Kuliner Sipirok

Akhir pekan tanggal 13 – 15 Januari 2017, diriku ke Sipirok, lagi. Padahal  tanggal 29 Desember 2016 sampai dengan 02 Januari 2017 yang lalu diriku juga ke Sipirok buat libur akhir tahun dengan keluarga.  Ngapain bulak balik ke Sipirok?  😀  Kalau dipikir capek, memang sihh pergi yang pertama belum hilang capeknya.  Tapi kali ini aku pergi menemani kakakku  Lintje buat ziarah ke Sibadoar.  Lagian, kalau urusan pulang ke Sipirok kayaknya rasa capek gak ada.  Hihihihi. Padahal pinggang berdenyut-denyut nihhh !!

Oh ya, buat teman-teman ketahui, Sipirok itu adalah nama kecamatan, yang terdiri dari  6 kelurahan dan 34 desa.  Kalau diriku dan keluarga pulang ke Sipirok, itu artinya kami pulang ke rumah peninggalan ompung kami dari pihak Papa, yang berlokasi di Pasar Sipirok, kelurahan yang menjadi pusat Kecamatan Sipirok.  Di Pasar Sipirok tersebut berada kantor Kecamatan Sipirok, kantor Polsek Sipirok, kantor Koramil Sipirok, kantor Kejaksaan Sipirok, sekolah dari tingkat SD, SMP, SMA dan SMK, juga pasar serta pusat aktivitas ekonomi masyarakat di Kecamatan Sipirok.  Kampung leluhurku dari pihak  Papa yang bermarga Siregar adalah Desa Sibadoar, 3 km ke arah Timur Laut dari Pasar Sipirok.  Sedangkan kampung asal leluhur Mama yang bermarga Harahap adalah Desa Hanopan, 16 km ke arah Timur Laut dari Pasar Sipirok.   Jadi jangan bingung dengan istilah Sipirok, dan Pasar Sipirok ya teman-teman.

Oleh-oleh dari perjalanan kali ini, diriku ingin cerita tentang kuliner Sipirok. Topik tentang Kuliner Sipirok dengan scope yang lebih kecil, Panganan Khas Sipirok, pernah diriku bahas sebelumnya, namun tulisan kali ini scopenya lebih luas, tidak cuma tentang kue-kuean, tapi juga tentang makanan, lauk pauk dan sayuran.

Kita mulai dari kue-kuean dulu yaaa.

penjual-kue-sipirok

Panggelong Apri hasibuan dan Pedagang kue di Pasar

Dulu saat saya masih bocah cilik, kue-kue di daerah Pasar Sipirok hanya dijual pada hari Kamis, hari pasar di  Pasar Sipirok.  Poken Kamis, demikian masyarakat menyebutnya.

Poken Kamis adalah pasar terbesar, teramai di Kecamatan Sipirok.  Para pedagang dan pembeli dari berbagai kelurahan dan desa di Sipirok tumplek blek di sini, bikin macet sampai sekitar jam 2 siang.  Hari lain tetap ada pasar di Pasar Sipirok, tapi hanya sekedar  menyediakan kebutuhan harian penduduk di sekitar Pasar Sipirok.  Pasar yang agak ramai berlangsung secara bergilir tiap hari di  kelurahan atau desa di Kecamatan Sipirok.  Misalnya pada hari rabu, pasar yang disebut Poken Arba (Pasar Rabu dalam bahasa Batak Angkola) berlangsung di Desa Arse, sebuah desa yang berjarak 14 km di Timur Laut Pasar Sipirok.  Desa yang gak jauh dari Hanopan, kampung leluhurku dari pihak Mama.

Tapi sekarang tiap hari ada yang menjual kue-kue tradisional khas Sipirok.  Ada yang menjual di pasar, dan juga ada di dua warung atau toko kecil  di jalan lintas Padang Sidempuan – Tarutung.  Pedagang petama, Panggelong Apri Hasibuan, di jalan Tarutung No. 52 Banjar Toba, Sipirok.  Pedagang yang kedua (maaf gak sempat motret warung dan mencatat namanya), lokasinya sekitar 1 km dari Panggelong Hasibuan, dekat masjid Sipirok Godang.

Kue apa saja yang bisa ditemuin di Sipirok?  Sesuai dengan hasil bumi Sipirok, beras, ketan,  dan gula aren atau gula bargot kata orang Sipirok, maka kue-kue khas Sipirok berbahan baku betas atau ketan dengan gula aren ditambah variasi pisang dan kelapa parut atau santan. Apa aja kuenya?

panggelong

Panggelong

Panggelong,  terbuat dari adonan tepung ketan/pulut yang dicampur dengan gula aren, lalu digoremg, lalu dicelup ke cairan gula aren.

golang-golang

Golang-golang

Golang-golang, terbuat dari adonan tepung ketan dengan gula aren, dibuat seperti gelang-gelang kecil, digoreng.

paniaram

Paniaram

Paniaram, campuran tepung beras dan gula aren dipanggang seperti serabi.  Tapi lebih padat, lebih alot.. 😀

Lapet (lepat) beras, adonan tepung beras dengan gula aren dan santan, dibungkus dengan daun pisang, dikukus.  Adonan yang sama ada juga dimasukkan ke dalam bambu yang telas dilapis dengan daun pisang, lalu dibakar, namanya lemang daun.

lapet-pisang

Lapet Pisang

Lapet (lepat) pisang, adonan tepung beras dengan gula pasir dan santan, dikasi irisan pisang, dibungkus dengan daun pisang, lalu dikukus.

itak

Itak pohul pohul

Itak Pohol-pohul.  Ini adalah kue khas orang Batak sekali.  Biasa dihidangkan di acara-acara adat, seperti menyambut bayi yang baru lahir, acara masuk rumah baru, juga  acara penghiburan setelah meninggalnya anggota keluarga.  Itak terbuat dari tepung beras yang dikukus sebentar, lalu dicampur dengan irisan gula aren dan kelapa parut, dibentuk dengan cara digenggam kuat-kuat sehingga berbentuk kepalan tangan, lalu dikukus.

Kembang loyang manis/asin.  Kembang loyang adalah adonan tepung beras.  Untuk yang manis dicampur dengan gula pasir dan wijen.  Selanjutnya cetakan berbentu kembang yang diberi tangkai dicelupkan ke adonan tersebut, sehingga adonan menempel, kemudian cetakan tersebut dimasukkan ke penggorengan yang sudah berisi minyak panas.  Adonan yang masak akan lepas dari cetakan dan membentuk kue yang berbentuk kembang.  Untuk yang rasanya asin, adonan tepung beras ditambahkan dengan bumbu-bumbu daun jeruk, daun seledri, ketumbar atau merica, daun jeruk, juga udang halus, seperti membuat adonan bakwan.

Kue angka 8 sangat khas Sipirok, kayaknya gak ada di tempat lain.  Kue ini terbuat dari campuran tepung beras dan tepung ketan juga gula pasir.  Adonan lalu dibuat panjang-panjang dibentuk seperti angka 8, kemudia digoreng.  Setelah dingin, kue dibalur dengan bubuk gula putih, seperti donat.

Selain kue-kue yang sudah disebut di atas, yang selalu ada dalam panganan di Sipirok adalah lomang (lemang) dan wajik, yang keduanya terbuat dari  ketan. Lemang dibuat dari ketan dikasi santan yang dimasukkan ke bambu dilapisi daun pisang,  kemudian dipanggang di atas bara.  Sedangkan wajik dibuat dari ketan yang ditanak dengan gula aren dan santan.   Setelah masak dicetak di nampan yang diaLas dengan daun pisang atau plastik agar tidak lengket.

Sekarang kita bicara tentang makanan utama..

ikan-mas

Ikan mas goreng dan gulai ikan mas

Sesuai dengan lokasi yang jauh dari laut,  alam Sipirok yang pegunungan, membuat sungai-sungainya curam berbatu-batu dan  berair deras sehingga tak banyak ikan.  Ikan hanya ada di tempat-tempat tertentu, di lubuk-lubuk.  Sumber protein masyarakat di Sipirok adalah daging kerbau (Bubalus bubalis)  dan ikan mas (Cyprinus Carpio sp.)  hasil peliharaan di kolam.   Kolam ikan di Sipirok biasanya bukan kolam air deras, tetapi sawah yang yang secara periodikal dialihfungsikan sebagai kolam.  Untuk menghasilkan ikan dengan ukuran yang layak untuk dimakan, dibutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari setahun.  Lama yaakkkk...  Btw, orang Batak kayaknya gak doyan ikan gurame ya?  Entah lahh.  Tapi memang untuk acara-acara adat di masyarakat Batak, ikan yang digunakan ya ikan mas.  Biasanya diarsik.  Hmmm… enak banget… Kata orang-orang sangkin enaknya, mertua lewat gak keliatan.   Ya, enggak keliatan laahh, wong saat nikah sama anaknya mertua udah gak ada.  😀 😀

olahan-kerbau

Sup tulang kerbau dan daging panggang

Untuk daging, enggak tahu kenapa di Sipirok adanya daging kerbau. Termasuk untuk dipotong pada acara-acara adat.   Yang dipelihara orang-orang juga kerbau.  Untuk penyediaan daging kerbau di Pasar Sipirok, biasanya dilakukan oleh keluarga Pardede, yang sudah jadi Partiga-tiga Juhut di Sipirok dari generasi ke generasi.  Tiga itu artinya pasar, partiga-tiga artinya pedagang, juhut artinya daging.  Partiga-tiga Juhut artinya pedagang daging.

Kerbau diolah menjadi masakan apa di Sipirok? Karena udara yang dingin, di Sipirok tulang dan daging kerbau biasanya dijadikan sup.  Aihhh jadi ingat saat-saat pulang kampung ketika masih kecil.  Sup adalah menu yang wajib hadir di meja makan di rumah Opung.  Sup daging dengan kentang dan wortel mengepul-ngepul.  Nikmat banget  !!  Nah di salah satu rumah makan yang terkenal dan sangat representatif di Sipirok, Rumah makan Siang malam, daging kerbau dipanggang, lalu dimasak asam pedas pekat dengan irisan bawang dan tomat yang banyak. Enaknya, gila !!!  Bikin nagih. Sedangkan tulang kerbau dibikin sup, bahkan sumsum yang di bagian engsel, bisa dinikmati dengan menggunakan sedotan.  Tapi menu yang satu ini saya gak makan.  Takut kolesterol !

gulai-daun-ubi-tumbuk

Gulai Daun Ubi Tumbuk

Bagaimana dengan menu sayurnya? Yang selalu hadir di meja makan di rumah-rumah di Sipirok adalah sayur bolgang alias sayur rebus, yang terdiri dari berbagai macam sayur.  Daun singkong, rimbang, terong ijo dan lain-lain dicampur jadi satu.  Rasanya enak, karena sayur-sayur tersebut biasanya baru dipetik.  Bahkan dulu di rumah Ompung, ketika akan masak,  baru sayur dipetik di kebun  milik Ompung di daerah Pasar Malam, yang gak jauh dari rumah.

Selain sayur bolgang, menu sayur yang menjadi trade mark orang Batak adalah Gulai Daun Ubi Tumbuk.  Gulai ini dibuat dari daun ubi muda alias bagian pucuk, ditambah dengan rimbang, honje atau kecombrang (Etlingera elatior) ditumbuk sampai setengah halus di alu yang terbuat dari kayu.  Kalau almarhum Mama bahkan menambahkan daun pepaya muda pada campuran tersebut.  Untuk meningkatkan  daya tahan tubuh, menurut beliau.  Setelah setengah hancur, campuran sayur tersebut dimasak dengan santan dan ditambahkan dengan ikan salai atau ikan asap.  Jangan tanya rasanya.  Juaaarrrraaaaa  !!!!

Kok jadi bikin pengen pulang kampung lagi yaaa ?? Padahal badan masih belum hilang pegalnya.  😀  ***

Ulos Angkola

Pulang kampung ke Sipirok dalam beberapa tahun terakhir selalu membuat hati dan pikiranku tergelitik… “Mau tau tentang apa lagi, yaa…?”

Yuupppp…  Besar di Pekanbaru, berada di lingkungan yang berasal dari berbagai suku,  lalu sekolah ke Bogor, dan sempat tinggal di 2 kota lain, bergaul dengan teman-teman dari berbagai daerah, membuat diriku di usia belia dan awal dewasa gak terlalu mau tahu tentang kampungku.. Tapi kemudian kesadaran bahwa budaya yang dimiliki leluhurku sungguh kekayaan yang tak ternilai, yang seharusnya aku kenal, aku pelajari, menggoda hati…  Makanya, bila ada kesempatan pulang kampung  aku berusaha melihat tinggalan budaya yang ada di kampungku..

Setelah mengunjungi ito Ardiyunus Siregar pengrajin Tuku dan Bulang  yang tinggal di desa Padang Bujur Sipirok, yang saya kenal melalui group orang-orang Sipirok di Facebook, kali ini saya berkenalan dan mengunjungi ito Advent Ritonga, seorang pengrajin ulos yang well-known.  Ito Advent Ritonga, yang formalnya hanya tamat Sekolah Dasar tapi sangat cerdas dan penuh bakat, menetap di Silangge, sebuah kampung yang berada sekitar 1 km dari jalan raya menuju Sipirok, kalau kita datang dari arah Medan.  Atau kalau dari rumah Ompungku sekitar 5 km-an.

Ulos 1

Ulos Angkola

Salah satu tulisan di dunia maya tentang Advent Ritonga bisa teman-teman lihat di sini

Aku sendiri sebelumnya enggak tahu dengan beliau dan nama besarnya.. Maklum kurang gaul.. Hahaha.. Tapi adikku Ivo, yang pernah menyusuri berbagai sentra kerajinan di Sumatera Utara, menyarankan aku mengunjungi pertenunan beliau kalau mau liat pengrajin Ulos.

By the way, anyway, busway…, teman-teman udah pada tahu kan apa itu ULOS…?

Ulos itu artinya secara harfiah kain, atau selimut..    Tapi biasanya pengertiannya dalam konteks adat..  Sedangkan untuk kain (bahan baju, sarung, kain panjang), kata yang dipakai adalah abit.  Ada juga yang menyebut ulos dengan istilah abit godang atau kain kebesaran, buka kegedean, lho.

Karena etnis Batak terdiri dari berbagai varian yang mempunyai budaya juga berbeda-beda…, maka ulosnya juga berbeda-beda, baik dari warna mau pun corak..  Sipirok, sebagai wilayah yang dihuni oleh masyarakat Batak Angkola, maka ulos di Sipirok adalah Ulos Angkola..  Ulos yang menggunakan lebih banyak warna..

Hari Jum’at 03. April 2015 kemaren, sore hari, dengan diantar kak Mega, anak Namboru (kakak Papa) yang menetap di Sipirok, diriku pergi ke Silangge, ke rumah ito Advent Ritonga, pengrajin Ulos itu..

Pertenunan Silangge

Pertenunan Silangge

Begitu sampai di rumah ito Advent Ritonga, mataku melihat di samping rumah beliau terdapat sebuah bangunan kayu, tempat bertenun, yang di atas pintunya terdapat tulisan yang mengatakan kalau pertenunan ini merupakan binaan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk pencelupan benang.  Tak sempat berbengong-ria, aku dan kak Mega langsung disuruh masuk ke ruang tamu rumah yang sekaligus berfungsi sebagai showroom sederhana..

Kak Mega langsung memperkenalkan diriku pada beliau, dan memberi tahu maksud kedatangan ku ke situ. Dan, ito Advent bilang, “Hu tanda do amangmu.  Ro do hami tu horja inatta na baru on”.  Artinya, “saya kenal dengan bapakmu, dan kami hadir saat acara adat pemakaman ibumu baru-baru ini”.  Hmmmmm.  Ini Sipirok, banyak orang yang saling kenal. Jadi hati-hati melangkah dan bicara.  Lebih hati-hati dari yang biasa dilakukan saat berada di luar sana.  😀

Silangge 1

dengan Ito Advent Ritonga, Pengrajin Ulos dari Silangge, Sipirok

Setelah ngobrol-ngobrol sambil melihat-lihat apa yang dipamerkan di situ, termasuk yang ada di dalam 2 lemari kayu besar dengan pintu-pintu berkaca, aku bertanya apa sesungguhnya makna yang ada di Ulos Angkola.

Menurut beliau Ulos Angkola merupakan ulos yang diberikan kepada pengantin Batak Angkola, dengan simbol-simbol penuh makna, penuh dengan pesan-pesan akan ajaran hidup yang harus dipelajari, dijalani orang Batak Angkola, terutama boru (anak perempuan).

Saya lalu meminta beliau untuk mengatakannya pada saya satu demi satu.  Ito Advent bilang, baru kali ini ada orang kita (orang Sipirok, maksudnya) yang bertanya pada dirinya tentang hal ini. Orang luar, orang asing yang justru lebih sering bertanya.  Semoga ini bukan tanda betapa tidak pedulinya generasi muda Sipirok terhadap tinggalan agung leluhurnya.

Saya lalu bilang, saya tidak sering mengikuti acara Mangulosi atau memberi ulos.  Tapi dari acara-acara yang saya lihat, saya ikuti, saya belum pernah meilihat, mendengar orang yang mangulosi itu menjelaskan makna yang tersimpan dalam ulos yang diberiannya.  Padahal bukankah makna adalah bagian terpenting dari sebuah pemberian..?

Ito Advent bilang, “Saya akan kasi tahu kamu.. Tapi kalau nanti tulisanmu sudah jadi.., sempatkan untuk memprintnya ya, dan kirimkan pada saya”.  Deal.  Insya Allah aku akan melakukannya.

By the way, diriku sempat bertanya, mengapa dirinya tidak pernah menulis tentang makna yang ada pada motif yang terdapat pada  ulos Angkola.  Dia bilang, dia pernah menuliskannya, lalu seseorang meminjam catatan tersebut, namun tak pernah mengembalikannya.. Hmmmmm… sad

Ito Advent menjelaskan pada saya mulai dari tepi ulos, yang wujudnya seperti bulu, sampai ke tengah ulos. Mari kita mulai.

Rambu 1

Rambu

RAMBU.  Rambu atau jumbai yang wujudnya seperti bulu, seperti putri melambai-lambai, melambangkan dalam berumahtangga, oarng harus luwes dalam mencari nafkah.

Manik-manik Si Mata Rambu 1

Manik-manik

MANIK-MANIK, SI MATA RAMBU, artinya dalam berumah tangga, sebagai orang tua nantinya, sepasang suami istri harus bisa menjaga anak laki-laki dan anak perempuannya dengan baik.  Bahasa Batak Angkolanya, Matahon anak dohot boru.

Sirat

Sirat

SIRAT, artinya suratan tangan, atau jodoh. Jadi orang yang menikah itu sudah jodoh, harus bisa mempertahankan rumah tangganya.

Jarak

Jarak

JARAK, tenunan polos berwarna hitam, berada di antara sirat dan pusuk robung.  Artinya dalam semua aspek kehidupan harus ada jarak, tidak boleh terlalu dekat.  Tidak boleh kita membuka semua yang ada pada kita kepada orang lain.

Pusuk Robung

Pusuk Robung

PUSUK ROBUNG alias pucuk rebung.  Artinya dalam kehidupan harus bisa bersikap seperti bambu, bermanfaat di sepanjang usia, makin tinngi makin merunduk, knea angin bergoyang tapi tidak patah.  Dan motif pucuk rebung ini juga ada lho dalam tenunan Melayu.  Apa ya maknanya? Ada kesamaan asal muasalkah? Hmmmm.

Luslus

Luslus

LUSLUS, artinya dalam hidup manusia itu harus bagai lebah, hidup bermasyarakat. Tak boleh hidup sendiri.

Tutup Mumbang

Tutup Mumbang

TUTUP MUMBANG. Artinya di dalam hati harus ada tempat untuk menyimpan yang panas dan yang dingin. Harus bisa mengendalikan diri, mampu menyimpan hal-hal yang buruk dan tidak mengumbar yang baik.

Iran-iran

Iran-iran

IRAN-IRAN, andege ni mocci.  Bahasa Indonesianya jejak tikus. Tiku kemanapun melangkah selalu terlihat jejak kakinya,  artinya dalam hidup manusia harus meninggalkan jejak, kebaikan. Tidak boleh berlalu tanpa meninggalkan bekas.

Jojak Mata-mata

Jojak Mata-mata

JOJAK MATA-MATA.  Ini motif dengan bentuk melintang terdiri dari warna merah, putih dan hijau.  yang menunjukkan perubahan.  Karena dengan pernikahan seorang perempuan akan melangkah ke tempat mertua, tinggal dan menjadi bahagian dari keluarga mertua, artinya berubah lingkungan, seorang perempuan atau boru harus meninggalkan jejak baik bagi keluarganya.  Suami dan istri harus mampu memberi kesan baik tentang keluarganya ke keluarga mertua, dan sebaliknya juga memberi kesan baik tentang keluarga mertua kepada keluarganya.

Yok-yok Mata Pune

Yok-yok Mata Pune

YOK YOK MATA PUNE.  Pune dalam bahasa Indonesia artinya burung Beo, burung yang cerdas.  Jadi seorang boru, perempuan Batak harus pintar, harus cerdas, harus mau selalu belajar.

Ruang

Ruang

RUANG.  Bahagian tenunan yang paling besar dan kaya warna ini melambangkan ular naga.  Kuat dan panjang.  Artinya suami istri itu harus berjiwa tegar, kuat dan mampu merangkul semua pihak yang ada di sekitarnya.

Si Jobang

Si Jobang

SI JOBANG. Motif yang berbentuk deretan prajurit.  Jumlahnya harus ganjil, di sisi-sisi terluar harus yangmenggambarkan Mora (Raja), berwarna merah. Mora di pakkal, mora di ujung.  Artinya sebagai Mora, harus bertanggung jawab terhadap seluruh aspek kehidupan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Singap

Singap

SINGAP alias ujung atap.  Artinya sebagai orang Batak, harus mampu bersikap seperti atap, mampu menahan panas terik matahari dan hujan.  Sepahit apa pun yang terjadi dalam berumah tangga harus bisa dihadapi.

Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung

Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung

Doa HORAS TONDI MADINGIN SAYUR MATUA BULUNG.. Ini serangkai doa, harapan, yang berarti semoga orang yang diulosi ini selamat-selamat, jiwanya sejuk sampai dia seperti daun yang menua.

Bunga

Bunga

BUNGA.  Perempuan Batak harus mengeluarkan bau yang harum bagi sekelilingnya. Harus bisa jadi pribadi yang teladan, jadi contoh.

Suri-suri

Suri-suri

SURI-SURI.  suri dalam bahasa Batak berarti sisir.  Makna Suri-suri, adalah sebelum keluar rumah orang harus merapikan diri, berkaca.  Jadi sebelum kita mengurusi orang lain, kita harus periksa diri kita dahulu, perbaiki diri kita, rapikan, baru kita boleh mengurusi diri orang lain.

Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu

DALIHAN NA TOLU.  Di dalam masyarakat adat Batak ada 3 unsur, Anak Boru, Kahanggi, dan Mora.  Yang paling tinggi kedudukannya adalah Mora atau Raja.  Yang menjadi Mora dalam adat adalah orang tua perempuan, alias mertua dari seorang laki-laki Batak.  Jadi bisa tahu donk, walau orang Batak itu menganut patrilineal, garus penerus marga ada pada anak laki-laki, tapi anak perempuan juga sangat berharga.  Ada istilah di masyarakat Batak, orang dianggap kaya kalau maranak (punya anak laki-laki) sapuluh (10), marboru (punya anak perempuan) sabolas (sebelas).  Karena dia bisa jadi mora untuk 11 keluarga. Hehehehe...  Pada ulos, dalihan na tolu digambarkan dengan 3 kolom yang berada di tepi kiri dan kanan ulos.  Yang paling luar adalah anak boru, yang tuigasnya dalam masyarakat adat melayani Mora dan Kahanggi.  Yang tengah adalah Kahanggi (saudara dari anak boru).  yang bahagian paling dalam, yang dibatasi dengan tugu adalah Mora.

Tugu

Tugu

TUGU, yang berupa 3 garis hitam sejajar, artinya perkumpulan keluarga.  Orang Batak harus hidup dalam perkumpulan keluarga.

Untuk diketahui, ulos Batak terdiri dari dua lembar yang disambung tepat di bagian tengah.  Seluruh susunan dan ukuran motif dari kedua lembar ulos itu sama, kecuali tulisan doa dan harapa Horas Tondi Madingin Sayur Matua Bulung.  Tulisan itu justru menjadi satu kesatuan setelah kedua lembar ulos disambung.  Kenapa harus terdiri dari dua lembar yang disambung? Karena rumah tangga itu terdiri dari 2 pribadi dengan latar belakang yang berbeda, yang disatukan, disambungkan.  Dalem maknanya.

Oh ya, seharusnya, diriku memperkaya penjelasan ito Advent ini dengan mendalami makna nama-nama corak tersebut, mengingat Papaku dan teman-temannya sudah menerbitkan 2 edisi kamus Angkola – Indonesia.  Tapi karena diriku takut lupa mengaitkan penjelasan-penjelasan yang diberikan dengan foto-foto yang diriku buat, jadi haris segera dikerjakan.  Lagi pula, aku ingin bisa mempublikasi paling tidak satu tulisan pada saat aku sedang berada di rumah peninggalan Ompungku.  Why ? Karena Ompung Godang kami mempunyai minat baca yang besar, dan mewariskannya pada anak-anak beliau, yang kemudian juga mewariskannya pada kami, cucu-cucu Ompung.  Buku adalah jendela dunia. Dan jendela itu tak ada gunanya kalau tidak dibaca.

Semoga tulisan ini bermanfaat.. Mungkin bisa menjadi referensi bagi yang akan mangulosi.. Atau mungkin juga bagi yang menerima ulos namun belum diberi penjelasan tentang makna yang ada di balik motif-motif yang ada di ulos tersebut.

Rumah Jl. Simangambat No. 97 Sipirok, 05 April 2015

Sondha Siregar

Museum Batak

Tanggal 22 Desember 2014 yang lalu aku  ke Medan untuk menemani Papaku pulang kampung ke Sipirok.. Ya, tanggal 24 Desember 2014, tepat 100 hari kepulangan alm Mama, dan Papa ingin berziarah…  Jadi kami, aku, Papa adikku Ivo dan ponakan ku Ananda, berangkat ke Sipirok tanggal 23 Desember 2014.

Poda na 5

Semula kami berencana akan berangkat pagi-pagi sekali dari Medan, agar bisa singgah di Pematang Siantar untuk membeli Roti Ganda, minum teh dan makan roti bakar di kedai kopi Sedap, serta singgah di Balige   untuk berkunjung ke Museum Batak.   Namun karena sebelum berangkat Papa mengajak kami membeli mesin potong rumput pesanan salah seorang kerabat di kampung,  jadi lah kami berangkat jam 11 siang dari Medan.   Karena kami jalannya santai, dan pakai singgah makan siang di Tebing Tinggi, kami sampai di Pematang Siantar sekitar jam 4 sore,  dan tak bisa sampai ke Balige pada jam museum masih buka..  😀

Kami akhirnya menggeser rencana untuk ke museum tersebut.   Jadinya saat pulang dari Sipirok tanggal 26 desember 2014.  Hari itu kami berangkat dari Sipirok jam 06.30 pagi.  Agar aman melewati Aek Latong, kami membawa supir tambahan, salah satu tetangga di kampung, untuk menyetirkan mobil sampai di Balige dan sekitarnya.  Maklum lah, kami pergi berempat…  Nyetirnya gantian.., kalo enggak Ivo, ya diri ku..   belajar jadi supir medan, coy…!!!   Karena enggak tega ngeliat Papa nyetir jarak jauh di usia beliau yang menjelang 77 tahun..  Meski beliau merasa masih kuat nyetir…., dan merasa lebih jago nyetir di medan-medan yang menantang dibanding kami, putri-putrinya.. Hehehehe…

Gerbang a

Berangkat pagi tanpa mandi, hanya cuci muka, sikat gigi dan bebersih sekedarnya… 😀  Kami bisa sampai di Sipaholon, pinggiran Kota Tarutung sekitar jam 09.30 pagi..  Di situ kami mandi pagi di permandian air panas, air belerang, sekaligus brunch.. Puas mandi dan makan, kami lanjut perjalanan, dan sampai ke Balige jam 11 siang.

Di Balige kami langsung menuju Museum Batak yang berlokasi di Desa Pagar Batu, tak jauh dari tepian Danau Toba.. Museum Batak ini merupakan bahagian dari TB Silalahi Center…  Semacam sebuah pusat kebudayaan Batak  yang didirikan oleh Jenderal TB Silalahi di kampung beliau, Desa Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.. TB Silalahi Center merupakan sebuah kawasan yang lokasinya tidak jauh dari Danau Toba..  Di kawasan itu terdapat Museum TB Silalahi, Museum Batak, Huta Batak..  Ada juga beberapa sarana pendukung…  Terus kami kemana aja…?

Museum TB Silalahi 2 a

Begitu masuk, kami menuju gedung yang  kami temui pertama kali saat masuk ke kawasan…  Museum TB Silalahi..  Apa isinya…?  Di bagian depan terdapat deretan foto-foto presiden Indonesia, dari pertama sampai akhir…  Lalu, dilanjutkan dengan cerita tentang riwayat hidup seorang TB Silalahi, dan koleksi-koleksi pribadi, seperti pakaian untuk berbagai kesempatan, jam tangan, pena, handphone, ijazah dan diploma-diploma serta berbagai penghargaan..  Juga souveniers dari berbagai negara yang pernah dikunjungi dan cendera mata yang pernah diberikan kolega-kolega beliau dari berbagai negara…

Huta Batak a

Keluar dari Museum TB Silalahi, kami menuju Huta Batak…   Apa itu Huta Batak…? Itu sebuah kawasan, yang di dalamnya ada 7 unit rumah adat Batak yang sudah tua…  Tapi masih cantik dan sangat terawat..  Miniatur perkampungan orang Batak..  Di situ juga ada 2 unit kuburan batu..  Ada juga pangulu balang di pojok kawasan huta Batak, dan ada si Gale-gale di depan salah satu rumah Batak…

Apa itu Pangulu Balang…?  Temen-teman baca sendiri ya di pic ini…  Biar jelas…  😀 Pangulu Balang 1

Ngomong-ngomong soal Pangulu Balang…, Papa ku pernah membuat tulisan tentang kampung kami Sibadoar yang hikayatnya  juga punya Pangulu Balang.. Tulisan itu bisa teman-teman bisa lihat di Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar (11). Tapi ini aku kutipkan…

Huta Sibadoar “tempo doeloe” ada penjaganya yang dikenal dengan nama “pangulubalang”, konon satu-satunya huta di Luat Sipirok na mar pangulubalang. Pangulubalang adalah patung batu (di gorga) bentuk manusia mini. Konon patung itu sebelumnya “di-isi” dengan jasad manusia yang sengaja dikorbankan dan diolah sedemikian rupa khusus untuk membuat “pangulubalang”. Pangulubalang pada saat-saat tertentu (periodik) di-pele (diberi makan) oleh majikannya yang menunya berupa padi yang digonseng (bertih), telur ayam kampung, dll. Seandainya majikannya terlambat ma-mele (memberi makan), ada harapan telur ayam sekampung yang sedang dierami akan “bayuhon” (tidak jadi menetas) karena sebelumnya telah disantap oleh pangulubalang. Roh manusia yang jasadnya ada dalam pangulubalang, dipercaya dapat berfunggsi sebagai penjaga huta. Jika ada musuh (zaman doeloe sering kejadian) mau menyerbu masuk huta, ataupun akan timbul wabah kolera (begu attuk) dan lain-lain bencana, maka sebelumnya oleh pangulubalang akan diberikan peringatan-peringatan dini dengan tanda-tanda umpamanya, semut-semut merah bermunculan disekeliling huta secara menyolok, dan atau tanda-tanda alam lainnya yang tidak lazim, bahkan katanya suara-suara aneh yang bersumber dari pangulubalang. Berdasarkan ini semua (majikannya biasanya cepat tanggap) orang sekampung dapat mengambil tindakan berjaga-jaga (mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya).

Terus apa itu si Gale-gale..? Si Gale-gale 2a

Si Gale-gale itu patung untuk menghibur orang yang mengalami kesedihan karena kematian anggota keluarganya.. Patung itu bisa beergerak.., menari mengikuti musik.. Kalo dulu digerakkan oleh roh yang dipanggil oleh datu..  Kalo sekarang digerakkan secara mekanik…  Di Huta Batak ini, si Gale-gale ditampilkan setiap 30 menit, kalau tidak salah..  Pengunjung bisa duduk-duduk di kursi-kursi yang terbuat dari semen di seberang rumah yang ada si Gale-galenya..  Tapi kalau mau, penonton juga bisa ikut menari.. 😀

Si Gale-gale 3 a

Oh ya, di dekat gerbang Huta Batak juga ada rumah adat Toraja… Mengapa? Karena katanya suku Toraja yang berada di wilayah Sulawesi Selatan itu punya kedekatan budaya dengan suku Batak..

Halaman Museum Batak a

Dari Huta Batak, kami berjalan menuju Museum Batak.. Karena  Huta Batak berada di belakang Museum TB Silalahi, yang sejajar dengan Museum Batak, jadi lah kami menyusuri halaman belakang Museum Batak…  Ada apa di sana? Ada patung yang menggambarkan aktivitas panen raya.., dan ada papan catur raksasa, yang tinggi buah caturnya setengah tinggi orang dewasa… Yaa…, orang Batak memang identik dengan catur dan domino.. 😀

Museum Batak a

Apa yang ada di dalam Museum Batak…? Banyak…. 😀  Selain memberikan berbagai informasi dan memamerkan benda-benda yang menggambarkan 7 unsur kebudayaan (Sistem bahasa, Sistem peralatan hidup dan teknologi, Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial,  Ilmu pengetahuan, Kesenian, dan Sistem kepercayaan, atau agama) dari berbagai etnis Batak (Toba, Angkola, Pakpak, Mandailing dll), di museum Batak juga ada bahagian yang menggambarkan sejarah perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, sejarah masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, juga tentang interaksi antar agama yang ada di masyarakat Batak.

Di Museum ini juga dijelaskan tentang filosofi hidup orang Batak seperti CICAK.. What….?   Iya Cicak.. makanya di rumah-rumah adat batak, atau peralatan orang-orang Batak sering terdapat ornamen berbentuk cicak..  Apa artinya…? Dalam masyarakat Batak hewan ini adalah hewan yang mempunyai filosofi terutama dalam pergaulan. Kepercayaan para leluhur mengatakan bahwa setiap etnis Batak harus dapat bergaul dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam satu lingkungan.  Filosofi ini juga ditanamkan dari orang tua kepada anak-anaknya yang hendak merantau ke suatu daerah, anak-anak tersebut harus dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan pemukiman barunya dan orang-orang disekitarnya, seperti halnya hewan cicak yang dapat menempel di dinding bangunan apa saja tanpa harus takut dan tertutup dari lingkungan di sekitarnya.

Di dekat pintu keluar Museum Batak juga terdapat tampilan tentang Poda Na Lima, yaitu prinsip hidup orang Batak yang 5.. Paias Rohamu (Bersihkan Hatimu), Paias Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu), Paias Paheonmu (Bersihkan Pakaianmu), Paias Jabumu (Bersihkan Rumahmu), Paias Paharanganmu (Bersihkan Halaman Rumahmu).  Di situ juga ada tampilan Nasehat Leluhur Tanah Batak, Carilah Rezeki dan Peruntungan, Carilah Kesempurnaan Hidup, Carilah Kehormatan dan Kemuliaan.. Kalau pesan-pesan ini dilakukan dengan konsep religi…, rasanya pesan-pesan ini akan menjadi pegangan yang sangat indah… Nasehat leluhur Batak a

Oh ya, makam Sisingamangaraja XII juga terdapat di kawasan ini, di bahagian depan..  Tapi kami tidak sempat singgah.. Karena tanpa sadar kami sudah menghabiskan waktu 4 jam di tempat ini.. Tak terasa..Karena tempat ini memang sangat layak untuk dikunjungi…  Tempatnya nyaman.. Story line museum-nya bagus..  Informasi-informasi yang disampaikan sangat banyak dan jelas..  Tempat ini sangat layak untuk dikunjungi, bukan hanya bagi yang di dalam tubuhnya mengalir darah Batak..  Tapi bagi mereka pencinta Budaya dan Sejarah…

Dari informasi yang saya dengar di sana, Museum ini merupakan Museum milik pribadi (non pemerintah) yang terbaik di Indonesia.  Saya gak bisa kasi komentar tentang hal ini.. Secara saya baru mengunjungi 4 museum pribadi saja di Indonesia, yaitu  museum ini, Museum Rahmat di Medan,  Museum Sapoerna di Surabaya. dan Museum Kata di Belitung Timur.  Tapi memang informasi yang ada di Museum Batak ini jauh lebih kaya dan dalam maknanya, karena menyangkut sebuah etnis..  Dan menurut saya, story behind the object yang ditampilkan juga jauh lebih bagus dibanding Musee’ de Louvre di Paris..  Sungguh… Dan sebagai peminat sejarah dan budaya, berkunjung ke tempat seperti ini buat Papa dan kami anak-anaknya merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan..   Semoga kami bisa segera jalan-jalan bersama Papa lagi, segera…  Doain ya teman-teman.. ***

Kata Pengantar Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke2

Teman-teman, ini saya salinkan Kata Sambutan yang ditulis ibu Susan Rodgers untuk Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke-2.  Beliau adalah  seorang antropolog berkewarganegaraan Amerika, yang pernah melakukan penelitian tentang Budaya Batak.  Beliau pencinta Budaya Batak, dan bersama beberapa temannya menetap di Sipirok pada tahun 1970-an saat melakukan riset untuk program masternya.  Dan beliau sangat fasih berbahasa Angkola.  Sepertinya Bahasa Angkola adalah bahasa kedua beliau setelah bahasa ibunya, Bahasa Inggris.  Saya bisa melihat itu saat beliau berkomunikasi dengan Papa saya, pada waktu kami bertemu di bulan Juni 2013 di Medan.  Hal itu sempat membuat saya merasa malu… 😀

Susan Rodgers 1aKebetulan saya menjadi jembatan proses komunikasi antara Papa saya dengan ibu Susan, yang telah diberi marga Siregar oleh tetua Adat Sipirok pada tahun 1970-an (makanya saya memanggil beliau dengan BOU dalam komunikasi-komunikasi kami).  Saya biasanya ditugaskan menyampaikan pikiran dan pendapat Papa saya ke ibu Susan dalam bentuk email.  Juga menyampaikan permohonan agar beliau bersedia memberi kata pengantar untuk kamus ini.  Begitu juga sebaliknya.  Jadi Kata Sambutan beliau yang aslinya dalam Bahasa Inggris, dikirimkan ke saya untuk diteruskan ke Papa untuk kemudian dilampirkan di bahagian awal kamus.  Dan versi Bahasa Indonesia yang juga ditampilkan di awal kamus, adalah terjemahan yang sudah beliau periksa dan mendapat pesetujuan..  Untuk teman-teman ketahui, beliau meminta softcopy draft kamus dikirimkan kepada beliau sebelum beliau menulis kata pengantar.  Jadi ada proses yang beliau lakukan sebelum menulis kata pengantar ini..

Mengapa saya menyalinkan Kata Sambutan ini di blog saya…?  Agar kita, terutama generasi muda Angkola bisa melihat, memahami bahwa Bahasa Angkola itu pernah begitu maju.. Kemajuan itu pasti disebabkan adanya orang-orang cerdas, orang-orang intelek..

Selamat menikmat…  Semoga terinspirasi…

 KATA SAMBUTAN EDISI KEDUA

 Sekali lagi ini merupakan suatu kehormatan bagi saya diminta untuk  membuat Kata Sambutan pada Kamus Angkola/Indonesia yang  sekarang hadir dalam edisi kedua dengan revisi penambahan 500  kata baru. Seperti yang pernah saya sampaikan pada tulisan pembuka saya di edisi pertama kamus ini, yang terbit tahun 2004 lalu, kamus  seperti ini akan sangat dibutuhkan oleh orang Tapanuli dan Angkola  di berbagai kota, para generasi muda yang ada di daerah tersebut, dan dalam jagad keilmuan seperti linguistik, antropologi, sastra dan lmu  pengetahuan sejarah di Indonesia dan seluruh dunia. Kamus ini disusun dengan cermat setelah dilakukan kerja lapangan dan  pengujian dari buku-buku penting yang berkaitan dengan pembuatan  kamus ini, seperti novel berbahasa Angkola yang terbit tahun 1920an  yaitu novel Sitti Djaoerah,  yang tentunya tidaklah dibuat hanya untuk  menjadi buku yang menyimpan banyak kata namun dibiarkan berdebu  di rak buku.  Kiranya, kamus seperti Kamus Angkola/Indonesia ini dapat  menjadi katalisator yang memperkaya khasanah Bahasa Indonesia  dalam  kehidupan masyarakat saat ini dan juga masyarakat  dari berbagai  latar belakang.

Kamus seperti ini juga dapat membantu para siswa disekolah.   Mereka dapat menemukan betapa banyaknya buku-buku bahasa  Angkola di Tapanuli dan Medan yang dibuat selama masa  penjajahan  Belanda, sejak tahun 1910an sampai awal tahun  1940an.  Saya sangat berharap  buku-buku luar biasa sejenis  ini juga dapat dicetak ulang.

Selain itu, kamus yang luar biasa dan memuat ilmu pengetahuan luas  seperti kamus ini, memiliki sisi estetik berbahasa orang Sumatera yang  baik, juga dapat membantu para sarjana kita di Indonesia. Dan lebih  dari pada itu,  kamus ini juga bisa melestarikan kembali atau  menjaga  naskah-naskah penting pada masa lampau.  Pada masa dahulu itulah bahasa seperti  bahasa Angkola Batak  digunakan secara intensif pada novel, koran, buku  pelajaran dan  cerita rakyat. Karya sastra dengan bahasa daerah seperti inilah  yang kurang dikenal sekarang, bahkan di Indonesia.  Novel modern berbahasa  Indonesia seperti novel M. Rusli  Siti Nurbaya  dan novel milik Sipirok sendiri,  Azab dan Sengsara (oleh Merari Siregar) merupakan bacaan populer  untuk  para pembaca umum dan siswa sekolah menengah,  namun novel berbahasa Angkola dan novel berbahasa jawa  (misalnya) tidak dikenal luas.  Kamus seperti inilah yang dapat membantu para pembaca  mencerna bahasa  atau kata yang ada dalam buku atau novel  terbitan  lama tersebut, yang tidak hanya dapat mengetahui  sekedar  katanya saja tapi juga sisi estetik dari  makna kata  atau bahasanya bagi seluruh pembaca di Indonesa maupun  di dunia.

Ada hal baru pada Kamus Angkola/Indonesia edisi kedua ini,  yaitu interaksinya  yang baik terhadap beragam daftar dan  level pidato (bahasa) Angkola.  Para peneliti kamus tidak hanya mencari dan merangkum  bahasa dan  percakapan Angkola sehari-hari tetapi juga  beragam hal mengenai seni  berpidato yang tinggi,  sahut menyahut osong-osong dan senandung ratapan  andung.  Dalam hal ini penulis menggambarkan secara mendalam tentang  novel-novel berbahasa Angkola yang terbit sejak tahun 1910an  sampai 1930an  (yaitu pada karya M.J. Sutan Hasundutan  Sitti Djaoerah, yang sudah disebutkan  diatas,  dan juga karya Sutan Pangurabaan Pane Tolbok Haleon). Mereka juga menggambarkan karya lama seperti milik Willem  Iskandar Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-rumbuk;  buku-buku sekolah dialek  Mandailing dasar yang pertama kali  diterbitkan pada tahun 1872. Buku tersebut sudah tersebar luas diseluruh Padangsidimpuan  dan Sipirok,  karena dialek Mandailing cukup dekat  dengan dialek Angkola.  Buku sekolah tersebut diajarkan pada generasi muda hingga  akhirnya dilarang  oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang  menganggap bahwa buku itu merupakan  buku pemberontaK—Belanda menganggap bahwa ayat-ayat yang ada pada Si Bulus-Bulus dikutip kembali secara rahasia di seluruh Tapanuli Selatan sebagai perkumpulan yang melawan dominasi  politik kolonial.  Setelah Revolusi Nasional, Willem Iskandar  tidak hanya membahas mengenai  lagu pujian untuk Tapanuli  Selatan  tapi juga tentang perjanjian ekonomi dan  politiknya yang kembali disusun.

Seperi kebanyakan kamus pada umumnya, Kamus Angkola/ Indonesia sebelumnya juga sudah pernah diterbitkan.  Angkola en Mandailing Bataksch-Nederlandsch Woordenboek karya  H.J. Eggink terbit tahun 1936 merupakan kamus Angkola klasik.  Tetapi sebagai seorang sarjana Belanda yang bekerja di zaman  kolonial, Eggink ternyata tidak menyentuh akses ke upacara horja   yang banyak menampilkan seni berpidato ritual yang tinggi.   Namun hal tersebut dialami oleh ke empat peneliti kamus  berikut ini;  Arden Siregar, gelar Baginda Habiaran;  Panangian Pane gelar Mangaraja Habonaran;  Dr. Aristides Marpaung; dan Parningotan Siregar gelar Baginda  Hasudungan Ompu Raja Oloan. Mereka menikmati upacara horja  itu secara langsung, karna mereka sendirilah si orator ulungnya.  Sayangnya sejak terbitan edisi pertama tahun 2004,  Mangaraja Habonaran, Dr. Aristides Marpaung dan Baginda  Hasudungan Ompu Raja Oloan telah meninggal dunia.  Beberapa warisan mereka akan selalu hidup pada proyek kamus  yang membanggakan ini, khususnya bagi generasi muda seluruh dunia.

Bapak Arden Siregar bergelar Baginda Habaran, yang berusia  74 tahun pada bulan Mei 2012, diberi kehormatan untuk membawa  hasil penelitian tim ke edisi kedua kamus ini. Sebagai pembaca, kami  berhutang rasa terimakasih kepada tim yang telah membantu  kami untuk menyambung kelezatan sebuah bahasa yang mana  novelis tahun 1920an Sutan Hasundutan pernah sekali berkata  “tabo”—benar-benar lezat!

Susan Rodgers, Ph.D. Professor, Anthropology, and W. Arthur Garrity, Sr., Professor Department of Sociology and Anthropology College of the Holy Cross Worcester, Massachusetts 01610 USA

Kamus Angkola – Indonesia

Ini Kamus Angkola -Indonesia, cetakan ke-2, hasil karya Papa ku dan teman-temannya…   Salah satunya adalah almarhum Opung Baginda Hasudungan Siregar, salah seorang raja adat dari Bunga Bondar..

Kamus Papa

Pada cetakan ke-2 ini terdapat tambahan sekitar 500 kosa kata terhadap kamus cetakan yang pertama…   Dan dalam proses penyusunannya, Papa bekerja sendiri karena ketiga teman beliau sudah mendahului beliau…

Susan RodgersKata Pengantar di Kamus Cetakan ke-2 ini, sama seperti di cetakan pertama, diberikan oleh namboru bule :D, Prof. Susan Rodgers, seorang pencinta budaya Batak dari College of Holy Cross..  Alhamdulillah pada tahun 2013 yang lalu saya sempat mendampingi Papa bertemu dengan beliau yang singgah di Medan, saat beliau dalam perjalanan ke Bali untuk mendampingi mahasiswanya melakukan study tentang kain tradisional..

Sebenarnya ada satu kerja besar lagi yang harus dilakukan…. Apa? Menyusun versi sebaliknya… Kamus Indonesia – Angkola…  Tapi Papa kayaknya belum punya semangat ke arah sana…  Sepertinya dikerjain oleh seorang teman baiknya membuat beliau sebel, dan belum pulih…

Ceritanya, setelah kamus beliau jadi, salah seorang kenalan baik, dongan sahuta, yang saat itu berkiprah di lembaga legislatif di kampung minta agar Papa memperbanyak kamus tersebut untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan akan mendapat penggantian uang cetaknya dari dana APBD setempat.. Papa lalu menyerahkan beberapa ribu eksemplar ke orang tersebut, tapi sampai hari ini, ketika orang itu sudah tak lagi menjadi anggota legislatif, uang pengganti cetak itu tak pernah kembali..  😀  Sempat siyy Papa minta temannya yang lain lagi untuk ngecek ke Pemda, apakah memang sudah ada anggaran untuk itu dan bagaimana perkembangannya..  Menurut teman Papa itu, uangnya sudah dianggarkan, bahkan sudah lama dicairkan…   entah siapa lah yang menerimanya.. 😀  Tapi hasil pengecekan Papa ke beberapa kenalannya yang berkiprah di dunia pendidikan di huta, sekolah mereka ada menerima kamus tersebut..

Kami, anak-anak Papa,  sudah bilang ke Papa untuk mengikhlaskan saja.. Yang penting kan bukunya sudah sampai di sekolah-sekolah., semoga bisa bermanfaat bagi generasi muda di sana…  Beliau setuju, dan berusaha melupakan uang beliau sekian puluh juta tak kembali…  😀  Tapi ada yang tinggal di pikiran dan hati beliau… Beliau bilang, “Ngerinya negeri kita ini ya…. Orang tak lagi menghargai karya orang lain, yang dibuat bertahun-tahun dengan penuh cinta dan dedikasi…  Meski itu orang yang dia kenal..”

Ahhhh kalimat beliau itu membuat ingatanku melayang pada pemandangan yang sering ku lihat saat pulang ke rumah…  “Papa yang selalu membaca berbagai literatur bahasa Angkola, lalu mencatat kosa kata baru yang beliau temukan, mencari maknanya…  Lalu dengan tekun menghadapi laptop (mula-mula dulu komputer) di meja kerjanya menyusun kata-kata demi kata…  Dan itu bertahun-tahun”

Tapi aku yakin, suatu saat kamus ini akan jadi sesuatu yang sangat berharga di dunia pendidikan, dunia sastra Angkola..    We proud of you, Pa…***

PS ;  Buat teman2 yang ingin mengoleksi kamus ini, bisa menghubungi saya di FB : sondha. Harga Rp.150rb/eksemplar + ongkir (ongkir  dapat teman-teman cek di sini http://www.jne.co.id/)  ***

Tuku dan Bulang…

Apa itu TUKU…? Apa itu BULANG….?

Buat teman-teman yang tidk berasal dari Tanah Batak, tuku dan bulang adalah hal yang asing.. Kecuali teman-teman punya pergaulan dan pernah diundang ke pesta-pesta pernikahan yang menggunakan adat Angkola dan Mandailing..

Buat diri ku yang berdarah Batak Angkola…, bulang bukan hal yang asing.. Karena di usia belia, sekitar 10 tahun, aku pernah memakainya dalam salah satu horja (acara adat) yang diadakan keluarga ku..  Meski kadang suka salah sebut dengan bulung.. 😀  Padahal artinya beda banget… Bulung artinya daun…

Tuku Bulang 1

So…., apa itu Tuku dan Bulang…?

Tuku itu topi kebesaran adat batak Mandailing dan Angkola, biasa dipakai pengantin pria…  Sedangkan Bulang itu hiasan kepala yang dipakai pengantin perempuan…

Sebenarnya pakaian pengantin Batak Angkola dan Mandailing bukan hanya Tuku dan Bulang…, tapi ada perlengkapan lainnya.. Apa aja?  Gelang besar yang dipakai di lengan atas pada pengantin laki-laki, dan lengan bawah pada pengantin perempuan.  Pada pengantin perempuan juga ada hiasan dada, berupa deretan logam berhias yang disusun di atas kain beledru…, Ada juga penutup kuku, berupa logam yang dibentuk seperti kuku yang panjang dan berhias..  Oh iya, pengantin laki-laki dan perempuan juga dihias masing-masing dengan sepasang pisau yang bernama rencong dan tapak kuda.. Rencong…? Kaya orang Aceh yaa…  Hmmm…,  perlu dicari tahu niyyy, apa ada kedekatan budaya di antara suku2 ini…

Ceritanya, beberapa bulan terakhir,  aku sering melihat status ito Ardiyunus Siregar, seorang teman di FB yang berasal dan tinggal di Sipirok, yang menyiratkan kalau beliau adalah pembuat Tuku dan Bulang..  Aku ingin melihat kerajinan yang merupakan bagian dari budaya ku sendiri… Konyol rasanya ketika aku pergi kemana-mana, melihat berbagai aktivitas yang menyangkut kerajinan rakyat sebagai warisan budaya, tapi aku malah belum sempat melihat warisan budaya ku sendiri… 😀  Jadi saat  akhir Desember 2014 aku pulang ke Sipirok untuk menemani Papa ziarah ke makam Mama dalam rangka 100 hari kepergian beliau, aku berniat untuk melihat pembuatan Tuku dan Bulang..

Masih dalam perjalanan ke Sipirok, aku berusaha menghubungi ito Ardiyunus Siregar, meminta kesediaan beliau untuk memberi diriku kesempatan untuk melihat aktivitas pembuatan Tuku dan Bulang..  Alhamdulillah beliau bersedia..  Beliau bilang rumahnya, tempat membuat kerajinan Tuku dan Bulang, berada di Jalan Padang Bujur..  Jalan itu gak asing buat kami sekeluarga..  Karena kalau lagi pulang kampung kami selalu ke Padang Bujur untuk mandi air panas..  Namun sebagaimana alamat sebagian rumah-rumah di kampung, tidak ada nomor rumah.., hanya ada ancer2nya saja…  😀

Dalam perjalanan menuju ke air panas di Padang Bujur buat mandi pagi,Papa menunjuk sebuah rumah yang kami lewati.. Papa bilang. “Itu rumah teman alm tulang Sahrin.  Sebelum tulang mu meninggal dia suka ke situ buat mancing.  Papa beberapa kali diajak ke situ, tapi belum sempat.”

Songket1

Habis mandi air panas, Papa membantuku mencari alamat tersebut…  Tapi sepertinya tak ada yang bisa memberi informasi..  Kami lalu singgah di tempat kerajinan tenun motif Angkola binaan Indosat yang juga ada di Jalan Padang Bujur.. Kami bertanya-tanya di situ, tapi mereka juga tidak bisa memberi jawaban..  Aku kembali bertanya ke ito Ardiyunus, ternyata rumahnya ya itu, yang sering dikunjungi alm tulang Syahrin.  What a small world yaa…

Aku akhirnya berkunjung ke rumah itu.. Ditemui ito Ariyunus dan istrinya.. Mereka menunjukkan berbagai hsil pekerjaan mereka yang masih dalam proses..  Mereka juga menunjukkan bagaimana mengerjakannya…  Sungguh butuh keterampilan…  Tidak ada pola (pattern) yang diikuti… Semua motif mengikuti kebiasaan dan pikiran pengrajin..  Menurut ito Ardiyunus, dia mewarisi keterampilan itu dari ayahnya, yang juga pengrajin tuku dan bulang..  Dan menurut beliau hanya sedikit jumlah pengrajin Tuku dan Bulang yang masih ada di Sipirok.. Beliau saja hanya punya 3 orang pekerja..  Dengan 3 orang pekerja, beliau bisa menyelesaikan 1 set tuku dan bulang dalam waktu 3 hari kerja..

Tuku dan Bulang

Saat saya bertanya tentang filosofi yang ada pada motif-motif yang terdapat pada Tuku dan Bulang, ito Ardiyunus bilang dia juga belum paham.. Ada generasi muda yang mau belajar tentang hal ini…? Semoga ada yaa..  Supaya bisa lebih diapresiasi…

Tapi dalam candanya ito Ardiyunus bilang, “Bulang itu hadiah orang Batak buat boru (anak perempuan)nya.., sekaligus menunjukkan martabat kepada keluarga menantunya.. Karena pada zaman dulu, Bulang itu bulan gold plated, sepuhan, tapi emas beneran.. Dan lucunya, diserahkannya borunya kepada menantunya, tapi si boru dibekali satu set pisau..” Hahahaha…

Dengan perkembangan zaman…., dimana generasi muda banyak yang keluar dari kampung untuk bersekolah, lalu menetap dan bekerja di rantau, siapa yang akan mewarisi budaya yang agung ini yaa…?  Aku sempat mendiskusikan hal ini dengan ito Ardiyunus dan istrinya..  Juga sharing tentang peluang mengembangkan usahanya ini sebagai aktivitas ekonomi kreatif.. Misalnya dengan membuat inovasi berupa barang-barang yang bisa menjadi souvenir..  Semoga Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, mau membuka mata dan hati untuk melihat pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai kesempatan untuk membangun daerah dan mensejahterakan rakyat…  Apa lagi daerah ini berada di jalur yang strategis…, di antara 2 destinasi yang banyak diminati wisatawan, Danau Toba dan Bukit Tinggi..  Belum lagi oarang-orang Batak yang merantau entah kemana-mana, pasti ingin pulang kampung untuk berlibur dan mengenalkan kampung mereka pada anak cucunya…

Buat teman-teman yang berminat untuk melihat proses pembuatan tuku dan bulang saat berkunjung ke Sipirok, atau mau pesan, silahkan hubungi ito Ardiyunus di FB-nya ardiyunus.siregar.  Atau bisa juga menghungi saya,  saya dengan seizin ito Ardiyunus akan memberikan nomor telpon beliau… ***

Selamat Jalan Iban, Selamat Jalan Batak Keren, Selamat Jalan Robert Manurung…

Apa itu iban…? Iban adalah salah satu tutur (cara memanggil seseorang) dalam bahasa Batak. Iban atau lengkapnya  Pariban…

Robert Manurung 05.05.1964 - 05.05.2011

Buat seorang boru Batak, Iban artinya adalah anak saudara perempuan dari ayah alias anak namboru.. Sedangkan buat seorang lelaki Batak, pariban adalah boru alias anak perempuan dari saudara laki-laki  ibunya, alias boru tulang.  Menurut adat Batak, orang yang marpariban adalah pasangan hidup yang paling cocok.., namun di masa sekarang panggilan Iban bukan lagi semata2 seperti itu…

Seorang Robert Manurung yang menyebut dirinya sebagai “Raja Batak” di blognya yang bertajuk “Batak Keren” membahasakan aku sebagai ibannya..  Itu adalah panggilan panggilan menghormati, menghargai..  Padahal aku hanya seorang Boru Batak yang dia temukan di tengah belantara dunia maya.. Tak pernah bertemu muka, tak pernah berbicara melalui jaringan seluler kecuali pada pagi hari di ulang tahunnya yang terakhir, 05 May 2011, dua hari menjelang kepergiannya untuk selama-lamanya…

Siapa siyy Robert Manurung…? 

Deskrpisi tentang dirinya pernah dia tulis di blog Batak itu Keren sebagai berikut :

  1. Aku selalu diliputi perasaan heroik dan cinta yang mendalam terhadap negeri ini, setiap kali melihat Merah-Putih berkibar.
  2. Jiwa nasionalis tertanam dalam diriku selama bekerja sebagai wartawan di Harian Merdeka, yang waktu itu dipimpin oleh pendiri dan pemiliknya, BM Diah. Beliau ini salah satu tokoh pemuda dalam pergerakan kemerdekaan, sangat dekat dengan Bung Karno.
  3. Aku bersyukur dan bangga pernah bekerja di Harian Merdeka. Dinding kantor redaksi koran nasionalis ini dihiasi ratusan foto bernilai sejarah tinggi bagi Indonesia dan dunia, antara lain foto asli Proklamasi 17 Agustus 1945, foto Bung Karno dan BM Diah dengan tokoh-tokoh dunia seperti Jawaharlal Nehru, JF Kennedy dll.
  4. Merdeka adalah surat kabar terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Koran ini lahir hanya selang berapa minggu setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya 1 Oktober 1945. Sampai akhir tahun 90-an, meskipun oplah kecil dan tak ada iklannya, Merdeka merupakan koran nomor satu.
  5. Sebagian besar wartawan hebat yang pernah lahir di negeri ini adalah “lulusan” Merdeka, sebutlah misalnya Rosihan Anwar, Harmoko dan generasi yang belakangan Goenawan Mohammad, Christianto Wibisono dan Fuad Hasan.
  6. Pada umur 30 tahun, aku merasa tujuan hidupku telah tercapai, yaitu keliling dunia. Memang belum semua tempat di dunia ini aku kunjungi satu per satu. Tapi dari segi kawasan, atau benua, telah aku kunjungi semua. Di antara semuanya, India paling mengesankan, karena belum digerus budaya artifisial barat.
  7. Karena merasa cita-citaku sudah tercapai, aku pernah berdoa agar Tuhan mencabut nyawaku. Tapi ternyata Tuhan punya kehendak lain, yang kuartikan bahwa aku masih diberikan tugas untuk mengabdi bagi keluargaku, teman-temanku dan masyarakat. Namun profesi wartawan kuanggap tak menarik lagi, karena pers Indonesia sudah benar-benar bobrok. Pemilik media mengisap darah wartawan, kemudian si wartawan melacurkan profesi, memeras dan mengemis.
  8. Aku mengundurkan diri dari profesi wartawan pada usia 34 tahun. Setelah itu aku sempat membantu petenis kelas dunia, Yayuk Basuki, meloncat ke peringkat 19 dunia dan lolos ke babak delapan besar turnamen akbar Wimbledon. Tapi secara bisnis, usaha itu kurang berhasil. Namun, aku tetap merasa berterima kasih pada Kang Wimar Witoelar, atas kesediaannya bekerjasama denganku mengurus manajemen Yayuk.
  9. Dalam banyak hal aku belajar secara otodidak. Aku kurang menghargai lembaga pendidikan formal, karena menurutku sistem pendidikan kita, dunia kerja, penghargaan masyarakat terhadap pendidikan, semuanya masih belum menghargai manusia sebagai mahluk yang cerdas, berkepribadian, dan independen.
  10. Aku menentang separatisme dan politik sektarian, serta diskriminasi dalam berbagai bentuk. Bagiku, setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana diatur oleh Undang Undang Dasar 1945.
  11. Aku bikin blog ini sebagai upaya kecil untuk menggugah kecintaan masyarakat Batak pada budaya dan kampung halaman. Ini sejalan dengan keyakinanku : untuk membangun Indonesia kita harus lebih dulu membangun suku-suku dan daerah. Sejak Kemerdekaan, Bangso Batak sudah menyumbang banyak pejuang, tentara, guru, penegak hukum, dokter, wartawan, dan ahli-ahli di berbagai bidang; demi kemajuan Indonesia.
  12. Fokus utama blog ini : seni budaya, sospol, lingkungan, info dan timbangan buku. Tentu tak terelakkan masalah agama pun akan kusorot di blog ini. Tapi, kepedulianku lebih pada kebebasan beragama, dan humanisme. Buatku, agama adalah urusan pribadi.
  13. Sastrawan favorit : Jean Paul Sartre, Kahlil Gibran, Chairil Anwar, Pablo Neruda, Yasunari Kawabata, Ahmad Tohari dan Multatuli.
  14. Novelis favorit : Sidney Seldon, Agatha Christi, Alistair McLean, Ashadi Siregar dan Mochtar Lubis.
  15. Tokoh idola : Bung Karno, Gandhi, JF Kennedy, Kahlil Gibran, Tan Malaka, Bunda Teresa.
  16. Pemain bola favorit : Christiano Ronaldo (MU), Penambucano (Lyon)
  17. Klub : Manchester United.
  18. Tim Nasional : Brazil & Perancis.
  19. Musisi/penyanyi favorit : Sebastian Bach, Vivaldi, Gordon Tobing, Joan Baez, Leo Kristi, Queen, Scorpion, The Beatles, ABBA, Bimbo, Santana, Tongam Sirait, Elvis Presley, Viky Sianipar, Los Morenos, GNR, Demis Roussos, Ann Murray, Rolling Stones, Von Groove, Ungu & Celine Dion.
  20. Makanan favorit : tongseng, sate padang, sangsang, naniura, sop konro, ikan rica-rica.

Iban Robert menemukan ku, lebih tepatnya lagi menemukan tulisan ku yang berjudul “Batak Berekor atau Berbelalai?” yang ku release di blog ku tanggal 23 Agustus 2007.. Tulisan tentang kenangan akan kebatakan ku, tentang beberapa pertanyaan yang ada di benak ku..  Lalu postingan  itu beliau reposting kembali  judul yang sama pada tanggal 15 Mei 2008 di blog punya beliau “Batak Itu Keren“…

Terus terang apresiasinya terhadap tuilisan ku itu mengagetkan ku.. Karena buat aku itu hanya tulisan remeh temeh dari seorang Sondha Siregar.., Boru Batak yang melayang-layang di Negeri Melayu…  Apresiasinya membuat aku melihat ke komunitas Batak yang digalangnya di dunia maya untuk membangkitkan rasa percaya diri orang Batak, agar mereka tidak lagi malu mengaku sebagai Orang Batak, karena sebenarnya Batak itu Keren, karena Batak itu punya warisan Budaya yang Luar Biasa, yang tak kalah dengan suku lainnya di negeri ini…

Lalu setelahnya kami beberapa kali ngobrol melalui Yahoo Messenger..

Kemudian Iban Robert mengkolaborasikan foto hasil jeprat jepret ku dengan tulisan yang sangat indah dari kak Halida Srikandini boru Pohan yang dirilis di “Batak Itu Keren” tanggal 29 September 2008 dengan judul “Lomang (Bukan Ketupat!), Makanan Khas Lebaran di Tapanuli Selatan“.  Foto itu merupakan foto yang ku buat saat pulang kampung di medio 2008 saat mengikuti pesta adat perkawinan iboto (adik laki2ku), David Siregar…

Apa yang Iban Robert lakukan terhadap karya2 kecilku itu kemudian menggelitik hati ku…, menggelitik darah Batak yang mengalir di tubuhku…  Kenapa  ?  Karena sampai saat itu, meski nama Siregar, yang merupakan stempel kebatakan, melekat erat pada diri ku sejak aku lahir, aku sebenarnya tidak merasakan ikatan yang kuat terhadap kebatakan ku itu..  Aku cinta keluarga ku, keluarga besar ku.. Aku punya buuuuaaaannnyyyaaakkk kenangan tentang Sipirok, Sibadoar dan Hanopan,yang merupakan tanah tumpah darah leluhurku…  Tapi apa aku merasakan ikatan yang kuat sebagai orang Batak…?  Enggak juga…  Aku merasa lebih terikat erat pada Kota Pekanbaru, Tanah Melayu yang menjadi tempat aku tumbuh besar…  Namun di satu sisi aku pun sadar bahwa masih ada orang di Negeri Melayu itu yang menganggap aku adalah si Batak pendatang…

Dalam beberapa kali percakapan di YM itu lah yang aku katakan pada Iban Robert..

Aku : “Iban, aku cinta sama keluarga ku.. Aku cinta sama Sipirok, Sibadoar dan Hanopan…  Ketiga kampung itu acap kali membuatku terindu-rindu.. Tapi aku tidak terlalu merasa sebagai orang Batak.. Rasanya setengah  dari diri ku mencintai Negeri Melayu, tempat ku tumbuh dan dibesarkan…

Iban Robert : “Gak ada yang salah sama itu semua Iban… Jadi lah kau Boru Batak Keren dari Pekanbaru…  Jadi lah kau orang Melayu berdarah Batak yang tak pernah kehilangan jati diri mu  sebagai Boru Batak...”

Lalu aku pun kembali tenggelam dalam kesibukan ku.. Sesekali ku lihat dari FB iban Robert  betapa dia sangat memikirkan Tanah Batak dan Tao Toba..  Sementara acap kali iban Robert men-tag ku untuk foto2nya mengenai Tanah Batak dan Tao Toba..

Di sekitar Oktober 2010, di sebuah thread di FB bertiga dengan Ito Ucok Blue Eagle Simanjuntak , kami berdiskusi mengenai pariwisata yang bisa dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk pengentasan kemiskinan bagi masyarakat Batak yang kaya akan budaya dan alam, terutama menghubungkan Sipirok ke jalur pariwisata Tao Toba yang sudah mendunia itu.   Iban Robert bilang, “Kapan iban ke Jakarta, kita ketemuan lah untuk berdiskusi tentang apa yang bisa kita lakukan untuk negeri leluhur kita itu

Lalu ku jawab “Iban, aku tak mau berbicara tanpa aku punya data mengenai potensi pariwisata yang ada di Sipirok.. Aku usahakan pun bisa pulang ke Sipirok untuk melihat2..”

Tapi sampai hari ini rencana melihat2 itu belum juga sempat ku lakukan… Pulang ke Medan berkali-kali dalam 6 bulan terakhir ini sepenuhnya  untuk menemui ibu ku yang memang memerlukan perhatian anak2nya..

Lalu, di awal April lalu…, aku melihat iban Robert mengupload foto dirinya yang disebutnya Narcis..  Foto diri setelah lebih dari 30 hari berhenti merokok dan sudah 8 malam tak bisa tidur..  Aku yang jail, masih berusaha ngeledek dengan bilang, “Tapi kalau siang, tidur kan, Iban..?”  Aku tidak memahami bahwa itu adalah awal dari perjalanan sakit selama 1 bulan lebih yang  membawa dia ke akhir hidupnya… Itu adalah awal cancer hadir nyata dalam hidupnya.. Bahkan di komentar2 foto itu pula ito Ucok Blue Eagle Simanjuntak menyemangati Iban Robert agar cepat sembuh agar kami dapat mengadakan kumpul2 dengan kak Halida Srikandini, Eda Paulina Sirait dan kak Marini Sipayung, yang keduanya juga sangat dekat dengan Iban Robert..

Dua hari yang lalu, sekitar jam 7 pagi dalam perjalanan menuju ke kantor, aku menelpon Iban Robert.. Telpon ku yang pertama dan sekaligus terakhir..  Aku menelpon untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke 47, mendoakan agar dia tetap semangat dan berjuang untuk sembuh…  Masih bergema rasanya suara beliau di pendengaranku.. “Aku akan berjuang melawan penyakit ini Iban.. Aku tidak mau kemo.. Aku akan minum air daun sirsak itu untuk pengobatan..”

Tapi kenyataan berkata lain.. Hari ini Sabtu 07 May 2011 jam 06.10 wib Iban Robert pergi menghadap Sang Pemilik Semesta Alam….

Selamat jalan Iban.. Beristirahat lah dalam damai..

Terima kasih sudah hadir dalam hidup  ku, sudah mengingatkan ku agar berupaya menjadi Boru Batak yang Keren.. Boru Batak yang bisa berbuat banyak bagi masyarakat dimana pun berada tanpa kehilangan jati diri sebagai Boru Batak yang tidak pernah melupakan tanah leluhurnya…  ***

Visiting Our Beloved Uncle..

Kemaren, begitu ngobrol by phone dengan David adikku sesaat aku menginjakkan kaki di Bandara Soeta, David bilang “Kak, sempatin ke Tanah Kusir yaa… Kunjungin Pak Tuo…”

Our beloved uncle…

So, this morning, dengan diantar oleh sahabatku Veny, yang selalu menawarkan kamar tamu di rumahnya buat tempat aku menginap kalau ke Jakarta, aku pergi ke Tanah Kusir… Menziarahi makam abang Papa ku, Janthi Anwar Siregar..

Beliau adalah anak ke 3 dari 4  Siregar bersaudara, anak kedua dari 3 anak laki-laki Pieter Siregar gelar Sutan Barumun Muda, yang berasal dari Sibadoar – Sipirok, seorang guru SMP yang pernah mengabdi di Pematang Siantar, Sibolangit dan terakhir  di SMP Sipirok.. Ibu beliau adalah Menmen Harahap, putri Mangaraja Elias Harahap, seorang pemborong di zamannya, yang berasal dari Hanopan – Sipirok.

Setelah bersekolah di Sipirok, beliau melanjutkan kuliah di UGM.  Awalnya mengambil Jurusan Arsitektur, lalu pindah ke Fakultas Ekonomi dan menyelesaikannya di situ..

Perjalanan karir beliau, tidak banyak detil yang aku tahu… Yang aku ingat dari cerita2 orang tua, beliau tahun 1960-an sempat bekerja di PN Irian Bakti di Irian Jaya.  Lalu mengabdikan diri menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia di Angkatan Darat.  Hanya ada di serpihan ingatan saat aku masih kecil bahwa beliau datang ke Pekanbaru di tahun 1970-an ikut dengan tim pak Soedomo yang memberantas para renternir yang menggerogoti para pensiunan yang mengambil uang pensiun mereka di KPN di Pekanbaru zaman itu…

Lalu setelah aku beranjak dewasa, aku ingat bagaimana beliau menyuruh 4 saudara laki-lakiku, 2 saudara kandung dan 2 saudara sepupu yang merupakan putra kandung beliau untuk hadir pada hari wisudaku di Bogor, dengan harapan kelulusanku akan memotivasi 3 abang dan 1 adik laki2ku itu untuk segera menyelesaikan studi mereka..  Kebayang gak siyyy betapa ramainya anggota keluarga yang menghadiri wisudaku…?

Lalu percakapan2 setelah makan malam sampai larut di meja makan di rumah beliau, ketika kami berkunjung ke sana..  Percakapan2 yang menanamkan rasa cinta pada keluarga, fighting spirit yang kuat untuk maju…  Rasanya akan selalu jadi kenangan yang manis..

Di akhir tahun 1993 beliau sakit dan sempat dirawat di RS. Tebet Jakarta,  Lalu di awal tahun 1994, beliau kembali dirawat..  Pada saat aku membezuk beliau di RS Tebet, beberapa hari sebelum beliau dibawa ke Singapur untuk berobat, dan kemudia berpulang di sana, beliau berkata padaku “Hidup saya gak akan lama lagi, Sondha.. Kamu si kakak buat  adik-adikku.., harus bisa menjaga adik2mu…” Iya saat itu aku adalah anak perempuan tertua dengan 1 abang & 2 adik perempuan yang kuliah di Jakarta, serta 1 adik laki-laki yang kuliah di Bandung.

Lalu, setelah sakit beberapa bulan.., beliau pergi di usia 60 tahun 2 bulan… 06 Januari 1934 – 06 Maret 1994..  May you rest in peace.., We love you… ***

Boru Panggoaran

Boru panggoaran itu dalam masyarakat Batak artinya anak pertama yang berjenis kelamin perempuan, yang namanya digunakan sebagai nama panggilan orang tuanya.. Secara dalam adat Batak, kalau sepasang suami istri sudah punya anak, tidak sopan untuk dipanggil dengan nama mereka, melainkan dipanggil dengan Mama atau Papa nya si “Ucok” (kalo nama anaknya Ucok).  Seperti abangku misalnya, nama panggilan yang sopan buat dia adalah Papa Vania karena anaknya  benama Vania Lardes Siregar.  Adikku David dipanggil Papi Aldy karena anak pertamanya bernama Arden Thoman Denaldy Siregar dengan nama panggilan sehari-hari Aldy.  Dan adikku Uli dipanggil Mami Samuel, karena anaknya yang pertama bernama Samuel Sisoantunas Sinambela.

Aku & Mama years ago…

Karena aku anak kedua, meski anak perempuan tertua, aku jelas bukan boru panggoaran… Namaku tidak digunakan dalam panggilan orang-orang pada Papa dan Mamaku…  Tapi Mama sering sekali menyanyikan lagu Boru Panggoaran di depanku…

Bahkan sekitar 2 tahun yang lalu, saat teman2 adik ku Ivo ramai2 kumpul di rumah dan ada membawa gitar dan biola, mereka mengiringi Mama menyanyikan lagu ini…  Jangan tanya…, sudah pasti air mataku mengalir tanpa bisa dicegah…  Aku hanya bisa menikmati alunan suara Mama yang bening (perempuan Batk, bo…!!) dengan duduk di kursi di kamar kerja adikku Ivo.. Aku tidak ingin menangis di depan teman2 adikku…

Sebenarnya aku tidak mengerti secara utuh arti kata demi kata lagu ini, secara aku tidak fasih berbahasa Batak…  Tapi aku mengerti, kalau lirik lagu ini mengungkapkan harapan orangtua pada anak perempuannya, yang diharapkan akan menjadi penjaga mereka ketika usia menua dan tubuh merapuh…  Ada diantara teman2 yang mau ngasi aku artinya secara utuh…? Aku tunggu lho…

Here d VC of d song yang dinyanyiin Victor Hutabarat…

BORU PANGGOARAN

Ho do boruku tampuk ni ate-ateki
Ho do boruku tampuk ni pusu-pusuki
Burju burju ma ho
Namarsikkola i
Asa dapot ho na sininta ni rohami

Reff
Molo matua sogot ahu
Ho do manarihon ahu
Molo matinggang ahu inang
Ho do na manogu-nogu ahu

Ai ho do boruku boru panggoaranki
Sai sahat ma da na di rohami
Ai ho do boruku boru panggaoaranki
sai sahat ma da na di rohami**

Satu Bangsa….

Ide tulisan ini sebenarnya sudah muncul di benak Tati berkali-kali..  Saat peringatan Hari Jadi Provinsi Riau tahun 2007, lalu tahun 2008 ini, juga saat hari jadi Kota Pekanbaru beberapa bulan yang lalu.  Tapi selalu gak sempat ditulis karena ada hal yang lain yang harus dilakukan… Akhirnya moment-nya lewat…  Mau di-publish, kok kayaknya basi yaaaa… Nah, di moment hari Sumpah Pemuda, Tati kepikiran lagi buat nulis tentang hal ini..  Tulisan tentang apa siyyy?

Hmmmm…. Ini tulisan yang topiknya rada sensi, karena banyak terjadi di negeri ini terutama setelah reformasi terjadi di tahun  1998..  Sebenarnya sebelum tahun 1998 juga terjadi, tapi biasanya dalam kesenyapan dan tidak transparan…

Ini cerita tentang pengalaman Tati si nona berdarah batak yang tumbuh besar dan mengisi sebagian besar hidupnya di tanah Melayu, Riau, tepatnya di kota Pekanbaru..

Tati sejak kecil gak pernah dididik untuk bersifat sukuisme..  Orang tua mengajarkan untuk menghormati orang tua dan leluhur, tapi tidak sukuisme..  Orang tua Tati memberikan contoh yang luar biasa, karena rumah kami sangat terbuka bagi anak-anak tetangga dan anak-anak teman mereka.  Bahkan ada anak tetangga yang tinggal dan besar di rumah kami, menjadi bagian keluarga kami, padahal tidak ada hubungan darah sama sekali, mereka berasal dari Sumatera Barat sementara kami dari Sipirok.  Dan bukan sekali dua tetangga kami yang bukan orang Batak ikut keluarga kami pulang ke Sipirok.

Rasa tidak sukuisme ini didukung pula oleh lingkungan tempat tinggal Tati saat dibesarkan, perumahan kompleks Gubernur Riau di Kota Pekanbaru yang tahun 1970-an sangat heterogen karena dihuni berbagai suku : Melayu, Batak, Minang, Jawa bahkan Manado, Ambon dan Irian meski dalam jumlah yang gak banyak.  Bahkan orang Melayu-nya pun berbeda-beda, ada orang Rengat, orang Siak, orang Kepulauan, orang Bengkalis, orang Tembilahan dan sebagainya.

Di lingkungan sekolah sejak TK sampai  SMA di Pekanbaru, teman Tati juga gak banyak yang orang Batak.  Sahabat Tati, Syahida adalah orang Solok, Sumatera Barat.  Juga teman main Tati saat SMA yang lain, Inda dan I-in.  Inda adalah orang Riau, kampungnya di Pangean, Kabupaten Kuantan Singingi, sedangkan I-in orang Palembang campur Lampung.

Rasa kesukuan ini semakin tidak ada setelah Tati kuliah di Bogor, secara teman dekat Tati sedikit yang orang Batak.  Avita..? Ayahnya Sumatera Barat, Ibunya Batak.  Mia Bachtiar? Orang Makassar.  Opi, Miko dan Riza orang Sumatera Barat, Diana Chalil orang Batak campur Melayu, namun Melayunya lebih dominan.   Linda Omar? Arab campur Belanda campur Jawa.  Chi2, orang Sunda..

Tati dengan cara pandang yang tidak sukuisme ini terkaget-kaget, saat mengurus melengkapi syarat administrasi untuk proses penerbitan SK pengangkatan PNS tahun 1996-an. Zaman itu masuk PNS sudah mulai pake ujian2 plus wawancara.  Tapi tetap pada tahapan tertentu, link menentukan diterima  atau tidak.  Jujur saja, Tati mendapat kemudahan untuk menjadi PNS karena abang Papa yang menjadi orang tua Tati di sini adalah salah seorang PNS yang mengabdi di negeri Melayu ini sejak Propinsi Riau dilepas dari Propinsi Sumatera Timur.  Untuk itu pada tahun 1950-an beliau pindah dari Medan ke tanah Melayu.  Mula-mula ke Tanjung Pinang, lalu setelahnya ke Pekanbaru.

Saat Tati sudah diterima sebagai PNS di lingkungan Pemda Riau, tapi Sk belum keluar,  Tati harus mengantarkan berkas yang perlu dilengkapi ke Bagian Kepegawaian di lingkungan pemerintah kota tempat Tati tinggal dan mendaftarkan diri jadi PNS.   Setelah menyerahkan berkas,  Tati berbincang-bincang dengan salah seorang staff di situ yang sudah Tati kenal.  Tiba-tiba Kepala Bagian Kepegawaian keuar dari ruang kerjanya.  saat dia melihat Tati, dia lalu menunjuk ke arah Tati seraya berkata dengan keras sehingga terdengar ke sepenjuru Bagian Kepegawaian, “Itu tuh… Mestinya dia gak masuk pegawai di daerah sini..!  Dia kan Batak, mestinya dia daftar di Medan saja…!!”.

Tati kaget banget mendengar ucapannya…  Karena orangtua Tati kenal dengan beliau.  Bahkan he was my agent insurance, karena alm ibu mengambil asuransi pendidikan Tati sama dia, sebelum dia menjadi PNS.  Tati yang rada-rada gokil, dengan wajah dipasang sepolos mungkin (padahal sumpe pake ngamuk2 di dalam hati) menjawab ucapan beliau dengan suara lembut sembari tersenyum, “Maaf pak… Saya memang pakai marga.  Tapi setahu saya, saya adalah orang Pekanbaru.  Saya besar di sini, sekolah dari TK sampai dengan SMA di sini.  Kalo saya daftar jadi PNS di Medan, saya rasa saya gak akan diterima karena rasanya gak ada orang di pemerintahan di Medan yang kenal dengan saya.” Setelah mengucapkan sederet kalimat itu, Tati lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut dan pulang…

Sempat siyy Tati meminta pada orangtua untuk tidak ditempatkan di lingkungan itu saat penempatan tugas.  Tapi orangtua memberikan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal, dan juga mendorong untuk tegar menghadapi orang seperti itu.  Akhirnya Tati bisa melewati tekanan-tekanan yang beliau lancarkan selama kurang lebih 1.5 tahun di awal masa PNS Tati.  Tapi kemudian beliau dimutasikan dari bagian kepegawaian, pindah ke unit kerja lain dan hampir tidak pernah ketemu lagi.  Pernah, sebelum beliau pensiun dan masih menjadi kepala unit kerja, beliau (terpaksa kali yaaaa…..) datang ke meja kerja Tati untuk minta dibuatkan bahan presentasi bagi kepala daerah untuk menyambut tamu dari Singapore.  Saat itu Tati bersikap seakan tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu.., dan emang gak ada rasa dendam di hati Tati..

Itu satu peristiwa yang terjadi secara terbuka…  Tati untungnya gak pernah lagi mengalami hal yang seperti itu…  Cuma sekali itu saja..   Tapi Tati sering lihat dan dengar ada banyak peristiwa sukuisme yang terjadi di lingkungan kerja di daerah secara tertutup, terutama di lingkungan Pemda.  Gak cuma di lingkungan Tati, tapi hampir di seluruh Indonesia.  Tidak ada ucapan atau pernyataan apapun, tapi ada double, triple bahkan seribu standard dalam promosi dengan alasan kesukuan..

Padahal buat Tati dan juga teman2 lain yang senasib, tanah tempat kita tinggal adalah  habitat kita.  Enggak kepikiran lah untuk mengeruk harta di situ lalu dibawa pulang ke tanah leluhur..  Kalaupun ada yang dibawa pulang ke kampung, paling sebatas pemberian buat sanak keluarga dalam jumlah yang gak seberapa…

Pekanbaru, adalah hometown-nya Tati… Di sini Tati tumbuh dan berkembang..  Di sini ada komunitas Tati..  Ada ikatan yang luar biasa dengan kota ini…  Di sisi lain, Sipirok adalah tanah leluhur Tati, tanah orang-orang yang mewariskan berjuta-juta sifat dalam wujud genetik ke tubuh Tati.  Tanah orang-orang yang berjuang untuk masa depan yang lebih baik bagi anak dan keturunannya..  Apa tidak pantas Tati punya keterikatan yang luar biasa dengan Sipirok?

Apakah kita hanya boleh berkembang di negeri yang diwariskan oleh leluhur kita? Apa kita tidak berhak tinggal dan mencari kehidupan di negeri yang bukan negeri leluhur kita?  Tidak berhak kah kita berkarya di situ?  Toh tanah itu juga masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia..   Masih dalam SATU NUSA, SATU BANGSA.. Tidak bisakah orang-orang seperti Tati menyatakan diri sebagai ORANG PEKANBARU BERDARAH BATAK…????

Note :

Sampai saat ini Tati masih menggunakan nama “SONDHA SIREGAR” di name-tag yang  setiap hari dipasang di bagian dada kanan pakaian dinas Tati.  Bukan buat pamer “GUE BATAK” tapi untuk menghormati leluhur yang mewariskan nama itu pada Tati, untuk mereka yang telah berjuang dan berkorban demi masa depan yang lebih baik bagi anak dan keturunannya…

Hari Batak…

Kita biasanya kan mendengar ada hari ulang tahun, hari Kartini, hari ibu atau di negeri sono disebut sebagai Mother’s Day.  Naaahhh hari ini buat Tati adalah HARI BATAK..  Karena Tati seharian ini berurusannya dengan orang Batak melulu…  Hahahaha… Kok bisa…?

Ceritanya, Tati hari ini lagi pengen masuk ke cangkang..  Gak pengen keluar rumah, malas ngapa2in…  Jadi seharian ya di rumah, kalo gak mau disebut di kamar doank kecuali ke kamar mandi, atau ke ruang depan karena ada yang ngetuk pintu..  Hehehe..

Di kamar seharian ngapain…?  Kok betah…  Ya di depan laptop lah yaaa…  Fisik bisa gak kemana2.., tapi pikiran teteup melanglang buana…  Terbang ke dunia luassss….  Hehehe…

Pagi2, Tati chatting conference bertiga dengan bang Rio, abang Tati atu2nya, dan David, adik laki2 Tati juga atu2nya..  Mereka sebagaimana juga Tati bermarga siregar, artinya Tati berurusan dengan orang Batak..

Tati sempat juga sebentar ngobrol di facebook dengan jeung yang ini…  Lalu siangan dikit Tati dapat 2 notification di Facebook.   Notification untuk di-add sebagai friend.  Ternyata kedua2nya juga orang  Batak : satu dari ibu ini dan satu dari si bapak ini…  Keduanya adalah anggota milis Saroha, milisnya orang-orang Tapanuli Selatan..  Tati juga terdaftar jadi anggota milis itu, cuma lebih milih jadi penonton para Bataks ngobrol by milis..  Ngobrol yang seru dan hueeebbbbohhhh…, sampai bikin keder Tati buat ikutan masuk gelanggang…  Karena kalo mau ikutan mesti kuat nyali, kuat otak dan kuat mental…  Hehehe…

Si ibu yang ini dimata Tati adalah tipikal orang dengan pribadi petasan renceng…  Tulisan-tulisannya di milis persis kayak petasan renceng yang kalo meledak, dasyat, bererot-rerot,  gak putus-putus…  Hehehe..  Tapi ada 2 tulisannya yang di muat di blog ini tentang ramadhan dan hidangan lebaran di Sipirok yang sangat bagus  dan dijamin memikat hati orang2 yang tahu persis tentang kehidupan di kampung Tati tersebut…  I love those posts, Eda…!!!

Tati sempat ngobrol sama si ibu ini tentang milis Saroha yang benar-benar merefleksikan sifat orang Batak, “ngomongnya kencang  dan sulit buat mengalah pada saat berbicara…” Gubrak aja deh pokoknya… Huahahaha…  Kedua sifat yang membuat orang Batak cenderung terlihat rude alias kasar..  Padahak kalo udah tau, hati orang Batak itu selembut salju..  Wakakak…   Kedua sifat yang menjadi streotype ini pula yang membuat “Tati Muda” lebih senang menyembunyikan Kebatakan-nya, dan gak mau berlama-lama kongkow2 dengan sesama Batak..  Hehehe..

Tapi sejalan dengan kedewasaan berpikir dan perjalanan hidup… Tati bisa melihat menjadi Batak tidak lah memalukan..  Gak ada bedanya dengan suku-suku lain di muka bumi ini..  Bahkan orang tua dari suku Batak terkenal sebagai orang tua yang bekerja keras untuk memberi anak-anaknya kesempatan meraih pendidikan setinggi-tingginya..

Jangan heran kalo  teman-teman pergi ke Pajak Pringgan (sebuah pasar di Medan) trus ngeliat inang2 (ibu2) berjualan tomat, yang jauh dari keren bahkan cenderung lusuh.., tapi kalo ditanya anaknya dimana, dia bisa bilang dengan suara penuh bangga dan mata berbinar-binar  “Anakku yang paling besar kuliah di ITB, anakku yang nomor 2 di UI dan sebaginya dan sebagainya”.  Itu yang di Medan.. Coba kalo kita pergi ke daerah-daerah di Sumatera Utara, kita akan menemukan hal yang sama.  Ada banyak Amang2 (bapak2) dan Inang2 yang jauh dari keren, dengan baju seadanya, telapak kaki yang pecah2 karena kerja di sawah,  tangan yang kasar, kulit yang legam karena selalu mandi cahaya matahari, mengunyah sugi (tembakau) pula.  Tapi kalo ditanya anaknya dimana, dia akan menjawab dengan kebanggaan yang luar biasa “Si Ucok kita kuliah di IPB, si Butet kita sudah tahun kesekian di UI.”  What great parents…!!!!   Mereka mengorbankan dirinya demi masa depan yang lebih baik bagi anak dan keturunannya… Salah satu kejadian yang menyentuh hati sehingga membuat Tati merasa semakin wajib menghargai leluhur Tati yang asli Batak dari empat penjuru, pernah Tati tulis di sini

Gak lama, si bapak  yang ini ninggalin comment di “wall” Tati di facebook..  ternyata beliau yag saat ini bekerja dan menetap di Riyadh adalah teman seangkatan Tati di IPB.  Angkatan 23 alias 1986 tapi beda Kelompok. Dia Kelompok 10, Tati Kelompok 5.   Tapi sumpeee sampai saat menulis ini Tati masih belum bisa mengingat sosoknya di masa kuliah yang lebih dari 20 tahun yang lalu itu…  Meski begitu, perasaan seangkatan di sekolah yang sama membuat  kita langsung nyambung…   Kita lalu chit chat di Facebook…

Gak lama Tati ngeliat di friend list si ibu ini ada nama si bapak yang ini..  Bapak ini adalah pemilik blog Toba Dreams yang pernah me-reposting tulisan Tati yang berjudul “Batak Berekor atau Berbelalai..?” .  Tati lalu meng-add friend nama beliau..  Gak lama Tati dapat notification dari beliau…  Kita lalu ngbrol di Facebook..  Obrolan yang ringan tapi inspiring… Karena beliau selalu mendorong orang-orang di sekitarnya untuk membuang rasa inferior yang sering kali hadir di diri akibat pola didikan kuno tinggalan penjajahan.. Beliau selalu bilang “Batak Keren”.  Kalo sekilas orang bisa melihatnya sebagai suatu sikap arogansi.., tapi sama sekali enggak.. Itu adalah suatu upaya membuang rasa inferior, membangkitkan rasa percaya diri..  Karena sebenarnya setiap pribadi, termasuk orang-orang Batak, telah diberi “kelebihan” yang membuatnya setara dengan manusia lainnya di muka bumi ini…  Lalu…, sikap dan tingkah lakunya lah yang membuat statusnya bergeser..  Bisa menjadi manusia yang lebih baik, atau sebaliknya…

Percakapan kami terhenti karena listrik di rumah Tati mati, modem gak bisa nyala, line internet jadi putus…

So…, coba lihat dari pagi sampai sore Tati berkomunikasinya sama orang Batak semua kecuali  jeung yang ini..  Topik yang dibahas juga tentang orang Batak..  Wajar doonk kalo hari ini Tati anggap sebagai adalah Hari Batak…***

My Favorite Road…

Jalan Balige - Parapat

Ini beberapa pics lagi hasil jeprat jepret saat pulang kampung beberapa waktu yang lalu.. Pics pemandangan yang dapat kita nikmati pada ruas jalan favorite Tati kalau menempuh perjalanan dari Medan ke Sipirok atau sebaliknya…

Ruas favorite..? Yaappppp…. Ruas jalan di sekitar Toba Samosir

Pemandangan di ruas ini (kalo kita dari arah Sipirok menuju Medan) mulai menjelang Balige sampai setelah Parapat benar-benar memanjakan mata.. Sawah dengan latar belakang Danau Toba atau Danau Toba dengan latar belakang kota Parapat benar-benar indah..

Pemandangannya gak kalah deeh kayaknya dengan pemandangan danau-danau di Eropa yang bisa kita lihat di postcard-postcard…

Pemandangan di ruas ini membuat Tati gak sudi memejamkan mata meski tubuh lelah dan mata ingin ditutup…

Temans… silahkan dinikmati suguhan Tati kali ini, semoga bisa menggugah hati teman2 untuk menikmati ruas perjalanan ini.. Jangan lupa membayangkan perjalanan ini sambil diiringi lagu O Tano Batak...

O, TANO BATAK

O, Tano Batak, haholongakku
Sai namalungun, do au tu ho
Ndang olo modom, Ndang nok matakku
Sai namasihol do au, Sai naeng tu ho

 

O, Tano Batak, Sai naeng hutatap
Dapothonokku, Tano hagodangakki
O, Tano Batak, Andigan sahat
Au on naeng mian di ho, sambulokki

Molo dung bitcar, matani ari
Lao panapuhon, hauma i
Godang do ngolu, siganup ari
Dinamaringan di ho, sambulokki

Danau Toba

Danau Toba

Pics Danau Toba menjelang Kota Balige


Sawah yang bertingkat-tingkat di pinggir Danau Toba

Pasar Balige. Bentuknya itu lho... Unik banget... Sayang Tati belum sempat singgah di situ. Katanya sih di pasar ini banyak sekali jual ulos yang cantik-cantik. I hope someday bisa ngubek2 pasar ini..

Danau Toba dengan Kota Parapat di latar belakang... It's sooooo beautiful... Melihat pemandangan ini menimbulkan rasa bangga dan syukur akan keindahan negeri kita...


Sipirok….

Sipirok adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan sekarang termasuk Kabupaten Angkola Sipirok, dengan ibukota kecamatan Pasar Sipirok, yang lebih populer disebut juga Sipirok.

Tati enggak ingat kapan pertama kali menginjakkan kaki ke daerah ini, secara sejak masih kecil banget Tati sudah dibawa pulang ke rumah Opung yang berada di Sipirok. Tati bahkan enggak pernah ingat sudah berapa kali pulang kampung ke Sipirok. Sipirok rasanya sudah menjadi bahagian hidup Tati, meski setelah dewasa frekuensi pulang ke sana tidak lagi se-intens pada masa kanak-kanak.

Ngapain sering-sering ke Sipirok?

Meski kampung keluarga Tati sebenarnya ada di Sibadoar, sekitar 3 km dari Pasar Sipirok ke arah Simangambat, tapi keluarga kami pulang kampungnya ya ke Sipirok, karena di situlah rumah Opung, orang tuanya Papa. Tepatnya di jalan menuju Simangambat. Secara Papa bersaudara sangat dekat dengan Opung (ibu Papa, ayah-nya Papa sudah duluan meninggal pada tahun 1965), jadi Papa bersaudara sering sekali pulang kampung, dan kami anak-anaknya juga diangkut buat pulang kampung… Bahkan bisa dua kali setahun, yaitu saat tahun baru dan saat ultah Opung di bulan Juli. Akibatnya Sipirok benar-benar menjadi bahagian hidup keluarga Tati.

Sekarang pun setelah Opung meninggal sekitar 19 tahun, kami tetap saja cinta dan rindu untuk pulang ke Sipirok.. Meski rumah tidak lagi sehangat dulu… Karena tidak ada lagi suara Opung yang menyambut kami di teras rumah kalau kami tiba dengan ucapan “Ma ro hamu, Amang (nak)? Ma ro hamu, Opung (cucu)? Keta-keta tu bagas (ayo, ayo cepat masuk rumah)… Na ngalian do di son (di sini dingin banget)…”. Tidak ada lagi Opung yang gak pernah diam, selalu sibuk menyediakan keperluan anak cucunya yang seabrek-abrek.. Tidak ada lagi Opung yang selalu berteriak pada sepupu-sepupu yang tinggal bersamanya agar segera membereskan keperluan kami dengan ucapan “Pasigop (cepetan)….!!!”. Tidak ada lagi yang membuat dodol dari tepung beras dengan menggunakan kuali yang sangaaaatttt besar di bagian samping rumah… Tidak ada lagi yang menyediakan sup tulang lengkap dengan kentang dan wortel yang masih ngebul di meja makan setiap kali kita makan…

Sipirok tuh daerah yang dingin… Kalo kita bernapas bisa keliatan asap keluar dari rongga hidung kita.. Tati ingat waktu Tati kecil, selama di Sipirok, berurusan dengan mandi adalah hal yang menjengkelkan, karena airnya dingiiiiiiiinnnnnn buanget.. Jadi kalo mo mandi tuh nunggu matahari sudah tinggi, itu pun pakai air panas yang dimasak atau pergi mandi ke permandian air panas (belerang), Aek Milas Sosopan (pulang kali ini Tati sempat pergi mandi air panas, tapi yang di Padang Bujur).

Permandian Aek Milas Sosopan, Juli 2008

 

Permandian Aek Milas Sosopan, Juli 2008

 

Permandian Aek Milas Sosopan, Juli 2008

 

Sipirok juga punya pemandangan yang indah… Kemanapun kita memandang, yang selalu nampak di latar belakang adalah warna hijau pegunungan…, perbukitan… Membuat adem hati yang memandangnya…

Suatu sisi Sipirok yang dipotret dari Pesanggrahan (Mess Pemda Sumut)

 

Dulu, di Sipirok kita akan menemukan rumah-rumah panggung berbahan kayu, yang eksotis di mata Tati.. Tapi kini mulai berganti dengan rumah berbahan batu bata… Bahkan biskop yang dulu terletak sekitar 50 meter dari rumah lama Opung sudah tidak ada lagi, berganti dengan bangunan rumah dari bata.

Sebuah rumah kayu yang sejak Tati kecil "cantik" di mata Tati. Mana lokasinya di tebing pula.. This house must have beuatiful view.. Sayang Tati gak pernah sampai ke terasnya karena gak kenal dengan pemiliknya..

Sebuah rumah kayu yang juga indah di mata Tati. Lokasinya tepat di seberang rumah Opung yang di bawah (Opung punya 2 rumah. Rumah yang lama dari kayu berada di lokasi yang lebih tinggi, sehingga kita menyebutnya dengan rumah atas. Rumah yang dibangun belakangan terbuat dari bata berada lebih rendah sehingga kita menyebutnya sebagai rumah bawah (bagas na di lombang). Tapi modernisasi udah menyentuh rumah ini, ada parabolanya, di depan rumah pula.. Agak2 merusak keindahan rumah ini.. Hehehe. Btw pic ini diambil dari atas mobil saat mau pergi, agak terburu-buru jadi keliatan ada spion mobil. Kalo di-cropping gambar rumahnya yang terpotong..

 

Temans… Silahkan dinikmati beberapa pics Sipirok yang sempat Tati ambil saat pulang ke sana minggu lalu.. Mungkin pics ini juga bisa menjadi pengobat rindu bagi temans dan kerabat yang telah lama tidak kembali ke sana.. Siapa tahu pics ini bisa mengetuk hati temans dan kerabat untuk berkunjung kembali ke sana…

Pertigaan Pasar Sipirok, lengkap dengan bus Sibualbuali yang lagi parkir. Bus dengan nama ini merupakan angkutan masyarakat di Sipirok selama puluhan tahun. Nama bus ini diambil dari nama gunung dimana daerah Sipirok berada di kaki gunung tersebut.

Dua buah pics pasar Sipirok pada saat Poken (pekan) Kamis, hari yang ditunggu-tunggu masyarakat, karena pada hari ini jenis dan jumlah barang yang diperdagangkan lebih bervariasi dan banyak. Biasanya penjual dan pembeli yang bertransaksi di poken ini tidak hanya berasal dari Pasar Sipirok, tetapi juga daerah-daerah di sekitarnya. Tati dan saudara-saudara sangat menunggu poken ini, karena hanya pada poken ini ada yang menjual makanan tradisionil secara komplit, seperti panggelong, lemang dll.

 

Suasana di lingkungan Hotel Tor Sibohi, hotel yang representatif di Sipirok, meski layanannya masih lelet. Saat musim liburan (seperti waktu Tati dan keluarga ke Sipirok) kamar-kamar di hotel ini penuh. Tati juga melihat ada bule juga yang menginap. Kebetulan adik Tati, Nhoy, punya teman yang kerja di travel yang bisa memberikan kita voucher untuk menginap di sini dengan harga yang lumayan, sekitar 60% dari harga kalo reservasi di hotel.

 

Pemandangan ke arah pegunungan di Sipirok dari teras kamar di hotel Tor Sibohi. Setiap pagi dan sore selama di sana Tati gak bosan-bosan memandangnya... Kebayang gak siyy kalo kita bisa duduk di teras hotel ini di pagi dan malam hari with our beloved one...? Hmmm... it's so romantic, isn't it..?

 

Mangadati .. (2)

Papi David & Mami Nana

Ini lanjutan postingan Mangadati edisi pertama.. Tati gak bisa cerita detil tentang semua kegiatan yang dilakukan, karena selama acara berlangsung berhari-hari Tati lebih banyak berada di hotel Tor Sibohi, menemani Mama yang karena kondisi kesehatannya hanya mengikuti acara2 utama aja. Tapi Tati udah minta Papa buat menulis tentang semua kegiatan yang telah dilakukan untuk Tati posting di blog-nya Papa, agar dapat berguna bagi kaum batak muda yang berada jauh dari daerah asalnya.

Sehari setelah Mami Nana diangkat anak oleh keluarga Pardede, yaitu tanggal 28 Juni 2008, keluarga tersebut melakukan acara paborhaton boru (melepas anak perempuan/pengantin perempuan). Setelahnya di Sibadoar, di halaman depan rumah Buyut (Tulang) Tati, alm Samuel Siregar gelar Baginda Parhimpunan, yang sekarang dihuni oleh sepupunya Papa, Uda Kahar, dilakukan pemasangan taraktak (tenda) dan beberapa persiapan pesta.

Lalu tanggal 30 Juni setelah beberapa acara adat, diadakan acara adat penyambutan Mora. Yaitu ritual menyambut keluarga orang tua pengantin perempuan di ujung jalan masuk rumah. Untuk acara penyambutan tersebut Papa dan sepupunya Uda Kahar menggunakan pakaian adat batak lengkap dengan pernak perniknya. Lalu Papa dan Uda Kahar yang ditudungi payung kuning diiringi oleh rombongan keluarga kami berjalan dari depan rumah Tulang (buyut) yang Sibadoar ke ujung jalan. Di sana pakaian adat lengkap yang dipakai Papa dan Uda Kahar dilepas dan dipakaikan ke Akung, ayahnya Mami Nana, dan Tulang Pardede (ayah angkat Mami Nana), yang menjadi Mora keluarga kami. Lalu 1 set pakaian lagi yang telah dipersiapkan dipakaikan ke Tulang Dani (adik Mama) yang juga merupakan Mora keluarga kami.

Papa bergerak dari rumah Tulang (buyut) menuju ujung jalan depan rumah buat menyambut Mora yang baru, Akung dan Uti (orang tua Mami Nana), serta Tulang Pardede (ayah angkat Mami Nana) dan Tulang Dani (adik Mama) yang juga menjadi Mora keluarga kami.


 

 

Menyambut Mora di ujung jalan dengan manortor (perhatikan arah telapak tangan yang menghadap atas, yang artinya menyambut)

Setelah rombongan Mora berpakaian lengkap, mereka dibawa menyusuri jalan ke arah rumah. Uniknya perjalanan ini dilakukan dengan cara manortor diringi musik batak lengkap dengan penyanyi-nya, sedangkan keluarga kami selaku tuan rumah berjalan mundur sambil manortor mulai dari tempat bertemu Mora sampai dengan depan rumah. Rombongan tuan rumah tidak diperkenankan berjalan membelakangi Mora, yang posisinya begitu dihormati. Setelah rombongan Mora sampai di traktak di halaman rumah, dilakukan lagi serangkaian acara penyambutan mereka.

 

Rombongan Mora (L-R : Tulang Pardede, Akung, Uti dan Tulang Dani) berjalan menuju rumah Buyut sambil manortor (lihat arah telapak tangan yang menghadap bawah, yang artinya memberi)


 

 

Rombongan kelurga kami menyambut dan mengiringi Mora ke rumah buyut dengan cara manortor sambil berjalan mundur dari ujung jalan sampai dengan ke rumah. Segitu terhormatnya posisi Mora sehingga kita tidak diperkenankan berjalan membelakangi mereka.

Lalu, di hari yang sama dilakukan acara Marosong-osong, yang dilengkapi dengan ritual membawa sepasang anak kecil yang punya hubungan pariban yang dipakaikan perlengkapan pengantin Batak berkeliling kampung. Katanya siyy ini semacam upacara meminta pada Yang Maha Kuasa agar kampung ini diberkahi generasi penerus yang banyak dan hebat.

Tati 30 tahun yang lalu juga pernah mengikuti upacara Marosong-osong, waktu itu keluarga Tati mengadakan horja (pesta) dalam rangka peresmian bale (bangunan beratap tak berdinding yang memayungi makam beberapa orang leluhur keluarga Tati, lengkap dengan pasangan-pasangannya, termasuk makam Opung Helena boru Pardede). Foto Tati 30 tahun yang lalu itu yang Tati upload di postingan yang ini.

Keesokan harinya, tanggal 1 Juli 2008, pagi-pagi sekali dilakukan upacara pemotongan kerbau, yang dagingnya akan dimasak dan dimakan pada pesta di siang harinya. Kerbau ini juga menandai pengesahan pemberian marga Pardede pada Mami Nana dan pemberian gelar bagi beberapa anggota keluarga, termasuk Papi David.

Aldy (putra tertua Papi David, jacket putih celana kutung) menyaksikan pemotongan kerbau

 

Siangnya pasangan pengantin dibawa ke rumah peninggalan Opung di Sipirok. Di sini mereka disambut oleh seluruh anggota keluarga dalam tarian tor-tor, suatu cara menyampaikan restu bagi pasangan pengantin. It’s really beautiful tradition.. Air mata Tati aja sampai menetes melihatnya..

Papa dan Mama menyambut pengantin di rumah dengan manortor


 

 

Papi David dan Mami Nana manortor mengelilingi Mama, mengharapkan keberkahan bagi orang tua

Setelahnya mereka menerima nasihat dari para orang tua, dan diberikan nasi upah-upah, yaitu nasi yang dilengkapi dengan ayam lengkap, ikan, udang dan telur dan dihidangkan di daun pisang yang utuh dengan pelepahnya. Semua unsur yang ada di nasi upah-upah punya makna berupa nasihat dan harapan bagi pasangan pengantin.

Pengantin

 

 

Semoga perkawinan Papi David dan Mami Nana bahagia sampai di akhir hayat

Semoga melahirkan generasi penerus yang lebih baik dari generasi sebelumnya

Semoga membawa kebahagiaan bagi keluarga besar kedua pihak

Semoga segalanya indah, seindah tradisi yang telah diajarkan oleh leluhur kita….

Amin…

 

Mangadati… (1)

Aapa siyy maksudnya MANGADATI? Mangadati artinya meng-adat-i, melakukan upacara adat terhadap suatu proses kehidupan.. Bisa dalam bentuk ritual sederhana ataupun dalam bentuk pesta.. nah kali ini Tati akan cerita tentang proses mangadati yang baru saja berlangsung di keluarga Tati yang Batak banget …

di rumah keluarga Op. Pardede Partigatiga Juhut

Seperti yang udah Tati ceritain di posting yang ini, minggu lalu Tati tuh pulang kampung ke Sipirok buat menghadiri pesta adat perkawinan adik laki-laki Tati, Papi David. Perkawinan Papi David dan Mami Nana sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu, bahkan telah dikarunia 4 putra-putri : Aldy, Abby, Abner dan Ajere, tapi mereka belum melakukan ritual adat perkawinan orang Batak. So, mereka melakukannya minggu lalu dengan tujuan, seperti yang diucapkan Papi David di depan keluarga dan kerabat di Sibadoar saat mengucapkan terima kasih setelah acara berlangsung dengan sukses, untuk menjalankan kewajiban sebagai orang batak yang berusaha mempertahankan adat istiadat yang telah diajarkan oleh opung dan orang tua selama ini, bukan karena mereka telah punya uang yang sangat-sangat berlebih. Ditambah lagi dengan adanya rasa sukacita atas kehadiran seorang anak perempuan dalam keluarga mereka.

Sukacita atas kehadiran seorang anak perempuan? Bukannya orang Batak lebih mementingkan kehadiran anak laki-laki sebagai penerus keluarga? Ternyata tidak sepenuhnya begitu…

Mami Nana, Papi David & bayi Ajere

Kehadiran anak perempuan dalam keluarga Batak akan membuat orang tuanya punya kesempatan menjadi Mora (yang dihormati) bagi keluarga menantunya pada suatu hari nanti. Posisi Mora dalam keluarga Batak sangat terhormat. Jadi kehadiran anak perempuan dalam keluarga Batak itu penting, bahkan sama pentingnya dengan kehadiran anak laki-laki. Makanya kata Papa ada peribahasa yang mengatakan kalo keluarga Batak itu disebut kaya bila dia punya 11 anak laki-laki dan 12 anak perempuan. Artinya dia akan mempunyai 11 mora dan menjadi mora bagi 12 keluarga. Jadi masih untung satu, hehehe…

Nah salah satu langkah dalam proses mangadati perkawinan ini adalah dengan menjadikan Mami Nana yang wong Magelang tapi besar di Samarinda dan Surabaya, menjadi Boru Batak. Caranya adalah dengan mencarikan orang tua angkat yang mau memberikan marganya bagi Mami Nana.

Untuk marga Mami Nana, Papi David minta pada Papa agar memohon kesediaan keluarga Pardede yang partiga-tiga juhut (penjual daging) di Sipirok agar mau mengangkat Mami Nana sebagai anak mereka dan memberikan marga Pardede pada Mami Nana. Kenapa keluarga Pardede tersebut? Kenapa bukan mengambil marga Harahap dari Hanopan seperti Mama dan Opung kita? Ada beberapa alasan….

Alasan pertama, keluarga Pardede tersebut sebenarnya adalah Mora keluarga kami, tapi telah jauh sekali di generasi atas, yaitu ibu dari buyut kami (Samuel Siregar gelar Baginda Parhimpunan) adalah boru Pardede yang bernama Helena. Dengan meminta keluarga Pardede tersebut menjadi orang tua angkat Mami Nana, hubungan dengan keluarga Pardede akan kembali terajut, dan posisi meraka sebagai Mora dari keluarga kami akan menguat kembali.

Alasan kedua lebih kepada kenangan masa kecil Papi David. Dimana di masa kecil kalo pulang ke Sipirok dia seringkali di suruh Opung kami, Opung Lintje (alm), ikut membeli daging ke pasar dengan salah seorang sepupu yang memang tinggal bersama Opung di kampung. Ceritanya, Opung selalu menyuruh membeli daging 1 kg, jadi ya uangnya hanya cukup untuk membeli sekilo daging. Tapi Opung Pardede yang partiga-tiga juhut selalu memberikan daging satu keranjang besar, lengkap dengan tulang buat dibikin sup, yang untuk membawa pulangnya aja sulit karena berat banget. Mana setelah Papi David memberikan uangnya, Opung Pardede selalu menyuruh tunggu sejenak, dan kembali dengan memberikan bungkusan yang berisikan panggelong (sejenis kue tradisional di Sipirok) kepada Papi David. Papi David lalu mempertanyakan hal ini kepada Opung, lalu Opung menjelaskan adanya hubungan kekerabatan yang telah terjalin dari generasi ke generasi.

Selain itu keluarga Pardede yang menjadi muslim di beberapa generasi terakhir juga selalu hadir pada saat Opung (alm) mengadakan jamuan makan siang menyambut tahun baru pada setiap tanggal 1 Januari. Mereka tidak pernah absen dari kebiasaan keluarga kami ini. Kekerabatan yang berlangsung dari generasi ke generasi dan menembus batas agama ini lah yang membuat Papi David menginginkan Mami Nana menjadi anak angkat keluarga Pardede, dan otomatis menjadikan kembali keluarga Pardede tersebut sebagai Mora keluarga kami.

Untungnya keluarga Pardede menyambut dengan gembira maksud keluarga kami. Bahkan sambutan mereka lebih dari yang keluarga kami harapkan. Mami Nana diangkat menjadi anak salah satu keluarga Pardede, yang merupakan anak dari opung yang partiga-tiga juhut, yang dulu selalu memberikan daging ekstra plus panggelong pada Papi David, Keluarga Pardede lalu memberikan nama HELENA KRISTIANA PARDEDE pada Mami Nana, mengikut nama ibu dari buyut kami.

Berlumpur di Aek Latong

Hari Kamis 26 Juni 2008, jam 12.30-an pesawat Linus yang membawa Tati dari Pekanbaru mendarat di Medan. Ternyata Enek (Mamanya Tati) dan Mami Uli beserta pasukan sudah beres-beres… So, menjelang magrib kita bergerak menuju Sipirok..

Kita bergerak dengan 2 mobil. Di mobil pertama penumpangnya adalah Enek, Tati, Samuel, Mbak Mintje (yang bantu-bantu ngurus Enek), penumpang di mobil kedua Mami Uli, Esther, Ananda, Monnic dan Kak Evi (baby sitter-nya Monnic). Di tengah jalan, Ananda pindah ke mobil pertama.

Dari Medan sampai Tarutung jalannya ok, meski ada beberapa lubang2 di beberapa ruas jalan.. Tapi begitu keluar dari Tarutung, mulai deehhh…. Jalannya ancur dan berkabut pula… Sejak kita dari Medan, kita udah rada confused, dari Tarutung ke Sipirok apa mau lewat jalur Pahae atau mau lewat Sibolga-Padang Sidempuan. Jalur Pahae jalannya rusak, terutama di Aek Latong. Sedangkan jalur Sibolga-Padang Sidimpuan jarak tempuhnya lebih jauh dan jalannya sempit…

Papi David dan rombongan yang berangkat sehari sebelumnya sempat terjebak di situ. Ada beberapa truck yang nyangsang di lumpur dan gak kuat nanjak, akibatnya mobil lain gak bisa lewat. Sementara mesin derek yang memang disediakan pemerintah di jalur tersebut pada waktu itu sulit difungsikan karena hujan yang turun terus menerus membuat petugas sulit bekerja.

Rombongan Papi David yang terdiri dari Mami Nana, Aldy, Abner, Ajere, Baby sitter-nya Ajere, Akung & Uti (orang tuanya Mami Nana), Amanda (adik bungsunya Mami Nana), terjebak di situ selama beberapa jam.

Ajere yang baru berusia 2 bulan 3 minggu, terpaksa dibungkus popok tebal-tebal dan selimut karena dingiinnn banget…. Umur 2 bulan aja dia udah dibawa Papi-nya off road. Benar-benar boru hasian Papi. Hehehe.. Untungnya kondisi Ajere prima, jadi  di cuaca yang sangat dingin tidak berdampak apa-apa pada kesehatannya.. Ajere benar-benar orang Sipirok… biar masih bayi juga gak apa-apa dibawa berdingin-dingin di alam terbuka..

Aldy dan Abner…? Jangan ditanya… Kata Papi David mereka malah sorak-sorakan waktu melintasi lumpur.. Mereka bilang, “Asyik ya Pi, kita off-road.. Coba kalo mobil kita yang di Samarinda bisa kita bawa ke sini, pasti asyik banget off-road-nya…!!”. Dasar barudak…, mereka gak tau kalo Uti aja ketar ketir sampai tensinya naik.

Naahhhh giliran rombongan kita niyy… Kita cemas, karena nggak bisa ngebayangin akan ngedorong Enek di kursi roda melintasi Aek Latong, kalo ternyata jalurnya macet karena lumpur dan hujan. Tapi sms Odang menjelang kita masuk Tarutung membuat kita memutuskan menempuh jalur Tarutung-Pahae-Sipirok, karena pantauan Odang malam itu jalur Aek Latong lancar…

Ternyata oh ternyata, saat kita sampai di Aek Latong sekitar jam 04.30 pagi, ada dua buah bus besar yang menuju arah Tarutung yang nyangsang di Lumpur. Kedua bus tersebut menutup kedua jalur yang ada… Waduuuuhhhhh…. Kita kebingungan… Mau ngasi tau Odang, gak ada sinyal sama sekali… Akhirnya kita berdiam di dalam mobil menunggu matahari terbit, sambil membiarkan anak-anak tetap terlelap…

Jam 05.30, saat matahari mulai terbit, Mami Uli mengajak Tati mencari Odang untuk meminta bantuan agar romobongan bisa dievakuasi.. Kami berdua lalu keluar dari mobil, berjalan kaki di bawah rintik hujan menyusuri turunan pertama yang berlumpur… Kami berdua melepaskan sendal2 kami, dan berjalan menginjak lumpur tanpa alas kaki. Tati melipat celana panjang sampai ke lutut.. Mami Uli…? Dia pakai rok jeans selutut…, kebayang gak siyy repotnya doski… Jangan Tanya betapa sulitnya berjalan di atas tanah berlumpur…, licin banget… Tati takut sekali, takut terjatuh lalu terbanting… I’m old now… Kayaknya tubuh udah gak kuat kalo kebanting-banting.. Sementara beberapa lelaki “tak berhati” meneriaki dan menyorak-nyoraki Tati dan Mami Uli yang berjalan tertatih2 di atas lumpur…

Kami berdua akhirnya bisa melewati 2 turunan dan 2 tanjakan dengan selamat… Jangan tanya bagaimana penampilan kita… Baju basah karena hujan bercampur keringat, kaki berlumpur… Udah gitu, ternyata handphone Mami Uli mati karena low batt, sementara hp Tati gak ada sinyal sama sekali. Jadi setelah melewati Lumpur, kami tetap belum bisa menghubungi Odang. Kami lalu mendekati sebuah mobil Sibual-buali kecil, yang sedang berhenti di ujung Aek Latong.. Ternyata si supir sedang menjemput seseorang. Kami lalu membujuknya untuk mengantarkan kami ke rumah Opung di Sipirok, yang cuma berjarak beberapa belas kilo. Si bapak supir meminta kami untuk membayar Rp.100 ribu. Karena gak punya pilihan kami pun mengiyakan..

Sampai di Sipirok ternyata Papa udah gak ada di rumah.. Biasanya Papa pagi-pagi pergi mandi air panas (air belerang) di Padang Bujur. Kita lalu memutuskan untuk pergi ke hotel Tor Sibohi, karena Papi David dan rombongan nginap di sana. Ternyata supir gak mau nganterin kita ke hotel karena dia katanya ada urusan lain. Kami lalu minta di turunkan di pertigaan Pasar Sipirok, lalu naik becak ke hotel Tor Sibohi… Waduuuhhh… Rasane rak keru2an… Dua emak-emak gendut duduk dalam becak yang sempit, mana kondisi kita berantakan banget… Menjelang sampai di pintu gerbang hotel, kita melihat sebuah Innova keluar dari hotel.. Insting Tati membuat Tati berteriak dan melambai-lambaikan tangan, padahal Tati gak tau mobil apa yang digunakan rombongan Papi David. Innova tersebut lalu menepi dan berhenti…, dan dari bagian tempat duduk pengemudi keluar…. PAPI DAVID… Udah lama banget gak ngalami rasa lega seperti ini saat menemukan salah seorang anggota keluarga kita.. Hehehe…

Papi David ternyata mau ke permandian air panas di Padang Bujur karena udah janjian dengan Odang di sana. Kami lalu dibawa ke sana. Papa lalu menyuruh Tulang Lubis dan Lukas (orang Lombok yang kerja pada keluarga kita dan ditugaskan menjaga rumah di Sipirok) menemani Mami Uli pergi ke tempat makan langganan Odang, membeli sarapan buat rombongan plus membawakan setermos air panas buat susu anak2 yang terkurung di Aek Latong. Tati dan Papi David menyusul ke Aek Latong setelah Odang dan Papi David selesai mandi, dan mengantarkan Odang pulang ke rumah.

Alhamdulillah, saat kita kembali ke Aek Latong jalan sudah terbuka kembali. Salah satu bus yang nyangsang di lumpur telah ditarik, sehingga mobil rombongan kita bisa melewati jalan yang dasyat tersebut. Rombongan langsung dibawa ke hotel Tor Sibohi yang udah kita reservasi.. Kita mutusin buat nginap di sana karena fasilitas di rumah Opung rasanya sulit buat menampung rombongan circus (anak-anak) yang rame banget..

Begitu ngeliat Papi David, Enek langsung ngomel-ngomel.. Enek bilang “Udah tau Mama mau datang, kok kamu gak nungguin di Aek Latong dari tadi malam…?!!” Hayaaahhhh…. Dasar ibunda Ratu… Kita memang paling cemas dengan kondisi Mama, karena setelah serangan stroke setahun yang lalu Mama belum pernah berjalan sejauh ini.. Mana Mama tuh hanya bisa menggunakan closet yang duduk, karena lutut kanan gak bisa ditekuk.. Bisa ngitung gak siyyy kira2 ada berapa tempat makan di sepanjang jalan antara Medan-Sipirok yang punya closet duduk? Kebayang gak siyy gimana kalo Mama harus terkurung di Aek Latong berjam-jam…? Alhamdulillah perjalanan kami berakhir dengan baik, meski ada sedikit petualangan.. Hehehe..

Ini foto-foto Aek Latong yang Tati ambil saat mau kembali ke Medan, tanggal 4 Juni yang lalu. Menurut Pak Zuharnen dosen Tati di penginderaan Jauh UGM, yang pernah survey di daerah ini, Aek Latong merupakan daerah sesar, sehingga selalu terjadi pergeseran kulit bumi, ditambah lagi dengan gempa beberapa waktu yang lalu, plus hujan yang turun… Mantap sudah… (ini ucapan Samuel yang logatnya Samarinda banget, kalo berkomentar tentang sesuatu yang luar biasa… hehehe..). Tapi kejadian ini tidak membuat kapok untuk tetap kembali dan kembali ke Sipirok, atau malah mengambil jalan muter lewat Sibolga-Padang Sidimpuan.. Kami tetap cinta Sipirok dan jalur perjalanan Tarutung-Pahae-Sipirok alias lewat Aek Latong .. Hehehe..

Kalo Gak Malu…

Minggu depan, tanggal 30 Juni dan 1 Juli, keluarga Tati ada acara di Sibadoar, Kecamatan Sipirok, kampungnya keluarga Tati.

Ceritanya, Papi David dan Mami Nana bikin pesta adat pernikahan mereka. Pesta adat? Iya.. Papi David dan Mami Nana nikahnya sudah beberapa tahun yang lalu di Surabaya, cuma waktu itu gak pake upacara adat. Secara keluarga Tati tuh masih Batak banget… rasanya belum melakukan upacara adat tuh jadi ganjelan di hati. Dalam acara ini Mami Nana yang Arek-arek Suroboyo, akan diberi marga sehingga akan menjadi Boru Batak. Acara itu juga sekalian kita ngerayain ultah Papa yang ke 70 tahun.

Jadwal acara ini disesuaikan dengan jadwal libur anak-anak. Dengan demikian diharapkan semua anggota keluarga bisa datang tanpa terkecuali. Papi David dan rombongan, lengkap dengan keluarganya Mami Nana sudah sampai di Medan tadi siang. Rencananya mereka akan berangkat ke Sipirok, sekitar 8 jam dari Medan lewat Pahae, tanggal 25 Juni. Mami Uli dan pasukan akan tiba di Medan tanggal 25 Juni, lalu berangkat ke Sipirok lengkap dengan keluarga suaminya pada tanggal 26 Juni. Papi David dan Mami Uli akan bertugas mendampingi Papa dalam menjalankan serangkaian acara adat pendahuluan, seperti meminta marga pada keluarga Pardede, karena Mami Nana akan dikasi marga Pardede seperti salah satu buyut kita yang perempuan.

Adapun Tati, Tante Po dan Mama Nhoya rencana akan menjadi rombongan yang berangkat terakhir dari Medan, yaitu hari Sabtu tanggal 28 Juni, dengan tugas membawa Mama, Ananda dan Mbak Mintje (yang bantu2 Mama di rumah). Kita jadi rombongan terakhir karena kita tuh jadwalnya terbatas… Pada kerja, bow..!!!

Tati tadi pagi ngajuin cuti di kantor.. Rencana berangkat dari Pekanbaru hari kamis tanggal 26 Juni, karena Mama Nhoya bilang pengen jalan2 dulu sama Tati sebelum kita berangkat ke Sipirok hari Sabtu.

So Tati tadi siang menghubungi travel langganan buat pesan tiket.. Ternyata oh ternyata, tiket Pekanbaru – Medan di musim libur ini berkisar antara 700 s/d 800 ribu.. Busseettt daaahhhh… Biasanya cuma antara 350 s/d 500 ribuan, termasuk saat lebaran. Mentok-mentok selama ini harga tiket untuk jalur tersebut tuh di 600 ribuan dehhh… Itu juga udah terhitung mahal kalo dibanding harga tiket pekanbaru – Jakarta yang sekita r 300 s/d 500 ribuan, secara jarak yang ditempuh lebih jauh…

Geleuh dehh dengernya harga di 700 s/d 800 ribuan. Tapi Tati kan gak punya pilihan… Tati wajib hadir di acara keluarga, kalo gak mau dicoret dari daftar anak-nya Papa. Kalo mo naik bus ke Medan keburu teler dulu.., karena jalan lagi rusak… Padahal acara di kampung akan memerlukan banyak energi. Kita gak bakalan bisa duduk manis… Mana para kurcaci yang lucu2 dan jarang jumpa itu juga akan menjadi teman main yang mengasyikan… Apalagi ada Ajere si new comer… Rugi atuh kalo nyampe di Medan dan Sipirok dalam keadaan teler.. Hehehe..

Tati lalu telpon Papi David buat berbagi ke-geleuh-an..

Tati : Vid.., kakak gak datang aja ya ke pesta David…

David : Kenapa kak? Ada apa? Gak bisa cuti dari kantor?

Tati : Enggak ada apa-apa siyy… Cuma karena musim liburan tiket pulang ke Medan jadi mahal banget… Sayang duitnya… Hehehe..

David : Aku juga kena tiket mahal kak. One way Samarinda – Medan aja udah 1.9 jeti per orang. Rombongan ku berapa orang… (Tati : Papi David, Mami Nana, Aldy, Abner, Ajere dan Ajere’s nanny). Hehehe… Tapi gini aja lah kak…, kakak kasi aja nomor rekening kakak ke aku, biar ta tranfer uang tiket. Dengan catatan, kalo kakak gak malu… Hehehe..

Tati : Sialan lu….!! Hehehe… Iya, iya gue pulang.. Tapi gue gak mau tau, bensin mobil buat bulak balik Medan – Sipirok plus uang makan rombongan David yang urus.. Hehehe..

David : Iya, iya… Nanti aku titipin di Ivo.. Dasar kakak pelit… Hehehe…

Tati : Kakak kan pegawai negeri, gak ada duitnya… Hehehe..

David : Gayamu itu lho kak, kak…!! Hehehe…

Pics diambil dari sini

Masih Tentang Nai Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang…

Postingan Tati yang ini, yang aslinya diposting di sini, kayaknya jadi punya cerita yang panjang niyy..

Setelah di-reposting di Toba Dream oleh Raja Huta, ternyata juga dihubung-hubungkan dengan suatu yang “hipotesis yang ajaib” oleh seseorang yang “luar biasa pelupa”. Tati mengasumsikan orang tersebut “luar biasa pelupa”, dari pada berburuk sangka menuduh beliau memang menyembunyikan identitasnya. Karena orang tersebut ingat untuk menulis comment di postingan ini tentang sesuatu hal secara begitu panjang lebar, tapi dia lupa menulis identitasnya. Mudah2an beliau memang lupa, bukan lempar batu sembunyi tangan setelah dengan menebar isu chauvinism tak berdasar melalui blog Tati.

Dengan sepenuh hati Tati sampaikan, postingan ini gak ada tujuan mendiskreditkan varian2 Batak yang lain. Tulisan ini hanya Tati buat berdasarkan rasa dan pikiran yang ada pada Tati selama ini.. Dengan segala kerendahan hati Tati mohonkan maaf..

Tati di usia muda sebenarnya gak peduli dengan “kebatakan” Tati. Karena tidak merasa itu sebagai sesuatu yang istimewa, yang luar biasa. Apalagi di keluarga, ortu sebagaimana para lelaki Batak meski sayang banget sama boru-nya tapi kan cenderung gak eskpresif, malahan cenderung terlalu protektif. Akibatnya di usia belia Tati terkadang mikir, “Gue disayang atau cuma dijaga supaya gak melanggar segala keinginan, cita2 dan mimpi para ortu, ya?”. Sementara kalangan Batak yang ada di lingkungan tempat tinggal (setelah pindah rumah ke daerah Sukajadi-Pekanbaru), yang Tati lihat sebagian besar adalah kalangan Batak yang ngomong “suke2 die” (kata orang Melayu), dengan suara yang kencang pula.  Seakan gak mikir perasaan orang. Bahkan sebagian dari mereka menghabiskan waktu di lapo tuak yang menjual tuak dari kelapa dan juga menjual masakan berbahan “biang”, yang buat kerabat Tati tidak tergolong bahan makanan.

Butuh waktu untuk memahami cara mencintai para orang tua berdarah batak pada anak cucunya.. Butuh perjalanan yang panjang untuk memahami bahwa orang batak itu punya integritas pribadi yang luar biasa, punya komitmen yang kuat tentang upaya memajukan generasi penerus…

Masa kecil Tati sama sekali tidak didominasi oleh budaya Batak. Tati besar di lingkungan yang majemuk. Meski di lingkungan rumah di kompleks Gubernur Pekanbaru cukup banyak orang Batak, tapi keluarga kami lebih dekat dengan keluarga Hasan Basri yang orang Payakumbuh. Anak2 keluarga Hasan Basri ikut membantu mengurus Tati hari ke hari. Kami juga dekat dengan orang2 Melayu, bahkan Tati seringkali menghabiskan akhir pekan di acara2 pernikahan keluarga Melayu.

Begitu pun saat menjalani kehidupan di Kampus Rakyat Tati lebih cenderung untuk tidak berkumpul dengan orang2 Batak. Gak ada alasan spesifik kenapa begitu. Kayaknya hanya karena berasal dari Riau, Tati lebih cenderung ikut perkumpulan mahasiswa asal Riau yang sebagian anggotanya Tati kenal, karena mereka teman atau kakak kelas sejak di Sekolah Dasar. Tapi itu pun gak mendominasi hari2 Tati. Saat itu Tati lebih berpikir untuk mengenal kehidupan yang lebih dari yang pernah Tati ketahui. Bergaul dengan teman2 dari daerah lain, dengan latar budaya yang berbeda untuk memperkaya wawasan. So, teman2 Tati saat itu lebih banyak anak2 bukan Batak dan bukan Riau.

Upaya untuk memahami tentang keluarga yang keturunan Batak muncul saat keluarga mengadakan upacara Upah2 ketika Tati lulus S1. Di acara itu para orang tua menyampaikan selamat atas apa yang udah Tati capai, sekaligus mengingatkan bahwa apa yang Tati capai dalam hidup Tati sebenarnya hanya sebagian kecil saja yang merupakan hasil perjuangan Tati. Selebihnya adalah hasil jerih payah orang tua dan generasi demi generasi sebelumnya. Alhamdulillah keluarga Tati adalah keluarga yang peduli dengan kemajuan anak cucunya. Dan kepedulian mereka terbentuk dari ajaran generasi sebelum mereka, yang berdarah Batak.

So, kenapa Tati tidak harus bangga menjadi orang Batak? Mungkin istilah yang lebih tepat adalah tidak merasa malu menjadi orang Batak, dan menghargai leluhur atas apa yang sudah mereka lakukan buat kita. Tapi tentu saja bukan bangga yang berlebihan, yang melahirkan chauvinism tak berdasar. Karena etnis lain pun pasti punya kelebihan juga, yang justru mungkin bisa membantu kita menjadi orang-orang yang lebih baik. Kayaknya pikiran ini sejalan dengan semangat nasionalis yang sedang digaungkan kembali dalam rangka Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Lagi pula semua manusia sama di mata Alloh SWT, yang membedakannya hanyalah iman dan ketaqwaannya kepada Alloh SWT. Bukan begitu teman-teman?

My Posting Has Been Re-posted..

Siang tadi Tati nemu comment dari seseorang yang menamakan dirinya Raja Huta (Bahasa Indonesia : Raja Kampung) di postingan Tati yang ini

Ternyata beliau me-reposting tulisan Tati tentang asal usul Tati, yang beliau harapkan bisa menginspirasi anak-anak Batak lainnya yang lahir dan besar di kota, supaya jangan malu mengakui identitasnya sebagai manusia Batak.

Ini postingan beliau yang me-reposting tulisan Tati..

Semoga aja tulisan itu memang bisa bermanfaat ya…

Btw, I’m proud of being Boru Batak, tapi aku juga bangga menjadi orang Indonesia yang beraneka… Membuat kita kaya akan teman2 yang beraneka suku, kita kaya akan budaya, termasuk kuliner… Hehehe…

Sesama Batak…

Di dunia baru, ada seorang senior yang juga punya marga, sama seperti Tati… Waktu Tati baru2 datang di situ dia excited banget, karena menurut dia orang2 bermarga langka dan sulit berkembang di lingkungan dunia baru… Tati sendiri gak merasa begitu ya… Karena biarpun punya marga dan gak mau kehilangan jati diri sebagai boru Batak, Tati merasa kota di negeri Melayu ini, lingkungan ini, adalah habitat Tati.. This is the place where I was grown up.. This is the place where I belong… Bahkan di dunia baru banyak orang yang Tati kenal sejak Tati masih cilik mentik… Ada yang anaknya kenalan keluarga, ada mantan tetangga, ada teman sekolah waktu SD, SMP dll…

Beberapa waktu yang lalu si senior ini menghampiri Tati.. Ternyata dia minta supaya Tati memberikan pekerjaan yang dipercayakan pada Tati untuk diserahkan kepada pihak ketiga, kenalannya yang orang pake marga juga.. Kerjaan yang diminta itu memang bukan pekerjaan besar..

Buat Tati.., permintaannya itu gak masalah.. Semua orang boleh mengajukan permintaan toohhh…? Tapi karena ini urusannya kerjaan dan menyangkut pertanggungjawaban Tati nantinya, tentu Tati harus mencari orang yang bisa memberikan hasil yang terbaik dengan waktu secepat mungkin… Lagi pula Tati kan cuma bagian dari suatu sistem, mana bisa Tati memutuskan segala sesuatu sendiri, harus berunding lah dengan atasan…

Ketika, Tati bilang ke si senior, “Saya lihat dulu ya, pak. saya gak bisa memutuskan sekarang”.

Ehhh si senior bilang dengan suara yang agak kencang “Bu Sondha, ibu orang Batak kan..? Siapa lagi yang mau nolong orang Batak kalo enggak orang Batak..?

Tati lalu bilang, “Jangan begitu lah, pak. Saya mencoba untuk melihat persoalan ini secara profesional. Saya ingin yang terbaik dari pekerjaan saya, karena saya harus mempertanggungjawabkannya. Kalo memang teman bapak itu bagus kerjaannya, bisa saja nanti diserahkan pada dia. Tapi saya gak bisa memutuskan karena pertimbangan suku. Lagi pula saya bukan pengambil keputusan tunggal. Ada orang2 di atas saya yang harus saya dengar pertimbangannya”

Si Senior lalu menjawab, “Lalu ibu mau bilang apa kalo orang yang di atas ibu melarang ibu mengambil kebijakan?”

Tati : “Enggak masalah, pak. Selagi kebijakan beliau itu pun bisa dipertanggungjawabkan dan membawa kebaikan buat hasil pekerjaan.”

Si senior : “Kok sebagai orang Batak, kamu gak mau menolong sesama Batak siyy…? Dimana solidaritas kamu sebagai sesama Batak?”

Tati : “Pak… saya bukan gak mau kasi kesempatan. Saya bilang nanti dulu, saya belum bisa mengambil keputusan, karena saya harus mengenali dulu siapa2 aja yang ingin mengerjakan pekerjaan ini, dan bagaimana kualitas mereka. Kalau teman bapak kerjaannya bagus, bisa saja saya menyerahkan pekerjaan ini pada dia. Cobalah mengerti situasi ini… Jangan bawa2 suku…. ”

Si bapak lalu ngeloyor dengan tampang asam… Tati cuma bisa menghela nafas panjang, dengan harapan semoga orang itu mengerti pikiran Tati nantinya…

Tulisan di Depan Rumah..

Hari ini Tati ngeliat ada comment di postingan ini…, dari Andy Pangihutan Harahap. Ternyata Andy ini masih ada hubungan keluarga dengan Tati.. Tepatnya, Papa-nya Andy adalah sepupu Papa & Mama Tati.

Andy nanya apa tulisan asli (dalam bahasa Batak) dari quotation yang ditulis oleh buyut kita dan kemudian digantung di dinding rumah beliau di Hanopan, seperti yang Tati tulis di postingan ini

Nah… ini pic dari tulisan tersebut yang dicrop dari pic Mama, Kak Lintje dan Ira saat kita berkunjung ke sana pada akhir Desember 2006…


Buat Andy, keep contact ya.. Salam buat Tulang Pasti dan keluarga..

%d bloggers like this: