Ke Banda Neira ku akan pergi dengan “Lomba Blog Pegipegi”

Bandra Neira merupakan daerah tujuan wisata yang paling ingin aku kunjungi di negeri tercinta ini.  Bahkan beberapa bulan yang lalu aku sempat membicarakan dengan beberapa sahabat agar kami bisa pergi bersama-sama lagi, seperti yang pernah kami lakukan dan aku tulis di blog ini sekitar 4 tahun yang lalu..   Makanya, BANDA NEIRA lah daerah tujuan wisata yang aku tulis untuk menjawab tantangan Lomba Blog Pegipegi #BukanSekedarTraveling  kali ini…

Mengapa ingin pergi ke Banda Neira?  Itu kan bukan destinasi wisata yang sangat populer di Indonesia..   Dimana letaknya?  Apa istimewanya kota kecil itu…?

Banda Neira itu sebuh kota kecil di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku..  Karena berada di pulau yang sangat kecil, lahan yang tersedia untuk pemukiman terbatas, dari yang aku dengar, lahan di kota ini muahalllll…. 😀

Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/49/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Veilige_ligplaats_voor_schepen_te_Banda_Neira_TMnr_3728-863.jpg

Banda Neira Tempo dulu

Kepulauan Banda merupakan gugusan pulau dengan gunung api, yang berada di Laut Banda, salah satu laut terdalam di dunia.  Kepulauan ini juga berada diantara Paparan Sunda, di sisi barat dan Paparan Sahul, di sisi timur,  sehingga menyebabkan keunikan pada flora dan faunanya.  Letak geografis yang unik ini juga membuat Keplauan Banda mempunyai pemandangan yang indah, sangat indah…

Di sisi lain, Kepulauan Banda sejak berabad lalu merupakan penghasil pala (nutmeg) dan bunga pala (mace) yang luar biasa, baik dari sisi kuantitas mau pun kualitas.  Ini membuat para pedagang rempah dari Eropa berlomba menguasai jalur perdagangannya, bahkan menguasai tanah yang menghasilkannya. Ambisi bangsa-bangsa Eropa  ini  menjadi penyebab Indonesia mengalami penjajahan  Belanda selama 3,5 abad.  Ini lah sebabnya Kepulauan Banda, Banda Neira mendapat tempat istimewa dalam catatan Sejarah Bangsa Indonesia, dan juga catatan Sejarah Perdagangan Rempah Dunia..

Sebelum bangsa Eropa, sebenarnya pedagang rempah dari Timur Tengah sudah lebih dahulu sampai ke Kepulauan Banda.  Kedatangan para pedagang rempah dari Timur Tengah dan Eropa ini mewarnai Kepulauan Banda dengan agama dan budaya mereka.  Agama Islam dan Kristen, serta budaya Timur Tengah dan Eropa, berpadu di wilayah ini..   Tinggalan yang tentu memberi warna unik, dan cantik pada budaya di Kepulauan Banda.

Perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia juga mencatat Banda Neira, seperti juga Ende, dan Bengkulu.  Ya, Banda Neira pernah menjadi tempat pengasingan Founding Father of Indonesia, Bung Hatta.  Sebagaimana Ende dan Bengkulu pernah menjadi tempat pengasingan bagi Bung Karno.  Bahkan Bung Cilik, Sutan Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri Pertama Indonesia, juga pernah diasingkan di Banda Neira.

Alam yang indah, budaya yang kaya, menjadi bahagian dalam catatan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, bahkan sejarah perdagangan rempah dunia, menjadi sebab mengapa diriku sangat, sangat ingin pergi ke Banda Neira.

Apa aja yang mau aku lihat, aku lakukan di Banda Neira..?

 sumber : http://www.tripadvisor.com/Attraction_Review-g2444699-d3258075-Reviews-Gunung_Banda_Api-Banda_Neira_Maluku_Islands.html

Gunung Api Banda Neira

Mendaki gunung api…  Dari yang aku baca, butuh waktu 2,5 – 3 jam untuk naik mau pun turun.. Perjalanan yang menurut catatan orang-orang yang sudah pernah ke sana, tidak mudah, karena berjalan di pasir.  Namun menurut mereka itu layak dilakukan, karena pemandangan yang luar biasa dari atas gunung.

Sumber : berbagai web

Sumber : berbagai web

Mengelilingi Pulau Banda dengan berjalan kaki, atau bersepeda… Berusaha menikmati sebanyak mungkin sudut-sudut Kota Banda Neira dan Pulau Banda… Membuat foto-fotonya… Melihat Benda Cagar Budaya yang masih ada, menikmati pertunjukan seni dan budaya, melihat kerajinan dan hasil kreativitas masyarakatnya, berinteraksi dengan masyarakat dan tentu menikmati kuliner khas Banda.  Aku juga ingin menginap di hotel Maulana yang didirikan oleh bapak Des Alwi, salah satu murid yang diajar oleh Bung Hatta saat menetap di Banda Neira, yang kemudian menjadi salah satu diplomat Indonesia.

Sumber : berbagi web

Sumber : berbagai web

Karena aku belum bisa diving, dan hanya bisa berenang gaya batu.. Hehehehe…  Aku tidak berencana untuk melakukan diving di Banda Neira.   Meski dari yang aku baca, dan dengan posisi geografis yang dimilikinya, Kepulauan Banda punya keindahan biota laut yang luar biasa.  Tapi aku ingin berperahu mengelilingi pulau-pulau yang ada di sekitar Banda Neira, dan juga singgah ke pulau-pulau tersebut.  Dan kalau di sana ada glass boat, tentu dengan senang hati aku mau menikmati pemandangan laut dari glass boat tersebut.. Ada gak yaaa….?

Apa yang ingin ku lakukan bagi Banda Neira?

Hmmmm…. Sebagai seorang pegawai pemerintah, waktuku untuk pergi tidak banyak.  Cuti bagi PNS hanya sekitar 12 hari kerja.  Dipotong dengan cuti bersama yang biasanya diberikan saat menjelang dan sesudah lebaran, juga pada harpitnas-harpitnas (hari terjepit nasional) 😀 biasanya cuti yang tersedia tinggal 7 hari kerja.  Jadi aku tak kan bisa berlama-lama di Banda Neira.. Seluruh perjalanan, dengan mengambil cuti, plus ditambah izin untuk tidak masuk kantor, kalau pimpinan berkenan memberikan, paling lama 10 hari.  Yang bisa dilakukan bagi masyarakat Banda Neira dalam waktu yang singkat adalah dengan menunjukkan perilaku yang baik, sesuai ajaran agama yang aku anut, terutama dengan cara berpakaian yang telah aku pilih selama 14.5 tahun terakhir.  Aku juga bisa membawakan  buku-buku,  vcd-vcd tentang Budaya Melayu untuk diletakkan di Pustaka-pustaka sekolah, sebagai upaya mengenalkan budaya yang berbeda.  Hal lain yang bisa aku lakukan adalah membuat tulisan tentang Banda Neira, bukan saja dalam rangka pengenalan dan promosi pariwisata, tapi juga untuk mengingatkan betapa luar biasa peran Kepulauan Banda, Kota Banda Neira dalam perjalanan sejarah bangsa kita, dengan harapan bisa mengetuk pintu hati, terutama orang muda Indonesia, agar lebih peduli, dan semakin cinta dengan Nusantara..

Sebenarnya untuk memenuhi keinginan pergi ke Banda Neira ini, aku sudah mulai mencari info.  Pada akhir tahun 2013,  di salah satu rapat koordinasi yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, aku kembali bertemu dengan kak Ellen, salah seorang teman yang bertugas di Dinas Pariwisata di salah satu kabupaten di Provinsi Maluku.   Aku sempat tanya-tanya ke kak Ellen,  bagaimana cara untuk pergi ke Banda Neira.  Karena sejauh yang aku dengar dan baca,  pesawat ke sana sangat jarang dan ukurannya kecil.

Menurut kak Ellen, untuk sampai ke Banda Neira, aku sebaiknya naik  pesawat ke Ambon, lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kapal ke Banda Neira.  Mengingat kapal penumpang dari Ambon ke Banda Neira  yang ukurannya besar hanyalah 2 unit  kapal milik PELNI, dengan jadwal berangkatnya hanya satu  kali seminggu, maka waktu  untuk melakukan perjalanan ke Banda Neira harus direncanakan dengan baik.

Mengingat tugasku di kantor sejauh ini lumayan,  dan jadwal kerjanya cukup padat, serta acap kali harus menghadiri rapat yang mendadak, aku masih belum bisa membeli tiket untuk terbang dari Pekanbaru – Jakarta – Ambon pp.  Padahal kalau bisa beli tiket jauh-jauh hari, kan bisa dapat harga tiket murah.. Apa lagi kalau bayarnya bisa dicicil… Hahahaha…  Semoga keadaan bisa memungkinkan diriku untuk merealisasikan perjalanan ke Banda Neira, ya..***

banner pegi_pegi

Berkunjung Ke Kailasa

Tulisan ini merupakan repost dengan menggabungan dua tulisan yang aku tulis hampir 4 tahun yang lalu… Tulisan yang  ini dan yang  ini…  Semoga penggabungan ini justru memberikan gambaran yang utuh tentang keindahan Kailasa…

Kailasa

Deskripsi Tentang Dieng di Museum Kailasa…

Kailasa ? Dimana itu…? Kok rasanya nama itu gak pernah tercantum di peta.. Di Indonesia atau di negara lain ya…?

Kailasa itu di Indonesia… Beneran Indonesia.. Tepatnya di Dieng Plateu (Dataran Tinggi), di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.. Dieng karena keindahan dan ketentramannya diibaratkan sebagai Kailasa atau Khayangan, negeri para dewa, negeri yang indah di atas awan….

Menurut informasi di Museum di Dieng, yang diberi nama Kailasa, berdasarkan 22 buah prasasti berbahasa Jawa Kuna, Dieng yang berasal dari kata Dhi Hyang (tempat para roh).  Dieng dahulu berfungsi sebagai pusat kegiatan religius, tempat para pendeta sekte Saiwa melakukan praktek asketik, dimana Dieng diibaratkan sebagai Kailasa artinya Kahyangan Siwa yang Suci, Pusat Dunia dan Tempat Para Arwah Bersemayam…

Hari Sabtu, 26 Maret 2011 jam 06.30 pagi aku beserta 2 orang teman yang bernama sama, Ika dan Ika, diantar Mas Joko, si driver yang baik hati, memulai perjalanan dari Yogya ke Dieng..  Kami jalan ke arah Sleman… melalui daerah Kali Putih.., daerah yang mengalami bencana berupa lahar dingin yang membawa material pasir dengan volume yang subhanallah banyaknya.., yang menyebabkan banyak rumah hancur….

Setelah singgah untuk sarapan brongkos di Warung Ijo Bu Padmo di bawah jembatan yang menghubungkan desa Salam dan desa Tempel, kami menuju Wonosobo melalui jalan pintas, melalui desa-desa di perbukitan selama sekitar 2,5 jam.  Udara di Wonosobo sejuk…, dengan pemandangan warna hijau dimana-mana…

Dieng Plateu 1

Dari Wonosobo harus ditempuh 25 km lagi untuk bisa sampai ke Dieng.. Namun ini perjalanan yang menyenangkan…, karena menyusuri bukit-bukit dan pegunungan… Iya, Dieng berada diantara pegunungan karena Dieng diperkirakan dulunya merupakan danau bekas kawah gunung api yang sudah mati..

Mobil lalu diparkir di pelataran, yang di ujungnya terdapat semacam pintu ke arah sebuah taman… Tapi karena hari hujan, kami terpaksa menunda masuk ke taman tersebut dan duduk di warung Pak Saroji…  Warung yang antik…  Kenapa..? Karena penjualnya menghidangkan dagangannya berupa manisan carica, kentang goreng, kripik kentang, kacang, minuman purwaceng tanpa menagih pada pengunjung yang menikmati di tempat.. Yang ditagih hanya yang kita beli untuk dibawa pulang.. What a service…!!!!

Sementara menunggu hujan reda, sambil menikmati makanan dan minuman hangat di Warung pak Saroji, kami juga sempat melakukan sholat di musholla yang berada tepat di belakang warung..  Saat berwudhlu…. Subhanallah….. bbbbrrrrr………………… airnya sejuk banget…… gigi aja bergemeretuk dan ngilu ketika kumur-kumur….  Rasanya malah pengen bergelung dalam mukena.. hehehehe…

Setelah hujan agak reda,  dengan dibekali payung pinjaman dari isteri pak Saroji, kami berjalan menuju taman yang tersembunyi di balik rerimbunan bunga…  Melewati pintu gerbang, kami melihat selapis rerimbunan tanaman lagi di depan.. Sedangkan di sisi kanan terlihat umpak, yaitu tumpukan batu2 candi tersusun rapi…, yang ternyata Rekonstruksi Dharmasala…, tempat istirahat para penziarah dan juga tempat persiapan upacara keagamaan..

Lalu kami meneruskan langkah menuju taman yang ditutupi pagar tanaman… Subhanallah…, di balik tanaman2 tersebut terbentang jejeran 5  buah candi yang indah… Disempurnakan  dengan udara yang sejuk dan kekabutan serta perbukitan hijau  yang menjadi latarnya… Subhanallah…. Sungguh indah… Tak salah bila diungkapkan bagai Negeri Indah di Atas Awan

Candi tersebut oleh masyarakat diberi nama mengikuti tohoh-tokoh pewayangan..  Candi Arjuna, Candi Semar (di depan Arjuna), lalu Candi Sumbadra, Candi Puntadewa dan Candi Srikandi.

Nama-nama candi ini membawa aku pada kenangan masa kecil, ketika almarhumah ibu membelikan aku 4 jilid buku cerita bergambar yang sangat tebal (untuk ukuran anak kelas 4 SD) karya RA. Kosasih yang berjudul Mahabrata, lalu 3 jilid buku Barata Yudha, serta beberapa jilid (aku gak ingat persis lagi) buku yang tak terlalu tebal berjudul Pandawa Seda..  Buku-buku itu membuat aku mengenal tokoh-tokoh wayang beserta karakternya… Buku-buku yang mengajarkan pilihan-pilihan hidup yang bernama kebaikan dan keburukan, serta segala konsekuensinya…

Candi Arjuna 1

Tapi menurut deskripsi yang belakangan aku baca di Museum Kailasa, tidak ada hubungan antara nama dan karakter tokoh wayang-wayang tersebut dengan apa yang diekspresikan pada dinding-dinding candi itu…

Kami lalu menyusuri candi-candi tersebut satu persatu… Mengelus dan merasakan pahatan-pahatannya..  Kalau sudah begini, sedih rasanya tidak punya ilmu arkeologi sehingga tak mampu membaca apa makna yang tersurat dan tersirat pada setiap bahagian candi-candi tersebut…

Ada banyak tanya di dalam hati.. Generasi seperti apa yang mampu menetukan lokasi yang begini indah untuk menjadi tempat melakukan aktivitas asketiknya…? Berapa banyak orang yang terlibat membuat semua ini, berapa lama..? Dari mana mereka datang…? Dari mana mereka mendatangkan bahan-bahannya.. Bagaimana teknologi arsitektur dan pahat batu mereka sehingga mampu menghasilkan karya yang begitu indah…?  Dan satu hal lagi, lokasi ini, diperkirakan dengan teknologi saat ini, berada tepat di tengah Pulau Jawa.. Kok bisa generasi abad keenam dan ketujuh menentukannya..? Rasanya zaman itu pengetahuan pemetaan masih sangat sangat sangat terbatas..  Gak ada GPS atau apalah yang bisa membantu mengukur.. Coincidence….? Rasanya enggak yaa…  Kalau enggak, terus bagaimana…? Pakai teknologi apa…?

Belum puas berkeliling, mengamati dan duduk menikmati suasananya, kami harus bergegas pergi karena hujan mengguyur dengan derasnya… Payung tak mampu melindungi diri dari terpaan air hujan..  Udara jadi terasa semakin dingin menusuk tulang… tapi, candi dan lingkungannya jadi semakin indah dan eksotis…. Membuat semakin enggan meninggalkannya…

Ketika hujan semakin tak bersahabat, kami terpaksa berlari dan berlari untuk kembali ke warung pak Saroji untuk menghangatkan tubuh dengan teh hangat dan kentang goreng serta secangkir purwaceng…

Lama menunggu, hujan ternyata tak kunjung reda di daerah yang dingin ini…. Brrrrrrr…. Dingin  dan semakin dingin… Apalagi sebagian baju agak-agak basah kena tempias hujan saat berlari-lari meninggalkan Kompleks Candi Arjuna.  Setelah menunggu dan menunggu…, dan dengan mempertimbangkan waktu yang tersisa, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.  Meski masih hujan…, dan dengan bekal pinjaman 2 buah payung  dari pak Saroji pemilik warung di kawasan parkiran Kompleks Candi Arjuna, kami melanjutkan perjalanan…

Kemana……………?

Ke Kawah Sikidang…

Kawah Sikidang 1

Kawah…? Maksudnya bukaan gunung api yang mengeluarkan gas…? Iya…. Betul sekali…  Tapi kawah yang ini tidak seperti Kawah Bodas di Gunung Tangkuban Perahu yang membutuhkan perjuangan untuk sampai ke lokasi.  Aksesibilitas ke kawah ini begitu mudah…, ada jalan aspal.. hotmix pula… !! So, setelah menyusuri jalan dan sempat melintas di bawah pipa gas yang merupakan jaringan dari PLTG,  kami pun sampai ke area parkir Kawah Sikidang… Area parkir….???  Iya… Kawah Sikidang dilengkapi dengan area parkir plus beberapa fasum yang umumnya ada di obyek-obyek wisata yang dikelola dengan baik..  Selanjutnya dari area parkir,  kami tinggal jalan kaki beberapa puluh meter untuk sampai ke lahan dimana terdapat bukaan-bukaan yang menjadi jalan keluar gas bumi…..

Btw, begitu membuka pintu mobil, selain merasakan udara yang sejuk serta rinai gerimis yang memang selalu ada di daerah ini, kita juga akan mencium bau yang “keren abizzzz”,  hehehehe… Bau yang nyaris seperti bau k****t, yang merupakan bau gas sulfur…  Sebagai catatan, pengunjung tidak boleh terlalu dekat dengan kawah-kawah yang ada.., karena gas Sulfur itu bisa menjadi racun bila terhirup dalam konsentrasi tertentu…  Untuk mengingatkan pengunjung , Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara meletakkan tanda peringatan yang dilengkapi dengan gambar tengkorak…

Menurut legenda yang ada di masyarakat Dieng, Kawah Sikidang adalah seorang pangeran yang ditimbun dalam sebuah sumur yang digalinya sendiri atas permintaan seorang putri cantik yang telah dilamarnya.  Karena si pangeran tak cukup tampan di matanya, sang putri berusaha menyingkirkan sang pangeran buruk rupa dengan menguburnya di dalam sumur..  Namun akibat kesaktiannya sang Pangeran mampu tetap meronta-ronta dalam bentuk golakan lahar di kawah Sikidang….

Pasar Sikidang

Setelah melihat cairan yang bergolak di bukaan-bukaan yang ada di tanah tersebut dari balik kekabutan, kami kembali ke parkiran mobil…  Di sekitar parkiran itu tersedia beberapa bangunan yang difungsikan sebagai pasar lengkap dengan toilet yang cukup bersih…  Sebelum pulang kami menghampiri sebuah warung di pojokan pasar tersebut.., warung yang menjual goreng tempe, tahu, pisang serta lengkap dengan minuman berupah teh, kopi dan purwaceng, sejenis minuman khas dieng yang terbuat dari rempah-rempah..  Dalam cuaca yang dingin…, tempe dan tahu goreng yg dicocol sambel kecap rasanya nikmatttttt bangetttzzzzzz……  di pasar ini juga ada jual tanaman gunung yang cantik-cantik.. Menggemaskan…  😀

Merasa enakan setelah menyantap beberapa potong gorengan dan minuman…, kami melanjutkan perjalanan… Kemana lagi….? Ke Telaga Warna…, tapi sebelumnya kami singgah di Candi Bima yang berada di perbukitan di pertigaan jalan ke Kawah Sikidang yang telah kami lewati saat datang…

Candi Bima, seperti tokoh Bima yang bertubuh paling besar di antara anggota Pandawa, merupakan candi terbesar.. Lokasinya juga paling tinggi dibanding lokasi candi sebelumnya…, sehingga untuk mencapainya kita harus melewati  beberapa puluh anak tangga.    Aku amat-amati, bagian belakang candi ini mengarah ke Kawah Sikidang…, sehingga dalam candaanku ke teman-teman satu rombongan, aku bilang kalo “Bau yang keren abiz dari Kawah Sikidang itu adalah bau k****t Bima.. Hahahahaha….

Telaga warna a

Dari Candi Bima kami meneruskan perjalanan ke Telaga Warna..  Setelah membeli karcis di  di loket yang ada di pintu gerbang, kami menyusuri jalan setapak menuju telaga… Daannnn…, subhanallah, telaga itu berwarna hijau pupus, ada juga yang kemerahan di bagian ujung. Warna telaga nampaknya disebabkan oleh lumut yang ada di dasar telaga, yang mungkin disebabkan pengaruh lahan yang vulkanis.  Dikelilingi tetumbuhan, suasana yang sunyi dan rinai hujan, telaga itu tampak indah, juga syahdu…  Ada keheningan yang begitu dalam….

Telaga warna 1 a

Dari Telaga Warna kami kembali ke Yogya…, setelah singgah untuk mengembalikan payung pinjaman ke warung pak Saroji dan juga singgah untuk makan sore di sebuah rumah makan di Wonosobo…

Perjalanan ini begitu indah…, begitu memuaskan mata dan bathin..  Dataran yang tinggi dan selalu berkabut benar-benar bagai Negeri di Atas Awan…

Telaga warna 2 a

Dalam hati aku berharap bisa kembali ke sini untuk waktu yang lebih lama.. Sehingga bisa menginap dan menikmati setiap sisi Dieng….

Di dalam mobil yang menyusuri jalan berliku menuju Yogya, pikiranku yang liar dan terkadang ajaib berkata…, “Seandainya aku mendapatkan pasangan hidup yang orangtuanya menetap di Dieng, tentu aku punya alasan untuk kembali dan kembali berkunjung ke Negeri Indah di Atas Awan ini… Aku akan punya “rumah” di sini….” Hehehehehe….***

1 Banner Jan-Feb 2015 edit