Pulau Weh dalam Kenangan…

Sebuah iklan layanan masyarakat dalam rangka 17 Agustus yang dibuat sebuah produsen rokok, yang mengambarkan seorang wanita bergaun putih yang ditemani anak2 menyusuri Tanah Papua dan Pulau Weh, mengingatkan Tati akan perjalanan Tati ke Pulau Weh…, dulu.. dulu sekali…

Tati, dua kali ke Pulau Weh… dengan situasi yang sangat berbeda..

Kali pertama.. sekitar bulan Juni tahun 1980..
Tati pergi ke Sabang dengan Mama, bang Rio dan adik2..
Waktu itu Freeport masih diberlakukan…
Kehidupan di Sabang jadi meriah..
Di malam hari toko2 tetap buka, transaksi tetap berlangsung…
Bahkan dari bagian atas kota, terlihat aktifitas pelabuhan tidak berhenti…
Waktu itu, Mama sibuk belanja segala pecah belah..
Kami anak2 belanja jeans dan barang2 elektronik…

Tati kembali lagi ke Pulau Weh sekitar akhir bulan Juni tahun 1999..
Kali ini Tati ke Sabang dalam rangka pengumpulan data untuk tugas akhir pelatihan Teknik & Manajemen Perencanaan Pembangunan yang diadakan Bappenas & Depdagri, dan dilaksanakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Saat itu Freeport, sudah dibekukan bertahun2…
Sabang jadi kota yang mati…
Jalan utama di pasar, yang dulu ramai bahkan di malam hari, jadi sepi dan dapat digunakan oleh anak2 untuk bermain bola kaki di siang hari.., di saat mana seharusnya aktivitas bisnis berlangsung..
Pelabuhan yang dulu ramai dengan bongkar muat barang, jadi tempat masyarakat duduk memancing dan duduk menikmati pantai..
Tidak ada lagi suasana transaksi yang meriah…
Bahkan informasi dari aparat pemerintah setempat, pertumbuhan penduduk di wilayah ini mencapai angka di bawah nol.. (sementara pertumbuhan penduduk Kota Pekanbaru mencapai 3.99%, akibat tingginya tingkat urbanisasi)..

Betapa menyedihkan bila membandingkan kedua keadaan tersebut…
Aneh rasanya suatu wilayah yang begitu strategis bukannya berkembang tetapi menurun..

Tapi kunjungan kali ini, Tati tidak hanya berjalan2 di seputar Kota Sabang..
Tati bahkan sampai ke tugu Titik Nol, menyusuri pantai2 di sisi barat Teluk Sabang, Pantai Iboih dan Pantai Gappang….

Di diary Tati tertanggal 30 Juni1999 tertulis serangkaian kata2 tentang Pantai Gappang yang ditujukan untuk seorang Bajak Laut yang saat itu mengisi relung hati..

Pirate..,
Malam ini aku berada di Gappang,
Di atas ayunan kain di beranda kamar tempatku menginap…
Di suatu sudut di Teluk Sabang, di Pulau Weh..
Indah.., damai, begitu menentramkan..
Membuat aku sejenak lupa akan deru kehidupan..
yang penuh tuntutan, penuh pergolakan..

Gappang benar2 sebuah tempat untuk kedamaian hati…
Aku berharap kembali ke sini suatu hari nanti, bersama kamu..
Untuk berbagi keindahan, kedamaian dan ketenangan..
Akan kah itu memungkinkan ?

Catatan…
Tadi sore.., aku berenang di tepi pantai..
Naik perahu ke Pulau Rubiah…,
Sebuah pulau yang dikelilingi terumbu karang..
Warna biru lautnya unik, biru turquoise…, indah sekali..
Tidak pernah aku melihat laut berwarna seperti itu sebelumnya…
Aku yakin kamu akan senang sekali kalau bisa sampai ke tempat ini…
***

Papa Seluler…. (3)

Pagi tanggal 15 Agustus… Jam di dinding kamar menunjukkan 06:10 saat hp Tati berbunyi, tidit tidit..
Sebuah pesan masuk.. Pas dilihat.., dari Papa.

“Pujilah Tuhan Hai Jiwaku,
dan Janganlah Lupakan Segala KebaikanNya.
Doa Papa Menyertai Kalian.
Papa sudah semakin baik”

Tati lalu meraih telepon, mendial nomor 0813 sekian sekian..
Begitu terdengar suara hp diangkat..
Tati : “Pagi, Pa.. Apa kabar Papa pagi ini?”
Papa : “Papa, sudah lebih baik Inang. Ini Papa lagi jalan2 pagi di lorong rumah sakit.”
Tati : “Gitu ya, Pa. Tapi jangan terlalu dipaksa dulu, ya Pa. Badan Papa masih butuh istirahat.”
Papa : “Ya, tapi mungkin Papa 1 atau 2 hari ini sudah bisa pulang. Mungkin, setelah istirahat 1 minggu Papa akan bisa mulai aktif lagi.”
Tati : “1 minggu? Jangan dulu lah, Pa. Paling sikit Papa harus istirahat 1 bulan penuh, dan tidak nyetir dulu lah.. Gak mundar mandir dulu lah..”
Papa : “Tapi Papa takutnya Papa jadi sakit, kalo gak ngapa2in..”
Tati : “Pa, istilahnya sekarang badan Papa tuh tekor karena kecapekan.. Jadi biar recovery-nya benar dulu lah.. Kalau ada urusan kerjaan, minta mereka dulu lah yang datang ke rumah. Ya ?”
Papa : “Begitu, ya Inang? Iya, ya. Nanti Papa atur.”
Tati : “Pa, udah dulu ya. Ndha mesti siap2 pergi kerja.”
Papa : “Iya, Inang. Baik2 kerja. Sabar2 menghadapi keadaan.”
Tati : “Iya, Pa.”
Klik telepon ditutup.

Papa masih dirawat di rumah sakit..
Beliau gak betah.., karena biasanya emang restless alias gak bisa diam..
Satu2nya hiburan Papa adalah buku, buku dan buku..
Selagi masih ada buku di sekitarnya, insya Allah Papa tuh masih bisa menikmati waktunya yang senggang..
Tapi, ini bukan kali pertama Papa dirawat di rumah sakit tahun ini..
Bulan Februari 2007 lalu, Papa operasi penyumbatan prostat di Penang..
Faktor usia memang gak bisa dipungkiri ya.., tubuh merapuh..

Semoga Tuhan masih memberi kesempatan bagi kami anak2nya untuk membahagiakan Papa dan Mama..
Semoga Tuhan selalu mencurahkan rahmat bagi kedua orang tua Tati..
Semoga Tuhan selalu melindungi mereka di dunia dan akhirat nanti..
Semoga Allah selalu mencintai Papa dan Mama…***

Puisi Tinneke….

A Wingless Butterfly Does Not Exist In This World,
A Thornless Rose Is Hardly Any Or None,
A Friendship Without Fault Is Also Something Rare,
But Love Without Trust Is The Biggest Lie In This World.…

Ini adalah beberapa baris puisi yang Tati temukan di sebuah dinding di Museum Ulen Sentalu, Kaliurang, Yogyakarta saat Tati berkunjung ke sana tanggal 25 Juli 1999. Puisi ini ditululis oleh Tinneke, salah satu putri bangsawan keraton Paku Alaman, Yogyakarta….

Ada beberapa kalimat beliau yang juga bermakna dalam….

Simplicity Is The Sign Of Truth
Virtue Is Beauty

The Biggest Mistake
You May Take In Your Life
Is To Keep Worrying
And You Will Experience This

Mudah2an, suatu saat bisa kembali ke Ulen Sentalu…
Bisa kembali menikmati tulisan2 yang ada di sana..
Menikmati kain2 batik kuno yang indah..,
Menikmati suasana yang tenang, damai sembari mereguk nikmatnya wedang jahe…***