang demi ruang… Hmmmmm, museum ini benar-benar sebuah rumah yang dialihfungsikan menjadi museum, yang memamerkan hasil buruan pak Rachmat, sang pemilik dari segala penjuru dunia…

Aldy & Enek menikmati Museum Rahmat..

Ini tempat yang cukup baik untuk mengenalkan keanekaragaman hayati, agar kita semakin mencitai hutan dan alam, serta mau berpartisipasi dalam pelestariannya, meski dengan langkah yang kecil sekali pun yang mampu kita lakukan…  Oh ya, meski sederhana, di Museum ini juga ada Safari Night nya lho…  Silahkan teman-teman berkunjung juga bila teman-teman ke Medan… ****

Menikmati Museum Rahmat dan Night Safarinya….

Djakarta Old City Tour (2) : Museum Wayang dan Alun-alun

Keluar dari Museum Fatahillah. Kami bergerak ke sisi barat alun-alun.. Di sana kami melihat dua bangunan tua yang berdampingan dengan arsitektur yang indah.. Arsitekturnya mengingatkan aku pada sepotong adegan film Diary of Anna Frank, yang menampilkan deretan bangunan-bangunan tua dan indah di pinggir kanal di salah satu pojok Amsterdaam.. Menurut informasi dari petugas di Museum Fatahillah, bangunan2 itu pada zaman Belanda berfungsi sebagai gereja, tapi sekarang keduanya digunakan sebagai Museum Wayang (Puppet Museum).

Di depan Museum Wayang, kami melihat sederetan sepeda, yang dicat warna warni… Lucu dan cantik.. Oooo la laaaa…. Ternyata sepeda-sepeda itu disewakan, dan penyewa bisa bersepeda mengelilingi alun2 yang ada di tengah2 bangunan-bangunan tua ini.. Bahkan para wisatawan bisa menyewa lengkap dengan pengayuhnya, alias ojek sepeda untuk ke obyek-obyek wisata yang masih terkait dengan Wisata Kota Toea Djakarta, seperti Museum Maritim dan Menara Bandar Djakarta….

Museum Wayang ternyata masih dalam tahap renovasi. Yang baru berfungi itu baru satu gedung.. Di lantai 1, dibelakang lobby terdapat ruang untuk pementasan wayang…, sedangkan lantai 2 dimanfaatkan sebagai galeri untuk menampilkan berbagai koleksi wayang yang dimiliki Museum.

Di museum ini, defini wayang bukan hanya wayang yang terbuat dari kulit yang selalu dimainkan oleh dalang sampai dii hari… Yang dipamerkan di sini termasuk topeng bahkan panggung boneka (puppet show), seperti di Unyil.. Wayang dan boneka yang ditampilkan terbuat dari berbagai bahan dan berasal dari berbagai negara…

Ada wayang yang terbuat dari kulit, sebagaimana yang umum kita lihat. Ada wayang yang terbuat dari susunan lidi, tangkai padi dan berbagai bahan lainnya.. Ada wayang dari kulit yang tidk berwarna, hanya diberi prada alias cat emas. Ada juga wayang yang dihiasi warna-warna cantikk.. Mengenai asal, selain produk dalam negeri, ada juga wayang dari Cina, ada boneka yang berasal dari Eropa… Semua lucu-lucu dan unik… Mungkin kalo renovasi sudah selesai kita kan bisa melihat lebih banyak wayang dari berbagi daerah di Indonesia bahkan dari Manca Negara…

Selesai menyusuri vitrin2 tempat wayang2 didisplay…, Kami keluar dari Museum tersebut, lalu menyusuri alun2 Kota Tua di sisi utara.. Di sini ada gedung tua yang dimanfaatkan sebagai caffe, Batavia Caffe.. Lalu ada gedung tua yang tidak digunakan, yang menurut aku arsitekturnya keren banget…, lalu ada gedung tua yang dimanfaatkan sebagai Kantor Pos..

Hmmmm berakhir sudah muter2 di Poesat Kota Batavia Tempoe Doeloe… Tapi perjalanan kami belum berakhir… Kemana…? Hayyuuuhhh kita lanjutkan….


Ini juga update-an postingan ini setelah mebaca buku Informasi Pariwisata Nusantara dan Indonesia Perjalanan Sejarah Budaya yang dirilis oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Buku yang enurut aku cukup informatif..

Pada lahan Museum ini tadinya berdiri gereja Belanda Oude Hollandsche Kerk (1640 – 1732) dan Nieuw Hollandsche Kerk (1736 – 1808) yang kemudian hancur akibat gempa bumi. Adapun gedung yang sekarang berdiri pada tahun 1912 yang tadinya berfungsi sebagai gudang perusahaan Geo Wehry.

Return To Pooh Corner..

winniethepooh1Hari  ini aku menemukan di fesbuk pic seorang kenalan, lelaki dewasa, dengan boneka Pooh..  Pic yang gak lazim, tapi funny dan bisa mehadirkan banyak interpretasi…

Tapi buat aku.., pic itu membawa pikiran ku pada RETURN TO POOH CORNER lagunya Kenny Loggins…  Juga pada orang yang mengenalkan aku pada lagu tersebut…  I always wish him well…

Return To Pooh Corner


Christopher robin and I walked along
Under branches lit up by the moon
Posing our questions to owl and eeyore
As our days disappeared all too soon
But I’ve wandered much further today than I should
And I can’t seem to find my way back to the wood

So help me if you can
I’ve got to get back
To the house at pooh corner by one
You’d be surprised
There’s so much to be done
Count all the bees in the hive
Chase all the clouds from the sky
Back to the days of christopher robin and pooh

Winnie the pooh doesn’t know what to do
Got a honey jar stuck on his nose
He came to me asking help and advice
And from here no one knows where he goes
So I sent him to ask of the owl if he’s there
How to loosen a jar from the nose of a bear

It’s hard to explain how a few precious things
Seem to follow throughout all our lives
After all’s said and done I was watching my son
Sleeping there with my bear by his side
So I tucked him in, I kissed him and as I was going
I swear that the old bear whispered boy welcome home

Believe me if you can
I’ve finally come back
To the house at pooh corner by one
What do you know
There’s so much to be done
Count all the bees in the hive
Chase all the clouds from the sky
Back to the days of christopher robin
Back to the ways of christopher robin
Back to the days of pooh