Kuliner Sipirok

Akhir pekan tanggal 13 – 15 Januari 2017, diriku ke Sipirok, lagi. Padahal  tanggal 29 Desember 2016 sampai dengan 02 Januari 2017 yang lalu diriku juga ke Sipirok buat libur akhir tahun dengan keluarga.  Ngapain bulak balik ke Sipirok?  πŸ˜€  Kalau dipikir capek, memang sihh pergi yang pertama belum hilang capeknya.  Tapi kali ini aku pergi menemani kakakku  Lintje buat ziarah ke Sibadoar.  Lagian, kalau urusan pulang ke Sipirok kayaknya rasa capek gak ada.  Hihihihi. Padahal pinggang berdenyut-denyut nihhh !!

Oh ya, buat teman-teman ketahui, Sipirok itu adalah nama kecamatan, yang terdiri dari  6 kelurahan dan 34 desa.  Kalau diriku dan keluarga pulang ke Sipirok, itu artinya kami pulang ke rumah peninggalan ompung kami dari pihak Papa, yang berlokasi di Pasar Sipirok, kelurahan yang menjadi pusat Kecamatan Sipirok.  Di Pasar Sipirok tersebut berada kantor Kecamatan Sipirok, kantor Polsek Sipirok, kantor Koramil Sipirok, kantor Kejaksaan Sipirok, sekolah dari tingkat SD, SMP, SMA dan SMK, juga pasar serta pusat aktivitas ekonomi masyarakat di Kecamatan Sipirok.  Kampung leluhurku dari pihak  Papa yang bermarga Siregar adalah Desa Sibadoar, 3 km ke arah Timur Laut dari Pasar Sipirok.  Sedangkan kampung asal leluhur Mama yang bermarga Harahap adalah Desa Hanopan, 16 km ke arah Timur Laut dari Pasar Sipirok.   Jadi jangan bingung dengan istilah Sipirok, dan Pasar Sipirok ya teman-teman.

Oleh-oleh dari perjalanan kali ini, diriku ingin cerita tentang kuliner Sipirok. Topik tentang Kuliner Sipirok dengan scope yang lebih kecil, Panganan Khas Sipirok, pernah diriku bahas sebelumnya, namun tulisan kali ini scopenya lebih luas, tidak cuma tentang kue-kuean, tapi juga tentang makanan, lauk pauk dan sayuran.

Kita mulai dari kue-kuean dulu yaaa.

penjual-kue-sipirok

Panggelong Apri hasibuan dan Pedagang kue di Pasar

Dulu saat saya masih bocah cilik, kue-kue di daerah Pasar Sipirok hanya dijual pada hari Kamis, hari pasar di  Pasar Sipirok.  Poken Kamis, demikian masyarakat menyebutnya.

Poken Kamis adalah pasar terbesar, teramai di Kecamatan Sipirok.  Para pedagang dan pembeli dari berbagai kelurahan dan desa di Sipirok tumplek blek di sini, bikin macet sampai sekitar jam 2 siang.  Hari lain tetap ada pasar di Pasar Sipirok, tapi hanya sekedar  menyediakan kebutuhan harian penduduk di sekitar Pasar Sipirok.  Pasar yang agak ramai berlangsung secara bergilir tiap hari di  kelurahan atau desa di Kecamatan Sipirok.  Misalnya pada hari rabu, pasar yang disebut Poken Arba (Pasar Rabu dalam bahasa Batak Angkola) berlangsung di Desa Arse, sebuah desa yang berjarak 14 km di Timur Laut Pasar Sipirok.  Desa yang gak jauh dari Hanopan, kampung leluhurku dari pihak Mama.

Tapi sekarang tiap hari ada yang menjual kue-kue tradisional khas Sipirok.  Ada yang menjual di pasar, dan juga ada di dua warung atau toko kecil  di jalan lintas Padang Sidempuan – Tarutung.  Pedagang petama, Panggelong Apri Hasibuan, di jalan Tarutung No. 52 Banjar Toba, Sipirok.  Pedagang yang kedua (maaf gak sempat motret warung dan mencatat namanya), lokasinya sekitar 1 km dari Panggelong Hasibuan, dekat masjid Sipirok Godang.

Kue apa saja yang bisa ditemuin di Sipirok?  Sesuai dengan hasil bumi Sipirok, beras, ketan,  dan gula aren atau gula bargot kata orang Sipirok, maka kue-kue khas Sipirok berbahan baku betas atau ketan dengan gula aren ditambah variasi pisang dan kelapa parut atau santan. Apa aja kuenya?

panggelong

Panggelong

Panggelong,  terbuat dari adonan tepung ketan/pulut yang dicampur dengan gula aren, lalu digoremg, lalu dicelup ke cairan gula aren.

golang-golang

Golang-golang

Golang-golang, terbuat dari adonan tepung ketan dengan gula aren, dibuat seperti gelang-gelang kecil, digoreng.

paniaram

Paniaram

Paniaram, campuran tepung beras dan gula aren dipanggang seperti serabi.  Tapi lebih padat, lebih alot.. πŸ˜€

Lapet (lepat) beras, adonan tepung beras dengan gula aren dan santan, dibungkus dengan daun pisang, dikukus.  Adonan yang sama ada juga dimasukkan ke dalam bambu yang telas dilapis dengan daun pisang, lalu dibakar, namanya lemang daun.

lapet-pisang

Lapet Pisang

Lapet (lepat) pisang, adonan tepung beras dengan gula pasir dan santan, dikasi irisan pisang, dibungkus dengan daun pisang, lalu dikukus.

itak

Itak pohul pohul

Itak Pohol-pohul.  Ini adalah kue khas orang Batak sekali.  Biasa dihidangkan di acara-acara adat, seperti menyambut bayi yang baru lahir, acara masuk rumah baru, juga  acara penghiburan setelah meninggalnya anggota keluarga.  Itak terbuat dari tepung beras yang dikukus sebentar, lalu dicampur dengan irisan gula aren dan kelapa parut, dibentuk dengan cara digenggam kuat-kuat sehingga berbentuk kepalan tangan, lalu dikukus.

Kembang loyang manis/asin.  Kembang loyang adalah adonan tepung beras.  Untuk yang manis dicampur dengan gula pasir dan wijen.  Selanjutnya cetakan berbentu kembang yang diberi tangkai dicelupkan ke adonan tersebut, sehingga adonan menempel, kemudian cetakan tersebut dimasukkan ke penggorengan yang sudah berisi minyak panas.  Adonan yang masak akan lepas dari cetakan dan membentuk kue yang berbentuk kembang.  Untuk yang rasanya asin, adonan tepung beras ditambahkan dengan bumbu-bumbu daun jeruk, daun seledri, ketumbar atau merica, daun jeruk, juga udang halus, seperti membuat adonan bakwan.

Kue angka 8 sangat khas Sipirok, kayaknya gak ada di tempat lain.  Kue ini terbuat dari campuran tepung beras dan tepung ketan juga gula pasir.  Adonan lalu dibuat panjang-panjang dibentuk seperti angka 8, kemudia digoreng.  Setelah dingin, kue dibalur dengan bubuk gula putih, seperti donat.

Selain kue-kue yang sudah disebut di atas, yang selalu ada dalam panganan di Sipirok adalah lomang (lemang) dan wajik, yang keduanya terbuat dari  ketan. Lemang dibuat dari ketan dikasi santan yang dimasukkan ke bambu dilapisi daun pisang,  kemudian dipanggang di atas bara.  Sedangkan wajik dibuat dari ketan yang ditanak dengan gula aren dan santan.   Setelah masak dicetak di nampan yang diaLas dengan daun pisang atau plastik agar tidak lengket.

Sekarang kita bicara tentang makanan utama..

ikan-mas

Ikan mas goreng dan gulai ikan mas

Sesuai dengan lokasi yang jauh dari laut,  alam Sipirok yang pegunungan, membuat sungai-sungainya curam berbatu-batu dan  berair deras sehingga tak banyak ikan.  Ikan hanya ada di tempat-tempat tertentu, di lubuk-lubuk.  Sumber protein masyarakat di Sipirok adalah daging kerbau (Bubalus bubalis)  dan ikan mas (Cyprinus Carpio sp.)  hasil peliharaan di kolam.   Kolam ikan di Sipirok biasanya bukan kolam air deras, tetapi sawah yang yang secara periodikal dialihfungsikan sebagai kolam.  Untuk menghasilkan ikan dengan ukuran yang layak untuk dimakan, dibutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari setahun.  Lama yaakkkk...  Btw, orang Batak kayaknya gak doyan ikan gurame ya?  Entah lahh.  Tapi memang untuk acara-acara adat di masyarakat Batak, ikan yang digunakan ya ikan mas.  Biasanya diarsik.  Hmmm… enak banget… Kata orang-orang sangkin enaknya, mertua lewat gak keliatan.   Ya, enggak keliatan laahh, wong saat nikah sama anaknya mertua udah gak ada.  πŸ˜€ πŸ˜€

olahan-kerbau

Sup tulang kerbau dan daging panggang

Untuk daging, enggak tahu kenapa di Sipirok adanya daging kerbau. Termasuk untuk dipotong pada acara-acara adat.   Yang dipelihara orang-orang juga kerbau.  Untuk penyediaan daging kerbau di Pasar Sipirok, biasanya dilakukan oleh keluarga Pardede, yang sudah jadi Partiga-tiga Juhut di Sipirok dari generasi ke generasi.  Tiga itu artinya pasar, partiga-tiga artinya pedagang, juhut artinya daging.  Partiga-tiga Juhut artinya pedagang daging.

Kerbau diolah menjadi masakan apa di Sipirok? Karena udara yang dingin, di Sipirok tulang dan daging kerbau biasanya dijadikan sup.  Aihhh jadi ingat saat-saat pulang kampung ketika masih kecil.  Sup adalah menu yang wajib hadir di meja makan di rumah Opung.  Sup daging dengan kentang dan wortel mengepul-ngepul.  Nikmat banget  !!  Nah di salah satu rumah makan yang terkenal dan sangat representatif di Sipirok, Rumah makan Siang malam, daging kerbau dipanggang, lalu dimasak asam pedas pekat dengan irisan bawang dan tomat yang banyak. Enaknya, gila !!!  Bikin nagih. Sedangkan tulang kerbau dibikin sup, bahkan sumsum yang di bagian engsel, bisa dinikmati dengan menggunakan sedotan.  Tapi menu yang satu ini saya gak makan.  Takut kolesterol !

gulai-daun-ubi-tumbuk

Gulai Daun Ubi Tumbuk

Bagaimana dengan menu sayurnya? Yang selalu hadir di meja makan di rumah-rumah di Sipirok adalah sayur bolgang alias sayur rebus, yang terdiri dari berbagai macam sayur.  Daun singkong, rimbang, terong ijo dan lain-lain dicampur jadi satu.  Rasanya enak, karena sayur-sayur tersebut biasanya baru dipetik.  Bahkan dulu di rumah Ompung, ketika akan masak,  baru sayur dipetik di kebun  milik Ompung di daerah Pasar Malam, yang gak jauh dari rumah.

Selain sayur bolgang, menu sayur yang menjadi trade mark orang Batak adalah Gulai Daun Ubi Tumbuk.  Gulai ini dibuat dari daun ubi muda alias bagian pucuk, ditambah dengan rimbang, honje atau kecombrang (Etlingera elatior) ditumbuk sampai setengah halus di alu yang terbuat dari kayu.  Kalau almarhum Mama bahkan menambahkan daun pepaya muda pada campuran tersebut.  Untuk meningkatkan  daya tahan tubuh, menurut beliau.  Setelah setengah hancur, campuran sayur tersebut dimasak dengan santan dan ditambahkan dengan ikan salai atau ikan asap.  Jangan tanya rasanya.  Juaaarrrraaaaa  !!!!

Kok jadi bikin pengen pulang kampung lagi yaaa ?? Padahal badan masih belum hilang pegalnya.  πŸ˜€  ***

Sipirok, A Prospective Destination

Sipirok.. Β Buat peminat wisata mungkin kata yang asing.Β  Mungkin tidak bagi penggemar kopi di Indonesia.Β  Dan pasti tidak,Β  bagi mereka yang di tubuhnya mengalir darah Batak.

sipirok1

Mengapa mungkin tidak asing bagi penggemar kopi di Indonesia? Karena tahun 2014 yang lalu masyarakat SipirokΒ  mengadakan Festival Kopi Sipirok, dalam upaya mengangkat nama kopi hasil budidaya masyarakat di Sipirok. Β Bahkan di kawasan Tanjung Duren, di Jl. TB Simatupang,Β  Jakarta, salah satu pengusaha asal SipirokΒ  memasarkan kopi Sipirok di cafe miliknya yang diberi nama Sipirock Coffee

Mengapa Sipirok pasti tidak asing bagi yang berdarah Batak?Β  Karena Sipirok adalah salah satu daerah di Tapanuli yang sudah berkembang lama, diperkirakanΒ  sebelum abad ke-13.Β  Daerah yang menjadi persinggahan utama di jalur Lintas Sumatera sejak zaman dulu, selain Kota Sibolga, salah satu kota pelabuhan di pantai barat Pulau Sumatera.Β  Mengingat suku Batak adalah masyarakat yang mobile,Β  perantau yang gigih, baik untuk menuntut ilmu, maupun untuk berkarya dan mencari nafkah ke sepenjuru negeri, bahkan ke manca negara, melintasi Siporok dalam perjalanan merantau ataupun pulang adalah bahagian dari perjalanan suku Batak bila menempuh jalan darat.

Selain itu, Β Sipirok juga daerah asal dari banyak orang yang telah meninggalkan jejak luar biasa di berbagai bidang. Ada nama Sutan Pangurabaan, seorang tokoh jurnalistik dan media cetakΒ  di Tapanuli pada awal abad 20.Β  Beliau juga pendidik, pengusaha, pendiri Muhammadiyah di Sipirok.Β  Beliau juga ayah Armijn Pane dan Sanusi Pane, 2 Sastrawan Indonesia Angkatan Pujangga Baru.

Ada beberapa tokoh nasional di era Orde Baru yang berasal dari Sipirok, antar lain Arifin Siregar yang pernah menjadi Direktur Bank Indonesia, Hasjrul Harahap, mantan menteri Kehutanan RI.Β  Raja Inal Siregar, Gubernur Sumatera UtaraΒ  era 1988 – 1998 juga berasal dari Sipoirok, Desa Bunga Bondar tepatnya.

Dimana Sipirok itu sebenarnya?

batu-nol

Sipirok adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.Β  Lokasinya 38 km dari Kota Padang Sidempuan, ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan sebelumnya. Berjarak sekitar 360 km ke arah selatan Β Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Β dan sekitar 350 km ke arah Barat Laut Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau.Β  Dari Kota Parapat yang berada di tepi Danau Toba, destinasi pariwisata utama di Provinsi Sumatera Utara, jaraknya hanya 180 km, dengan waktu tempuh hanya 4,5 jam.Β  Bahkan dari Bukit Tinggi, salah satu destinasi yang juga sudah terkenal di manca negara, jaraknya hanya 320 km, atau dengan waktu tempuh lebih kurang 7.5 jam. Β Sipirok mempunyai lokasi yang strategis, dengan aksesibiltas yang sangat baik.

Saat ini Sipirok juga bisa diakses dengan pesawat udara melalui 2 bandara. Β Yang pertama Bandara Dr. Ferdinand Lumban Tobing, di Pinang Sori, Sibolga, yang berjarak 90 km dan mebutuhkan waktu tempuh lebih kurang 2 jam 34 menit. Β Yang kedua Bandara Silangit, yang berjarak 106 km dengan waktu tempuh lebih kurang 2 jam 40 menit.Β  Di kedua bandara tersebut setiap hari ada beberapa pesawat yang terbangΒ  dari dan menuju Medan maupun Jakarta.Β  Sebenarnya ada bandara yang lebih dekat lagi ke Sipirok, hanya berjarak 37 km atau butuh waktu tempuh sekitar 51 menit, yaitu Bandara Aek Godang, tapi penerbangan ke bandara ini sepertinya belum sebanyak penerbangan ke Bandara Silangit dan Bandara Pinang Sori.

Sipirok terdiri dari 6 kelurahan dan 34 desa.Β  Dalam bahasa Batak Angkola, bahasa masyarakat setempat, Sipirok dikatakan sebagaiΒ  SIPIROK NAULI, BANUA NA SONANG, Β NAPA-NAPANI SIBUAL-BUALI. Sipirok yang sejuk, negeri yang nyaman, di lembah Gunung Sibualbuali.

landscape-sipirok

Berada di kaki gunung,Β  di ketinggianΒ  antara 700 – 1.700 meter di atas permukaan laut (dpl),Β  membuat Sipirok mempunyai udara yang sejuk dan segar, air yang jernih dan dingin, serta pemandangan yang indah.Β  Di Sipirok terdapat sebuah danau, Danau Marsabut, dan juga Cagar Alam Dolok Sibualbuali, yang merupakan hutan konservasi yang kaya akan keragaman flora dan fauna.Β  Di Sipirok juga terdapat 2Β  mata air panas (hot spring water) yang dikelola oleh masyarakat menjadi permandian, yaitu Aek Milas Sosopan dan Aek Milas Padang Bujur.Β  Sat ini infrastruktur jalan ke berbagai kelurahan dan desa di Sipirok relatif baik, juga jaringan listrik dan jaringan telepon seluler.

aek-milas-padang-bujur

Hot Water Spring : Aek Milas Padang Bujur

Karena Sipirok berada di antara wilayah Batak Toba, yang didominasi pemeluk Kristen, dengan wilayah Mandailing, yang didominasi pemeluk Islam, membuat Sipirok punya cerita yang panjang tentang kehidupan bertoleransi antara Islam dan Kristen.Β  Mungkin hanya di Sipirok, prinsip darah lebih kental dari pilihan agama menjadi pegangan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.Β  Ya, di Sipirok dalam sebuah keluarga, bisa ada anggota keluarga yang menganut agama Islam, dan anggota keluarga yang lain menganut agama Kristen, dan tetap hidup dalam rasa saling menghormati dan menyayangi.Β  Prinsip ini yang membuat masyarakat di Sipirok tak mengenal daging babi sebagai bahan makanan sebagaimana masyarakat di daerah Tapanuli Utara.Β  Prinsip ini juga yang membuat anggota keluarga yang muslim, bisa makan dengan tenang di rumah keluarga dan kerabatnya yang non muslim.Β  Prinsip ini juga bila ada pesta adat, meski tuan rumahnya non muslim, pemotongan kerbau, pengolahan makanan dilakukan oleh anggota masyarakat yang muslim.

Kelurahan Pasar Sipirok merupakan pusat kegiatan masyarakatΒ  di wilayah kecamatan Sipirok, baik aktivitas pemerintahan tingkat kecamatan, pusat perdagangan lokal, juga pusat pendidikan lokal. Di Pasar Sipirok terdapat kantor camat, kantor polsek, pertokoan, juga sekolah mulai dari tingkat TK, SD, SMP dan juga SMA.Β  Bahkan di desa Paran Julu, sebuah perbukitan yang berjarak sekitar 2,5 km dari Pasar Sipirok terdapat SMA Negeri 2 Plus, yang dibangun oleh Yayasan Pendidikan Marsipature Hutana Be, sebuah yayasan yang dibangun oleh anak-anak Sipirok yang berhasil dan berjaya di rantau.

Berpuluh bahkan lebih dari seratus tahun menjadi pusat aktivitas masyarakat lokal, membuat Pasar Sipirok menjadi kota kecil yang sangat nyaman.Β  Bahkan jejak-jejak kemakmuran yang dicapai oleh anak-anak Sipirok yang merantau, maupun yang beraktivitas di daerah, terlihat dari rumah-rumah tua yang masih terlihat cantik, meski beberapa diantaranya tak terawat lagi.

rumah2-tua

Alam yang luar biasa segar dan indah, kehidupan masyarakat yang menghargai keragaman, rumah-rumah tua yang cantik, kerajinan tangan yang berbasis budaya, seperti ulos serta tuku dan bulang, kuliner lokal, merupakan potensi yang bisa dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata.Β  Bukan destinasi wisata dimana para wisatawan datang bergerombol, membuat dan menikmati keriuhan, tapi wisata bagi mereka yang ingin menikmati ketenangan, tempat istirahat bagi mereka yang telah lelah bekerja di kota-kota besar, tempat beristirahat bagi mereka yang purna tugas, atau pensiun (retirement).Β  Sebuah prospek untuk menghidupkan ekonomi masyarakat, membangun daerah.

Sungguh aku membayangkan bila diberi umur panjang, aku akan mengisi sebagian hari-hari tuaku dengan tinggal di rumah peninggalan ompungku di Sipirok, sebuah rumah kayu tua berwarna coklatΒ  yang hangat.Β  Aku akan bisa menikmati pagi dengan berjalan kaki pagi di sekitar persawahan, mandi di permandian air panas, mengisi siang dan malamku dengan membaca, menulis dan berkontemplasi,Β  sambil sesekali menyusuri kampung-kampung tua yang penuh sejarah di kaki perbukitan di Gunung Sibuabuali.***

Kata Pengantar Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke2

Teman-teman, ini saya salinkan Kata Sambutan yang ditulis ibu Susan Rodgers untuk Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke-2.Β  Beliau adalahΒ  seorang antropolog berkewarganegaraan Amerika, yang pernah melakukan penelitian tentang Budaya Batak.Β  Beliau pencinta Budaya Batak, dan bersama beberapa temannya menetap di Sipirok pada tahun 1970-an saat melakukan riset untuk program masternya.Β  Dan beliau sangat fasih berbahasa Angkola.Β  Sepertinya Bahasa Angkola adalah bahasa kedua beliau setelah bahasa ibunya, Bahasa Inggris.Β  Saya bisa melihat itu saat beliau berkomunikasi dengan Papa saya, pada waktu kami bertemu di bulan Juni 2013 di Medan.Β  Hal itu sempat membuat saya merasa malu… πŸ˜€

Susan Rodgers 1aKebetulan saya menjadi jembatan proses komunikasi antara Papa saya dengan ibu Susan, yang telah diberi marga Siregar oleh tetua Adat Sipirok pada tahun 1970-an (makanya saya memanggil beliau dengan BOU dalam komunikasi-komunikasi kami).Β  Saya biasanya ditugaskan menyampaikan pikiran dan pendapat Papa saya ke ibu Susan dalam bentuk email.Β  Juga menyampaikan permohonan agar beliau bersedia memberi kata pengantar untuk kamus ini.Β  Begitu juga sebaliknya.Β  Jadi Kata Sambutan beliau yang aslinya dalam Bahasa Inggris, dikirimkan ke saya untuk diteruskan ke Papa untuk kemudian dilampirkan di bahagian awal kamus.Β  Dan versi Bahasa Indonesia yang juga ditampilkan di awal kamus, adalah terjemahan yang sudah beliau periksa dan mendapat pesetujuan..Β  Untuk teman-teman ketahui, beliau meminta softcopy draft kamus dikirimkan kepada beliau sebelum beliau menulis kata pengantar.Β  Jadi ada proses yang beliau lakukan sebelum menulis kata pengantar ini..

Mengapa saya menyalinkan Kata Sambutan ini di blog saya…?Β  Agar kita, terutama generasi muda Angkola bisa melihat, memahami bahwa Bahasa Angkola itu pernah begitu maju.. Kemajuan itu pasti disebabkan adanya orang-orang cerdas, orang-orang intelek..

Selamat menikmat…Β  Semoga terinspirasi…

Β KATAΒ SAMBUTANΒ EDISIΒ KEDUA

Β SekaliΒ lagiΒ iniΒ merupakanΒ suatuΒ kehormatanΒ bagiΒ sayaΒ dimintaΒ untukΒ  membuatΒ KataΒ SambutanΒ padaΒ KamusΒ Angkola/IndonesiaΒ yangΒ  sekarangΒ hadirΒ dalamΒ edisiΒ keduaΒ denganΒ revisiΒ penambahanΒ 500Β  kataΒ baru.Β SepertiΒ yangΒ pernahΒ sayaΒ sampaikanΒ padaΒ tulisanΒ pembuka sayaΒ diΒ edisiΒ pertamaΒ kamusΒ ini,Β yangΒ terbitΒ tahunΒ 2004Β lalu,Β kamusΒ  sepertiΒ iniΒ akanΒ sangatΒ dibutuhkanΒ olehΒ orangΒ TapanuliΒ danΒ AngkolaΒ  diΒ berbagaiΒ kota,Β paraΒ generasiΒ mudaΒ yangΒ adaΒ diΒ daerahΒ tersebut, danΒ dalamΒ jagadΒ keilmuanΒ sepertiΒ linguistik,Β antropologi,Β sastraΒ danΒ lmuΒ  pengetahuanΒ sejarahΒ diΒ IndonesiaΒ danΒ seluruhΒ dunia. KamusΒ iniΒ disusunΒ denganΒ cermatΒ setelahΒ dilakukanΒ kerjaΒ lapanganΒ danΒ  pengujianΒ dariΒ buku-bukuΒ pentingΒ yangΒ berkaitanΒ denganΒ pembuatanΒ  kamusΒ ini,Β sepertiΒ novelΒ berbahasaΒ AngkolaΒ yangΒ terbitΒ tahunΒ 1920anΒ  yaituΒ novelΒ SittiΒ Djaoerah,Β Β yangΒ tentunyaΒ tidaklahΒ dibuatΒ hanyaΒ untukΒ  menjadiΒ bukuΒ yangΒ menyimpanΒ banyakΒ kataΒ namunΒ dibiarkanΒ berdebuΒ  diΒ rakΒ buku.Β Β Kiranya,Β kamusΒ sepertiΒ KamusΒ Angkola/IndonesiaΒ iniΒ dapatΒ  menjadiΒ katalisatorΒ yangΒ memperkayaΒ khasanahΒ BahasaΒ IndonesiaΒ  dalamΒ  kehidupanΒ masyarakatΒ saatΒ iniΒ danΒ jugaΒ masyarakatΒ  dariΒ berbagaiΒ  latarΒ belakang.

KamusΒ sepertiΒ iniΒ jugaΒ dapatΒ membantuΒ paraΒ siswaΒ disekolah.Β Β  MerekaΒ dapatΒ menemukanΒ betapaΒ banyaknyaΒ buku-bukuΒ bahasaΒ  Angkola diΒ TapanuliΒ danΒ MedanΒ yangΒ dibuatΒ selamaΒ masaΒ  penjajahanΒ  Belanda, sejakΒ tahunΒ 1910anΒ sampaiΒ awalΒ tahunΒ  1940an.Β  SayaΒ sangatΒ berharapΒ  buku-bukuΒ luarΒ biasaΒ sejenisΒ  iniΒ jugaΒ dapatΒ dicetakΒ ulang.

SelainΒ itu,Β kamusΒ yangΒ luarΒ biasaΒ danΒ memuatΒ ilmuΒ pengetahuanΒ luasΒ  sepertiΒ kamusΒ ini,Β memilikiΒ sisiΒ estetikΒ berbahasaΒ orangΒ SumateraΒ yangΒ  baik, jugaΒ dapatΒ membantuΒ paraΒ sarjanaΒ kitaΒ diΒ Indonesia.Β DanΒ lebihΒ  dariΒ padaΒ itu,Β  kamusΒ iniΒ jugaΒ bisaΒ melestarikanΒ kembaliΒ atauΒ  menjagaΒ Β naskah-naskahΒ pentingΒ padaΒ masaΒ lampau.Β  PadaΒ masaΒ dahuluΒ itulahΒ bahasaΒ sepertiΒ  bahasaΒ AngkolaΒ BatakΒ  digunakanΒ secaraΒ intensifΒ padaΒ novel,Β koran,Β bukuΒ  pelajaranΒ danΒ  ceritaΒ rakyat.Β KaryaΒ sastraΒ denganΒ bahasaΒ daerahΒ sepertiΒ inilahΒ  yangΒ kurangΒ dikenalΒ sekarang,Β bahkanΒ diΒ Indonesia.Β  NovelΒ modernΒ berbahasaΒ  IndonesiaΒ sepertiΒ novelΒ M.Β RusliΒ  SitiΒ NurbayaΒ  danΒ novelΒ milikΒ SipirokΒ sendiri,Β  AzabΒ danΒ SengsaraΒ (olehΒ MerariΒ Siregar)Β merupakanΒ bacaanΒ populerΒ  untukΒ  paraΒ pembacaΒ umumΒ danΒ siswaΒ sekolahΒ menengah,Β  namunΒ novelΒ berbahasa AngkolaΒ danΒ novelΒ berbahasaΒ jawaΒ  (misalnya) tidakΒ dikenalΒ luas.Β  KamusΒ sepertiΒ inilahΒ yangΒ dapatΒ membantuΒ paraΒ pembacaΒ  mencernaΒ bahasaΒ  atauΒ kataΒ yangΒ adaΒ dalamΒ bukuΒ atauΒ novelΒ  terbitanΒ  lamaΒ tersebut,Β yangΒ tidak hanyaΒ dapatΒ mengetahuiΒ  sekedarΒ  katanyaΒ sajaΒ tapiΒ jugaΒ sisiΒ estetikΒ dariΒ  maknaΒ kataΒ  atauΒ bahasanyaΒ bagiΒ seluruhΒ pembacaΒ diΒ IndonesaΒ maupunΒ  diΒ dunia.

AdaΒ halΒ baruΒ padaΒ KamusΒ Angkola/IndonesiaΒ edisiΒ keduaΒ ini,Β  yaituΒ interaksinyaΒ  yangΒ baikΒ terhadapΒ beragamΒ daftarΒ danΒ  levelΒ pidatoΒ (bahasa)Β Angkola.Β  ParaΒ penelitiΒ kamusΒ tidakΒ hanyaΒ mencariΒ danΒ merangkumΒ  bahasaΒ danΒ  percakapanΒ AngkolaΒ sehari-hariΒ tetapiΒ jugaΒ  beragamΒ halΒ mengenaiΒ seniΒ  berpidatoΒ yangΒ tinggi,Β  sahutΒ menyahutΒ osong-osongΒ danΒ senandungΒ ratapanΒ  andung.Β  DalamΒ halΒ iniΒ penulisΒ menggambarkanΒ secaraΒ mendalamΒ tentangΒ  novel-novelΒ berbahasaΒ AngkolaΒ yangΒ terbitΒ sejakΒ tahunΒ 1910anΒ  sampaiΒ 1930anΒ  (yaituΒ padaΒ karyaΒ M.J.Β SutanΒ HasundutanΒ  SittiΒ Djaoerah,Β yangΒ sudahΒ disebutkanΒ  diatas,Β  danΒ jugaΒ karyaΒ SutanΒ PangurabaanΒ PaneΒ TolbokΒ Haleon). MerekaΒ jugaΒ menggambarkanΒ karyaΒ lamaΒ sepertiΒ milikΒ WillemΒ  IskandarΒ SiΒ Bulus-Bulus,Β SiΒ Rumbuk-rumbuk;Β  buku-bukuΒ sekolahΒ dialekΒ  MandailingΒ dasarΒ yangΒ pertamaΒ kaliΒ  diterbitkanΒ padaΒ tahunΒ 1872. BukuΒ tersebutΒ sudahΒ tersebarΒ luasΒ diseluruhΒ PadangsidimpuanΒ  danΒ Sipirok,Β  karenaΒ dialekΒ MandailingΒ cukupΒ dekatΒ  denganΒ dialekΒ Angkola.Β  BukuΒ sekolahΒ tersebutΒ diajarkanΒ padaΒ generasiΒ mudaΒ hinggaΒ  akhirnyaΒ dilarangΒ  olehΒ PemerintahΒ KolonialΒ BelandaΒ yangΒ  menganggapΒ bahwaΒ bukuΒ ituΒ merupakanΒ  bukuΒ pemberontaKβ€”BelandaΒ menganggapΒ bahwa ayat-ayatΒ yangΒ adaΒ pada SiΒ Bulus-Bulus dikutipΒ kembaliΒ secaraΒ rahasiaΒ diΒ seluruhΒ Tapanuli SelatanΒ sebagai perkumpulanΒ yangΒ melawanΒ dominasiΒ  politikΒ kolonial.Β  SetelahΒ RevolusiΒ Nasional,Β WillemΒ IskandarΒ  tidakΒ hanyaΒ membahasΒ mengenaiΒ  laguΒ pujianΒ untukΒ TapanuliΒ  SelatanΒ  tapiΒ jugaΒ tentangΒ perjanjianΒ ekonomiΒ danΒ  politiknyaΒ yangΒ kembaliΒ disusun.

SeperiΒ kebanyakanΒ kamusΒ padaΒ umumnya,Β KamusΒ Angkola/ IndonesiaΒ sebelumnyaΒ jugaΒ sudahΒ pernahΒ diterbitkan.Β  AngkolaΒ enΒ MandailingΒ Bataksch-NederlandschΒ WoordenboekΒ karyaΒ  H.J.Β EgginkΒ terbitΒ tahunΒ 1936Β merupakanΒ kamusΒ AngkolaΒ klasik.Β  TetapiΒ sebagaiΒ seorangΒ sarjanaΒ BelandaΒ yangΒ bekerjaΒ diΒ zamanΒ  kolonial,Β EgginkΒ ternyataΒ tidakΒ menyentuhΒ aksesΒ keΒ upacaraΒ horjaΒ Β  yangΒ banyakΒ menampilkanΒ seniΒ berpidatoΒ ritualΒ yangΒ tinggi.Β Β  NamunΒ halΒ tersebutΒ dialamiΒ olehΒ keΒ empatΒ penelitiΒ kamusΒ  berikutΒ ini;Β Β ArdenΒ Siregar,Β gelarΒ BagindaΒ Habiaran;Β  PanangianΒ PaneΒ gelarΒ MangarajaΒ Habonaran;Β  Dr.Β AristidesΒ Marpaung;Β danΒ ParningotanΒ SiregarΒ gelarΒ BagindaΒ  HasudunganΒ OmpuΒ RajaΒ Oloan.Β MerekaΒ menikmatiΒ upacaraΒ horjaΒ  ituΒ secaraΒ langsung,Β karnaΒ merekaΒ sendirilahΒ siΒ oratorΒ ulungnya.Β  SayangnyaΒ sejakΒ terbitanΒ edisiΒ pertamaΒ tahunΒ 2004,Β  MangarajaΒ Habonaran,Β Dr.Β AristidesΒ MarpaungΒ danΒ BagindaΒ  HasudunganΒ OmpuΒ RajaΒ OloanΒ telahΒ meninggalΒ dunia.Β  BeberapaΒ warisanΒ merekaΒ akanΒ selaluΒ hidupΒ padaΒ proyekΒ kamusΒ  yangΒ membanggakanΒ ini,Β khususnyaΒ bagiΒ generasiΒ mudaΒ seluruhΒ dunia.

BapakΒ ArdenΒ SiregarΒ bergelarΒ BagindaΒ Habaran,Β yangΒ berusiaΒ  74Β tahunΒ padaΒ bulanΒ MeiΒ 2012,Β diberiΒ kehormatanΒ untukΒ membawaΒ  hasilΒ penelitianΒ timΒ keΒ edisiΒ keduaΒ kamusΒ ini.Β SebagaiΒ pembaca,Β kamiΒ  berhutangΒ rasaΒ terimakasihΒ kepadaΒ timΒ yangΒ telahΒ membantuΒ  kamiΒ untukΒ menyambungΒ kelezatanΒ sebuahΒ bahasaΒ yangΒ manaΒ  novelisΒ tahunΒ 1920anΒ SutanΒ HasundutanΒ pernahΒ sekaliΒ berkataΒ  β€œtabo”—benar-benarΒ lezat!

SusanΒ Rodgers,Β Ph.D. Professor,Β Anthropology,Β andΒ W.Β ArthurΒ Garrity,Β Sr.,Β Professor DepartmentΒ ofΒ SociologyΒ andΒ Anthropology CollegeΒ ofΒ theΒ HolyΒ Cross Worcester,Β MassachusettsΒ 01610Β USA

Kamus Angkola – Indonesia

Ini Kamus Angkola -Indonesia, cetakan ke-2, hasil karya Papa ku dan teman-temannya…Β Β  Salah satunya adalah almarhum Opung Baginda Hasudungan Siregar, salah seorang raja adat dari Bunga Bondar..

Kamus Papa

Pada cetakan ke-2 ini terdapat tambahan sekitar 500 kosa kata terhadap kamus cetakan yang pertama…Β Β  Dan dalam proses penyusunannya, Papa bekerja sendiri karena ketiga teman beliau sudah mendahului beliau…

Susan RodgersKata Pengantar di Kamus Cetakan ke-2 ini, sama seperti di cetakan pertama, diberikan oleh namboru bule :D, Prof. Susan Rodgers, seorang pencinta budaya Batak dari College of Holy Cross..Β  Alhamdulillah pada tahun 2013 yang lalu saya sempat mendampingi Papa bertemu dengan beliau yang singgah di Medan, saat beliau dalam perjalanan ke Bali untuk mendampingi mahasiswanya melakukan study tentang kain tradisional..

Sebenarnya ada satu kerja besar lagi yang harus dilakukan…. Apa? Menyusun versi sebaliknya… Kamus Indonesia – Angkola…Β  Tapi Papa kayaknya belum punya semangat ke arah sana…Β  Sepertinya dikerjain oleh seorang teman baiknya membuat beliau sebel, dan belum pulih…

Ceritanya, setelah kamus beliau jadi, salah seorang kenalan baik, dongan sahuta, yang saat itu berkiprah di lembaga legislatif di kampung minta agar Papa memperbanyak kamus tersebut untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan akan mendapat penggantian uang cetaknya dari dana APBD setempat.. Papa lalu menyerahkan beberapa ribu eksemplar ke orang tersebut, tapi sampai hari ini, ketika orang itu sudah tak lagi menjadi anggota legislatif, uang pengganti cetak itu tak pernah kembali..Β  πŸ˜€Β  Sempat siyy Papa minta temannya yang lain lagi untuk ngecek ke Pemda, apakah memang sudah ada anggaran untuk itu dan bagaimana perkembangannya..Β  Menurut teman Papa itu, uangnya sudah dianggarkan, bahkan sudah lama dicairkan… Β  entah siapa lah yang menerimanya.. πŸ˜€Β  Tapi hasil pengecekan Papa ke beberapa kenalannya yang berkiprah di dunia pendidikan di huta, sekolah mereka ada menerima kamus tersebut..

Kami, anak-anak Papa,Β  sudah bilang ke Papa untuk mengikhlaskan saja.. Yang penting kan bukunya sudah sampai di sekolah-sekolah., semoga bisa bermanfaat bagi generasi muda di sana…Β  Beliau setuju, dan berusaha melupakan uang beliau sekian puluh juta tak kembali…Β  πŸ˜€Β  Tapi ada yang tinggal di pikiran dan hati beliau… Beliau bilang, “Ngerinya negeri kita ini ya…. Orang tak lagi menghargai karya orang lain, yang dibuat bertahun-tahun dengan penuh cinta dan dedikasi…Β  Meski itu orang yang dia kenal..”

Ahhhh kalimat beliau itu membuat ingatanku melayang pada pemandangan yang sering ku lihat saat pulang ke rumah…Β  “Papa yang selalu membaca berbagai literatur bahasa Angkola, lalu mencatat kosa kata baru yang beliau temukan, mencari maknanya…Β  Lalu dengan tekun menghadapi laptop (mula-mula dulu komputer) di meja kerjanya menyusun kata-kata demi kata…Β  Dan itu bertahun-tahun”

Tapi aku yakin, suatu saat kamus ini akan jadi sesuatu yang sangat berharga di dunia pendidikan, dunia sastra Angkola..Β Β Β  We proud of you, Pa…***

PS ;Β  Buat teman2 yang ingin mengoleksi kamus ini, bisa menghubungi saya di FB : sondha. Harga Rp.150rb/eksemplar + ongkir (ongkirΒ  dapat teman-teman cek di siniΒ http://www.jne.co.id/)Β  ***

Tuku dan Bulang…

Apa itu TUKU…? Apa itu BULANG….?

Buat teman-teman yang tidk berasal dari Tanah Batak, tuku dan bulang adalah hal yang asing.. Kecuali teman-teman punya pergaulan dan pernah diundang ke pesta-pesta pernikahan yang menggunakan adat Angkola dan Mandailing..

Buat diri ku yang berdarah Batak Angkola…, bulang bukan hal yang asing.. Karena di usia belia, sekitar 10 tahun, aku pernah memakainya dalam salah satu horja (acara adat) yang diadakan keluarga ku..Β  Meski kadang suka salah sebut dengan bulung.. πŸ˜€Β  Padahal artinya beda banget… Bulung artinya daun…

Tuku Bulang 1

So…., apa itu Tuku dan Bulang…?

Tuku itu topi kebesaran adat batak Mandailing dan Angkola, biasa dipakai pengantin pria…Β  Sedangkan Bulang itu hiasan kepala yang dipakai pengantin perempuan…

Sebenarnya pakaian pengantin Batak Angkola dan Mandailing bukan hanya Tuku dan Bulang…, tapi ada perlengkapan lainnya.. Apa aja?Β  Gelang besar yang dipakai di lengan atas pada pengantin laki-laki, dan lengan bawah pada pengantin perempuan.Β  Pada pengantin perempuan juga ada hiasan dada, berupa deretan logam berhias yang disusun di atas kain beledru…, Ada juga penutup kuku, berupa logam yang dibentuk seperti kuku yang panjang dan berhias..Β  Oh iya, pengantin laki-laki dan perempuan juga dihias masing-masing dengan sepasang pisau yang bernama rencong dan tapak kuda.. Rencong…? Kaya orang Aceh yaa…Β  Hmmm…,Β  perlu dicari tahu niyyy, apa ada kedekatan budaya di antara suku2 ini…

Ceritanya, beberapa bulan terakhir,Β  aku sering melihat status ito Ardiyunus Siregar, seorang teman di FB yang berasal dan tinggal di Sipirok, yang menyiratkan kalau beliau adalah pembuat Tuku dan Bulang..Β  Aku ingin melihat kerajinan yang merupakan bagian dari budaya ku sendiri… Konyol rasanya ketika aku pergi kemana-mana, melihat berbagai aktivitas yang menyangkut kerajinan rakyat sebagai warisan budaya, tapi aku malah belum sempat melihat warisan budaya ku sendiri… πŸ˜€Β  Jadi saatΒ  akhir Desember 2014 aku pulang ke Sipirok untuk menemani Papa ziarah ke makam Mama dalam rangka 100 hari kepergian beliau, aku berniat untuk melihat pembuatan Tuku dan Bulang..

Masih dalam perjalanan ke Sipirok, aku berusaha menghubungi ito Ardiyunus Siregar, meminta kesediaan beliau untuk memberi diriku kesempatan untuk melihat aktivitas pembuatan Tuku dan Bulang..Β  Alhamdulillah beliau bersedia..Β  Beliau bilang rumahnya, tempat membuat kerajinan Tuku dan Bulang, berada di Jalan Padang Bujur..Β  Jalan itu gak asing buat kami sekeluarga..Β  Karena kalau lagi pulang kampung kami selalu ke Padang Bujur untuk mandi air panas..Β  Namun sebagaimana alamat sebagian rumah-rumah di kampung, tidak ada nomor rumah.., hanya ada ancer2nya saja…Β  πŸ˜€

Dalam perjalanan menuju ke air panas di Padang Bujur buat mandi pagi,Papa menunjuk sebuah rumah yang kami lewati.. Papa bilang. “Itu rumah teman alm tulang Sahrin.Β  Sebelum tulang mu meninggal dia suka ke situ buat mancing.Β  Papa beberapa kali diajak ke situ, tapi belum sempat.”

Songket1

Habis mandi air panas, Papa membantuku mencari alamat tersebut…Β  Tapi sepertinya tak ada yang bisa memberi informasi..Β  Kami lalu singgah di tempat kerajinan tenun motif Angkola binaan Indosat yang juga ada di Jalan Padang Bujur.. Kami bertanya-tanya di situ, tapi mereka juga tidak bisa memberi jawaban..Β  Aku kembali bertanya ke ito Ardiyunus, ternyata rumahnya ya itu, yang sering dikunjungi alm tulang Syahrin.Β  What a small world yaa…

Aku akhirnya berkunjung ke rumah itu.. Ditemui ito Ariyunus dan istrinya.. Mereka menunjukkan berbagai hsil pekerjaan mereka yang masih dalam proses..Β  Mereka juga menunjukkan bagaimana mengerjakannya…Β  Sungguh butuh keterampilan…Β  Tidak ada pola (pattern) yang diikuti… Semua motif mengikuti kebiasaan dan pikiran pengrajin..Β  Menurut ito Ardiyunus, dia mewarisi keterampilan itu dari ayahnya, yang juga pengrajin tuku dan bulang..Β  Dan menurut beliau hanya sedikit jumlah pengrajin Tuku dan Bulang yang masih ada di Sipirok.. Beliau saja hanya punya 3 orang pekerja..Β  Dengan 3 orang pekerja, beliau bisa menyelesaikan 1 set tuku dan bulang dalam waktu 3 hari kerja..

Tuku dan Bulang

Saat saya bertanya tentang filosofi yang ada pada motif-motif yang terdapat pada Tuku dan Bulang, ito Ardiyunus bilang dia juga belum paham.. Ada generasi muda yang mau belajar tentang hal ini…? Semoga ada yaa..Β  Supaya bisa lebih diapresiasi…

Tapi dalam candanya ito Ardiyunus bilang, “Bulang itu hadiah orang Batak buat boru (anak perempuan)nya.., sekaligus menunjukkan martabat kepada keluarga menantunya.. Karena pada zaman dulu, Bulang itu bulan gold plated, sepuhan, tapi emas beneran.. Dan lucunya, diserahkannya borunya kepada menantunya, tapi si boru dibekali satu set pisau..” Hahahaha…

Dengan perkembangan zaman…., dimana generasi muda banyak yang keluar dari kampung untuk bersekolah, lalu menetap dan bekerja di rantau, siapa yang akan mewarisi budaya yang agung ini yaa…?Β  Aku sempat mendiskusikan hal ini dengan ito Ardiyunus dan istrinya..Β  Juga sharing tentang peluang mengembangkan usahanya ini sebagai aktivitas ekonomi kreatif.. Misalnya dengan membuat inovasi berupa barang-barang yang bisa menjadi souvenir..Β  Semoga Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, mau membuka mata dan hati untuk melihat pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai kesempatan untuk membangun daerah dan mensejahterakan rakyat…Β  Apa lagi daerah ini berada di jalur yang strategis…, di antara 2 destinasi yang banyak diminati wisatawan, Danau Toba dan Bukit Tinggi..Β  Belum lagi oarang-orang Batak yang merantau entah kemana-mana, pasti ingin pulang kampung untuk berlibur dan mengenalkan kampung mereka pada anak cucunya…

Buat teman-teman yang berminat untuk melihat proses pembuatan tuku dan bulang saat berkunjung ke Sipirok, atau mau pesan, silahkan hubungi ito Ardiyunus di FB-nya ardiyunus.siregar.Β  Atau bisa juga menghungi saya,Β  saya dengan seizin ito Ardiyunus akan memberikan nomor telpon beliau… ***

Tugu Batakland English School…

Hari Kamis, 15 Desember 2011 aku melakukan perjalanan bersama Papaku..Β  Perjalanan yang akan penuh kenangan buat kami nantinya..Β  Ya kami melakukan perjalanan dari Sipirok ke Medan lewatΒ  jalur Pangaribuan..Β  Jalur yang sama sekali tak populer bagi para penempuh jalan Sipirok – Medan, atau sebaliknya..

Buat keluarga kami, jalur yang biasa kami tempuh adalah Sipirok – Tarutung – Siborong2 – Balige – Parapat – Tebing Tinggi – Lubuk Pakam – Medan.Β  Tapi di jalur ini ada ruas yang sangat tidak nyaman, yaitu ruas Aek Latong, yang berada di antara Sipirok dan Tarutung, hanya sekitar 15 km dari Sipirok.Β  Ruas semakin membuat tak nyaman di hati setelah beberapa bulang yang lalu di lokasi tersebut terjadi kecelakaan, sebuah bus ALS tergelincir dan menyebabkan 14 orang penumpangnya tewas.Β  Jalur lain adalah Sipirok – Padang Sidempuan – Sibolga – Tarutung dst.Β  Buat kami jelas jalur ini sangat tidak popuker karena…., muter bok…!! Perjalanan bertambah panjang sekitar 3 jam… Ogah laaahhh ya, kecuali gak ada pilihan.. πŸ™‚

Naaahhh, jalur Sipirok – Pangaribuan – Siborong2 – Balige dan seterusnya lah yang menjadi pilihan…Β  Dari Sipirok, kami bergerak ke arah Sibadoar, Bunga Bondar, Hanopan, Sipogu dan seterusnya…Β  Tak lebih 2 kilometer dari kampung Sipogu, Papa tiba-tiba menyuruh supir yang mengendarai mobil kami berhenti…Β  Papa lalu mengajak aku turun… Lalu menuju semak-semak yang padat di pinggir jalan…

Papa sambil menerabas semak2 di sekitar kami : “Di sini inang (= ibu, tapi dalam bahasa Batak sehari-hari biasanya digunakan oleh orang tua untuk memanggil anak perempuannya) ada tugu peringatan Batakland English School..Β  Sekolah Batak berbahasa Inggris..

Di balik semak-semak yang padat itu, kami menemukan tugu berwarna hijau tak terawat…. Mengenaskan…

Tugu Batakland English School di Sipogu – Sipirok dikelilingi semak…

Di tugu tersebut tertulis :

THE FIRST SCHOOL OF SEVENTH-DAY

ADVENTIST CHURCH IN SUMATERA

BATAKLAND ENGLISH SCHOOL

(BES)

1921

Jadi tempat tuguΒ  ini berada merupakan bekasΒ  lokasi Batakland English School, sekolah misi pertama di Sumatera.Β  Hasil surfing di dunia maya, ada seseorang yangΒ  bernama Jan S. Aritonang yang menulis tentang sekolah ini.. dan menurut beliau sekolah ini berlangsung pada tahun 1861 – 1940.Β  Terlepas dari ini merupakan sekolah misi, kehadiran sekolah ini menurut cerita yang didengar Papaku, berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa Inggris dan wawasan berpikir generasi muda Sipirok di zaman tersebut…Β  Sayangnya kalau tugu ini diabaikan begitu saja dan terbenam dalam rimbun semak dan ilalang… ***

Panganan Khas Sipirok..

Ini sebuah pic yang terdapat di antara sederetan pics digital yang dibuat saat pulang kampung ke sipirok beberapa waktu yang lalu… Pic sebuah piring yang berisi 3 dari beberapa jenis panganan khas sipirok : panggelong, lemang dan lapet.. Panganan ini meski khas Sipirok tapi tidak setiap hari bisa diperoleh. Biasanya hanya ada dijual pada Poken (pasar) Kamis.

Panggelong itu sejenis makanan yang terbuat dari adonan tepung (beras or terigu?) dengan gula aren yang di goreng lalu di bagian luarnya dibalur lagi dengan gula aren. Rasanya manis… Khusus panggelong selain pada Poken Kamis juga bisa didapat setiap sore di sebuah warung di bagian pangkal Sipirok, bila kita datang dari Medan.

Lemang di Sipirok hampir sama dengan lemang di Riau. Terbuat dari ketan yang dimasak dengan santan plus sedikit garam dan dicetak dalam bambu yang dilapisi daun pisang lalu dibakar. Tati ingat banget waktu kecil setiap tahun baruan almarhum Opung membuat sendiri lemang dan juga dodol. Di Sipirok, lemang dimakan begitu aja, sementara di Riau lemang dimakan dengan tape pulut itam. Dirumah Pekanbaru kita malah biasa menikmati lemang dengan rendang daging. Paduan rasa keduanya maknyooosss…..

Lapet atau kalo didaerah lain disebut lepat. Di Sipirok lapet tuh ada 2 macam, lapet dari ketan yang diisi kelapa dan gula merah dan lapet yang terbuat dari tepung beras dicampur gula aren. Kalo Tati lebih senang makan lapet tepung beras dicampur gula aren. Lapet jenis yang terakhir ini ada juga yang dicetak dalam bambu dilapis daun pisang… Rasanya…. Hmmmmmm lezat…

Ada satu lagi kue khas Sipirok, yang kayaknya gak ada di daerah lain.. Kue apaan…? Kue angka 8. Terbuat dari tepung beras dibarur ama tepung gula . Teman-teman akan dapat menemukannya dengan mudah di toko2 di pasar Sipirok.

Di Sipirok juga ada cemilan yang terkenal dari generasi ke generasi. Berupa kerupuk singkong yang dioles sambel dicampur ebi. Namanya Sambal Taruma, karena konon dulunya dibuatnya di bagian atas rumah. Cemilan ini seperti juga kue angka 8 sangat mudah ditemui di Pasar Sipirok.

So, kalo mau pulang kampung ke Sipirok silahkan direncanakan sedemikian rupa agar sempat merasakan panganan-panganan khas yang hanya dijual di Poken Kamis. Kalo enggk, rasanya rugi…..!!!

Berlumpur di Aek Latong

Hari Kamis 26 Juni 2008, jam 12.30-an pesawat Linus yang membawa Tati dari Pekanbaru mendarat di Medan. Ternyata Enek (Mamanya Tati) dan Mami Uli beserta pasukan sudah beres-beres… So, menjelang magrib kita bergerak menuju Sipirok..

Kita bergerak dengan 2 mobil. Di mobil pertama penumpangnya adalah Enek, Tati, Samuel, Mbak Mintje (yang bantu-bantu ngurus Enek), penumpang di mobil kedua Mami Uli, Esther, Ananda, Monnic dan Kak Evi (baby sitter-nya Monnic). Di tengah jalan, Ananda pindah ke mobil pertama.

Dari Medan sampai Tarutung jalannya ok, meski ada beberapa lubang2 di beberapa ruas jalan.. Tapi begitu keluar dari Tarutung, mulai deehhh…. Jalannya ancur dan berkabut pula… Sejak kita dari Medan, kita udah rada confused, dari Tarutung ke Sipirok apa mau lewat jalur Pahae atau mau lewat Sibolga-Padang Sidempuan. Jalur Pahae jalannya rusak, terutama di Aek Latong. Sedangkan jalur Sibolga-Padang Sidimpuan jarak tempuhnya lebih jauh dan jalannya sempit…

Papi David dan rombongan yang berangkat sehari sebelumnya sempat terjebak di situ. Ada beberapa truck yang nyangsang di lumpur dan gak kuat nanjak, akibatnya mobil lain gak bisa lewat. Sementara mesin derek yang memang disediakan pemerintah di jalur tersebut pada waktu itu sulit difungsikan karena hujan yang turun terus menerus membuat petugas sulit bekerja.

Rombongan Papi David yang terdiri dari Mami Nana, Aldy, Abner, Ajere, Baby sitter-nya Ajere, Akung & Uti (orang tuanya Mami Nana), Amanda (adik bungsunya Mami Nana), terjebak di situ selama beberapa jam.

Ajere yang baru berusia 2 bulan 3 minggu, terpaksa dibungkus popok tebal-tebal dan selimut karena dingiinnn banget…. Umur 2 bulan aja dia udah dibawa Papi-nya off road. Benar-benar boru hasian Papi. Hehehe.. Untungnya kondisi Ajere prima, jadiΒ  di cuaca yang sangat dingin tidak berdampak apa-apa pada kesehatannya.. Ajere benar-benar orang Sipirok… biar masih bayi juga gak apa-apa dibawa berdingin-dingin di alam terbuka..

Aldy dan Abner…? Jangan ditanya… Kata Papi David mereka malah sorak-sorakan waktu melintasi lumpur.. Mereka bilang, β€œAsyik ya Pi, kita off-road.. Coba kalo mobil kita yang di Samarinda bisa kita bawa ke sini, pasti asyik banget off-road-nya…!!”. Dasar barudak…, mereka gak tau kalo Uti aja ketar ketir sampai tensinya naik.

Naahhhh giliran rombongan kita niyy… Kita cemas, karena nggak bisa ngebayangin akan ngedorong Enek di kursi roda melintasi Aek Latong, kalo ternyata jalurnya macet karena lumpur dan hujan. Tapi sms Odang menjelang kita masuk Tarutung membuat kita memutuskan menempuh jalur Tarutung-Pahae-Sipirok, karena pantauan Odang malam itu jalur Aek Latong lancar…

Ternyata oh ternyata, saat kita sampai di Aek Latong sekitar jam 04.30 pagi, ada dua buah bus besar yang menuju arah Tarutung yang nyangsang di Lumpur. Kedua bus tersebut menutup kedua jalur yang ada… Waduuuuhhhhh…. Kita kebingungan… Mau ngasi tau Odang, gak ada sinyal sama sekali… Akhirnya kita berdiam di dalam mobil menunggu matahari terbit, sambil membiarkan anak-anak tetap terlelap…

Jam 05.30, saat matahari mulai terbit, Mami Uli mengajak Tati mencari Odang untuk meminta bantuan agar romobongan bisa dievakuasi.. Kami berdua lalu keluar dari mobil, berjalan kaki di bawah rintik hujan menyusuri turunan pertama yang berlumpur… Kami berdua melepaskan sendal2 kami, dan berjalan menginjak lumpur tanpa alas kaki. Tati melipat celana panjang sampai ke lutut.. Mami Uli…? Dia pakai rok jeans selutut…, kebayang gak siyy repotnya doski… Jangan Tanya betapa sulitnya berjalan di atas tanah berlumpur…, licin banget… Tati takut sekali, takut terjatuh lalu terbanting… I’m old now… Kayaknya tubuh udah gak kuat kalo kebanting-banting.. Sementara beberapa lelaki β€œtak berhati” meneriaki dan menyorak-nyoraki Tati dan Mami Uli yang berjalan tertatih2 di atas lumpur…

Kami berdua akhirnya bisa melewati 2 turunan dan 2 tanjakan dengan selamat… Jangan tanya bagaimana penampilan kita… Baju basah karena hujan bercampur keringat, kaki berlumpur… Udah gitu, ternyata handphone Mami Uli mati karena low batt, sementara hp Tati gak ada sinyal sama sekali. Jadi setelah melewati Lumpur, kami tetap belum bisa menghubungi Odang. Kami lalu mendekati sebuah mobil Sibual-buali kecil, yang sedang berhenti di ujung Aek Latong.. Ternyata si supir sedang menjemput seseorang. Kami lalu membujuknya untuk mengantarkan kami ke rumah Opung di Sipirok, yang cuma berjarak beberapa belas kilo. Si bapak supir meminta kami untuk membayar Rp.100 ribu. Karena gak punya pilihan kami pun mengiyakan..

Sampai di Sipirok ternyata Papa udah gak ada di rumah.. Biasanya Papa pagi-pagi pergi mandi air panas (air belerang) di Padang Bujur. Kita lalu memutuskan untuk pergi ke hotel Tor Sibohi, karena Papi David dan rombongan nginap di sana. Ternyata supir gak mau nganterin kita ke hotel karena dia katanya ada urusan lain. Kami lalu minta di turunkan di pertigaan Pasar Sipirok, lalu naik becak ke hotel Tor Sibohi… Waduuuhhh… Rasane rak keru2an… Dua emak-emak gendut duduk dalam becak yang sempit, mana kondisi kita berantakan banget… Menjelang sampai di pintu gerbang hotel, kita melihat sebuah Innova keluar dari hotel.. Insting Tati membuat Tati berteriak dan melambai-lambaikan tangan, padahal Tati gak tau mobil apa yang digunakan rombongan Papi David. Innova tersebut lalu menepi dan berhenti…, dan dari bagian tempat duduk pengemudi keluar…. PAPI DAVID… Udah lama banget gak ngalami rasa lega seperti ini saat menemukan salah seorang anggota keluarga kita.. Hehehe…

Papi David ternyata mau ke permandian air panas di Padang Bujur karena udah janjian dengan Odang di sana. Kami lalu dibawa ke sana. Papa lalu menyuruh Tulang Lubis dan Lukas (orang Lombok yang kerja pada keluarga kita dan ditugaskan menjaga rumah di Sipirok) menemani Mami Uli pergi ke tempat makan langganan Odang, membeli sarapan buat rombongan plus membawakan setermos air panas buat susu anak2 yang terkurung di Aek Latong. Tati dan Papi David menyusul ke Aek Latong setelah Odang dan Papi David selesai mandi, dan mengantarkan Odang pulang ke rumah.

Alhamdulillah, saat kita kembali ke Aek Latong jalan sudah terbuka kembali. Salah satu bus yang nyangsang di lumpur telah ditarik, sehingga mobil rombongan kita bisa melewati jalan yang dasyat tersebut. Rombongan langsung dibawa ke hotel Tor Sibohi yang udah kita reservasi.. Kita mutusin buat nginap di sana karena fasilitas di rumah Opung rasanya sulit buat menampung rombongan circus (anak-anak) yang rame banget..

Begitu ngeliat Papi David, Enek langsung ngomel-ngomel.. Enek bilang β€œUdah tau Mama mau datang, kok kamu gak nungguin di Aek Latong dari tadi malam…?!!” Hayaaahhhh…. Dasar ibunda Ratu… Kita memang paling cemas dengan kondisi Mama, karena setelah serangan stroke setahun yang lalu Mama belum pernah berjalan sejauh ini.. Mana Mama tuh hanya bisa menggunakan closet yang duduk, karena lutut kanan gak bisa ditekuk.. Bisa ngitung gak siyyy kira2 ada berapa tempat makan di sepanjang jalan antara Medan-Sipirok yang punya closet duduk? Kebayang gak siyy gimana kalo Mama harus terkurung di Aek Latong berjam-jam…? Alhamdulillah perjalanan kami berakhir dengan baik, meski ada sedikit petualangan.. Hehehe..

Ini foto-foto Aek Latong yang Tati ambil saat mau kembali ke Medan, tanggal 4 Juni yang lalu. Menurut Pak Zuharnen dosen Tati di penginderaan Jauh UGM, yang pernah survey di daerah ini, Aek Latong merupakan daerah sesar, sehingga selalu terjadi pergeseran kulit bumi, ditambah lagi dengan gempa beberapa waktu yang lalu, plus hujan yang turun… Mantap sudah… (ini ucapan Samuel yang logatnya Samarinda banget, kalo berkomentar tentang sesuatu yang luar biasa… hehehe..). Tapi kejadian ini tidak membuat kapok untuk tetap kembali dan kembali ke Sipirok, atau malah mengambil jalan muter lewat Sibolga-Padang Sidimpuan.. Kami tetap cinta Sipirok dan jalur perjalanan Tarutung-Pahae-Sipirok alias lewat Aek Latong .. Hehehe..

Tulisan di Depan Rumah..

Hari ini Tati ngeliat ada comment di postingan ini…, dari Andy Pangihutan Harahap. Ternyata Andy ini masih ada hubungan keluarga dengan Tati.. Tepatnya, Papa-nya Andy adalah sepupu Papa & Mama Tati.

Andy nanya apa tulisan asli (dalam bahasa Batak) dari quotation yang ditulis oleh buyut kita dan kemudian digantung di dinding rumah beliau di Hanopan, seperti yang Tati tulis di postingan ini

Nah… ini pic dari tulisan tersebut yang dicrop dari pic Mama, Kak Lintje dan Ira saat kita berkunjung ke sana pada akhir Desember 2006…


Buat Andy, keep contact ya.. Salam buat Tulang Pasti dan keluarga..

Upah-upah…

Apa itu Upah2…?

Dalam adat batak, kalau seseorang akan atau telah melalui satu tahap kehidupan biasanya diberi “upah2” oleh keluarganya.. Misalnya lulus sekolah, menikah atau lain-lainnya. Upah2 kayaknya berasal dari kata “upah” ya..?
Mungkin ini sebabnya kalo becanda orang batak tuh suka dibilang.. “Dasar Batak Upah!!!”. Hehehe.. Abis apa2 diupah sih..

Upah-nya apaan ?
Nasi lengkap dengan ayam bakar utuh (gak dipotong2 plus hati & kalang-nya), lalu ikan mas yang diarsik (yang ini khas-nya orang angkola, secara kita gak makan si piggy ekor melintir), telur rebus, udang yang gede2.., semua dihidangkan di piring besar.. Hmmmmm bikin air liur menitik… Biasanya pada saat Upah2 itu diberikan…, para orang tua menyampaikan nasehat2 kehidupan buat bekal kita di masa yang akan datang..

Waktu Tati, lulus S1..
Keluarga besar, 3 anak laki2nya Opung Lintje (Opungnya Tati) kumpul semua di rumah abangnya Papa, (alm) Anwar Siregar, di Bangka Jakarta Selatan. Lucunya semua abang2 (3 orang) yang waktu itu pada belum lulus sekolah (karena pada kerja dan ada juga yang keasikan main..), diwajibkan untuk hadir di acara wisuda di Widya Graha Bogor… juga adik2. Mungkin maksudnya supaya pada termotivasi, ya..? Tati lah yang beberapa hari sebelumnya mabok nyari undangan tambahan. Karena jatah dari kampus kan cuma 1. Para ponakan yang masih imut2 pada ikut juga ke Bogor, cuma mereka nunggu sambil berenang di hotel Pangrango, di depan tempat kost Tati. Heboh gak siihhh keluargaku….?

Nah…, malamnya… Yang wisuda dikasi jatah “Upah2”..
Selain anggota 3 keluarga Siregar.. Hadir juga para Opung2 dan Uwak2, Tulang2, Tante2, Bujing2 dari keluarga Harahap Hanopan, lengkap dengan pasangannya masing2 plus anak2nya.. Kok, banyak keluarga Hanopan? Karena Opung (ibunya Papa) boru Harahap dari Hanopan. Lalu, Mama juga boru Harahap dari Hanopan. Papa dan Mama tuh sepupuan alias pariban. Ramai, seru dan heboh… Rasanya setelah itu kita gak pernah kumpul selengkap itu lagi.. Karena satu per satu telah berpulang…, yang tersisa pada sibuk dengan rutinitas masing2 serta tinggal di kota2 yang terpisah… Hiks..

Sebelum acara makan bersama, Tati yang disuruh duduk di pusat pandangan semua anggota keluarga, lalu di depannya diletakkan Upah2 yang udah disiapin Mama dan Mak Tuo Jakara (Ny. Anwar Siregar). Pemberian Upah2 disertai nasehat dari para orang tua, mulai dari yang paling senior… dan ditutup oleh Papa. Papa juga memberi penjelasan arti dari semua jenis makanan yang dihidangkan dalam Upah2. Tati lalu disuruh mencicipi semua jenis makanan yang ada dalam Upah2, sesuai arahan Papa. Setelahnya, Upah2 tersebut dimakan bersama abang2 dan adik2 serta saudara2 lain, terutama yang juga masih sekolah.. Dengan harapan mereka juga akan memperoleh berkat dari Upah2 tersebut. What a beautiful family tradition…***

Here some old and memorable pics…

Tati lagi dikasi Upah2 sama Papa

Tati nyicipin Upah2 ditontonin sama Opung2, Uwak2, Abang2 dan Adik2


Keluarga yang hadir…



L to R : Bujing Dewi (Adik bungsu Mama), Tante Grace (sepupu Mama), Mama, Wak Ida (Kakak Mama paling tua)

Kamus Papa

Papa, Arden Siregar Glr. Baginda Habiaran

Rabu, 08 Agustus 2007
Jam 17.30an lewat dikit…
Tati telpon Papi David yang masih di Medan…
Tati : β€œGimana Papa, dek?”
Papi David : β€œUdah baikan kak. Obat buat penyembuhan saluran darah tinggal 3 kali lagi. Hasil scan juga menunjukkan tidak ada masalah. Papa cuma harus istirahat, minimal 3 bulan. Papa juga gak boleh nyetir lagi.”
Tati : β€œIya tuh, terlalu resiko lah Papa nyetir ke sana sini umur segini. Gimana caranya ya? Papa kan gak bisa diam…”
Papi David : β€œIya sementara Ivo dulu lah kak. Mungkin udah waktunya Papa pake supir aja ya… Kakak kalo libur, pulang dulu lah biar Papa ada supirnya.. Gimana ?”
Tati : β€œYa udah, nanti libur 17an aku pulang aja dulu.. Tadinya aku mau reunian ama teman2 kost ku waktu di Cirahayu 5. Tapi Papa lebih penting lah.. More than anything…!!!”

Papa tuh orangnya gak bisa diam…, so restless…!!! Setelah pensiun tahun 1995, Papa aktif di beberapa organisasi masyarakat. Papa juga ditunjuk menjadi bendaharawan suatu yayasan yang mengelola suatu perguruan tinggi swasta di Medan. Untuk urusan keluarga, Papa juga melakoni tanggung jawabnya dalam soal adat. Secara Papa adalah poparan (keturunan) Sutan Barumun Muda yang paling senior saat ini. Belum lagi tanggung jawabnya sebagai anak boru (menantu) keluarga Harahap dari Hanopan. Papa juga harus bulak-balik ke Sipirok untuk memantau peninggalan keluarga yang ada di kampung… Gimana Papa gak lelah…

Ada satu minat Papa yang sangat besar…, yaitu pada bidang kebudayaan.. (Tati dulu sempat terkagum2, karena Papa hapal nama2 dewa/dewi Yunani dan Mesir…!!! Jadi kalau ngisi teka teki silang ada pertanyaan soal dewa/dewi, tanya aja sama Papa..)
Pada pertengahan tahun 2004, Papa dan beberapa temannya telah menyelesaikan penyusunan β€œKAMUS ANGKOLA INDONESIA”. Kamus ini adalah bahasa Angkola – bahasa Indonesia.

Bahasa Angkola? Iya, Angkola merupakan salah satu bahagian dari etnis Batak, selain Batak Toba, Mandailing, Batak Karo dll. Secara geografis, orang Angkola menetap di daerah Sipirok, diantara wilayah Batak Toba dan wilayah Mandailing. Orang Batak Toba bermukim di sekitar Danau Toba, sedangkan orang Batak Mandailing berada di perbatasan Sumatera dengan Sumatera Barat. Pada saat ini, daerah sebaran orang Batak Angkola, telah menjadi Kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Sipirok Angkola dengan ibu kota Kabupaten (Pasar) Sipirok.

Tati gak tau persis berapa lama Papa menyusun kamus ini. Tapi seingat Tati, Papa telah menyerahkan pembuatan database-nya pada Papi David sejak tahun 1999, sedangkan Tati kebagian membuat layout covernya… Papa menyerahkan kepada Tati sepenuhnya mau seperti apa design cover tersebut, cuma harus ada gambar rumah adat sipirok dan gambar gajah. Gambar gajah ? Ya, karena hikayatnya, Mangaraja Parjanjian, leluhur Tati yang membuka kampong Sibadoar datang ke daerah tersebut dengan naik gajah putih. Dan untuk memperingatinya, di kampong Sibadoar pada tahun 1985 dibangun tugu keluarga Siregar dalam bentuk gajah putih. Tati lalu memutuskan untuk menggunakan hasil scan ulos Batak Angkola sebagai background. Kenapa Ulos Angkola? Karena ulos Batak Angkola juga berbeda dengan ulos Batak yang lain. Ulos Batak Angkola lebih berwarna.., lebih cerah…


Kamus ini diberi Kata Sambutan oleh Dr. SUSAN RODGERS, Professor Anthropology, Director Asian Studies, College of the Holly Cross, Worcester, Massachusetts, USA. Menurut Professor ini, β€œKamus Batak Angkola sebelumnya adalah Kamus Batak Angkola dan Mandailing/Belanda karangan H.J. Eggink’s tahun 1936 Angkola en Mandailing-Bataksch/Nederlandsch Woordenboek. Jadi terjemahan ke Bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. Namun kamus yang baru ini menurut Susan, juga lebih mempunyai kedalaman budaya dan leksikal, dengan pandangan khusus mengarah pada warisan oratoris Batak Angkola.β€œ

Satu hal lagi, menurut Professor Rodgers, β€œKamus ini memberikan generasi Batak Angkola yang tersebar di seluruh Indonesia dan dunia, gudang pengetahuan yang berharga mengenai bahasa mereka yang luar biasa. Mengingat lebih dari 300 Bahasa Daerah yang ada di Indomesia, yang tadinya punya kompetensi penuh sebagai bahasa sehari-hari, perlahan-lahan digantikan oleh Bahasa Indonesia bahkan Bahasa Inggris.” Dengan kata lain, Bahasa Angkola, sebagaimana Bahasa Daerah lainnya di Indonesia perlahan-lahan akan ditinggalkan oleh generasi muda Batak Angkola. Kamus ini merupakan salah satu dokumentasi Bahasa Angkola, dengan harapan bahasa ini kelak tidak akan musnah ditelan zaman..

Bagi teman2 yang ingin memiliki kamus ini (waduh…, promosi nih…!! tapi gak apa2 deh, demi mempublikasikan karya Papa plus dalam rangka melestarikan Bahasa Batak Angkola), bisa menghubungi…

Ivo Siregar
Medan City Galerry
Jl. Sei Bingei No. 41 Medan
Telepon : 061-4521589
Email: redsagacraft@yahoo.com***

Ketemu Opung BS

Opung BS

Rabu, 1 Agustus 2007, sore hari. Papa, ditemani Papi David dan Mami Nana, mau ke hotel Emerald di Jl. Putri Hijau Medan buat nemuin Opung BS. Mama nyuruh Tati ikut nemuin Opung BS, karena sudah lebih dari 12 tahun gak ketemu. Belum tau kapan lagi ada kesempatan ketemu Opung yang satu ini. Siapa sih Opung BS? Apa itu BS?

Opung BS adalah saudara laki2 ayahnya Mama, sekaligus saudara laki2nya ibunya Papa? Lho kok? Iya.., Papa dan Mama itu adalah saudara sepupu alias pariban. Mereka menikah karena dijodohkan.

BS adalah singkatan Bachtiar Syamsul plus Harahap (marganya). Opung ini dan Opung Tiurma adalah 2 anak dari Tuongku Mangaraja Elias Harahap yang masih ada.. Yang lain udah pergi semua. Seingat Tati, opung BS bersaudara adalah sebagai berikut :

  1. Opung Mamanya Paulina. Perempuan. Tati gak pernah ketemu, beliau meninggal saat masih muda. Makamnya beberapa tahun yang lalu dipidahkan ke pemakaman keluarga di Hanopan. Karena beliau anak tertua dan memberikan cucu pertama bagi orang tuanya, maka buyut Tati dipanggil dengan nama Opung ni Paulina.

  2. Opung Dinar. Perempuan. Tati terakhir ketemu saat pemakaman Pak Tuo Duren Bangka (abang Papa) bulan Maret1994, setelahnya sampai Opung Dinar meninggal Tati gak pernah ketemu. Opung ini dimakamkan di Tanah Kusir. Keluarga Opung Dinar tinggal di Bintaro Jakarta. Anak Opung ini yang Tati pernah ketemu adalah Uda Edward dan Tante Lily.

  3. Opung Lintje alias Menmen. Perempuan. Nah yang ini adalah ibunya Papa. Kok dipanggil Opung Lintje? Ya, karena kak Lintje adalah cucu paling tua. Opung meninggal bulan Maret 1988. Opung dimakamkan di pemakaman keluarga Siregar di Sibadoar.

  4. Opung Mamanya Wak Gajah. Tati juga gak pernah ketemu sama Opung yang ini, karena beliau meninggal sebelum Tati lahir. Tapi Tati dulu sering banget ketemu sama anak beliau yang kita panggil Wak Gajah. Wak Gajah ? Hehehe. Iya, uwa yang ini nama sebenarnya Syamsir Siregar, tapi karena badannya tinggi besar beliau dari kecil dipanggil si Gajah. Beliau juga rada kebule2an, dan memang beliau masih warga Negara Belanda sampai saat ini.

  5. Opung Bagon alias Baginda Hanopan. Anak Laki2 tertua. Opung ini adalah salah satu korban romusha. Beliau menyerahkan dirinya sebagai utusan kampungnya untuk menjadi Romusha, dan dipekerjakan di daerah Lirik, Riau untuk pembangunan jalan kereta api. Ketika ada kesempatan Opung ini dan beberapa temannya melarikan diri, dan kembali ke kampungnya dengan berjalan kaki berminggu2, menempuh hutan belantara Sumatera. Opung ini meninggal tahun 1993, dimakamkan di Tanah Kusir. Keluarga Opung ini tinggal di Jl. Fatmawati, Jakarta. Anak2 Opung ini Tati masih sering ketemu, antara lain Tulang Sahrin, Tante Yunita dll.

  6. Baginda Parbalohan alias Opung BDN. Laki2. Opung ini dipanggil dengan nama Opung BDN karena rumahnya dulu di Jl. BDN, Cilandak, Jakarta. Opung ini juga dimakamkan di Tanah Kusir. Anak Opung ini yang dulu sering ketemu Tati adalah almarhum Tante Grace. Beliau menikah dengan Wak Gajah.

  7. Opung Baginda Soripada Paruhum. Laki2. Nah yang ini adalah Bapaknya Mama. Opung meninggal tahun 2000, saat Tati lagi kuliah di Yogya dan dimakamkan di pemakaman keluarga Harahap di Hanopan.

  8. Opung Bachtiar Syamsul Harahap. Opung BS tidak memiliki putra dan putri. Sementara Opung yang perempuan (istrinya) telah meninggal pada tahun 1999 karena kanker di bagian otak. Btw, Opung yang perempuan adalah icon kecantikan di lingkungan keluarga.. secara beliau memang cantik dan gaya. Tati gak pernah lihat beliau tanpa sasak yang tinggi di rambutnya.. Dan kalau beliau pake baju brokat, vooringnya gak sewarna dengan kain, tapi sewarna dengan kulit beliau. Jadinya, sooooo sexxxxyyyyy… !! Keren abisss..

  9. Opung Toga Mulia Harahap alias Opung Pengayoman. Laki2. Opung ini dipanggil dengan nama Opung Pengayoman, karena rumahnya di Jl. Pengayoman Jakarta. Opung ini sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, dan dimakamkan di pemakaman keluarga Harahap di Hanopan. Anak2 Opung ini 4 orang, satu diantaranya sudah meninggal, Tulang Adek. Yang 3 lagi adalah Tulang Amru, Tante Meity dan Tulang Welly.

  10. Opung Tiurma, adalah si bungsu. Menikah dengan marga Marpaung, punya 3 anak, Uda Anto, Tante Meilita dan Uda Andi. Opung ini menetap di Medan.

Opung BS akan berusia 83 tahun tanggal 26 Agustus ini. Tapi di usianya yang segitu, sampai beberapa bulan yang lalu Opung ini masih main golf 2 kali seminggu, juga masih nyetir mobil sendiri dari rumahnya di kawasan Jl. Adhyaksa, Lebak Bulus ke kawasan Blok M, lokasi kantor organisasi yang beliau urus sampai dengan beberapa bulan yang lalu. Sekarang aja beliau mengurangi kegiatannya.. Lebih ingin di rumah katanya.

Bayangin… sementara kita, cucu2nya di usia yang segini udah mulai soak.. Hehehe. Tapi pola hidupnya si Opung yang mantan atlet sepak bola nasional ini memang luar biasa.. Opung gak mau makan sembarangan.. Beliau hanya makan untuk memenuhi kebutuhan kalori tubuhnya. Jadi nasi tuh sedikit sekali dikonsumsi.. Menu utama hari ke hari adalah buah, sayur dan protein… Kok bisa ya? Padahal duitnya lebih dari sangat memugkinkan untuk dia makan di restoran kelas hotel berlian setiap hari.. Hebat sekali pengendalian dirinya…

Sekilas tentang Keluarga Tuongku Mangaraja Elias Harahap, orang tua Opung BS alias Buyut Tati.

Tuongku Mangaraja Elias Harahap adalah pemborong zaman Belanda di daerah Sipirok. Beliau menikah dengan Petronella Siregar, dari Bungabondar. Tuongku Mangaraja Elias Harahap menganut paham kesetaraan gender.. Whaaat? Di zaman bahuela gitu ? Iya, itu terlihat dari putri2nya yang diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi sampai di level HIS, di Jawa pula…!!! Gak heran kalo Papa dan Mama juga akhirnya mewarisi prinsip yang sama…

Kalo pulang kampung ke Sipirok, Tati tuh wajib mengunjungi 2 kampung.. Yang pertama Kampung Sibadoar, sekitar 1.5 km dari Kota Kecil Sipirok, dan Kampung Hanopan, sekitar 20 km dari Sipirok.

Sibadoar adalah kampung dari garis bapaknya Papa, yang menurunkan marga Siregar pada Tati dan saudara2. Di sini selain ada rumah peninggalan, juga ada kuburan keluarga, mulai dari pendiri pertama kampong Sibadoar, Mangaraja Parjanjian. Opung yang ini kira2 8 keturunan di atas Tati.. Papi David janji akan bikin posting tentang keluarga Siregar Sibadoar di blogsnya.

rumah peninggalan buyutku, Mangaraja Elias Harahap di Hanopan

Hanopan adalah kampung baru, yang didirikan oleh ayah Tuongku Mangaraja Elias Harahap pada akhir abad 18, setelah pindah dari Bungabondar. Di kampong ini masih ada rumah peninggalan Tuongku Mangaraja Elias dan makam keluarga. Pada salah satu dinding di samping pintu masuk utama rumah peninggalan Tuongku Mangaraja Elias ini terdapat papan yang ditulis sendiri oleh buyut Tati ini.. Isi tulisannya :

“DIDENGAR, DJANGAN PERTJAJA
DILIHAT, DJANGAN PERTJAJA
DIPERIKSA, BARU BOLEH PERTJAJA”

What a wise quotation…!!!

Yang uniknya, dimakam keluarga Harahap ini, bercampur makam yang Muslim dan Kristen. Bahkan di situ ada beberapa makam, yang sebenarnya gak ada jenazahnya. Kok ? Iya, itu sebagai kenangan bagi anggota2 keluarga yang meninggal pada saat pergi ibadah haji dan jenazah atau tulang2nya tidak bisa dibawa kembali ke kampung. Ada yang meninggal di Jeddah atau di Mekkah. Bahkan Ayah Mangaraja Elias meninggal saat menunaikan ibadah haji, sementara Mangaraja Elias adalah penganut Kriten yang taat. Keluarga yang sangat Indonesia sekali kan… So Bhinneka Tunggal Ika… We’re like a rainbow… Masing2 punya warna masing2, tapi tetap bersatu sehingga membentuk suatu keindahan…***

Berdiri, L-R : Papa, Papi David, Mami Nana, Ananda,Ika (Putri Tulang Sahrin), Nantulang Clara (istri Tulang sahrin) Duduk, L-R : Tulang Sahrin, Opung Marpaung (suami opung Tiurma), Opung BS, Opung Tiurma. Yang motret : Aku

Tatinya-anak-anak