Berkunjung ke Selatpanjang

Awal minggu lalu, aku kembali ngebolang.. Menjadi bocah petualang.  Ceritanya diriku diajak teman-teman kantor pergi ke Kota Selatpanjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti.  Kota ini berada di Pulau Tebing Tinggi, salah satu pulau yang berada di pesisir timur Pulau Sumatera.

Untuk sampai ke Kota Selatpanjang, dibutuhkan sedikit perjuangan, karena kita harus berganti kendaraan sebanyak 3 kali.  😀 😀 Pertama-tama kita naik kapal selama 1 jam, dari Pelabuhan Sungai Duku di daerah Teluk Lembu di Pekanbaru, sampai ke pelabuhan rakyat di daerah Buantan di Kabupaten Siak.  Di Buantan kita bertukar kendaraan, naik bus.  Perjalanan selama 1.5 jam sampai ke Pelabuhan Butun yang berada di pantai timur Pulau Sumatera, namun masih termasuk Kabupaten Siak.   Di Butun kita ganti kendaraan lagi dengan kapal.  Kita harus berlayar 1.5 jam, baru sampai ke Kota Selatpanjang.  Saat berpindah-pindah kendaraan, kita harus berjalan kaki antara 50 – 200 meter, jadi disarankan untuk tidak membawa barang yang besar atau banyak.  Kalau memang akan membawa barang, ada jasa pengangkut  berupa gerobak, atau serahkan kepada awak kapal untuk mengurus.  Dengan tambahan bayaran tentunya.  Atau kalau memang mau bawa barang banyak, supaya gak pindah-pindah kendaraan, pilihannya adalah naik kapal kayu Gelatik.  Hanya waktu tempuhnya 3 kali lipat, 12 jam lebih kurang.

Berapa ongkos Pekanbaru – Selatpanjang?  Kalau naik Nagaline, nama salah satu operator yang melayani  jalur tersebut, ada 3 kelas dengan 3 tingkatan harga.  Rp. 150K untuk kelas ekonomi.  Di kapal duduknya di baris keempat sampai ke belakang.  Kursi di bus, 3 tempat duduk di sisi kiri dan 3 tempat duduk di sisi kanan.  Untuk kelas VIP, harganya Rp.170K.  Di kapal duduk di baris pertama sampai baris ketiga.  Busnya beda dengan yang kelas ekonomi.  Tempat duduk di dalam bus berada di jalur kiri, 2 kursi bersebelahan.  Kelas VVIP harganya Rp.190K.  Di kapal duduk  di baris pertama.  Di bus, duduk di jalur kanan, kursi tunggal, kaki bisa selonjoran.

Vihara Hoo Ann Kiong, Agustus 2012 at my insta @sondhasiregar

Kunjungan ke Selatpanjang kali ini bukan yang pertama kali bagiku.  Diriku pernah ke sana sekitar bulan Agustus 2012, untuk mengunjungi teman lamaku,  kak Vivi.  Waktu itu kak Vivi yang dokter gigi dan besar di Selatpanjang bertugas di sana.  Saat berkunjung ke sana,  aku sempat dibawa kak Vivi berkeliling dengan sepeda motor, melihat-lihat beberapa bahagian sisi kota, termasuk melihat Vihara Hoo Ann Kiong, yang berlokasi di Jl.  Ahmad Yani.  Diperkirakan, vihara ini adalah vihara tertua di Kota Selatpanjang, bahkan  tertua di Provinsi Riau.   Kota Selatpanjang, sebagaimana kota-kota besar mau pun kecil di pesisir timur Pulau Sumatera, pesisir barat Pulau Kalimantan dan pesisir utara Pulau Jawa adalah daerah-daerah yang banyak penduduk dengan etnis Tionghoa.  Jadi tidak heran kalau ada beberapa vihara di Selatpanjang.

Becak Selatpanjang

Di Kota Selatpanjang transportasi umumnya adalah sepeda motor, sepeda dan becak. Tak banyak mobil yang wara wiri di kota ini.  Yang ada itu pun sebagian besar berplat merah alias mpbil dinas.  Karenanya kota ini udaranya segar dan nyaman untuk dihuni.  Kenderaan umum?  Becak.   Jangan heran bila begitu keluar dari gedung pelabuhan akan banyak pengemudi becak yang menawarkan tumpangan, bahkan tukang becak yang nafsu banget mendapatkan penumpang bisa menarik bawaan penumpang untuk dimasukkan ke becaknya.  Rada-rada menyebalkan, memang. 😀  Tapi mungkin harus dimaklumi saja di tengah ekonomi yang sedang sulit.  Bersikap tegas, adalah cara terbaik menghadapi mereka.  Oh ya, becak di kota ini unik.  Seperti becak di Jakarta, becak di Selatpanjang ditarik dengan motor bebek, tapi kursi penumpangnya dua baris.  Untuk duduk di baris belakang, penumpang harus melompati kursi di baris depan, karena tak ada akses untuk naik ke bangku belakang dari samping.  Ya, bangku belakang itu memang lebih sering digunakan untuk tempat barang yang dibawa penumpang.  Sedangkan bila penumpang becak ada 3 atau empat orang, penumpang ketiga dan keempat duduk di bangku tambahan yang diletakkan di sisi belakang pagar depan becak.  😀

Untuk menginap, di Selatpanjang ada banyak hotel dengan harga kamar yang wajar.  Tapi kita  harus cari-cari info yang cukup sebelum memilih hotel, karena katanya tak semua hotel airnya bersih dan jernih.  Makumlah, sebagai daerah pesisir yang sebagian besar lahannya adalah gambut, air di Selatpanjang selain payau juga berwarna coklat.  Katanya meski telah beberapa kali mengusapkan sabun ke badan, mandi bisa terasa bagai tak bersabun, busanya tak keluar, kulit terasa licin saja.  😀  Untuk dapat air yang jernih, masyarakat biasanya menampung air hujan, atau dengan sumur bawah tanah yang mebutuhkan investasi sangat tidak sedikit.  Saat kunjungan kemaren diriku dan teman-teman menginap di hotel Dyva, atas rekomendasi teman yang sudah beberapa kali ke sana.  Alhamdulillah air di hotel itu bagus, dengan volume supply yang memadai.

Kemana saja saat berkunjung ke Selatpanjang kali ini?  Secara waktu terbatas,  selain menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan, kami menyempatkan diri menikmati seafood dan mie sagu, juga ke pasar untuk melihat-lihat berbagai produk khas Kepulauan Meranti lainnya.  Kabupaten Pulau Meranti  yang merupakan daerah pesisir, banyak ditumbuhi oleh tanaman Rumbia atau Sagu (Metroxylon sagu Rottb).  Makanya di daerah ini terdapat banyak produk olahan dari bahan dasar sagu.

wp-image-235261116.Apa itu mie sagu?  Mie sagu merupakan kuliner khas Selatpanjang.  Mie ini olahan dari teras batang sagu, teksturnya lembut dan kenyal.  Lebih lembut dan warnya lebih bening bila dibandingkan dengan kwetiaw.  Mie sagu biasanya dimasak dengan bumbu bawang merah, bawang putih dan cabe merah yang digiling kasar. Sebagai penyemarak biasanya ditambahkan kucai (Allium tuberosum), toge dan ikan teri yang sudah digoreng atau udang kering.  Mie sagu saat ini sudah mulai banyak dijual di kedai-kedai kopi di Pekanbaru, tapi berburu mie sagu di daerah asalnya tentu memberi keseruan tersendiri.  😀

Selama di Selatpanjang, kami dua kali menikmati mie sagu.  Yang pertama di foodcourt di samping hotel.  Mie sagunya enak, cuma bumbunya yang rasanya belum maksimal.  Mie sagu kedua, kami nikmati di Kedai Kopi Pelangi di Jl. Ahmad Yani.  Kedai kopi yang berada di ruko ini terkesan tak terawat karena dinding-dindingnya kusam, tapi mie sagu yang dijual maknyuss.

Mie sagu di Kedai Kopi Pelangi ini merupakan rekomendasi dari seorang cicik (tante) pemilik toko tempat kami membeli beberapa produk olahan sagu di pasar.  Cicik itu bilang, kedai kopi yang tak jauh dari Hotel Pulama.  Maka kami pun bertanya-tanya pada beberapa orang yang kami temui di sepanjang pencaharian, dimana itu Hotel Pulama, tapi tak ada yang tahu.  Dan ternyata maksud si Cicik itu adalah Hotel Furama.  😀 😀 😀  Dan ternyata juga, salah seorang teman perjalananku pernah menginap di Hotel Pulama itu. Tapi enggak ngeh dengan maksud si cicik.. 😀 😀

Sebenarnya ada satu lagi tempat dan kuliiner yang direkomendasikan untuk menikmati mie sagu dan sempolet :  kantin di samping gedung kantor Badan Kepegawaian Daerah di kompleks perkantoran Pemerintah Kabaupaten Kepulauan Meranti.  Sayang saat kami ke sana, kami baru saja sarapan, perut kami masih penuh.  Adapun sempolet adalah bubur sagu yang dinikmati bersama sup ikan, seperti papeda kalau di Indonesia Bagian Timur.

Cerita Sondha - Oleh-oleh Selatpanjang

Oleh-oleh Selatpanjang

Apa yang didapat di pasar di Selatpanjang?  Klo diriku siyy cuma beli mie sagu, ebi alias udang kering dan kerupuk udang.  Sebenarnya di pasar, diriku menemukan banyak banget produk olahan sagu dan hasil laut yang sebenarnya layak untuk coba dibeli dan diolah jadi makanan istimewa.  Misalnya sagu dalam bentuk butiran yang bisa dibuat jadi bubur.  Ada juga terasi dan ikan teri.  Tapi mengingat transportasi yang nyambung-nyambung, jadi malas belinya.  Malas gotong-gotong.  😀
Bagi penggemar kopi, di Selatpanjang  ada toko Diamond, yang menjual bubuk kopi dengan merk Cengkeh.  Kata teman-teman yang minum, rasanya enak pakai banget.  Jadi gak boleh dilewatkan.

So, bagi teman-teman yang senang menjelajah, silahkan berkunjung ke Selatpanjang…***

Pasar Merah di Siak

Ini lanjutan dari tulisanku beberapa bulan yang lalu tentang perjalanan ke Kota Siak Sri Indrapura, kota kecil di tepian Sungai Jantan atau Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia.  Kota ini merupakan ibukota Kabupaten Siak, salah satu kabupaten penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia beberapa dekade ini (Baca : Berkapal ke Siak).

Kunjungan pada pertengahan Februari 2017  bukan kunjungan pertama bagi diriku.  Entah kunjungan yang keberapa diriku tak ingat.  😀 (Baca : Ke Siak Sri Indrapura (Lagi…..!!!)Having Lunch di Siak,  dan Muter2 di Siak).  Lalu apa istimewanya kunjungan kali ini? Kunjungan kali ini, yang diriku lakukan bersama Wati, teman kuliahku di Kampus Rakyat, bertujuan untuk menikmati perayaan Cap Go Mei di   Siak, di pasar yang merupakan Chinatown alias Pecinan Siak.  Kenapa di Siak?  Karena Wati yang senang motret ingin hunting foto di daerah Pecinan yang justru belum banyak diliput, gak kayak di Singkawang, yang sudah jadi mainstream bagi para pecinta fotografi.

Pasar Merah - Klenteng Hock Siu Kong

Upper Left :  Tandu Sang Dewa, Upper Rght : Tatung, Bottom : The Gate of Hock Siu Kong with Sungai Jantan as view

Pecinan di Kota Siak Sri Indrapura berada di Jalan Sultan Ismail, di tepi sungai.  Berdampingan dengan komplek istana peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura.  Lokasi Pecinan ini berhadapa-hadapan dengan bangunan benteng peninggalan Belanda, yang berada di seberang sungai.   Di Pecinan ini terdapat Klenteng Hock Siu Kong, yang berdiri sejak tahun 1898.  Klenteng yang menjadi pusat aktivitas ibadah dan budaya masyarakat Cina di Siak.

Bagaimana bisa Pecinan mempunyai lokasi yang begitu strategis? Menurut salah seorang pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Siak, yang secara tak sengaja bertemu di salah satu kedai kopi di Siak, Kawasan Pasar Siak merupakan wilayah yang diberikan Sultan  Siak kepada pedagang yang datang dari Negeri Cina.  Pedagang yang sengaja diundang Sultan untuk menetap di Siak untuk mengajarkan rakyatnya bagaimana cara berdagang.  Selain untuk memudahkan masyarakat mendapatkan berbagai kebutuhan yang perlu didatangkan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri.  Sebagai bentuk apresiasi, sekaligus untuk memudahkan memantau pendatang dari Negeri Cina, Sultan memberikan lahan di tepi sungai bagi mereka.  Sultan yang berwawasan luas, dan menghargai keragaman.

Pasar Merah - Pecinan

Deretan Rumah Toko Berwarna Merah, dan keranjang khas Chinesse

Beberapa tahun terakhir ini, dalam rangka meningkatkan pariwisata daerah, Pemerintah Kabupaten Siak semakin berupaya  mengangkat warisan budaya (heritage) kerajaan Siak Sri Indrapura  menjadi daya tarik wisata, termasuk juga kawasan Pecinan.   Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Siak adalah menata kawasan Pecinan, sekaligus membangun turap di tepi sungai untuk tempat masyarakat menikmati indahnya tepian sungai.    Pemerintah juga  memfasilitasi para pemilik rumah toko di kawasan pecinan  untuk mencat bangunan mereka dengan warna merah, dan  kombinasi hijau dan kuning sebagi penambah cantik.

Pasar Merah - Turap Siak

Kawasan Turap Tepian Sungai Jantan

Kawasan yang berwarna merah memang sungguh memikat mata, dan luar biasa menarik untuk difoto.  Kecantikan kawasan ini semakin menawan saat senja dan malam tiba, ketika lampion-lampion menyala.  Lampion-lampion yang bergantungan di langit-langit  emperan toko dan pada tali-tali yang dibentang di atas jalan raya.

Pasar Merah - Lampion

The Lampions

Selain menikmati kecantikan kawasan Pecinan yang merah, apa lagi yang bisa dinikmati  di sini? Kuliner, pastinya.  Kuliner khas Chinesse, berupa mie, kwetiau dan bihun, yang bercampur cita rasa Melayu dan Sumatera Barat  banyak dihidangkan di kedai-kedai kopi, yang merupakan budaya di hampir seluruh wilayah Pesisir Timur Sumatera.  Untuk makan berat, kita bisa menikmati aneka masakan dengan bahan ikan sungai dan udang galah.  Menurut pejabat yang sempat ngobrol dengan diriku itu, tak ada kedai kopi di Siak yang menjual makanan tak halal.  Tapi mengingat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan wajibnya mengkonsumsi makanan halal,  selain membina peningkatan kualitas dan keragaman kuliner khas daerah,  kiranya Pemerintah juga perlu memfasilitasi kedai-kedai kopi di kawasan Pecinan untuk mendapatkan sertifikat halal dari instansi yang berkompeten untuk menerbitkannya.

Oh ya, apa lagi yang aku temukan saat mutar-mutar dari pagi sampai malam di kawasan Pecinan di Siak saat perayaan Cap Go Mei?  Ya, keragaman agama dan budaya yang saling menghargai.  Arak-arakan barongsai yang sejak pagi mengelilingi Pecinan, berkunjung ke rumah-rumah toko untuk mengusir roh jahat, mengundang roh baik, mengirim doa-doa, meyalakan petasan,  diistirahatkan saat azan berkumandang di Masjid Raya Syahbuddin Siak yang berada di kawasan Pecinan.   Arak-arakan dilanjutkan setelah adzan dan waktu sholat dzuhur usai.  Kehidupan bertoleransi yang indah.

Pasar Merah - Masjid Raya Syahbuddin 1

Masjid Raya Syahbuddin, dengan lampion-lampion di latar depan

Mari berkunjung ke Siak, teman-teman.  Mari menikmati keagungan warisan budaya Kerajaan Siak serta keragaman yang telah hadir di negeri ini sejak berabad yang lalu..***

Berkapal ke Siak

Setelah lebih dari 2 tahun tidak ke Siak Sri Indrapura.  Alhamdulillah akhir pekan kedua di Februari 2017 ini aku kembali melakukan perjalanan ke sana,  ibu kota Kabupaten Siak, Provinsi Riau.  Kota yang berjarak 102 km dari Kota Pekanbaru.  Sebuah kota sejarah  yang tumbuh pesat setelah otonomi daerah diberlakukan.

Ngapain ke Siak? Jalan- jalan dan hunting foto di kawasan Pasar Siak.  Kebetulan akhir pekan kali ini bertepatan dengan saatnya Cap Go Mei, perayaan minggu kedua setelah Lunnar New Year atau Imlek  bagi  keturunan Chinesse.

Ceritanya pertengahan minggu lalu, teman saat kuliah di Bogor, Itaw, yang tinggal di Jakarta nanya apakah ada event Cap Go Mei di Siak, karena dia pengen hunting foto.  Dia sendirian,  gak bareng teman-temannya, karena teman-temannya  yang biasa sama-sama hunting foto pada pergi ke Singkawang untuk memotret suasana Cap Go Mei di sana. Acara Cap Go Mei di Singkawang sangat terkenal dan jadi event  yang menarik bagi penggemar photography, bahkan dari manca negara..   Menurut Itaw dia ingin memotret suasana  Cap Go Mei di tempat yang enggak mainstream, yang belum banyak di-explore para photographer, maka dia milih Siak.  Itaw juga nanya apa aku mau bareng muter-muter di Siak. Tentu saja aku mau, selain buat motret, juga bisa nyari bahan untuk ceritasondha.com.  Secara aku kerja sampai hari Jum’at sore, aku nyusul hari Sabtu pagi, naik kapal, karena Itaw ke Siak bawa mobil lengkap dengan supir hari Jum’at siang..

Dulu, selain di Pelabuhan Sungai Duku, untuk ke Siak, penumpang juga bisa naik di pelabuhan Pelita Pantai,  di ujung Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru.  Tapi itu dulu banget. Lebih dari 6 tahun yang lalu.  Agar sesuai rencana, dan gak kesiangan, Jum’at 10 Februari 2017 malam,  diriku ditemani keponakanku pergi ke Pelabuhan Pelita Pantai untuk menanyakan apakah ada kapal  yang berangkat dari situ.  Kalau ada, jam berapa berangkatnya.  Menurut petugas keamanan posko tentara yang ada di dekat pelabuhan, tiap jam 08.00 pagi ada kapal berangkat.  Kapal yang sama akan singgah ke Pelabuhan Sungai Duku untuk mengambil penumpang.

cerita-sondha-pelabuhan-pelita-pantai-pekanbaru

Pelabuhan Peita Pantai, Pekanbaru

So, di Sabtu pagi yang hujan, jam 07.30 diriku diantar kakak dan keponakanku ke Pelabuhan Pelita Pantai.  Pelabuhan ini hanya sebuah bangunan kayu, sebuah pelabuhan yang dikelola Primkopad.

cerita-sondha-tiket-kapal-kapal-pekanbaru-siak

Saat sampai di sana, diriku diarahkan untuk menghampiri penjual tiket.  Seorang lelaki separoh baya, di belakang meja kayu tua.  Beliau menanyakan tujuanku. Saat kukatakan mau ke Siak, dia menyebutkan Rp.80.000,- sebagai harga tiket.   Saat aku menyerahkan selembar uang Rp.100.000,-, beliau dengan sigap memberiku kembalian uang Rp.20.000,-.  Beliau kemudian menanyakan namaku dan menuliskannya di lembar bahagian dalam tiket yang terdiri dari 2 halaman, satu putih dan satu merah.  Lembar merah diambil sebagai arsip perusahaan pemilik kapal SB. Siak Wisata Express, PT. Dharma Gati.

Kapal ke Siak hanya sebuah kapal tanpa atap. Jadi selama perjalanan penumpang  akan bisa menikmati matahari pagi dan elusan angin.  Asyiik yaaa …  Tapi gak asyik juga klo naik kapalnya siang, saat hari panas dan matahari lagi ingin menunjukkan senyum cemerlang. 😀 Karena saat diriku berangkat cuaca hujan, maka bagian atas kapal ditutup dengan terpal berwarna hijau.  Buat aku yang enggak suka suasana terkungkung, terpal di sisi kapal dimana aku duduk, aku singkapkan sedikit. Gak apa-apa kena riap-riap hujan sedikit. 😀

cerita-sondha-kapal-pekanbaru-siak

Kapal, tepatnya ferry kali ya, yang melayani jalur Pekanbaru – Siak berkapasitas 30 orang penumpang termasuk supir. Para penumpamg duduk di kursi-kursi kayu yang berbaris 8, masing-masing baris bisa muat 3 – 4 orang.

Apa serunya naik kapal ke Siak? Selain bisa menikmati hembusan angin seperti yang sudah kusebut, naik kapal membuat kita bisa menikmati alunan arus sungai dan pemandangan tepian sungai yang didominasi warna hijau.   Sungguh itu nutrisi bagi jiwa, bagiku.

Oh ya,  kapalnya berlabuh dimana?   Di sepanjang perjalanan yang sekitar 2 jam, kapal bisa singgah di berbagai pelabuhan, untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, termasuk Pelabuhan Sungai Duku, yang merupakan pelabuhan resmi.  Di Kota Siak Sri Indrapura, kapal berlabuh di pelabuhan milik pemerintah Siak yang lokasinya persis di samping Balai Kerapatan Adat, salah satu situs sejarah Kerajaan Siak.  Pelabuhan ini berjarak sekitar 500 meter ke Kompleks Istana Siak, dan sekitar 600 meter ke Pasar Siak yang merupakan Chinatown.  Buat para pencinta jalan kaki, jarak ini tergolong ramah.  😀  Jadi yang berkunjung ke Siak bisa jalan kaki mutar-mutar kompleks istana dan Pasar Siak.  Kalau malas jalan kaki, ada becak mesin yang bisa mengantar berkeliling Kota Siak.  Jadi banyak hal yang menyenangkan bila berkunjung ke Siak.  Mari ke Siak ! ***

Pekanbaru Juga Seru !

Diriku baru bergabung dengan sebuah komunitas  1 Minggu 1 Cerita.  Komunitas yang mendorong anggotanya untuk menerbitkan 1 tulisan setiap 1 minggu di web atau blog pribadi masing-masing.  Tulisan itu temanya bebas, kecuali bila ada ketentuaan dari pengelola.  Daku kecebur di komunitas tersebut karena diseret-seret Teh Ani Sulaksani, si Ibu Pengembara. 😀 😀

Nah untuk minggu ini, Komunitas 1 Minggu 1 Cerita menetapkan tema Kampung Halamanku  Juga Seru! bagi para anggotanya.  Tema ini membutuhkan pemikiran buat diriku.  Bukan karena gak kenal kampung, gak pernah pulang kampung atau gak cinta kampung..  😀  Tapi justru karena sejak kecil terbiasa pulang kampung, punya banyak kenangan manis tentang kampung, cinta kampung dan selalu rindu kampung, maka selama 9 tahun 5 bulan punya blog, aku cukup sering menulis tentang Sipirok, kampung halamanku, tanah leluhurku.  Bahkan kata Sipirok menjadi Tags di Cerita Sondha.  Selama tahun 2017 yang baru 29 hari ini, di Cerita Sondha sudah ada 2 tulisan tentang Sipirok, yaitu Kuliner Sipirok, dan Sipirok, A Prospective Destination.  Karenanya untuk kali ini diriku menulis tentang  Kota Pekanbaru.

Ya, Pekanbaru adalah kampung halaman kedua bagiku.  Di kota ini aku dibesarkan sejak usia satu tahun.  Tempat aku menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja.  Tempat aku mengisi usia dewasa setelah kuliah di Bogor dan bekerja juga di Jakarta, lalu sekolah lagi ke Yogya.  Pekanbaru tempat aku hidup, bekerja, dan berkehidupan sosial.  Ya, Pekanbaru adalah kampungku, rumah bagi jiwaku, dan sampai saat ini Pekanbaru adalah tempat satu-satunya rumah yang kumiliki dari hasil kerja keras bertahun-tahun. 😀  Pekanbaru tempat aku kembali setelah bepergian kemanapun.  Makanya aku paling sebel dan geram, kalau ada orang yang merasa berdarah lokal lalu dengan seenak udelnya bilang aku adalah pendatang di Pekanbaru, hanya karena aku berdarah Batak.  Apa lagi klo yang ngomong itu gak lebih  lama tinggal di Pekanbaru dari diriku dan keluarga.  Rasanya diriku pengen ngebalas omongan gak enak itu dengan bilang, “Helloowww…. ! Kamu kali yaa,  yang pendatang !”  😀

Apa siyy serunya Kota Pekanbaru ?

Buat aku, pertama-tama  Pekanbaru itu seru karena aku banyak teman dan kenalan di sini.  Mulai dari teman keluarga, teman sekolah, teman kerja dan juga teman yang aku kenal dari teman-teman.  Karena perkembangan, Pekanbaru tidak lagi seperti dulu, ketika kita pergi ke berbagai sudut kota akan ada saja ketemu orang yang kita kenali dan mengenali kita.  Orang-orang lama Pekanbaru.

Kedua, Pekanbaru itu seru karena kotanya relatif nyaman.  Kota yang saat ini cukup besar, dan sudah semakin banyak fasilitas tersedia.  Namun Pekanbaru  terhitung kecil bila dibanding dengan Medan, Bandung, Surabaya.  Apalagi Jakarta, kota dimana langkah kita terbatas karena macet cet cet.  Di Pekanbaru kita masih gampang kalau mau pergi kemana-mana.  Gak terlalu butuh waktu panjang.

Pekanbaru juga seru karena penataannya yang cukup rapi, terutama di pusat kota.  Ada jalan-jalan dua arah yang lebar dan dibatasi jalur hijau yang asri.  Ada trotoar yang cukup nyaman untuk melakukan salah satu aktivitas kesukaanku, jalan kaki.  Di kawasan tertentu ada  jalur khusus untuk pengendara sepeda, meski pada hari kerja, jalur sepeda tersebut sering dijadikan tempat parkir oleh orang-orang yang masih kurang perduli.

Di Pekanbaru ada perpustakaan megah, dengan koleksi buku-buku yang banyak, pustaka milik pemeritah daerah Provinsi Riau.  Fasilitas yang bisa  bikin mabok kepayang para pencinta buku.

Naahhh itu kan serunya Pekanbaru untuk orang-orang yang tinggal dan besar di Pekanbaru.   Buat orang-orang yang berkunjung ?  Pekanbaru juga seru lho !   Seru banget !

Pekanbaru secara historis merupakan bahagian dari Kerajaan Siak Sri Inderapura.  Salah satu kerajaan Melayu di sekitar Selat Malaka.  Kerajaan yang besar dan jaya di masanya.  Oleh karenanya, ciri khas Melayu yang bernuansa Arab mewarnai Pekanbaru,  termasuk kulinernya.

Lokasi Pekanbaru yang strategis, dilalui oleh Sungai Siak yang berhilir di Selat Malaka.  Selat ini sejak berabad-abad merupakan  perairan  tersibuk di dunia, diarungi berbagai bangsa.  Hal ini membuat Pekanbaru juga didatangi dan dihuni oleh orang-orang dari Sumatera Barat, Batak, Jawa dan juga China.  Ditambah lagi,  adanya eksplorasi minyak bumi dan perkebunan sawit di sekitarnya, membuat Kota Pekanbaru didatangi orang-orang dari berbagai suku yang mencari peruntungan.  Maka jadilah kota ini kota yang plural, namun tak kehilangan akar budayanya.

Pluralitas yang ada di Pekanbaru menghadirkan warna yang khas pada kulinernya.  Ini adalah salah satu daya tarik  Kota Pekanbaru.  Kuliner apa saja ?

Untuk sarapan di Pekanbaru, kedai kopi menjadi pilihan utama.  Kedai kopi yang diwarnai budaya Chinese, sama sekali tidak hanya menghidangkan kopi. Ada banyak kedai kopi di seantero Kota Pekanbaru.  Beberapa di antaranya  telah ada puluhan tahun, seperti Kedai Kopi Kim Teng di Jalan senapelan, Kedai Kopi Laris di Jalan Karet dan Kedai Kopi King di Jalan Juanda.  Ketiga kedai kopi tersebut punya ke-khasan masing-masing.

Kedai Kopi Kim Teng, menyediakan kopi yang luar biasa juga aneka roti.  Beberapa tahun terakhir, Kedai Kopi Kim Teng bahkan menjadi food court yang menyediakan berbagai menu, seperti dimsum, mie pangsit dan aneka mie.   Kedai Kopi Laris juga punya kopi yang sangat enak, kopi yang dihidangkan berasal dari biji kopi yang baru dipanggang.  Salah satu makanan khas di Laris adalah soto ayam kampung.  Bubur ayam merupakan hidangan utama di Kedai Kopi King.  Diriku gak pernah bosan dengan kuliner yang satu ini.  Jadi makanan wajib ketika tubuh butuh sesuatu yang bisa membangkitkan ekstra energi di pagi hari.

Selain ketiga kedai kopi  yang sudah well-known tersebut, di Pekanbaru juga ada Kedai Kopi Liana.  Aapa istimewanya kedai kopi ini? Kedai kopi ini menyediakan aneka hidangan yang berbahan utama mie sagu.  Mie sagu merupakan salah satu bentuk hasil olahan dari tanaman sagu (Metroxylon sagu) yang banyak terdapat di wilayah Pesisir Provinsi Riau.

pekanbaru-juga-seru-cerita-sondha

Sarapan lain yang khas Melayu adalah roti canai.  Saat ini ada 2 penjual roti canai yang maknyus banget.  Kedai Canai Kuansing di jalan Diponegoro Ujung, dan Kedai Canai Tuan Prata di Jl. Mendut Pekanbaru.  Oh ya, Tuan Prata juga menyediakan teh tarik dan luti gendang, roti khas Pulau Tarempa, yang dulunya bahagian dari Provinsi Riau, namun sekarang menjadi bahagian Provinsi Kepulauan Riau.

Selain mie sagu dan roti canai, ada kuliner untuk sarapan yang sangat khas Melayu, bubur lambuk.  Bubur ini hampir sama dengan bubur Manado yang sudah well-known, terbuat dari beras yang dimasak dengan air yang cukup banyak, lalu dicampur dengan sayur-sayuran.  Khusus untuk bubur lambuk, sayur-sayurnya berupa tanaman khas wilayah Riau, seperti sayur paku (Diplazium esculentum),  dan ditambahkan dengan ikan bilis (Mystacoleucus padangensis) goreng.  Setahu diriku sampai saat ini belum ada tempat makan atau kedai kopi yang menyediakannya.  Kalau mau, harus pesan.  Setahu diriku yang menerima pesanan bubur lambuk adalah ibu Dinawati, salah satu pengurus Ikaboga Riau, pemilik usaha bolu mojo Al Mahdi di Jalan Rajawali Pekanbaru.

Saat ini ada beberapa kedai kopi baru yang juga menyediakan berbagai sarapan yang khas Pekanbaru denga penataan ruang yang lebih nyaman, Kedai Kopi Coffee Two di Jalan Setia Budi, misalnya. Jadi kalau teman-teman ke Pekanbaru, tinggal pilih mau sarapan dimana. 😀

Untuk maksi, masakan khas melayu adalah asam pedan ikan patin (Pangasius hypophthalmus) atau asam pedas ikan baung (Bagrus nemurus).  Ada banyak restoran yang menghidangkan masakan ini,  Dari warung sederhana, sampai restoran canggih dengan tempat yang nyaman.  Restoran yang terkenal dengan masakan asam pedas patin adalah Rumah Makan Haji Yunus di Jalan Kaharuddin Nasution, tak jauh dari Bandara Sultan Syarif Qassim.  Atau Rumah Makan Khas Melayu di sekitar bandara.

Kalau mau menikmati ikan asam pedas patin yang dijual oleh masyarakat lokal, teman-teman bisa nyoba di Rumah Makan Si Tjuik.  Rumah makan ini dulu lokasinya unik, di dekat pelabuhan container PT. Chevron.  Sekarang lokasinya sudah di jalan besar, di Jl. Yos Sudarso, Rumbai.

Untuk kue-kue khas Melayu adalah kue Bolu Kembojo, atau yang populer dengan Bolu Mojo, dan kue bangkit.  Ada banyak pengusaha UMKM yang menjual kedua jenis kue ini.  Bolu Mojo adalah sejenis kue basah, sedangkan kue bangkit adalah cookies yang berbahan baku tepung sagu. Favorite keluargaku adalah bolu kembojo buatan Mie mie di Jalan Pepaya.  Kenapa ? Selain rasanya memang enak, ukurannya juga kecil-kecil.   Pas untuk satu kali makan.  Sedangkan kue bangkit favorite kami kue yang dibuat kelompok usaha Kembang Sari.  Kuenya renyah dan wangi karena dikasi parutan kulit jeruk purut.

Oh ya di Pekanbaru juga ada yang jual kue-kue khas Banjar alias wadai.  Namanya warung Papadaan.  Lokasinya di Jalan Hang Tuah, di seberang SD Teladan.  Di sini juga menyediakan Soto Banjar dan Nasi Kuning dengan Ayam Masak Habang (ayam masak merah) khas Banjar.

Ada lagi yang selalu bisa didapatkan kalau berkunjung ke Pekanbaru.  Durian.  Ya durian selalu ada di Pekanbaru.  Ada banyak warung-warung di sekitar Hotel Pangeran di Jalan Sudirman yang menyediakan durian, lengkap dengan ketan sebagai teman untuk disantap.  Kalau ingin bawa pulang durian, teman-teman bisa minta penjual mengupas durian yang sudah dibeli, lalu dikemas sedemikian rupa di dalam kotak sehingga layak untuk dibawa.  Atau kalau mau lebih praktis, bisa dengan membeli lempok alias dodol durian.  Ada banyak toko yang menjual makanan khas Riau ini.

Dengan kulinernya yang luar biasa, siapa yang bisa bilang Pekanbaru gak seru ? Yuukkk ke Pekanbaru !!!  ***

minggu-1-2017

Menyusuri Sungai Rokan…

Sungai Rokan? Dimana itu…?
Sungai Rokan itu salah satu dari 4 sungai besar yang melintasi Provinsi Riau, dan bermuara di Selat Malaka.. Sungai Siak, Sungai Indragiri, Sungai Kampar dan Sungai Rokan…  Katanya siyyy dari keempat sungai tersebut, Sungai Rokan adalah yang terbesar dengan panjang mencapai 350km..

Ngapain nyusurin sungai…? Hari gini…? Kan udah tua…, gak muda lagi.. Udah gak masanya berpetualang…?
Hohohoho… Kata siapa..? Umur boleh nyaris fifty…, semangat untuk melihat sekitar teteuuupppp tinggi… 😀

Sebenarnya, ngapain siyyy nyusurin Sungai Rokan?
Saya, atasan saya, seorang senior dan rekan kerja pergi ke Desa Rantau Binuang Sakti, Kecamatan Kepenuhan, untuk melihat progress pembangunan fasilitas wisata religi di sana…  Menurut yang saya dengar, tempat ini merupakan daerah tempat lahir Syekh Abdul Wahab Rokan atau Tuan Guru Babussalam (Bessilam), seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah..  Tempat ini direncanakan untuk menjadi daerah tujuan wisata religi…

Karena daerah tersebut baru saja usai banjir…, sehingga jalan darat yang ada tidak layak untuk dilalui…, maka kami harus melalui jalur sungai…Dari mana rutenya…?

Dari Pekanbaru naik mobil ke Pasir Pangaraian… Karena melalui jalur Petapahan, kami bisa sampai di Pasir Pangaraian lebih kurang 3 jam.. Kami berangkat sekitar jam 19.30 wib, sampai di Pasir Pangaraian sekitar jam 22.30 wib..  Di Pasir kami nginap…, besok pagi perjalanan dilanjutkan ke Koto Tengah, dengan waktu tempuh 1.5 jam..Dari Koto Tengah baru perjalanan dilanjutkan dengan jalur sungai…

Rokan1Rencananya kami akan menumpang boat milik Pemda, yang akan mengantar beras raskin..  Tapi apa daya, karena mesinnya ngadat, jadi kami harus pergi naik perahu pompong.. Perahu kayu, yang menggunakan tenaga diesel yang berbunyi pom pom pom pom…, sehingga disebut perahu pompong…  Berapa jam…? Berangkat karena meghilir, mengikuti arus sungai ke arah hilir, butuh waktu 3 jam…  Karena kami sempat menunggu upaya memperbaiki mesin boat…, kami akhirnya baru berangkat sekitar jam 11 siang…

Perahunya benar-benar imut-imut.. Jangan pikir perahunya berdinding yang bisa duduk dengan lega…   Ini perahu yang kalau tangan kita dijulurkan ke luar badan perahu, bisa langsung menyentuh air.. Kalau diisi manusia full, kapasitasnya kira-kira 10 orang..  Tapi kami berangkat berempat, ditambah pak Suhaeri dari Pemda Rohul plus Pak Kades dan tukang perahu, plus sekitar 10 goni beras raskin… 😀   Untungnya saat berangkat perahunya beratap.. Sebagian besar perahu di sungai ini tanpa atap.. Jadi penumpang langsung beratapkan langit… Kalau panas ya kepanasan…, kalau hujan, ya mandi hujan.. 😀

Gimana rasanya berada di perahu, yang kecil, di bawah terik matahari… Alhamdulillah, senang-senang aja tuuhhh… Kalau aku punya cukup informasi sebelum berangkat, tentu aku bersiap-siap dengan membawa topi pandan yang lebar, atau caping.. juga life vest… Tapi di tengah keterbatasan pun ternyata hati ini tenang saja…   Untung sun glasses yang memang selalu ada di tas tidak tertinggal..  Jadi agar terik matahari tak menyakitkan mata,  sun glasses segera dipasang..

Oh ya, sederet lagu yang ada di hp juga menjadi hiburan…  Bayangkan teman2.. Betapa nikmat dan santainya, duduk bersandar di dinding perahu yang tingginyasekitar sepinggang kita saat duduk, meletakkan tangan di tepi perahu untuk menjadi sandaran kepala… Daaaannn…. tidur sambil dibelai angin… 😀

Btw, bahagia rasanya di usia ku yang hampir 50 tahun Allah memberi jiwa yang bisa menerima situasi yang berbeda dengan yang biasa aku jalani…  Bersempit-sempit, nyaris sulit bergerak.., menyusuri sungai yang aku tak tahu berapa kedalamannya, tak membuat hati gelisah, sehingga membuat orang-orang di sekitar juga santai..  Mereka tak gelisah akibat kegelisahan seorang and only one emak-emak yang pergi bersama mereka…. 😀  Hal yang rasanya sangat berbeda dengan keadaan sekitar 25 tahun yang lalu, saat ketidaknyamanan bisa membuat air mata menitik..  Dita… , yang menyeretku untuk sampai ke Puncak Gunung Gede tahun 1988, dimana kah diri mu…? Hahaha…

Nurul

Aku dan Nurul…

Kami sampai di Desa Rantau Binuang Sakti sekitar jam 2 siang.. Pak Aslimuddin, senior di kantor yang sebelumnya beberapa kali menjadi camat, mendadak didapuk oleh Pak Kades untuk memberi kata sambutan menggantikan Pejabat Kabupaten yang seharusnya menyerahkan raskin ke masyarakat.. Pejabat tersebut seharusnya satu perahu dengan kami, namun karena sesuatu dan lain hal tak jadi datang..  😀  Sementara pak Aslimuddin memberi kata sambutan, aku duduk sebentar di tangga rumah salah seorang penduduk yang kami tumpangi sholat.. Ibu-nya Nurul, guru PAUD di desa, pemilik rumah bilang, “Ini air baru surut, bu.. Kemaren-kemaren, kalau mau nyuci ya dari pintu rumah saja.. Gak perlu turun dari rumah…” Hmmmm….

Dari desa, kami ke lokasi yang berjarak sekitar 1.5km diantar ojek…  Hmmm… naik ojek bukan cuma takut becheq.., tapi takut jatuh dan bisa bikin kaki patah… Karena jalannya benar-benar hancur akibat banjir besar dan lama…

Puisi Sungai Rokan a

Kehidupan di Sungai Rokan

Selesai ngeliat dan bikin dokumentasi apa yang kami tinjau.. Ngpbrol dengan penanggung jawab pekerjaan, kami segera kembali ke desa untuk pulang… Harus segera.. Karena berperahu untuk pulang butuh waktu lebih lama, karena mudik…, melawan aliran air sungai..  Prediksi tukang perahu butuh waktu 4 jam…

Kami berangkat dari Desa Rantau Binuang Sakti jam 16-an.. Dengan perahu yang berbeda…, perahu lain yang ditugaskan mengambil sisa raskin yang masih tertinggal di tempat kami naik perahu..  Kali ini perahunya tanpa atap..  Dan tiga orang ada penumpang lain, salah satunya seorang ibu pengumpul ikan salai (ikan asap), yang akan membawa dagangannya ke pasar di Koto Tengah.. (Bayangkan betapa hebatnya ibu ini… Menyusuri sungai di malam hari untuk menjual ikan salai, demi menghidupi keluarga… A tough woman..!! )

Perjalanan pulang, memberi nuansa yang berbeda.. Rasanya alam lebih ramah karena matahari tak lagi terik.. Juga lebih banyak kehidupan di pinggir-pinggir sungai…  Sebelum senja tiba, aktivitas di desa-desa yang dilalui lebih nampak.. Ada orang yang mandi, mencuci… Ada juga sampan-sampan kecil di tepian, yang ternyata orang menjala ikan… Ada bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan anak usia sekolah.. Dan saat matahari telah sempurna tenggelam, masih ada saja orang-orang yang menjala ikan..

Pemandangan ini membuat aku merasa betapa beruntungnya aku.. Pulang kantor di sore hari, bisa pulang dengan santai.. Masuk rumah, nyalain pengatur suhu.., mengambil minuman yang sejuk, juga toples camilan, lalu nonton TV, atau baca buku…  Sementara di bahagian lain negeri ini, orang-orang masih mencari makan dengan menjala ikan di sungai…

Ingat minuman dingin dan cemilan, bikin perut yang keroncongan bernyanyi makin dasyat… Karena di desa gak ada yang jual makanan…, sedangkan nasi bungkus bekal saat berangkat sudah habis dalam perjalanan menuju Rantau Binuang Sakti.. Untung ada sawo pemberian ibu Nurul… Lumayan bisa ganjal perut sedikit… 😀 Alhamdulillah.. terima kasih ibu Nurul..

Puisi Sungai Rokan...

Puisi Sungai Rokan…

Pemandangan menjelang senja dan saat senja tiba di tepi sungai Rokan juga memberi nuansa yang lain… Cantik…  Alam seakan melantunkan puisi bagi para penikmat kecantikannya… Sementara ketika mentari telah lelap sempurna…, alam pun memberikan keindahan yang berbeda… Bisa kah teman-teman rasakan…, berada di atas perahu dalam kegelapan malam, tanpa cahaya lampu yang selalu menyertai kita…? Hanya cahaya bintang gemintang yang menerangi, serta suara mesin perahu dan gemercik air tersibak perahu…

Sesekali senter tukang perahu menyala,  menjawab cahaya senter dari penjala ikan yang meberi tahu keberadaannya, agar perahu diperlambat, sehingga riaknya tak menggangu aktivitas si penjala ikan..  Bahkan di sungai, dalam malam pun ada tata krama, ada sopan santun, ada sikap saling menghargai, ada toleransi..

Alam selalu punya pesona bagi mereka yang mau membuka mata dan hati untuk merasakan kecantikannya… ***

Suatu Sore di Teluk Meranti…

Teluk Meranti….?  Dimana itu…. ?

Sunset

Teluk Meranti itu nama sebuah kecamatan di tepi sungai Kampar di Kabupaten Pelelawan, Provinsi Riau..  Kira-kira 280 km dari Pekanbaru, melalui Lintas Timur Pulau Sumatera, kira-kira  2 jam perjalanan.. Lalu nanti di daerah yang dinamakan Simpang Bunut (arah ke Kecamatan Bunut), kita belok.. Ya, jalan itu sekarang diberi nama jalan Lintas Bono.. Kita jalan lagi sekitar 1,5 jam..

Ngapain ke sana….?  Ngeliat salah satu fasilitas pariwisata yang sedang dibangun di sana…

Ceritanya Teluk Meranti itu sekarang menjadi salah satu obyek wisata minta khusus yang sedang dikembangkan…  Minat khusus…? Ya, di Teluk Meranti ada fenomena alam yang unik, dan tak banyak terjadi di belahan dunia lain…  BONO…

Bono adalah gelombang yang terbentuk akibat arus dari  laut yang masuk ke sungai, yang bisa terjadi 2 kali sehari..  Namun mengikut siklus bulan, ada saatnya bono hadir dalam wujud yang kecil, dan akan hadir dalam wujud yang sangat besar pada masa-masa bulan purnama…   Adanya gelombang yang besar, dahulu acap kali menjadi bencana, karena bisa membalikkan kapal maupun perahu yang sedang menyusuri Sungai Kampar di kawasan Teluk Meranti..  Namun kini gelombang yang besar itu justru menjadi mainan para surfer…  Ya, para surfer menyenangi bono karena gelombang yang panjang membuat meraka bisa berselancar berjam-jam, yang tak bisa mereka lakukan di laut…

Teman-teman mungkin sudah pernah melihat orang berselancar di Bono yang ditayangkan dalam iklan Jarum..  Atau kalau mau, teman-teman bisa lihat di sini..

So, kemaren pagi-pagi sekali.. Aku bersama 3 rekan kerja plus seorang driver bergerak menuju Teluk Meranti…  Kami sampai di Teluk Meranti sekitar jam 12 siang…  Kami tak bisa langsung menuju lokai fasilitas yang mau dilihat… Kenapa…? Karena, fasilitas itu berada di sebuah tanjung di tepi bahagian sungai tempat bono yang sangat besar terjadi..  Untuk ke lokasi tersebut kami harus naik kapal pompong (perahu kecil yang digerakkan dengan mesin yang berbunyi “pong pong pong”) selama lebih kurang 20 menit..  Dan karena bono pada hari itu diperkirakan akan muncuk jam 3 sore, maka agar tak membahayakan diri, kami baru bisa menuju lokasi setelah bono lewat…

Setelah menunggu selama hampir 4 jam…  Yang diisi dengan acara makan siang yang nikmat berlauk udang sungai dan ikan sepat…, menjelang jam 4 sore, akhirnya bomo itu muncul…  Sesuai siklusnya, bono yang datang siang itu adalah bono kecil, tapi tetap berbahaya…, karena bisa menggulung perahu…

Seperti apa siyy bono kecil yang aku lihat…?  Ini fenomena yang sempat aku lihat dari kejauhan…

Bono Kecil

Hmmmmm…, sungguh bono merupakan fenomena yang aneh…  Fenomena dimana gelombang air yang terlihat seperti  buih bergerak di atas permukaan air dan di mataku terlihat seperti naga…  Sungguh it’s like a ghost….  Mengerikan…

Setelah bono lewat, kami pun melanjutkan perjalanan…  Menyusuri sungai Kampar selama lebih kurang 20 menit…  Sungguh sungai yang indah…., namun penuh misteri tak tahu apa yang bisa terjadi ketika bono muncul…

Begitu sampai di tanjung yang menjadi lokasi pembangunan, kami bergegas melakukan tugas…  Tapi kami tak bisa berlama-lama…  Karena matahari sudah mulai tergelincir… Hari mulai senja…  Kami harus segera kembali ke Desa Teluk Meranti…

Bergegas meninggalkan tanjung...

Bergegas meninggalkan tanjung…

Sesampai di Desa Teluk Meranti kami duduk-duduk di teras rumah makan, tempat kami makan siang, dan duduk-duduk sejak siang menunggu bono lewat…  Teras yang berada di atas permukaan air itu begitu nyaman..  Langit yang mulai gelap…  Keheningan yang hadir  memberikan rasa nyaman di ruang pendengaran…, di hati…

Sunset

Sunset on Kampar River..

Kalau sudah begitu, tanya yang kerap hadir di hatiku hampir 2 tahun terakhir ini kembali menyeruak…  “Apa yang dicari manusia di muka bumi ini…?  Bukan kah keheningan yang sederhana  terasa begitu nyaman di hati…?  Bukan kah kesederhanaan itu indah…? Lalu mengapa harus mengejar-ngejar bayang-bayang dan meninggalkan kesederhanaan hidup…?”  Entah laaahhh….

Oh ya.., bagi teman-teman yang suka melihat sesuatu yang unik…, atau senang fotografi? Pada tanggal 17 November 2013, Pemerintah Kabupaten Pelelawan akan mengadakan Bekudo Bono (Berkuda Bono atau Riding the Bono).. Pada tanggal tersebut diperkirakan akan terjadi bono terbesar di bulan ini…  Dan ada photo contest nya juga…  Denger-denger, sudah banyak surfer manca negara yang mandaftarkan diri untuk hadir.  Pastilah itu akan jadi event yang seru…  Yuukkk, lihat yuuukkk…  ***

Tembilahan Trip…

Postingan ini berlanjut  dari postingan sebelumnya tentang perjalanan ku ke  Rengat…  Karena dari Rengat aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke Tembilahan, ibu kota Kabupaten Indragiri Hilir…

Apa yang unik dari Tembilahan..?. 

Perahu di Kuala Getek, Tembilahan

Perahu di Kuala Getek, Tembilahan

Tembilahan dan sekitarnya berada di hilir Batang Kuantan alias Sungai Indragiri..  Bentuklahan (landform)-nya yang  braided river (sungai terjalain), sebagai hasil sedimentasi, menyebabkan daerah ini mempunyai banyak sekali sungai-sungai kecil, atau kanal.. (Hmmm…, Jadi ingat buku Terrain analysis and classification using aerial photographs : a geomorphological approach karangan Zuidam and Zuidam-Cancelado, kitab suci saat kuliah Penginderaan Jauh. :D).   Bahkan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir menyatakan daerah tersebut sebagai Daerah Seribu Parit“Land of  Thousand Calnnals”..

Ada parit, ada jembatan donk…  Kan udah gak zaman dan gak efisien kalo mobilasasi pakai getek.. :D.  So, jadi lah di daerah ini ada sangat banyak jembatan…   Penasaran dengan banyaknya jembatan, saat menuju ke Tembilahan, aku dan teman-teman menghitung berapa jumlah jembatan yang dilalui..  Kami bersama-sama menghitung sejak jembatan Rumbai Jaya yang besar dan megah itu… Berapa…? Untuk sampai di tengah kota Tembilahan, ada 59 jembatan…  Banyaknyaaaaaaa…….

Oh ya, ada lagi yang unik dari Tembilahan…  Karena di daerah pesisir dan banyak burung wallet, yang sarangnya punya nilai ekonomi tinggi, jadi banyak penduduk yang membuat bangunan-bangunan yang difungsikan untuk beternak walet..  Akibatnya sepanjang hari, terutama di malam yang seharusnya hening, tidak demikian di kota ini…  Selalu ada kicauan burung wallet… Bisa kah ini disebut sebagai polusi…? Entah lahh…  Yang jelas bagi orang yang berkunjung, rasanya aneh, dan unik…

Apa yang menarik dari Tembilahan…?  Buat diriku Si Tukang Makan, kulinernya…., pasti…

Sebagai wilayah pesisir, wajar kalau Tembilahan sebagaimana mana daerah pesisir lainnya, dihuni oleh beragam suku..,  Selain suku Melayu, di sini juga banyak orang yang berasal dari suku Banjar, Bugis, Jawa dan Minang, juga Chinese..  Akibatnya, kulinernya juga beragam…

Aku dengar-dengar, di sini seafood-nya luar biasa…, secara di daerah ini kan banyak hutan mangrove, tempat udang, ikan berkembang biak..  Tapi sudah 3 kali ke sana, belum ada yang merekomendasikan rumah makan yang menghidangkan seafood…  Umumnya rumah makan di sana menyediakan masakan Melayu dan Minang yang standard-standard aja…

WadaiSaat bertemu dengan seorang kenalan di kantor yang kami kunjungi, aku menanyakan dimana bisa membeli wadai.., kue-kue basah khas banjar..  Kalau di Pekanbaru, ada tempat yang khusus jualan wadai plus soto banjar, nasi kuning dan berbagai masakan khas Banjar..  Namanya warung Papadaan

Kenalan tersebut tadinya meminta aku menunggu di kantornya, dan dia akan pergi sendiri membeli..  Ya, aku gak mau…  Justru buat aku melihat  orang-orang berjualan kue itu yang menjadi daya tarik, selain menikmati rasa kuenya…  😀

So, jadi lah aku berjalan kaki ke Pasar Pagi, yang lokasinya tidak jauh dari kantor kenalan ku itu..  Pasar pagi ini sebenarnya sudah pernah aku kunjungi.., karena di sis lain Pasar Pagi ini juga ada PJ alias pasar yang menjual barang-barang bekas  yang diimpor dari negara tetangga…

Apa yang aku temukan di Pasar Pagi… Buanyaaakkk.. Hehehe…    Ada apam serabi, cantik manis (Ini kue sombong banget yaaa..?  Namanya udah cantik, manis pulaaa…!!), sari muka (sejenis kue lapis), lemang (kecil-kecil dibungkus daun, kayaknya gak dibakar di dalam bambu seperti lemang Sipirok),  ada bingke (sejenis bika), ada pepudak (seperti lepat, tapi kecil dan imut-imut, warnanya hijau karena dikasi pandan), dan ada pulut panggang.  Meski gak ada amparan tatak (kue talam) yang merupakan primadonanya wadai,  kue yang ada  seru-seu….  Semua menggoda, bikin pengen dicicipin, dan dibeli tentunya..   Jadi lah masing-masing jenis dibeli 2 – 4  potong…  Yang gak enaknya, kenalan itu tidak memperkenankan aku membayar sendiri wadai-wadai yang ku pilih-pilih itu… Hmmmm…, jadi gak enak hati… 😀

Untuk urusan wadai ini…., sebenarnya ada satu yang gak kesampaian di kunjungan kali ini…  Apaan…? Pulut panggang…  Pulut panggang yang dibeli di Pasar Pagi tidak senikmat pulut panggang yang pernah dibeli oleh kak Sartidja, atasan ku saat di Bappeda Kota Pekanbaru.  Aku berkunjung ke Tembilahan spertama kali, sekitar akhir tahun 2006 karena dibawa beliau..  Waktu itu beliau  membeli buat kami pulut panggang yang uenaaaakkkk banget… Pulut panggangnya diisi tumisan udang kecil-kecil alias kecepe yang puedes banget…  Tapi karena udah gak ingat lagi dimana dulu dibeli, tinggal lah pulut panggang yang enak itu masih dalam angan-angan untuk dinikmati..  Hehehehe… 😀

Apa lagi yang unik dari Tembilahan….?? PJ…   Apa itu PJ…?  Di Tembilahan, PJ itu singkatan dari Pasar Jongkok…, bukan Penginderaan Jauh... hehehehe..

Pasar JongkokPasar Jongkok adalah pasar kaget, biasanya ada pada malam hari…, Kenapa dibilang Pasar Jongkok…? Karena dagangannya diletakkan di plastik-plastik lebar yang dibentangkan di emperan toko, atau di pinggir-pinggir jalan di antara deretan-deretan toko…    Kalau ada yang mau melihat barang yang didagangkan, ya harus berjongkok-jongkok ria…

Apa aja yang dijual di PJ…? Macam-macam… Pakaian, tas, kpoer, travelling bag, peralatan rumah tangga, sepatu, dan lain-lain..  Umumnya yang dijual di PJ adalah barang impor dari negara tetangga.., barang bekas..  Kalau beruntung dan pandai memilih, pembeli bisa mendapatkan barang yang bagus dengan harga murah…  Tapi aku lihat, di PJ ada juga dijual barang-barang baru, dan bukan impor…

Lalu…, apa oleh-oleh dari Tembilahan…? Kalau kita punya cool box, saat akan pulang kita bisa membeli kepiting dan ikan segar yang dijual ibu-ibu di salah satu jembatan di pinggir kota Tembilahan..  Buat yang tidak bawa cool box, kita bisa berbelanja keripik pisang dan amplang khas Tembilahan di toko-toko makanan yang ada di jalan utama kota..

Saat aku berkunjung ke Tembilahan, pilkada baru saja usai..   Akan ada kepala daerah baru, tentu dengan kebijakan pembangunan yang baru…  Semoga bisa membuat kota ini dan daerah-daerah lain di Kabupaten Indragiri Hilir jadi lebih baik..

Aku membayangkan kalau kanal-kanal yang ada di Tembilahan ini ditata dengan baik, tepiannya dibuat hijau royo-royo…,  Lalu hutan magrovenya dilestarikan…  Rasanya akan banyak orang yang mau datang ke sana untuk ber-getek-ria.. Dan setelahnya mereka bisa menikmati seafood yang akan melimpah karena hutang magrove yang lestari… Mereka juga bisa menikmati kekayaan kuliner yang bisa ditawarkan oleh penduduk yang berbagai suku..

Meski Tembilahan relatif tidak mudah dijangkau.., karena jauh dari Pekanbaru yang menjadi pintu gerbang Riau..  Juga tidak cukup dekat dengan Batam, yang bisa menjadi alternatif pintu masuk…  Bukan tidak mungkin orang akan berkunjung ke Tembilahan..  Paling tidak bisa dimulai dengan memberikan tempat wisata pagi orang-orang yang datang untuk kegiatan bisnis ke Tembilahan, mengingat daerah ini punya aktivitas industri yang besar..  Saya yakin dengan potensi yang ada, bila dilakukan kebijakan yang tepat..  Tembilahan bisa juga berkembang pariwisatanya…  Rakyat bisa mendapatkan penghasilan dari kunjungan wisatawan ke daerah ini..   If there is a will, there is a way…  I’m sure and optimist…  ***

– Sondha Siregar –

Berkunjung ke Rengat, Kota Para Raja..

Akhir September 2013 yang lalu, dalam rangka kerja, aku kembali berkesempatan untuk berkunjung ke Rengat dan Tembilahan..  Rengat dan Tembilahan itu kota-kota di Provinsi Riau, Rengat  ibukota Kabupaten Indragiri Hulu.., sedangkan Tembilahan merupakan ibu kota Kabupaten Indragiri Hilir.

20130924_151211

Bersama Kak Indria, teman perjalanan ke Indragiri

Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten  Indragiri Hilir, dan Kabupaten Kuantan Singingi yang dilalui oleh Batang Kuantan atau Sungai Indragiri  dulunya merupakan bagian  wilayah Kerajaan Indragiri,  sebuah Kerajaan Melayu yang menjadi bawahan (nazal) dari Kerajaan Minangkabau (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Inderagiri). Batang Kuantan atau Sungai Indragiri yang berhulu ke Danau Singkarak di wilayah Minangkabau,, dan berhilir ke Pantai Timur Sumatera membuat  wilayah Indragiri pada masa itu bisa mengambil peran sebagai  pelabuhan bagi Kerajaan Minangkabau..

Karena Rengat dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Indragiri, dan keturunan bangsawan Indragiri memakai gelar Raja, sebagimana gelar Raden di daerah Jawa Tengah dan Timur, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu menyebut Kota Rengat sebagai Kota Para Raja.

Ini  bukan kunjunganku yang pertama ke Rengat dan Tembilahan..  Untuk ke Rengat, ini kunjungan ku yang ke 4, untuk ke Tembilahan ini kunjungan ku yang ke 3.  Bahkan sekitar tahun 2009, aku sempat berkunjung ke Rengat diajak oleh ibu Dr Widya Nayati, seorang arkeolog senior, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, untk melihat makam Raja-raja Indragiri serta beberapa makam tua di daerah Japura, sebuah daerah di pinggir Kota Pengat.

Berapa lama perjalanan ke sana?  Dari Pekanbaru ke Rengat sekitar 4 – 5 jam jalan darat.  Dari Rengat ke Tembilahan butuh waktu sekitar 2,5 – 3 jam.  Jadi rata-rata dari Pekanbaru ke Tembilahan butuh waktu sekitar  7  – 8 jam…

Apa yang menarik di Rengat…?

Rumah Tinggi Rengat

Rumah Tingg idi Rengat

Saat bertemu dengan seorang kenalan di Rengat, aku bertanya tentang tinggalan Kerajaan Indragiri yang masih bisa dikunjungi..  Beliau menyarankan aku untuk menyusuri jalan yang berada di tepi Sungai Indragiri.  Ke arah hulu..  Tak jauh dari jembatan terbesar yang ada di Rengat… , hanya sekitar satu km.

Apa yang ada di sana…?  Sebuah  Rumah Tinggi, yang dulunya merupakan rumah salah satu menteri Kerajaan Indragiri..  Rumah kayu dua lantai ini  cantik, penuh dengan ornamen yang khas Melayu…  Posisinya menghadap Sungai Indragiri, lebih kurang 100 meter dari bibir sungai..

Saat ini, Rumah Tinggi ini  oleh Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu dijadikan Museum Daerah.  Sayang, saat aku sampai di Rengat, sudah hampir jam 17.00.  Jam kerja sudah usai.., tak bisa lagi melihat ke dalam Museum.. Hanyabisa  melihat dari luar…  Hmmm… Semoga di kunjungan berikutnya bisa yaa…

Bolu Berendam Source : www.riaudailyphoto.com

Bolu Berendam
Source : http://www.riaudailyphoto.com

Apa lagi  yang istimewa dari Rengat….?  Kulinernya…  😀

Ada kue yang khas dari Rengat, namanya Bolu Berendam..   Kue ini custome made… Hanya dibuat by order..  Tak ada di toko2 atau penjual kue sehari-hari..  Biasaya hanya dihidangkan di acara pesta-pesta atau selamatan, atau saat lebaran..  Sama dengan kue bolu lainnya., terbuat dari campuran gula, terigu dan telur.. , dibakar dalam oven dengan cetakan kecil-kecil berbentuk bunga..  Lalu apa istimewanya…? Istimewanya, bolu ini setelah matang, direndam dalam larutan gula pasir yang dikasi esence vanilla..  Jangan tanya rasanya… Muaaaannniiiissss bangeeeetttttt….. Bikin ngilu gigi.. Entah siapalah yang menciptakannya..  Entah mengapa lah orang di Rengat suka…  Tak takut diabetes kah mereka…??? 😀

Kue Rengat

Lalu apa yang bisa menjadi buah tangan  kalau kita berkunjung ke Rengat…?

Hmmmmm….. Di Rengat, ada yang namanya Pasar Rakyat Rengat.. Lokasinya di tengah kota.. Tak jauh dari alun-alun kota..  Di pasar tersebut, di bagian tengah, setelah penjual sayur dan bumbu-bumbu dapur, persis sebelum los-los yang menjual bahan makanan kering, teman-teman bisa menemukan penjual berbagai kue khas Rengat..  Antara lain kue bawang, keripik pisang tanduk, kue bolu… Pokoknya heboh laahhh…  Harganya pun tak mahal…,, mulai dari Rp.10.000,- per bungkus..  lupadiet.modeon 😀 ****

 

Kedai Kopi…

Kali ini Sondha cerita2 soal kedai kopi di Pekanbaru ya, teman2…   Ya, sarapan di kedai kopi sepertinya menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat  di sini…   Kalimat “Sarapan di Kedai Kopi”,  rasanya  preman kali yaaa…  Secara kedai kopi itu kesannya dunia para bapak-bapak, para lelaki…  Tapi enggak kok…  Heheheee..

Sondha dan Diana Chalil, teman sejak kuliah di Bogor yang berkunjung ke Pekanbaru

@ Coffee Time, Sondha dan Diana Chalil, teman sejak kuliah di Bogor yang berkunjung ke Pekanbaru

Sebenarnya sekarang2 ini, kedai kopi tak lagi semata menjual kopi.., tapi juga menjual berbagai minuman yang tidak menggunakan kopi sebagai bahan dasar..  Bahkan kedai kopi juga menjual berbagai jenis makanan, bukan hanya roti bakar sebagai teman yang asyik buat minum kopi…  So, mengunjungi kedai kopi bagi Sondha, sama sekali bukan buat ngopi, tapi buat ngobrol dengan teman, atau membawa wiskul teman-teman  yang berkunjung ke Pekanbaru….

Oh ya, buat para bisnisman, biasanya sambil ngopi mereka juga melakukan pembicaraan2 yang bersifat bisnis..  Gak heran di beberapa kedai kopi besar di sini menyediakan TV layar datar dengan screen besar yang menayangkan nilai tukar dollar, indeks NIKEI, HANSENG dan Gold…

Cuma berkunjung ke kedai kopi ini di hari kerja tidak lah sesuai dengan disiplin sebagai abdi masyarakat….,  Selain karena kerjaan yang lumayan menunggu untuk dikerjakan, juga ada aturan bahwa PNS gak boleh pagi-pagi nongkrong di kedai kopi di hari kerja…  Jadi kalau mau nyaman sarapan di kedai kopi, ya di weekend…  Atau sesekali, kalau ada teman dari luar kota pada hari kerja, ya pergi juga ke kedai kopi… Hehehehe…

Beberapa kedai kopi yang punya nama di Pekanbaru, tentu karena sajiannya yang oouukeeeyyy, berlokasi di bagian lama kota.., bahkan bisa dibilang di China Area, kalau tak mau dikatakan China Town, yaitu di sekitar Jalan Senapelan, Jalan Juanda dan Jalan Setiabudi ..  Bahkan para pemiliknya memang etnis China..  Tapi jangan takut, juru masaknya adalah muslim..  Bahkan buat kedai kopi yang berkonsep food court, para penjual makanan di kedai kopi tersebut adalah muslim..

Ini ada beberapa kedai kopi yang Sondha datangi di kota ini.. ..

Bubur Ayam, menu andalan Kedai Kopi Kings...

Bubur Ayam, menu andalan Kedai Kopi Kings…

Kedai kopi yang sering dikunjungi adalah Kedai Kopi Kings, di Jl. Juanda, di sebelah BCA.  Kedai kopi ini yang paling sering Sondha datangi karena di kedai kopi ini ada tukang bubur ayam yang uenak banget buat sarapan… Kayaknya itu bubur ayam paling enak se-indonesia deehhh… 😀

Kedai kopi kedua yang agak sering Sondha kunjungi adalah Kedai Kopi Kim Teng, yang berlokasi di Jalan Senapelan.. Kedai kopi ini sebenarnya sudah punya gerai di beberapa lokasi di Pekanbaru, antara lain di Gedung Perpustakaan Daerah, di RS Awal Bross, di Mall Ciputra dan Mall SKA, tapi tempat yang seru untuk dikunjungi yang adalah yang di jalan Senapelan.  Bukan saja karena lebih besar, tapi juga pilihan sajian minuman dan makanannya jauh lebih bervariasi.., misalnya roti bakar dari terigu, roti bakar dari keladi, mie pangsit, dim sum, kwetiau, dan berbagai keluarga mie2-an..  Tapi Kedai Kopi Kim Teng bukan tempat yang terlalu nyaman buat ngobrol…, karena terlalu ramai dan brisik…  Klo ngobrol, gak bisa pelan, suara harus kencang…  Hehehehe…

Sajian di Kedai Kopi Kim Teng..

Sajian di Kedai Kopi Kim Teng..

Kedai Kopi yang baru beberapa kali Sondha kunjungi adalah Kedai Kopi Laris di Jl. Karet.  Menurut para penikmat kopi yang kerap mengunjungi kedai kopi ini,  kopi yang disajikan enak banget, karena biji kopinya digongseng (roast) dan digiling ketika kopi dipesan..  Jadi rasa dan aromanya fresh…  Tapi Sondha dan teman2 ke sini karena di sini menyediakan soto ayam kampung, juga ayam goreng kampung, yang rasanya maknyuuuussszzz….

Oh ya ada 2 lagi kedai kopi yang sebelumnya juga pernah Sondha kunjungi.., yaitu Kedai Kopi Liana dan Coffee Time.  Kedai Kopi Liana di Jl. Setiabudi Ujung, dekat PT Agung,  Kedai ini selain menyediakan kopi, juga menyediakan makanan khas Selat Panjang, ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti, yaitu mie sagu.  Sedangkan Coffee Time yang berada di Jl. Setiabudi, persis di seberang kantor PT. PLN, menyediakan berbagai makanan, mirip dengan Kedai Kopi Kim Teng, hanya saja suasananya lebih nyaman.  Bahkan ada 2 pilihan ruangan, ruang dengan AC atau tanpa AC.

Mie Sagu ala Coffee Time...

Mie Sagu ala Coffee Time…

So, kalau teman-teman ke Pekanbaru, jangan lupa menikmati berbagai kedai kopi yang ada yaaa.. Terutama kedai kopi-kedai kopi yang berada di bagian kota lama…  Kalau keburu pulang, sebelum ke kedai kopi, kunjungan teman-teman bisa dianggap belum afdol… 😀 ***

Rupat Island…, The Virgin Destination

Me @ d Rupat Bay…

Tanggal 6 January 2011 yang lalu aku dan rombongan kantor pergi ke Pulau Rupat… Mungkin sebagian besar teman-teman gak pernah dengar nama pulau ini, apalagi tahu lokasinya…

Pulau Rupat adalah salat satu pulau terluar dari pulau-pulau yang terdapat di perairan Selat Malaka, yang berbatasan langsung dengan Negeri Jiran Malaysia…  Klo aku lihat di Google-earth, jarak dari Pulau Rupat ke Port Dickson sekitar 50 km-an… Bahkan menurut info yang aku dengar ada acara tahunan, yaitu mandi syafar di Pulau Rupat yang banyak dihadiri oleh warga Malaysia…

Aku ngapain ke sana…? Ngeliat kawasan yang menurut rencana akan dijadikan salah satu destinasi wisata Riau…

Tapi ternyata untuk ke sana butuh upaya extra…, butuh ketabahan.., butuh mengkonsumsi extra Joss 1 karduss… Hahahahaha… Kenapa…? Karena dari Pekanbaru harus pergi ke Dumai dulu.. Waktu tempuh sekitar 3 jam.. *Jauh yaa…? * Itu belum seberapa dengan rasa mabok yang melanda ketika melintasi jalan Pekanbaru – Duri yang seperti grafik sinus.. Aku hanya mampu terdiam dan memejamkan mata.. Menahan sedemikian rupa agar tidak muntah…!!!!

Sampai di Dumai, gak bisa langsung nyeberang… Mesti nginap dulu, karena di Rupat belum ada tempat buat nginap.  Jadi harus kembali di hari yang sama dengan saat kedatangan..  Karena perjalan Dumai – Rupat dengan ferry (dan ini satu-satu transportasi yang tersedia!!!!) membutuhkan waktu tempuh 3 jam, jadi harus berangkat ke Rupat dari Dumai pagi hari.., yaitu jam 09.00 WIB, lalu naik ferry untuk kembali ke Dumai jam 14.00 WIB…

Perjalanan dari Dumai ke Rupat dimulai dengan menyusuri sungai yang di kiri kanannya dipenuhi pohon bakau.., dan berlanjut dengan menyusuri selat selama 3 jam…

Pelabuhan Rupat…

Begitu ferry merapat, yang aku temukan hanyalah pelabuhan rakyat dengan beberapa rumah penduduk berbahan kayu…

Ternyata ini adalah sisi selatan Tanjung Medang.., pantainya di bagian Utara.. Jadi harus nyambung lagi… Naik apa…? Naik ojeg kena beceg, sodara-sodara… Hahahahaha…  Yesssssssss, ojeg is d only one public transport in this island.. Jangan harap akan ada angkot apalagi taxi…  Masih jauhhhhhh….

Menyusuri Rupat naik ojeg kena beceg…

Lalu kami pun melanjutkan perjalan by ojeg kena beceg, menyusuri jalan2 tanah yang diperkeras…, yang di kiri kanannya berupa kebun karet, kebun sawit, ladang, semak dan pemukiman yang jarak rumahnya jarang2…  Tapi most of rumah2 yang kami temui merupakan rumah penduduk beretnis China.. Ini terlihat dari kehadiran tempat2 sembayang dan arsitektur rumah yang khas..

Menurut cerita yang aku dengar, etnis China yang ada di Pulau Rupat ini adalah Suku Akit, yang datang langsung dari dataran China ratusan tahun yang lalu.. Mereka punya budaya dan dialek yang khas…

Pantai Rupat Utara…

Setelah naik ojeg sekitar 20 menitan, kami akhirnya sampai juga di pantai Rupat Utara.. Pasirnya putih…, pantainya panjang banget.. Katanya siyy sekitar 17 km… Tapi sarana untuk menikmati pantainya jauh dari memadai…  Butuh perencanaan, investasi dan strategi pemasaran yang terpadu buat membangun daerah ini menjadi destinasi wisata yang bisa diandalkan… Mungkin skema Kerjasama dengan Pihak Ketiga (dimana Pihak Ketiga membangun dan diberi keleluasaan mengelola daerah tujuan wisata selama sekian tahun, dan pemerintah mendapat bagian keuntungan, lalu diserahkan kembali kepada Pemerintah setelah berakhir masa kontrak) akan lebih efektif untuk membangun daerah ini..

Menyusuri pantai dengan motor…

Selesai memandang-mandang, kami kembali ke pelabuhan dengan naik motor melalui jalan berbeda, kali ini menyusuri pantai…  Hmmmm…. bay safari, ceritanya.. Hehehehe…***

Mie Sagu

MIe sagu kedai kopi Liana

Temans, kalian pernah dengar “Mie Sagu”? Atau pernah menikmatinya…? Iya, mie dengan bahan baku sagu.. Memang mie ini khas daerah Selat Panjang, sebuah kota di daerah pesisir yang banyak menghasilkan sagu di Provinsi Riau.  Karena bahannya dari sagu, mie ini warnanya agak bening dan rasanya agak kenyal..

Aku mengenal mie sagu beberapa belas tahun yang lalu, ketika kakak ku mendapat oleh-oleh dari temannya yang bertugas ke sana. Zaman itu kalau kakak ku gak masak, ya aku gak bakalan nemu mie sagu. Tapi sekarang tidak lagi…, setahu ku ada 2 tempat di Pekanbaru yang menyediakan hidangan mie sagu, yaitu Pondok Mie Sagu di Jl. Cemara, dan Kedai Kopi Liana di Jl. Setia Budi (ujung), sudah dekat dengan pertigaan Jl. Dr. Sutomo.

Mie kuah udang…

Kedai Kopi Liana biasanya buka pagi, meyediakan makanan buat sarapan sampai brunch.  Kalau siang udah gak ada lagi.  Selain mie sagu, kedai kopi itu juga menyediakan mie rebus kuah udang dan mie rebus kuah kacang. Yang rasanya juga maknyussss…

Menurut yang aku dengar kedai kopi ini adalah tempat sarapan favorite seseorang yang pernah menjadi orang nomor 2 di Riau, kebetulan asal beliau dari Selat Panjang.  Agar beliau punya privacy saat berkunjung ke kedai kopi ini, sang pemilik kedai kopi menyediakan ruang makan tertutup yang berisikan satu set meja makan.  Kalau beliau sedang tidak berkunjung, orang lain boleh menggunakan ruangan ini.

Adapun Podok Mie Sagu jualan dari jam 10-an pagi sampai sore, jadi biasanya orang makan di situ brunch sampai sore.

Apa bedanya mie sagu yang dijual di Kedai Kopi Liana dengan Pondok Mue Sagu? Secara prinsip, gak ada beda..  Cuma beda tangan jadi beda takaran bumbu, beda rasa.. Mie sagu di Pondok Mie Sagu bumbunya terasa lebih ringan, sehingga perlu tambahan sambel botol bagi para pencinta masakan yang spicy.  Lalu mie sagu di Pondok Mie Sagu menambahkan ikan teri sebagai bahan tambahan, sedangkan di Liana menggunakan udang.

Sebenarnya kalo menurut aku, mie sagu buatan kakak ku lebih enak.., karena lebih spicy dengan cabe dan kecap manis yang pekat.  Sedangkan bahan tambahannya kakakku menambahkan kucai dan irisan bakso ikan dan bakso daging, selain bawang prei.   Huhuhuhu…, jadi ngileeerrrr………….

Teman-teman yang akan berkunjung ke Pekanbaru, ayo coba nikmati kuliner khas Riau yang satu ini…

Randai Kuantan di Bali…

Randai Kuantan…? Apa itu….? Aku juga baru 2 tahun terakhir ini mendengar kata2 itu… sejak bertugas di kantor yang sekarang, yang memang bidang kerjanya di kebudayaan dan pariwisata.

So, apa itu Randai Kuantan…?

Randai Kuantan itu sejenis sandiwara rakyat yang berasal dari daerah Taluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi.  Menurut riwayatnya, penduduk daerah ini adalah masyarakat Minangkabau yang tersesat mengikuti aliran Sungai Kuantan yang berhulu di wilayah Sumatera Barat, lalu menetap di daerah ini.  Jadi budaya Kuantan ini berakar pada budaya Minangkabau yang kemudian beradapatasi dengan budaya lokal.   Demikian juga dengan Randai, katanya siyyy pada masyarakat Minagkabau juga ada kesenian Randai…  Tapi aku belum pernah liat pertunjukan yang ini.

Randai Kuantan adalah sandiwara yang dibagi dalam beberapa babak.. Di antara setiap babak, para pemain melakukan tarian yang khas, enggak sulit sebenarnya, dalam gerak melingkar dan diiringi oleh sekelompok pemain music yang memainkan lagu2 tradisional khas Kuantan.  Nah selama proses menari ini, para penonton boleh bahkan diharapkan berpartisipasi, sehingga penonton merasa terlibat dalam pertunjukan ini..

Sandiwara ini dimainkan di tengah2 lingkaran yang dibentuk oleh para pemain yang duduk melingkar..  Para penonton, duduk di sekitarnya…

Pada Pesta Kesenian Bali Tahun 2010 ini, Randai Kuantan merupakan pertunjukan kesenian yang ditampilkan oleh Provinsi Riau.  Adapun judul ceritanya Bujang Lapuk, suatu cerita klasik masyarakat Melayu tentang seorang lelaki dewasa yang belum juga menikah, sehingga keluarganya sibuk mencarikan jodoh.  Gak tahan dengan upaya keluarga yang menimbulkan rasa tertekan, si bujang lapuk pergi merantau dan bertemu dengan 5 bidadari yang sedang mandi di air terjun.  Setelah melakukan kelicikan ala Jaka Tarub, si bujang lapuk berhasil mendapatkan salah satu bidadari menjadi istrinya.  Tapi karena sombong dan angkuh, si bujang membuka rahasia asal usul istrinya kepada orang kampung, dan itu melanggar syarat yang ditetapkan sang bidadari, sehingga bidadari kembali ke negerinya.

Pada pertunjukan yang ditampilkan pada hari Jum’at 18 Juni 2010 itu, sambutan penonton luar biasa.. TidaK berkurang sampai akhir pertunjukan, bahkan seorang wisman, dengan bersemangat ikut menari di tiap antar babak..  Senang melihat apresiasi yang luar biasa terhadap kesenian tradisionil…

Jalan-jalan ke Buluh Cina..

Hari Jum’at pagi tanggal 22 Agustus 2008 yang lalu Tati nganterin 2 orang tamu yang ingin melihat-lihat Desa Buluh Cina. Kedua tamu ini adalah orang-orang yang bekerja untuk sebuah Studio Seni yang namanya sudah terkenal tidak hanya di tingkat nasional bahkan di tingkat internasional. Meraka ingin lihat karena mereka dengar kalo desa ini punya potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata di Riau.

Sebelumnya Tati baru sekali pergi ke desa ini, kalo gak salah 1.5 tahun yang lalu, buat menghadiri perkawinan adik tetangga, yang kampungnya di Desa Buluh Cina ini. Waktu itu Tati pergi berdua dengan Mama Chyntya, yang juga diundang. Dan surprise surprise…, ternyata desa ini gak jauh kok.. Cuma sekitar 30-an km dari Pekanbaru. Bahkan masih terhitung sekecamatan sama rumah Tati… Makanya Tati dengan senang hati mengantarkan kedua tamu tersebut.

Desa Buluh Cina yang Tati lihat kemaren beda banget dengan yang Tati lihat saat pertama kali ke sana… Dulu Sungai Kampar yang membelah Desa Buluh Cina terlihat indah dengan air yang penuh mencapai tepian… Tapi kemaren airnya surut jauh… Ini terkait dengan waduk Koto Panjang yang airnya turun sampai 6 meter, karena Sungai Kampar dan waduk Koto Panjang sama-sama merupakan bagian dari satu sistem Derah Aliran Sungai (DAS)..

Wilayah pemukiman penduduk di Desa Buluh Cina sebagian besar berada di seberang sungai. Sebagai sarana transportasi penduduk menggunakan perahu penyebrangan yang bisa mengangkut orang dan kenderaan roda dua. Waktu Tati ke sana pertama kali, posisi perahu penyebrangan dengan anjungan untuk penumpang naik turun perahu relatif rata, sekarang anjungan itu sementara gak bisa digunakan karena posisi perahu jauh di bawah anjungan.

Oh iya, di desa ini juga ternyata ada tukang perahu.  Menurut salah seorang penduduk setempat, bahan baku pembuatan perahu di desa ini tidak diambil dari hutan lindung yang ada di desa ini.  Masyarakat desa ini menurut beliau punya komitmen untuk melestarikan hutan yang ada di sekitar mereka.  Tapi sampai kapan mereka bisa bertahan memegang komitmen itu kalau taraf hidup mereka tidak membaik…?  So, Pemerintah harus segera menciptakan kesempatan kerja, bukan cuma memerangi illegal logging..

Mudah-mudahan air di DAS ini kembali naik ya, sehingga Desa Buluh Cina kembali cantik dan asri..  Kayaknya seru deehh kalo di akhir pekan bisa muter2 naik perahu dan jalan2 ke hutan lindung di sekitar desa ini…  Secara jaraknya gak terlalu jauh dari Pekanbaru, dan jalannya juga bagus…  ***

Desa Pulau Belimbing…

Pernah berkunjung, dengar atau baca tentang Desa Pulau Belimbing?

Sebelum kerja di kantor yang sekarang, boro-boro tau lokasinya, dengar namanya aja Tati gak pernah.. Tapi setelah kerja di kantor yang sekarang, Tati di forum-forum rapat sering mendengar nama desa ini, karena desa ini merupakan salah satu obyek wisata budaya di wilayah Riau, dengan Rumah Lontiok sebagai obyek andalan. Tapi Tati masih gak ngerti kayak apa sih Rumah Lontiok.

Hasil penelusuran di dunia maya, Tati menemukan statement berikut di sini

Bentuk rumah Lontiok berasal dari bentuk perahu, hal ini tercermin dari sebutan pada bagian-bagian rumah tersebut seperti: bawah, tengah, ujung, pangkal, serta turun, naik. Dinding depan dan belakang dibuat miring keluar dan kaki dinding serta tutup didinding dibuat melengkung sehingga bentuknya menyerupai sebuah perahu yang diletakkan diatas tiang-tiang. Rumah Lontiok berfungsi sebagai rumah adat dan rumah tempat tinggal. Dibangun dalam satu prosesi panjang yang melibatkan masyarakat luas serta upacara.

Naahhhh… saat jalan-jalan dengan kak Lintje hari Rabu 30 Juli yang lalu, saat melintasi jalan di sekitar km 68 dari Pekanbaru, Tati melihat di sisi kiri jalan ada sebuah sign dengan panah mengarah ke sisi kanan jalan yang bertulis “Obyek Wisata Desa Pulau Belimbing”. Tati lalu melihat ke sisi kanan jalan, di situ ada sebuah gerbang bertuliskan “Desa Pulau Belimbing”. Tati mengajak kak Lintje untuk singgah. Karena si ibu ini setuju, Tati lalu membelokkan mobil ke jalan masuk Desa Pulau Belimbing.

Gak jauh setelah melewati gerbang, si sparky harus melintasi jembatan yang terbuat dari batang kelapa yang disusun sedemikian rupa. Tapi setelahnya kita melintasi jalan yang mulus banget dengan kebun campuran di kiri kanan jalan. Kira-kira berjalan 500 meter kita menemukan tepian sungai yang rapi jali karena udah didam… Kayaknya bisa jadi tempat yang asyik untuk memandang-mandang atau bersampan-sampan di sore hari.. Hmmmmmm

Gak jauh, di sisi kiri jalan kita mulai menemukan pemukiman penduduk. Lalu di antaranya kita melihat sebuah rumah tradisionil, Rumah Lontiok. Tapi dilihat dari bahan bangunannya, rumah ini kayaknya siyy bangunan baru yang mengikuti design bangunan lama. Tati dan kak Lintje lalu turun dan mengamat-amati…

Rumah lontiok yang dibangun baru

Kami lalu meneruskan perjalanan… Kami lalu menemukan sebuah Rumah Lontiok yang tua yang sudah ditinggalkan, dinding-dindingnya sebagian sudah lepas.. Tapi kerusakan yang telah terjadi sama sekali tidak mampu menutupi keindahan yang pernah ada pada rumah tersebut… Ornamen bangunannya indah banget…., detil bnaget… Tati ngebayangin, betapa sejahteranya pemilik rumah ini dahulu, sehingga mampu membuat rumah dengan detil seindah itu..

Rumah Lontiok dan ornamennya yang indah…

Setelah mengamat-amati dan mengambil beberapa gambar dari rumah tersebut, kami meneruskan perjalanan.. Kami lalu sampai di bagian jalan yang bercabang. Kami lalu memutuskan untuk belok kiri… ke jalan yang juga beraspal mulus.. Lalu…, masya Alloh… kami sampai di bagian desa yang sudah ditinggalkan oleh penduduk. Di sini ada banyak rumah-rumah panggung yang tua dari kayu dengan ukuran yang besar… Tapi semua terlantar, semua tak berpenghuni… Jumlahnya bukan satu dua rumah tapi belasan, bahkan mungkin lebih dari 20 rumah…


Dua dari sekian banyak rumah-rumah tua yang ditinggalkan

Tati lalu menghentikan mobil.. Memberanikan diri untuk turun, meski hati berdebar-debar.. Maklumlah kejahatan terlalu sering terjadi dimana-mana, sehingga membuat gampang cemas.. Tapi dengan nekad mendekati beberapa rumah, membuat beberapa pics. Di antara rumah-rumah tua yang terlantar itu Tati melihat dua buah Rumah Lontiok, yang satu rumah tua, yang satunya baru dibangun. Tapi Tati gak berani mendekati, karena posisinya sekitar 50 meter dari jalan. Terlalu jauh kalo mendadak ada orang jahat menghampiri.. Lagi, kebanyakan nonton Sergap. Hehehe.. So, Tati hanya mengambil pic dari jauh..

Tati lalu memutar arah mobil, kembali ke pertigaan. Lalu mengarahkan mobil ke kiri, ke terusan jalan yang mula-mula.. Again… kita menemukan belasan rumah tua yang semuanya terlantar dan ditinggalkan.. Kita berdua semakin cemas… Tapi Tati nyempatin buat mengambil pics dari beberapa rumah, baru memutar mobil ke arah kita datang…


Beberapa rumah tua yang lagi-lagi ditinggalkan.. Lihat dinding dari papan yang disusun miring..

Di pertigaan kita berhenti buat mengamati sebuah rumah yang berada di tepi sungai.. Tati membayangkan seandainya rumah itu dan juga rumah2 lain yang juga terlantar di desa ini direvitalisasi, terus disediakan fasilitas yang layak, rumah-rumah itu bisa dijadikan penginapan bagi turis yang ingin menikmati kehidupan pedesaan di tepian. Apabila masyarakat bisa dibina untuk mengembangkan kuliner setempat, budaya2 setempat, dan bagaimana melayani wisatawan, desa ini bisa jadi desa wisata, bisa jadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakatnya… harusnya bisa, ya.. Tinggal komitmen dari pelaku-pelaku yang terlibat di sini… Baik dari masyarakat, pemerintah sebagai pembina, mapun dari pelaku di bidang pariwisata…

Rumah tua di tepi sungai Kampar

Lalu, seorang bapak mengahampiri Tati dan kak Lintje, ternyata beliau adalah kepala desa di situ. Beliau menawarkan diri untuk mengantar Tati melihat Rumah Lontiok yang gak berani Tati lihat dari dekat tadi.. Ternyata… Rumah Lontiok yang itu dibangun pada tahun 1800-an, dan dulunya sering digunakan masyarakat untuk rapat-rapat saat perang melawan penjajah. Saat Tati bertanya mengapa begitu banyak rumah yang ditinggal dan diabaikan, si bapak bilang kalo rumah-rumah yang berada di tepi sungai ini sempat mengalami banjir bandang, sehingga penghuninya pindah dari situ. Bahkan sebagian pemilik rumah-rumah tua itu sudah merantau ke Malaysia dan menetap di sana.

Rumah Lontiok yang agak jauh dari jalan..

Lihat ornamennya yang indah..

Ke Kuansing…

Ke Siak Sri Indrapura (Lagi…..!!!)

Hari ini Tati, Kak Lintje, Kak Iye, Ira, Nanda Besar & Danial jalan2 ke Siak Sri Indapura.

Dimana itu Siak Sri Indrapura?
Siak Sri Indrapura yang berada di timur Kota Pekanbaru adalah ibu kota Kabupaten Siak yang merupakan Kabupaten Pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Tati enggak tau persis berapa jaraknya dari Pekanbaru, karena kalau lewat sungai dan lewat jalan darat akan ada perbedaan perhitungan jarak. Sebelum pemekaran kota kecil ini hanyalah ibu kota kecamatan, padahal dulunya kota ini merupakan pusat pemerintahan salah satu kerajaan Melayu yang besar. Hal ini dapat dilihat dari Istana raja yang masih terawat dengan baik dan menjadi obyek wisata andalan daerah.

Sebelum hari ini Tati sudah beberapa kali ke Siak. Yang masih ingat siyy 4 kali…

Yang pertama waktu masih kecil banget, dibawa ibu mengunjungi keluarga beliau yang memang masih berdarah Melayu Siak. Waktu itu perginya dari Pekanbaru naik kapal.

Kali kedua, cuma singgah sebentar dalam perjalanan ke Bengkalis, pertengahan tahun 1980an, juga naik kapal. Kalo gak salah dari Pekanbaru jam 10an pagi, sampai di Siak sekitar jam 5an sore..

Kali ketiga waktu kelas 2 SMP, ikut ladies program ibu2 Kepala Biro Keuangan Provinsi se-Indonesia, yang waktu itu bapak2nya rapat di Pekanbaru. Kalo gak salah ingat perginya naik bus Pemda, udah lewat jalan darat, melintasi daerah eksplorasi Caltex, butuh waktu sekitar 3-4 jam. Dan disuatu daerah, sekitar Zamrud, kita mesti nyebrang pake pelayangan, semacam rakit, tapi udah modern.

Kali keempat sekitar akhir tahun 1985an, naik mobil pribadi. Dalam rangka menemani almarhum Tante Mong (adik Ibu) berkunjung ke keluarga di Siak. Kali ini juga lewat jalan yang sama dengan perjalanan yang ketiga, tapi yang nyetir mobil kak Tiur, tetangga waktu tinggal di Kompleks Gubernur dan juga sahabat keluarga sampai hari ini.

Kali ini, Tati ke Siak lewat Pangkalan Kerinci dan Buantan. Jarak yang ditempuh sekitar 130an km. Tapi jalannya di beberapa ruas, Subhanallah, persis kayak grafik sinus.. Honestly, Tati rasanya deg2an.. Apalagi mengingat kita berenam.. Enam jiwa ada dalam tanggung jawab Tati… Waktu pergi kita membutuhkan waktu 2.5 jam saja. Pulangnya… hampir 4 jam.. Selain karena sudah mulai gelap, hujan juga gak berhenti2, mulai kita keluar dari Kota Siak Sri Indrapura sampai kita di Pekanbaru, belum lagi jalannya dipenuhi oleh mobil2 besar yang membawa kayu2 untuk pabrik kertas, serta truk2.. Alhamdulillah kami sampai kembali ke rumah dengan selamat…

Ngapain ke Siak Sri Indrapura?
Kali ini kita ke Siak buat bawa Danial jalan2. Siapa itu Danial ? Danial adalah teman kuliah Barumun Nanda, ponakan Tati, di IKJ. Danial ke Pekanbaru untuk menghadiri Festival Film Indonesia Tahun 2007 yang berlokasi di Pekanbaru, karena dia adalah sutradara film “Karena Aku Sayang Markus“, salah satu nominee untuk kriteria Film Pendek. Daaaaaannnnn… film tersebut menang lho…!!!

So, karena gak tau mau bawa Danial jalan2 kemana (Pekanbaru kan obyek wisatanya terbatas banget..), dan sebagai seniman kita yakin dia pasti berminat akan hal2 yang berbau budaya.., plus kita2nya juga pada pengen jalan2 ke Siak. Ya, jadilah kita membawa Danial ke Siak.

Sungguh perjalanan yang mengesankan.. Meski badan terasa lelah setelahnya…

Jajanan Ramadhan…

Bulan Ramadhan itu kan bulan menahan diri dari segala hawa nafsu. Tapi ternyata di bulan puasa, sulit untuk menahan selera… Banyak yang jual makanan yang ueeeeenaaaak2 banget.., yang gak dijual pada hari2 biasa.. Biasanya cuma dijual di pasar2 Ramadhan, yaitu pasar kaget yang cuma jualan selama bulan Ramadhan..

Secara Tati gak masak di rumah. Kan kalo masak pasti ada minimalnya.., dari pada gak habis… mendingan beli pas2 buat makan aja… Itu juga kadang2 gak habis sekali makan, karena belinya “lapar mata”.. Hehehe.. Puasa sih puasa.. tapi nafsu pengen makan segala macam saat buka puasa sulit dibendung… Hehehe. Jadi ingat komentar Mas Dadang, senior di kantor.. “Mbak Sondha, kok bulan puasa tambah gendut, siiiyyyy…?”. Jadi malu deh kita…!! Padahal sumpah, timbangan turun 2 kg, lho….!!! Hehehe. Enggak jelas yang nambah dimana, yang turun dimana…

Hampir tiap hari, Tati tuh jalan2 nyari makanan.. Biasanya ke Pasar Ramadhan yang berlokasi di sisi timur Kampus Universitas Riau (UNRI) Jl.Patimura.. Di sini banyak banget yang jual makanan… Jenisnya juga macam2… Ada yang jual pempek dan kawan2 : tekwan , model, otak2, adaan, lenjer, kapal selam dll… Ada yang jual ikan bakar, ayam bakar… dan berbagai macam lauk dan sayuran… bahkan ada yang jual sayur atau lauk yang dimasak dengan jengkol…. Waduuuuuhhhh… Tati tuh suka penasaran, dengan yang berbau jengkol… Kenapa gitu? Iya, soalnya teman2 selalu bilang jengkol itu uenak banget, tapi Tati gak pernah makan dan takut buat nyobanya, karena dari kecil Tati dilarang ibu buat makan… Jadi penasaran ya tinggal penasaran… Gak berani nyoba, takut kecanduan… Hehehe….

Di Pasar Ramadhan UNRI, Tati hobby-nya nyari kripap… Apa itu…? Kripap itu sejenis pastel, tapi isinya ubi jalar yang dimasak dengan bumbu kare.. Jadi spicy banget… Jangan coba2 belinya lewat dari jam 16.30 yaaa…. Anda bisa kecewa, karena udah sold out… Tati juga seneng banget beli kue yang bagian bawahnyan ketan terus di bagian atasnya tepung beras rasa padan.. Ini juga enak banget…

Tempat favorit nyari makanan buka puasa yang lain berada di Jl. Hang Tuah, di depan SD Teladan, sekolah Tati dulu… Di sini ada yang jual wadai, kue2 khas Banjar, yang merupakan salah satu etnis yang dominan di daerah Indragiri Hilir, dan kemudian juga banyak menetap di Pekanbaru.. Nama tokonya PAPADAAN..

Di sini dijual berbagai macam amparan tatak alis kue talam… Ada tatak pisang, tatak jagung, tatak nangka.. semuanya delicious…. Dan bisa bikin ngecezzzzz… Hehehe..
Di sini juga dijual, kue sejenis serikaya yang manis dan lembut…, juga ada bingka ubi dan ada pastel yang isinya ikan sardencis yang ditumis… Kalo mau bela beli di sini, sebaiknya sebelum jam 14an.. Kalo setelah jam segitu…, biasanya udah pada habis tuh kue2nya.. Oh ya, di sini juga ada jual ayam masak habang (ayam masak merah), juga khas etnis Banjar. Sayangnya, ayamnya gak ayam kampung… Kalo ayam kampong, lebih enak lagi…

Tati kadang2 juga ke pasar ramadhan yang berada di halaman Kantor Camat Bukitraya,, Di sini Tati biasanya nyari cendol yang dibuat pakai pandan dan gula asli… Atau kadang2 juga ke pasar ramadhan yang di Jl. Kartini, di depan rumah sakit polisi. Kalo di sini, biasanya nyari lotek yang diulek saat kita beli.. dan bumbunya emang enak banget…, pas sama selera Tati..

Kadang Tati juga kangen pengen makan buah Melaka alias kelepon. Waktu Tati kecil Buah Melaka yang palin enak itu buatan Ibu Hutagalung di Jl. Tambelan. Tapi sekarang beliau sudah almarhummah, jadi gak ada lagi. Jadi kalo pengen, sekarang mesannya di Jl. Pisang, di sekitar Jl. Cempedak. Tapi mesti pesan, karena beliau gak punya stock yang siap jual..

So…, godaan selera di bulan puasa itu emang luar biasa…..!! Tapi juga sekaligus ada keasikan sendiri berburu makanan… Btw, di pasar Ramadhan Tati sering ketemu teman2 dan kenalan2 lama yang di hari2 biasa jarang banget bisa ketemu… Ini juga merupakan salah satu hal yang Tati rindukan pada bulan2 bukan ramadhan…. Ramdhan oh Ramadhan… Mudah2an tahun depan bisa jumpa lagi yaaaa…. Amin Ya Rabbal Alamin****

Bingka ubi

Kue Srimiskin… eh Srikaya

Kue lapis Ketan

Pastel Isi Sarden

Buah Melaka alias kelepon kata orang Jawa