Tulisan ini merupakan repost dengan menggabungan dua tulisan yang aku tulis hampir 4 tahun yang lalu… Tulisan yang ini dan yang ini… Semoga penggabungan ini justru memberikan gambaran yang utuh tentang keindahan Kailasa…

Deskripsi Tentang Dieng di Museum Kailasa…
Kailasa ? Dimana itu…? Kok rasanya nama itu gak pernah tercantum di peta.. Di Indonesia atau di negara lain ya…?
Kailasa itu di Indonesia… Beneran Indonesia.. Tepatnya di Dieng Plateu (Dataran Tinggi), di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.. Dieng karena keindahan dan ketentramannya diibaratkan sebagai Kailasa atau Khayangan, negeri para dewa, negeri yang indah di atas awan….
Menurut informasi di Museum di Dieng, yang diberi nama Kailasa, berdasarkan 22 buah prasasti berbahasa Jawa Kuna, Dieng yang berasal dari kata Dhi Hyang (tempat para roh). Dieng dahulu berfungsi sebagai pusat kegiatan religius, tempat para pendeta sekte Saiwa melakukan praktek asketik, dimana Dieng diibaratkan sebagai Kailasa artinya Kahyangan Siwa yang Suci, Pusat Dunia dan Tempat Para Arwah Bersemayam…
Hari Sabtu, 26 Maret 2011 jam 06.30 pagi aku beserta 2 orang teman yang bernama sama, Ika dan Ika, diantar Mas Joko, si driver yang baik hati, memulai perjalanan dari Yogya ke Dieng.. Kami jalan ke arah Sleman… melalui daerah Kali Putih.., daerah yang mengalami bencana berupa lahar dingin yang membawa material pasir dengan volume yang subhanallah banyaknya.., yang menyebabkan banyak rumah hancur….
Setelah singgah untuk sarapan brongkos di Warung Ijo Bu Padmo di bawah jembatan yang menghubungkan desa Salam dan desa Tempel, kami menuju Wonosobo melalui jalan pintas, melalui desa-desa di perbukitan selama sekitar 2,5 jam. Udara di Wonosobo sejuk…, dengan pemandangan warna hijau dimana-mana…
Dari Wonosobo harus ditempuh 25 km lagi untuk bisa sampai ke Dieng.. Namun ini perjalanan yang menyenangkan…, karena menyusuri bukit-bukit dan pegunungan… Iya, Dieng berada diantara pegunungan karena Dieng diperkirakan dulunya merupakan danau bekas kawah gunung api yang sudah mati..
Mobil lalu diparkir di pelataran, yang di ujungnya terdapat semacam pintu ke arah sebuah taman… Tapi karena hari hujan, kami terpaksa menunda masuk ke taman tersebut dan duduk di warung Pak Saroji… Warung yang antik… Kenapa..? Karena penjualnya menghidangkan dagangannya berupa manisan carica, kentang goreng, kripik kentang, kacang, minuman purwaceng tanpa menagih pada pengunjung yang menikmati di tempat.. Yang ditagih hanya yang kita beli untuk dibawa pulang.. What a service…!!!!
Sementara menunggu hujan reda, sambil menikmati makanan dan minuman hangat di Warung pak Saroji, kami juga sempat melakukan sholat di musholla yang berada tepat di belakang warung.. Saat berwudhlu…. Subhanallah….. bbbbrrrrr………………… airnya sejuk banget…… gigi aja bergemeretuk dan ngilu ketika kumur-kumur…. Rasanya malah pengen bergelung dalam mukena.. hehehehe…
Setelah hujan agak reda, dengan dibekali payung pinjaman dari isteri pak Saroji, kami berjalan menuju taman yang tersembunyi di balik rerimbunan bunga… Melewati pintu gerbang, kami melihat selapis rerimbunan tanaman lagi di depan.. Sedangkan di sisi kanan terlihat umpak, yaitu tumpukan batu2 candi tersusun rapi…, yang ternyata Rekonstruksi Dharmasala…, tempat istirahat para penziarah dan juga tempat persiapan upacara keagamaan..
Lalu kami meneruskan langkah menuju taman yang ditutupi pagar tanaman… Subhanallah…, di balik tanaman2 tersebut terbentang jejeran 5 buah candi yang indah… Disempurnakan dengan udara yang sejuk dan kekabutan serta perbukitan hijau yang menjadi latarnya… Subhanallah…. Sungguh indah… Tak salah bila diungkapkan bagai Negeri Indah di Atas Awan…
Candi tersebut oleh masyarakat diberi nama mengikuti tohoh-tokoh pewayangan.. Candi Arjuna, Candi Semar (di depan Arjuna), lalu Candi Sumbadra, Candi Puntadewa dan Candi Srikandi.
Nama-nama candi ini membawa aku pada kenangan masa kecil, ketika almarhumah ibu membelikan aku 4 jilid buku cerita bergambar yang sangat tebal (untuk ukuran anak kelas 4 SD) karya RA. Kosasih yang berjudul Mahabrata, lalu 3 jilid buku Barata Yudha, serta beberapa jilid (aku gak ingat persis lagi) buku yang tak terlalu tebal berjudul Pandawa Seda.. Buku-buku itu membuat aku mengenal tokoh-tokoh wayang beserta karakternya… Buku-buku yang mengajarkan pilihan-pilihan hidup yang bernama kebaikan dan keburukan, serta segala konsekuensinya…
Tapi menurut deskripsi yang belakangan aku baca di Museum Kailasa, tidak ada hubungan antara nama dan karakter tokoh wayang-wayang tersebut dengan apa yang diekspresikan pada dinding-dinding candi itu…
Kami lalu menyusuri candi-candi tersebut satu persatu… Mengelus dan merasakan pahatan-pahatannya.. Kalau sudah begini, sedih rasanya tidak punya ilmu arkeologi sehingga tak mampu membaca apa makna yang tersurat dan tersirat pada setiap bahagian candi-candi tersebut…
Ada banyak tanya di dalam hati.. Generasi seperti apa yang mampu menetukan lokasi yang begini indah untuk menjadi tempat melakukan aktivitas asketiknya…? Berapa banyak orang yang terlibat membuat semua ini, berapa lama..? Dari mana mereka datang…? Dari mana mereka mendatangkan bahan-bahannya.. Bagaimana teknologi arsitektur dan pahat batu mereka sehingga mampu menghasilkan karya yang begitu indah…? Dan satu hal lagi, lokasi ini, diperkirakan dengan teknologi saat ini, berada tepat di tengah Pulau Jawa.. Kok bisa generasi abad keenam dan ketujuh menentukannya..? Rasanya zaman itu pengetahuan pemetaan masih sangat sangat sangat terbatas.. Gak ada GPS atau apalah yang bisa membantu mengukur.. Coincidence….? Rasanya enggak yaa… Kalau enggak, terus bagaimana…? Pakai teknologi apa…?
Belum puas berkeliling, mengamati dan duduk menikmati suasananya, kami harus bergegas pergi karena hujan mengguyur dengan derasnya… Payung tak mampu melindungi diri dari terpaan air hujan.. Udara jadi terasa semakin dingin menusuk tulang… tapi, candi dan lingkungannya jadi semakin indah dan eksotis…. Membuat semakin enggan meninggalkannya…
Ketika hujan semakin tak bersahabat, kami terpaksa berlari dan berlari untuk kembali ke warung pak Saroji untuk menghangatkan tubuh dengan teh hangat dan kentang goreng serta secangkir purwaceng…
Lama menunggu, hujan ternyata tak kunjung reda di daerah yang dingin ini…. Brrrrrrr…. Dingin dan semakin dingin… Apalagi sebagian baju agak-agak basah kena tempias hujan saat berlari-lari meninggalkan Kompleks Candi Arjuna. Setelah menunggu dan menunggu…, dan dengan mempertimbangkan waktu yang tersisa, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Meski masih hujan…, dan dengan bekal pinjaman 2 buah payung dari pak Saroji pemilik warung di kawasan parkiran Kompleks Candi Arjuna, kami melanjutkan perjalanan…
Kemana……………?
Ke Kawah Sikidang…
Kawah…? Maksudnya bukaan gunung api yang mengeluarkan gas…? Iya…. Betul sekali… Tapi kawah yang ini tidak seperti Kawah Bodas di Gunung Tangkuban Perahu yang membutuhkan perjuangan untuk sampai ke lokasi. Aksesibilitas ke kawah ini begitu mudah…, ada jalan aspal.. hotmix pula… !! So, setelah menyusuri jalan dan sempat melintas di bawah pipa gas yang merupakan jaringan dari PLTG, kami pun sampai ke area parkir Kawah Sikidang… Area parkir….??? Iya… Kawah Sikidang dilengkapi dengan area parkir plus beberapa fasum yang umumnya ada di obyek-obyek wisata yang dikelola dengan baik.. Selanjutnya dari area parkir, kami tinggal jalan kaki beberapa puluh meter untuk sampai ke lahan dimana terdapat bukaan-bukaan yang menjadi jalan keluar gas bumi…..
Btw, begitu membuka pintu mobil, selain merasakan udara yang sejuk serta rinai gerimis yang memang selalu ada di daerah ini, kita juga akan mencium bau yang “keren abizzzz”, hehehehe… Bau yang nyaris seperti bau k****t, yang merupakan bau gas sulfur… Sebagai catatan, pengunjung tidak boleh terlalu dekat dengan kawah-kawah yang ada.., karena gas Sulfur itu bisa menjadi racun bila terhirup dalam konsentrasi tertentu… Untuk mengingatkan pengunjung , Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara meletakkan tanda peringatan yang dilengkapi dengan gambar tengkorak…
Menurut legenda yang ada di masyarakat Dieng, Kawah Sikidang adalah seorang pangeran yang ditimbun dalam sebuah sumur yang digalinya sendiri atas permintaan seorang putri cantik yang telah dilamarnya. Karena si pangeran tak cukup tampan di matanya, sang putri berusaha menyingkirkan sang pangeran buruk rupa dengan menguburnya di dalam sumur.. Namun akibat kesaktiannya sang Pangeran mampu tetap meronta-ronta dalam bentuk golakan lahar di kawah Sikidang….
Setelah melihat cairan yang bergolak di bukaan-bukaan yang ada di tanah tersebut dari balik kekabutan, kami kembali ke parkiran mobil… Di sekitar parkiran itu tersedia beberapa bangunan yang difungsikan sebagai pasar lengkap dengan toilet yang cukup bersih… Sebelum pulang kami menghampiri sebuah warung di pojokan pasar tersebut.., warung yang menjual goreng tempe, tahu, pisang serta lengkap dengan minuman berupah teh, kopi dan purwaceng, sejenis minuman khas dieng yang terbuat dari rempah-rempah.. Dalam cuaca yang dingin…, tempe dan tahu goreng yg dicocol sambel kecap rasanya nikmatttttt bangetttzzzzzz…… di pasar ini juga ada jual tanaman gunung yang cantik-cantik.. Menggemaskan… 😀
Merasa enakan setelah menyantap beberapa potong gorengan dan minuman…, kami melanjutkan perjalanan… Kemana lagi….? Ke Telaga Warna…, tapi sebelumnya kami singgah di Candi Bima yang berada di perbukitan di pertigaan jalan ke Kawah Sikidang yang telah kami lewati saat datang…
Candi Bima, seperti tokoh Bima yang bertubuh paling besar di antara anggota Pandawa, merupakan candi terbesar.. Lokasinya juga paling tinggi dibanding lokasi candi sebelumnya…, sehingga untuk mencapainya kita harus melewati beberapa puluh anak tangga. Aku amat-amati, bagian belakang candi ini mengarah ke Kawah Sikidang…, sehingga dalam candaanku ke teman-teman satu rombongan, aku bilang kalo “Bau yang keren abiz dari Kawah Sikidang itu adalah bau k****t Bima.. Hahahahaha….
Dari Candi Bima kami meneruskan perjalanan ke Telaga Warna.. Setelah membeli karcis di di loket yang ada di pintu gerbang, kami menyusuri jalan setapak menuju telaga… Daannnn…, subhanallah, telaga itu berwarna hijau pupus, ada juga yang kemerahan di bagian ujung. Warna telaga nampaknya disebabkan oleh lumut yang ada di dasar telaga, yang mungkin disebabkan pengaruh lahan yang vulkanis. Dikelilingi tetumbuhan, suasana yang sunyi dan rinai hujan, telaga itu tampak indah, juga syahdu… Ada keheningan yang begitu dalam….
Dari Telaga Warna kami kembali ke Yogya…, setelah singgah untuk mengembalikan payung pinjaman ke warung pak Saroji dan juga singgah untuk makan sore di sebuah rumah makan di Wonosobo…
Perjalanan ini begitu indah…, begitu memuaskan mata dan bathin.. Dataran yang tinggi dan selalu berkabut benar-benar bagai Negeri di Atas Awan…
Dalam hati aku berharap bisa kembali ke sini untuk waktu yang lebih lama.. Sehingga bisa menginap dan menikmati setiap sisi Dieng….
Di dalam mobil yang menyusuri jalan berliku menuju Yogya, pikiranku yang liar dan terkadang ajaib berkata…, “Seandainya aku mendapatkan pasangan hidup yang orangtuanya menetap di Dieng, tentu aku punya alasan untuk kembali dan kembali berkunjung ke Negeri Indah di Atas Awan ini… Aku akan punya “rumah” di sini….” Hehehehehe….***
Siip… foto2nya keren abiiis…. Alhamdulillah dapat suasana yg sepi n pas buat foto2 ya Son.. waktu th lalu kami ke sana, ruameee…. spot2 bagus ga ada yg nganggur… haha.. malah curcol…
Semoga sukses di lomba ini, Sondha 🙂
Tanti…., saat kami ke sana bulan Maret, bukan saat libur anak sekolah.. jadi pengunjung enggak ramai.. Ditambah lagi gerimis yang enggak henti2.., bikin pengunjung jadi malas, kali yaa, buat turun dari kendaraan, atau keluar dari tempat berteduh… Jadi kami puas berfoto2 tanpa ada distorsi.. 😀
Sukses juga buat Tanti yaa…