Sipirok.. Buat peminat wisata mungkin kata yang asing. Mungkin tidak bagi penggemar kopi di Indonesia. Dan pasti tidak, bagi mereka yang di tubuhnya mengalir darah Batak.
Mengapa mungkin tidak asing bagi penggemar kopi di Indonesia? Karena tahun 2014 yang lalu masyarakat Sipirok mengadakan Festival Kopi Sipirok, dalam upaya mengangkat nama kopi hasil budidaya masyarakat di Sipirok. Bahkan di kawasan Tanjung Duren, di Jl. TB Simatupang, Jakarta, salah satu pengusaha asal Sipirok memasarkan kopi Sipirok di cafe miliknya yang diberi nama Sipirock Coffee
Mengapa Sipirok pasti tidak asing bagi yang berdarah Batak? Karena Sipirok adalah salah satu daerah di Tapanuli yang sudah berkembang lama, diperkirakan sebelum abad ke-13. Daerah yang menjadi persinggahan utama di jalur Lintas Sumatera sejak zaman dulu, selain Kota Sibolga, salah satu kota pelabuhan di pantai barat Pulau Sumatera. Mengingat suku Batak adalah masyarakat yang mobile, perantau yang gigih, baik untuk menuntut ilmu, maupun untuk berkarya dan mencari nafkah ke sepenjuru negeri, bahkan ke manca negara, melintasi Siporok dalam perjalanan merantau ataupun pulang adalah bahagian dari perjalanan suku Batak bila menempuh jalan darat.
Selain itu, Sipirok juga daerah asal dari banyak orang yang telah meninggalkan jejak luar biasa di berbagai bidang. Ada nama Sutan Pangurabaan, seorang tokoh jurnalistik dan media cetak di Tapanuli pada awal abad 20. Beliau juga pendidik, pengusaha, pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Beliau juga ayah Armijn Pane dan Sanusi Pane, 2 Sastrawan Indonesia Angkatan Pujangga Baru.
Ada beberapa tokoh nasional di era Orde Baru yang berasal dari Sipirok, antar lain Arifin Siregar yang pernah menjadi Direktur Bank Indonesia, Hasjrul Harahap, mantan menteri Kehutanan RI. Raja Inal Siregar, Gubernur Sumatera Utara era 1988 – 1998 juga berasal dari Sipoirok, Desa Bunga Bondar tepatnya.
Dimana Sipirok itu sebenarnya?
Sipirok adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Lokasinya 38 km dari Kota Padang Sidempuan, ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan sebelumnya. Berjarak sekitar 360 km ke arah selatan Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara, dan sekitar 350 km ke arah Barat Laut Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Dari Kota Parapat yang berada di tepi Danau Toba, destinasi pariwisata utama di Provinsi Sumatera Utara, jaraknya hanya 180 km, dengan waktu tempuh hanya 4,5 jam. Bahkan dari Bukit Tinggi, salah satu destinasi yang juga sudah terkenal di manca negara, jaraknya hanya 320 km, atau dengan waktu tempuh lebih kurang 7.5 jam. Sipirok mempunyai lokasi yang strategis, dengan aksesibiltas yang sangat baik.
Saat ini Sipirok juga bisa diakses dengan pesawat udara melalui 2 bandara. Yang pertama Bandara Dr. Ferdinand Lumban Tobing, di Pinang Sori, Sibolga, yang berjarak 90 km dan mebutuhkan waktu tempuh lebih kurang 2 jam 34 menit. Yang kedua Bandara Silangit, yang berjarak 106 km dengan waktu tempuh lebih kurang 2 jam 40 menit. Di kedua bandara tersebut setiap hari ada beberapa pesawat yang terbang dari dan menuju Medan maupun Jakarta. Sebenarnya ada bandara yang lebih dekat lagi ke Sipirok, hanya berjarak 37 km atau butuh waktu tempuh sekitar 51 menit, yaitu Bandara Aek Godang, tapi penerbangan ke bandara ini sepertinya belum sebanyak penerbangan ke Bandara Silangit dan Bandara Pinang Sori.
Sipirok terdiri dari 6 kelurahan dan 34 desa. Dalam bahasa Batak Angkola, bahasa masyarakat setempat, Sipirok dikatakan sebagai SIPIROK NAULI, BANUA NA SONANG, NAPA-NAPANI SIBUAL-BUALI. Sipirok yang sejuk, negeri yang nyaman, di lembah Gunung Sibualbuali.
Berada di kaki gunung, di ketinggian antara 700 – 1.700 meter di atas permukaan laut (dpl), membuat Sipirok mempunyai udara yang sejuk dan segar, air yang jernih dan dingin, serta pemandangan yang indah. Di Sipirok terdapat sebuah danau, Danau Marsabut, dan juga Cagar Alam Dolok Sibualbuali, yang merupakan hutan konservasi yang kaya akan keragaman flora dan fauna. Di Sipirok juga terdapat 2 mata air panas (hot spring water) yang dikelola oleh masyarakat menjadi permandian, yaitu Aek Milas Sosopan dan Aek Milas Padang Bujur. Sat ini infrastruktur jalan ke berbagai kelurahan dan desa di Sipirok relatif baik, juga jaringan listrik dan jaringan telepon seluler.

Hot Water Spring : Aek Milas Padang Bujur
Karena Sipirok berada di antara wilayah Batak Toba, yang didominasi pemeluk Kristen, dengan wilayah Mandailing, yang didominasi pemeluk Islam, membuat Sipirok punya cerita yang panjang tentang kehidupan bertoleransi antara Islam dan Kristen. Mungkin hanya di Sipirok, prinsip darah lebih kental dari pilihan agama menjadi pegangan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ya, di Sipirok dalam sebuah keluarga, bisa ada anggota keluarga yang menganut agama Islam, dan anggota keluarga yang lain menganut agama Kristen, dan tetap hidup dalam rasa saling menghormati dan menyayangi. Prinsip ini yang membuat masyarakat di Sipirok tak mengenal daging babi sebagai bahan makanan sebagaimana masyarakat di daerah Tapanuli Utara. Prinsip ini juga yang membuat anggota keluarga yang muslim, bisa makan dengan tenang di rumah keluarga dan kerabatnya yang non muslim. Prinsip ini juga bila ada pesta adat, meski tuan rumahnya non muslim, pemotongan kerbau, pengolahan makanan dilakukan oleh anggota masyarakat yang muslim.
Kelurahan Pasar Sipirok merupakan pusat kegiatan masyarakat di wilayah kecamatan Sipirok, baik aktivitas pemerintahan tingkat kecamatan, pusat perdagangan lokal, juga pusat pendidikan lokal. Di Pasar Sipirok terdapat kantor camat, kantor polsek, pertokoan, juga sekolah mulai dari tingkat TK, SD, SMP dan juga SMA. Bahkan di desa Paran Julu, sebuah perbukitan yang berjarak sekitar 2,5 km dari Pasar Sipirok terdapat SMA Negeri 2 Plus, yang dibangun oleh Yayasan Pendidikan Marsipature Hutana Be, sebuah yayasan yang dibangun oleh anak-anak Sipirok yang berhasil dan berjaya di rantau.
Berpuluh bahkan lebih dari seratus tahun menjadi pusat aktivitas masyarakat lokal, membuat Pasar Sipirok menjadi kota kecil yang sangat nyaman. Bahkan jejak-jejak kemakmuran yang dicapai oleh anak-anak Sipirok yang merantau, maupun yang beraktivitas di daerah, terlihat dari rumah-rumah tua yang masih terlihat cantik, meski beberapa diantaranya tak terawat lagi.
Alam yang luar biasa segar dan indah, kehidupan masyarakat yang menghargai keragaman, rumah-rumah tua yang cantik, kerajinan tangan yang berbasis budaya, seperti ulos serta tuku dan bulang, kuliner lokal, merupakan potensi yang bisa dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata. Bukan destinasi wisata dimana para wisatawan datang bergerombol, membuat dan menikmati keriuhan, tapi wisata bagi mereka yang ingin menikmati ketenangan, tempat istirahat bagi mereka yang telah lelah bekerja di kota-kota besar, tempat beristirahat bagi mereka yang purna tugas, atau pensiun (retirement). Sebuah prospek untuk menghidupkan ekonomi masyarakat, membangun daerah.
Sungguh aku membayangkan bila diberi umur panjang, aku akan mengisi sebagian hari-hari tuaku dengan tinggal di rumah peninggalan ompungku di Sipirok, sebuah rumah kayu tua berwarna coklat yang hangat. Aku akan bisa menikmati pagi dengan berjalan kaki pagi di sekitar persawahan, mandi di permandian air panas, mengisi siang dan malamku dengan membaca, menulis dan berkontemplasi, sambil sesekali menyusuri kampung-kampung tua yang penuh sejarah di kaki perbukitan di Gunung Sibuabuali.***