Ketika Kaki Unjuk Rasa

Teman-teman, kali ini diriku mau cerita tentang kaki (baca : Thank you, foot !).  Ya kaki, bagian tubuh yang kadang tak terpikirkan bahwa dia juga punya rasa.  Bahwa dia juga bisa protes. 

Bagaimana ceritanya sampai kakiku yang sudah sangat berjasa itu bisa sampai protes dan berunjuk rasa? Here the story

Alhamdulillah tanggal 15 – 19 Mei yang lalu, diriku diberi kesempatan untuk ikut Workshop Penilaian Angka Kredit di Hotel Royal, Jl. Ir. H. Juanda Bogor.  Diriku senang banget. Kenapa? Selain karena akan dapat ilmu, alasan yang pertama, ke Bogor berarti bisa bertemu banyak teman lama, teman sejak kuliah di Kampus Rakyat.  Kedua, ke Bogor berarti kembali ke kota tempat aku pernah menjalani lima setengah tahun masa mudaku.  Lima setengah tahun yang penuh kegembiraan dari kehidupan berteman, juga penuh perjuangan untuk menyelesaikan pendidikan.  Lima setengah tahun menikmati sudut-sudut kota yang tak pernah bosan untuk ditelusuri (baca : Bogor In My Mind).    Ketiga, ke Bogor berarti bisa jalan kaki di sekitar Kebun Raya dan lingkar luarnya, bisa motret-motret dan bisa menikmati makanan yang aku suka dan gak ada jual di Pekanbaru.

Maka, begitu ada kepastian akan berangkat, aku pun menghubungi my BFF, Best Female Friends (Baca : Dulu dan Sekarang, Bersahabat Sampai Tua), menanyakan kapan mereka punya waktu untuk kumpul ramai-ramai.  Apakah hari Sabtu tanggal 13 Mei 2017 atau hari Minggu tanggal 14 Mei 2017.  Agar aku bisa mengatur jadwal penerbanganku ke Jakarta, agar bisa bertemu dengan mereka sebelum aku masuk ke tempat workshop di Bogor, hari Minggu 14 Mei 2017 sore.

Hasil diskusi di WA Group, kami sepakat untuk ketemuan ramai-ramai hari Sabtu pagi.  So, aku memesan tiket penerbangan di hari itu, penerbangan yang paling pagi.

Ndilalah, hari Jum’at 13 Mei 2016 pagi, saat keluar dari kamar mandi untuk bersiap-siap untuk pergi ke kantor, kaki terpeleset.  Alhamdulillah diriku sempat berpegangan, sehingga tidak jatuh terduduk, yang bisa berakibat fatal bagi perempuan Jelita, jelang lima puluh tahun, seperti diriku.  Tapi meski tidak jatuh terduduk, aku merasakan pada kaki kanan ada urat yang bergeser, urat yang memanjang mulai dari pergelangan kaki (ankle) sampai ke belakang paha.  Tapi pergeseran itu tidak terasa sangat sakit.  Hanya sedikit sakit, untuk waktu yang tak lama pula.  Jadi kejadian itu aku abaikan saja.  Aku pikir, urat itu akan kembali ke posisinya semula secara alami seiring waktu. Pikiran yang salah.  SALAH BESAR. Hiks

Sesuai schedule, aku berangkat hari Sabtu 13 Mei 2017 menjelang jam 07 pagi.  Jjam 09 pagi aku sudah bercupika cupiki dengan sahabatku Ati Lubis.  Dia bersama ssuaminya menjemputku di Bandara Soetta.  Kami lalu menjemput Venny, lanjut menuju rumah Linda untuk beranjangsana.  Ya, kali ini kami memutuskan untuk tidak main-main di mall atau tempat makan, sebagaimana yang sering dilakukan. Kami memutuskan untuk ngobrol-ngobrol di rumah Linda sambil menemani Linda beres-beres, nyiapin cadangan makanan buat suami dan anak-anak,  karena keesokan hari akan pergi liburan bareng dengan saudara-saudara perempuannya.  Jadi hari itu aku tidak berlaku kejam pada kakiku..  Jadi si kaki pun bersikap tenang.

Habis ngobrol di rumah Linda, aku ikut ke rumah Ati dan nginap di situ.  Keesokan siangnya, aku minta Ati untuk mengantarkan aku ke stasion kereta api di Kalibata saja.  Aku pengen ke Bogor naik komuter.  Lebih praktis dan gak nyusahin teman.  Hemat pula. 😀  Aku pernah naik komuter ke Bogor sekitar 2 tahun yang lalu, untuk berakhir pekan dengan Veny di rumah ibunya di Sempur, Bogor.  Saat itu Cikini – Bogor hanya butuh waktu tempuh sekitar 1 jam saja.   Harga tiket juga gak sampai Rp.10.000,-  Keren kan?  Mau donk diulang lagi.  Secara,  meski diriku  Jelita, jiwaku teteupp Si Bolang, Si Bocah Petualang.  😀

Naik komuter itu untung-untungan.  Kalau sepi, kita bisa dapat tempat duduk.  Kalau enggak, ya berdiri.  Itu bukan sesuatu yang menyengsarakan buat orang-orang yang sudah biasa naik komuter, atau buat orang-orang yang jarang naik komuter tapi punya semangat Si Bolang.  Hari itu, keberuntunganku setengah-setengah. 😀  Setengah perjalanan aku gak dapat tempat duduk, alias berdiri sambil berpegangan pada tiang-tiang yang ada di gerbong.  Setengah perjalanan lagi diriku dapat tempat duduk di kursi di pojok gerbong yang Alhamdulillah nyaman.

Sampai di Bogor,  Si Jelita bersemangat Si Bolang ini melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sambil menuntun koper.  Koper dengan empat roda memang mooii buat dibawa jalan jauh, karena tidak memberikan beban bagi orang yang bejalan sambil menuntunnya.  Tinggal dituntun saja.

Keluar dari stasiun kereta, aku meminta salah satu pengemudi  becak yang ada di pintu keluar stasiun untuk mengantarkanku ke hotel tempat workshop akan dilaksanakan.  Ongkos becak Rp.30.000,-.  Untuk jarak tempuh 1.1 km menggunakan tenaga manusia, menurut aku worthed lah yaa.  Kalao enggak worthed, anggap aja bagi-bagi rezeki.  😀  Kan belum tentu dalam sehari si bapak tukang becak dapat orderan.

Sekitar jam 4 sore aku sudah sampai di Royal Hotel, aku langsung ke bagian reception.  Di sana aku dikasi kunci kamar 314, dan diminta tanda tangan tanda terima kunci kamar.  Teman sekamar yang ditentukan panitia ternyata belum datang.  Ternyata yang jadi teman sekamarku kali ini, Devi, ASN di Bappeda Kota Pekanbaru, instansi tempat aku bertugas pada tahun 1997 – 2008.   Jadi  diriku dapat teman sekamar yang aku kenal dan tak asing bagi diriku.

Setelah meletakkan koper. sholat dan  duduk sebentar, aku lalu meninggalkan hotel.  Kemana? jalan-jalan donk.  Menikmati Bogor di sore hari.  Tujuanku sore itu ke kawasan Taman Kencana, yang gak jauh dari tempat kostku dulu.  Di situ juga ada Macaroni Panggang, salah satu resto favoriteku di Bogor.  Setelah bertanya pada satpam hotel angkot nomor berapa yang melintasi kawan tersebut, maka aku pun melangkah ke tepi jalan dan menyetop Si Hejo Bernomor 8.

Kawasan Taman Kencana sore itu tak terlalu ramai, aku langsung menuju Macaroni Panggang.  Aku memesan macaroni ukuran kecil, ternyata sold out.  Aku lalu memesan   macaroni panggang ukuran sedang untuk dibawa ke hotel, lalu memesan Caesarian Salad dan lechy tea untuk dinikmati di sana.  Aku duduk dan makan pelan-pelan di situ sembari menunggu magrib berlalu.

Mengingat hari sudah malam, sudah teduh, aku memutuskan untuk kembali ke hotel dengan berjalan kaki.  Berjalan kaki menyusuri lingkar luar Kebun Raya sebagaimana dulu kerap aku lakukan dengan teman-teman mainku.  Menurut Google Map,  jarak yang aku tempuh lebih kurang 2.3 km.  Bukan jarak yang berat buat ku bila dalam kondisi sehat,  karena bila jalan kaki di akhir pekan, biasanya, Alhamdulillah, aku bisa menempuh 5 bahkan sampai 7 km.

So, acara jalan kaki pun dimulai.  Dari Jalan Salak di depan Macaroni Panggang, aku menyusuri tepi Taman Kencana, lalu lanjut menyusuri  Jalan Salak di pinggiran lembah Sempur.  Dari situ aku belok ke kanan, menyusuri Jalan Jalak Harupat ke arah Istana Bogor.  Aku jalan dengan tenang dan santai, gak terburu-buru.  Apa lagi ruas Jalan Jalak Harupat tersebut agak mendaki.  Dari Jalan Jalak Harupat, aku belok kiri di depan Istana Bogor,  ke arah Jalan Juanda, dimana lokasi hotel juga berada, tapi di bagian di ujungnya. Aku sempat berhenti dan duduk di bangku semen yang berada di pinggir pagar Kebun Raya, di depan Gereja Zebaoth.  Aku berhenti untuk menerim telpon masuk dari Avita Usfar, salah satu teman baikku sejak tingkat 2.    Aku juga sempat sedikit berjalan cepat, saat menjelang Istana Bogor berpapasan dengan laki-laki setengah baya yang jalannya tak tentu arah.  Aku takut kalau orang itu bisa berlaku tak wajar.  Sampai malam itu, kakiku pun masih baik-baik saja.  Hanya terasa kaki kanan sedikit pegal.

Keesokan pagi, level kepegalan kaki kanan meningkat kuat.  Tapi masih bisa dengan santai turun ke lantai 1 hotel buat sarapan, lalu dengan lift naik ke lantai 6 untuk ikut workshop.  Sore hari , level kepegalan tak juga berkurang.  Bahkan semakin malam pegal.  Saat sahabatku yang tinggal di Bogor, Idien dan suaminya menemuiku  di hotel, diriku curhat tentang si kaki.  Idien menyarankan untuk minum obat radang sendi dan neurobion. Idien dan suami bahkan mmenemani diriku ke apotik terdekat.

Setelah Idien pulang, aku masuk ke kamar, bersih-bersih, minum obat dan tidur.  Tak berapa lama aku terbangun karena kaki kanan terasa sangat sakit.  Nyeri seperti ditusuk ratusan jarum.  Kaki pun terlihat bengkak mulai dari telapak kaki sampai betis.  Otot-otot kaki sampai paha semua tegang.  Bahkan kulit kaki pun terasa perih kalau disentuh.  Rasa malu dan gak ingin menggangu teman sekamar  saja yang bikin aku tidak menangis.  Begitu matahari menampakkan diri, aku langsung telepon Idien, minta tolong dicariin siapa yang bisa mengobati.  Aku gak mau ke tukang urut, aku maunya ke dokter, aku mau bantuan medis.

Tidak lama Idien nelpon.  Dia sudah dapat informasi tempat  rehabilitasi medis.  Bogor Rehabilitasi Center, namanya.  Lokasinya di Jalan Paledang Nomor 25, tidak jauh dari lokasi Royal Hotel tempat aku ikut workshop. Alhamdulillah.  Jadilah hari Selasa sore itu, setelah minta izin satu sesi workshop, aku dijemput Idien dan dibawa ke dokter rehab medik.  Melihat betapa bengkak dan tegangnya otot-otot kakiku, diperkirakan ada tulang yang patah, atau otot yang putus.  Tapi setelah aku ceritakan kronologisnya, bahwa kejadian terpeleset sudah 4 hari yang lalu, dan setelahnya diriku masih bisa jalan, dan setelah diperiksa, disimpulkan bahwa ada urat yang bergeser, yang belum sembuh, tapi sudah dibawa bergerak berlebihan.  Dengan kata lain, kakinya tereksploitasi dan unjuk rasa.  Kaki kananku protes dan menunjukkan kemarahannya pada ku. Hiksss…

Apa yang dilakukan asisten si dokter atas arahan bossnya?  Mulai dari telapak kaki sampai paha disinar dengan dengan lampu bergelombang infrared.  Baik dari bahagian depan maupun bahagian belakang.  Tahap berikutnya pada beberapa titik di kakiku dipasang alat yang mengeluarkan getaran listrik bertegangan rendah untuk membuat otot lebih rileks.  Selanjutnya, kakiku dipijat dengan menggunakan alat khusus dan cream untuk perawatan otot olahragawan.  Seluruh tahapan perawatan ini memakan waktu hampir 4 jam. Perawatan ini harus diulang sesering mungkin sebelum aku pulang ke Pekanbaru. Selain itu aku harus makan beberapa butir obat, antara lain pereda rasa sakit, perileks otot.  Oh ya, aku juga harus memakai ankle support, kecuali saat tidur.

Malam itu, meski rasa sakit belum hilang total, tapi level kenyerian sudah berkurang.  jauh berkurang.  Tapi cerita tak berakhir di situ, belum happy ending.  Keesokan hari, hari Rabu, karena harus duduk seharian mengikuti workshop, ruas kaki dari betis ke bawah terasa nyeri, sangat nyeri, sedangkan di bagian paha dan bokong sangat pegal.  Rabu sore setelah workshop, aku kembali ke tempat rehab medik.  Treatment kembali dilakukan, dari jam 17-an sampai jam 21-an.  Setelah treatment selesai, rasanya memang lebih nyaman.  Tapi dalam level yang nyaris sama, rasa sakit kembali muncul bila aku bergerak, seperti berjalan ke tempat makan, atau ke resto yang di sekitar hotel.    Jadi sepertinya akar permasalahan belum diselesaikan, belum terobati.  Mungkin memang harus total rest dan tetapi tiap hari dalam jangka waktu yang lebuh lama.  Dengan kondisi yang demikian, aku melakukan sekali lagi terapi, di hari Kamis malam, agar aku bisa bertahan sampai workshop berakhir di hari Jum’at.

Dengan kondisi yang demikian, aku memutuskan untuk segera pulang begitu workshop selesai.  Keinginan untuk jalan-jalan, motret-motret sambil menikmati Kota Bogor di akhir pekan aku coret dari daftar rencana.  Padahal hari Sabtu 20 Mei 2017 itu bertepatan denga perayaan 200 Tahun Kebun Raya.   Aku memutuskan untuk pulang bersama Devi, teman sekamarku, di  Sabtu pagi, agar ada  yang bisa diriku minta pertolongan kalau ada hal-hal tak terduga terjadi dalam perjalanan pulang.  Teman-teman yang pernah berangkat dari terminal  Ultimate 3 Bandara Soetta bisa membayangkan kan jarak yang harus ditempuh saat boarding.  Lumayan jauh !  Dengan jalan perlahan-lahan dan kadang tertatah-tatah, Alhamdulillah aku sampai di Pekanbaru.

Setelah membiarkan diriku beristirahat sehari,  Pada hari Minggu (ku turut ayah ke kota)  keluarga membawaku ke anaknya Almarhum Usmanto tukang urut langganan keluarga yang berlokasi di sekitar Jala Taskurun Pekanbaru.  Almarhum Usmanto, seorang keturunan Tionghoa adalah tukang urut yang bisa mengobati otot-otot yang terkilir.  Beliau mewariskan keterampilannya kepada istri, anak laki-laki dan juga salah seorang anak perempuannya.  Anak perempuan Usmanto lalu mengurut kakiku, mendorong urat yang bergeser untuk kembali ke posisi seharusnya.  urutannya pelan, tidak sakit.  Dia memintaku untuk tidak banyak bergerak dahulu, dan juga agar mengusahakn kakiku selalu berada dalam posisi lurus, tidak ditekuk.

Alhamdulillah sekarang kakiku sudah pulih, meski belum aku bawa kembali beraktivitas jalan pagi seperti sebelum-sebelumnya.  Tapi usia yang Jelita memang harus menjadi pertimbangan untuk beraktivitas.  Usia yang harus diterima dengan menyesuaikan diri, menyesuaikan aktivitas yang dilakukan.

Alhamdulillah buat proses belajar yang mahal ini. ***

5 thoughts on “Ketika Kaki Unjuk Rasa

    • Alhamdulillah, Lia..
      Pelajaran untuk tidak menyepelekan sesuatu.. efekya luar biasa.. selain bayaran perawatan yang mehong.. juga jadi gak bisa lihat perayaan 200 tahun kebun raya.. gak sempat menikmati berbagai rencana yg sudah disusun untuk berakhir pekan di bogor..

      Minal aidin wal faidzin, Lia.. Mohon maaf lahir dan bathin.. salam buat Ayah dan Mama…

      • Alhamdulillah ya Tati. Semoga nanti bisa ada kesempatan jalan-jalan ke Bogor lagi. 😊

        Sama-sama, Tati. Mohon maaf lahir batin ya, Ti. Insya Allah salamnya akan Lia sampaikan ke Ayah dan Mama.

Comments are closed.