Teman-teman, ini saya salinkan Kata Sambutan yang ditulis ibu Susan Rodgers untuk Kamus Angkola Indonesia Cetakan Ke-2. Beliau adalah seorang antropolog berkewarganegaraan Amerika, yang pernah melakukan penelitian tentang Budaya Batak. Beliau pencinta Budaya Batak, dan bersama beberapa temannya menetap di Sipirok pada tahun 1970-an saat melakukan riset untuk program masternya. Dan beliau sangat fasih berbahasa Angkola. Sepertinya Bahasa Angkola adalah bahasa kedua beliau setelah bahasa ibunya, Bahasa Inggris. Saya bisa melihat itu saat beliau berkomunikasi dengan Papa saya, pada waktu kami bertemu di bulan Juni 2013 di Medan. Hal itu sempat membuat saya merasa malu… 😀
Kebetulan saya menjadi jembatan proses komunikasi antara Papa saya dengan ibu Susan, yang telah diberi marga Siregar oleh tetua Adat Sipirok pada tahun 1970-an (makanya saya memanggil beliau dengan BOU dalam komunikasi-komunikasi kami). Saya biasanya ditugaskan menyampaikan pikiran dan pendapat Papa saya ke ibu Susan dalam bentuk email. Juga menyampaikan permohonan agar beliau bersedia memberi kata pengantar untuk kamus ini. Begitu juga sebaliknya. Jadi Kata Sambutan beliau yang aslinya dalam Bahasa Inggris, dikirimkan ke saya untuk diteruskan ke Papa untuk kemudian dilampirkan di bahagian awal kamus. Dan versi Bahasa Indonesia yang juga ditampilkan di awal kamus, adalah terjemahan yang sudah beliau periksa dan mendapat pesetujuan.. Untuk teman-teman ketahui, beliau meminta softcopy draft kamus dikirimkan kepada beliau sebelum beliau menulis kata pengantar. Jadi ada proses yang beliau lakukan sebelum menulis kata pengantar ini..
Mengapa saya menyalinkan Kata Sambutan ini di blog saya…? Agar kita, terutama generasi muda Angkola bisa melihat, memahami bahwa Bahasa Angkola itu pernah begitu maju.. Kemajuan itu pasti disebabkan adanya orang-orang cerdas, orang-orang intelek..
Selamat menikmat… Semoga terinspirasi…
KATA SAMBUTAN EDISI KEDUA
Sekali lagi ini merupakan suatu kehormatan bagi saya diminta untuk membuat Kata Sambutan pada Kamus Angkola/Indonesia yang sekarang hadir dalam edisi kedua dengan revisi penambahan 500 kata baru. Seperti yang pernah saya sampaikan pada tulisan pembuka saya di edisi pertama kamus ini, yang terbit tahun 2004 lalu, kamus seperti ini akan sangat dibutuhkan oleh orang Tapanuli dan Angkola di berbagai kota, para generasi muda yang ada di daerah tersebut, dan dalam jagad keilmuan seperti linguistik, antropologi, sastra dan lmu pengetahuan sejarah di Indonesia dan seluruh dunia. Kamus ini disusun dengan cermat setelah dilakukan kerja lapangan dan pengujian dari buku-buku penting yang berkaitan dengan pembuatan kamus ini, seperti novel berbahasa Angkola yang terbit tahun 1920an yaitu novel Sitti Djaoerah, yang tentunya tidaklah dibuat hanya untuk menjadi buku yang menyimpan banyak kata namun dibiarkan berdebu di rak buku. Kiranya, kamus seperti Kamus Angkola/Indonesia ini dapat menjadi katalisator yang memperkaya khasanah Bahasa Indonesia dalam kehidupan masyarakat saat ini dan juga masyarakat dari berbagai latar belakang.
Kamus seperti ini juga dapat membantu para siswa disekolah. Mereka dapat menemukan betapa banyaknya buku-buku bahasa Angkola di Tapanuli dan Medan yang dibuat selama masa penjajahan Belanda, sejak tahun 1910an sampai awal tahun 1940an. Saya sangat berharap buku-buku luar biasa sejenis ini juga dapat dicetak ulang.
Selain itu, kamus yang luar biasa dan memuat ilmu pengetahuan luas seperti kamus ini, memiliki sisi estetik berbahasa orang Sumatera yang baik, juga dapat membantu para sarjana kita di Indonesia. Dan lebih dari pada itu, kamus ini juga bisa melestarikan kembali atau menjaga naskah-naskah penting pada masa lampau. Pada masa dahulu itulah bahasa seperti bahasa Angkola Batak digunakan secara intensif pada novel, koran, buku pelajaran dan cerita rakyat. Karya sastra dengan bahasa daerah seperti inilah yang kurang dikenal sekarang, bahkan di Indonesia. Novel modern berbahasa Indonesia seperti novel M. Rusli Siti Nurbaya dan novel milik Sipirok sendiri, Azab dan Sengsara (oleh Merari Siregar) merupakan bacaan populer untuk para pembaca umum dan siswa sekolah menengah, namun novel berbahasa Angkola dan novel berbahasa jawa (misalnya) tidak dikenal luas. Kamus seperti inilah yang dapat membantu para pembaca mencerna bahasa atau kata yang ada dalam buku atau novel terbitan lama tersebut, yang tidak hanya dapat mengetahui sekedar katanya saja tapi juga sisi estetik dari makna kata atau bahasanya bagi seluruh pembaca di Indonesa maupun di dunia.
Ada hal baru pada Kamus Angkola/Indonesia edisi kedua ini, yaitu interaksinya yang baik terhadap beragam daftar dan level pidato (bahasa) Angkola. Para peneliti kamus tidak hanya mencari dan merangkum bahasa dan percakapan Angkola sehari-hari tetapi juga beragam hal mengenai seni berpidato yang tinggi, sahut menyahut osong-osong dan senandung ratapan andung. Dalam hal ini penulis menggambarkan secara mendalam tentang novel-novel berbahasa Angkola yang terbit sejak tahun 1910an sampai 1930an (yaitu pada karya M.J. Sutan Hasundutan Sitti Djaoerah, yang sudah disebutkan diatas, dan juga karya Sutan Pangurabaan Pane Tolbok Haleon). Mereka juga menggambarkan karya lama seperti milik Willem Iskandar Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-rumbuk; buku-buku sekolah dialek Mandailing dasar yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1872. Buku tersebut sudah tersebar luas diseluruh Padangsidimpuan dan Sipirok, karena dialek Mandailing cukup dekat dengan dialek Angkola. Buku sekolah tersebut diajarkan pada generasi muda hingga akhirnya dilarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang menganggap bahwa buku itu merupakan buku pemberontaK—Belanda menganggap bahwa ayat-ayat yang ada pada Si Bulus-Bulus dikutip kembali secara rahasia di seluruh Tapanuli Selatan sebagai perkumpulan yang melawan dominasi politik kolonial. Setelah Revolusi Nasional, Willem Iskandar tidak hanya membahas mengenai lagu pujian untuk Tapanuli Selatan tapi juga tentang perjanjian ekonomi dan politiknya yang kembali disusun.
Seperi kebanyakan kamus pada umumnya, Kamus Angkola/ Indonesia sebelumnya juga sudah pernah diterbitkan. Angkola en Mandailing Bataksch-Nederlandsch Woordenboek karya H.J. Eggink terbit tahun 1936 merupakan kamus Angkola klasik. Tetapi sebagai seorang sarjana Belanda yang bekerja di zaman kolonial, Eggink ternyata tidak menyentuh akses ke upacara horja yang banyak menampilkan seni berpidato ritual yang tinggi. Namun hal tersebut dialami oleh ke empat peneliti kamus berikut ini; Arden Siregar, gelar Baginda Habiaran; Panangian Pane gelar Mangaraja Habonaran; Dr. Aristides Marpaung; dan Parningotan Siregar gelar Baginda Hasudungan Ompu Raja Oloan. Mereka menikmati upacara horja itu secara langsung, karna mereka sendirilah si orator ulungnya. Sayangnya sejak terbitan edisi pertama tahun 2004, Mangaraja Habonaran, Dr. Aristides Marpaung dan Baginda Hasudungan Ompu Raja Oloan telah meninggal dunia. Beberapa warisan mereka akan selalu hidup pada proyek kamus yang membanggakan ini, khususnya bagi generasi muda seluruh dunia.
Bapak Arden Siregar bergelar Baginda Habaran, yang berusia 74 tahun pada bulan Mei 2012, diberi kehormatan untuk membawa hasil penelitian tim ke edisi kedua kamus ini. Sebagai pembaca, kami berhutang rasa terimakasih kepada tim yang telah membantu kami untuk menyambung kelezatan sebuah bahasa yang mana novelis tahun 1920an Sutan Hasundutan pernah sekali berkata “tabo”—benar-benar lezat!
Susan Rodgers, Ph.D. Professor, Anthropology, and W. Arthur Garrity, Sr., Professor Department of Sociology and Anthropology College of the Holy Cross Worcester, Massachusetts 01610 USA
Di mana saya bisa beli kamus Batak Angkolanya?
ada di saya, bang
Salam Mbak Sondha, bagaimana saya bisa beli bukunya itu ya? Ini kamus batak angkola-mandhailing kan? Terima kasih.
Buku mssih ada stocknya. Silahkan tinggalkan pesan di inbox fb saya ya. Tks